Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH HUKUM PIDANA

TENTANG

PENYERTAAN DALAM MELAKUKAN TINDAK PIDANA (DEELNEMING) DAN


MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA (MEDEPPLICHTIGHEID)

Dosen Pengampu:Lucky Raspati, SH., MH

Kriminologi 1.15

Oleh Kelompok 1 :

1. Tiara Andila 2210111023


2. Nailul Muna 2210111055
3. Nabil Zahid Rahman 2210113004
4. Muhammat Zaqky 2210111081
5. Novira Ramadhani 2210111090
6. Fauziah Hana 2210111022
7. Tasya Maharani 2210111085
8. Habil Zakki 2210112071
9. Rahma Ramadhani 2210113006
10. Lailatur Rahmi 2210111021

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Mata Kuliah Hukum Pidana
dengan judul " Penyertaan Dalam Melakukan Tindak Pidana (Deelneming) Dan
Membantu Melakukan Tindak Pidana (Medepplichtigheid)". Shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad saw, yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam penuh dengan
ilmu pengetahuan.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan


berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya
bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.

Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini. Akhirnya
penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya dan besar
keinginan kami dapat menginspirasi kawan-kawan untuk mengangkat permasalahan lain
yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Padang, 3 Juni 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii

KATA PENGANTAR iii

BAB I. PENDAHULUAN iv

A. LATAR BELAKANG iv

B. RUMUSAN MASALAH iv

C. TUJUAN iv

BAB II. PEMBAHASAN 3

A. PENGERTIAN PENYERTAAN 3

B. UNSUR UNSUR PENYERTAAN 5

C. BENTUK BENTUK PENYERTAAN 6

D. PERBEDAAN ANTARA BEBERAPA BENTUK PENYERTAAN 15

E. PENGERTIAN PEMBANTUAN……………………………………..........................16

F. DASAR HUKUM PEMBANTUAN…………………………………………………..16

G. BENTUK PEMBANTUAN……..…………………………………………………….17

H. SYARAT PEMBANTUAN

I. SANKSI PIDANA 20

BAB III. PENUTUP 22

A. KESIMPULAN 22

B. SARAN 23

C. DAFTAR PUSTAKA 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum,sehingga setiap kegiatan manusia
atau masyarakat yang merupakan aktivitas hidupnya harus berdasarkan pada peraturan dan
norma norma yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Hukum yang didalamnya terdsapat
hak dan kewajiban,tidak akan pernah lepas dari yang namanya manusia karena merupakan
aturan untuk mengatur tingkah laku manusia.

Suatu tindak pidana pada umumnya dapat dilakukan oleh satu orang. Dalam hal ini hanya
diperlukan penelitian atas perbuatan-perbuatan pelaku yang memenuhi perumusan tindak
pidana atau unsur dari tindak pidana itu untuk diminta pertanggungjawaban dari pelaku atas
perbuatannya itu. Tetapi ada juga setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan oleh lebih dari
satu orang. Sehingga pada setiap tindak pidana itu selalu terlibat lebih dari satu orang yang
berarti terdapat orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut diluar
seorang pelaku.

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum pidana Deelneming
dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oleh
beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.

Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klafikasikan atas 4 bagian yaitu pleger,doen


pleger,medepleger.uitloker.Suatu pernyataan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa
tindak tindak pidana terlibat lebih dari satu psikis maupun pisik,sehinga harus dicari
pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana
tersebut.Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing sehingga dapat diketahui sejauh
pertanggungangjawabannya.

Dalam makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan mengenai pengertian,unsur


unsur,bentuk dari penyertaan serta pengertian membantu pidana, dasar hukumnya,bentuk dan
syartkbts, serta contohnya yang mana berguna dalam kehidupan masyarakat .

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan penyertaan ?


2. Bagaimana bentuk bentuk penyertaan?
3. Bagaimana isi dari pasal 55 ayat 1 UU Hukum pidana?
4. Bagaimana cara dan upaya,serta penganjur dapat terpidana?
5. Bagaimana persamaan dan perbedaan penganjur dan orang yang menyuruh
melakukan?
6. Apa yang dimaksud dengan membantu melakukan tindak pidana?

C. Manfaat dan Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

1. Mengetahui apa itu penyertaan,bentuk bentuknya ,serta cara dan upaya .


2. Mengetahui persamaan dan perbedaan penganjur dan orang yang menyuruh
melakukan
3. Memberikan wawasan kepada mahasiswa dan pembaca mengenai dasar hukum
membantu melakukan tindak pidana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERNYATAAN (DEELNEMING)

Penyertaan (Deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
/terlibatnya orang atau orang orang baik secara psikis maupun fisik yang melakukan
masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang
terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan dari masing-masing
mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam
sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta lain.

Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu
hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang
perbuatan yang lainnya yang semua mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana Deelneming
dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama
oeleh beberapa orang, jika hanya satu orang yang melakukan delik, pelakunya disebut
Alleen dader.

Menurut para ahli :

1) S. R. Sianturi, memberikan penafsiran, makna dari istilah penyertaan ialah ada dua
orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua
orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.
2) Wirjono Prodjodikoro, mengartikan penyertaan sebagai turut bertanya seorang atau
lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.
3) Menurut Van Hamel yang dikutip oleh Moch. Anwar penyertaan adalah ajaran
pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak
pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh
seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri.
4) Menurut Utrecht, pelajaran tentang turut serta (penyertaan) ini justru dibuat untuk
menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan pembuat).Pelajaran turut serta ini

3
justru tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua
anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan.

Menurut KUHP Indonesia diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP yang rumusannya
sebagai berikut:

1) Pasal 55 KUHP:

Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan itu;Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan
atau pengaruh kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan
daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan suatu perbuatan.

Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub b itu yang boleh di pertanggungjawaban
kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu serta
dengan akibatnya.

2) Pasal 56 KUHP:

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu.

2. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan


untuk melakukan kejahatan itu.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut dapat bermacam-
macam, yaitu :

1. Bersama-sama melakukan kejahatan;

2. Seorang mempunyai kehendak dan menrencanakan sesuatu kejahatan sedangkan ia


mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut;

3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu
melaksaankan tindak pidana tersebut.

4
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya. Masalah penyertaan atau deelneming dapat
dibagi menurut sifatnya dalam :

1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri

Yang termasuk jenis ini adalah mereka yang melakukan dan yang turut serta
melakukan pidana. pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai
sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan.

2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri

Yang termasuk dalam jenis ini adalah pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk
melakukan suatu tindak pidana pertanggung jawaban dari peserta yang satu
digantungkan pada perbuatan peserta lain.

B. UNSUR PENYERTAAN
Dalam tindak pidana penyertaan ( Deelneming) terdapat unsur objektif dan unsur
subjektif.
1. Unsur Objektif Menganjurkan orang lain melakukan perbuatan, dengan
menggunakan cara :
a. Memberikan sesuatu;
b. Menjanjikan sesuatu;
c. Menyalahgunakan kekuasaan;
d. Menyalahgunakan martabat;
e. Dengan kekerasan;
f. Dengan ancaman;
g. Dengan penyesatan;
h. Dengan memberi kesempatan;
i. Dengan memberi sarana;
j. Dengan memberikan keterangan.

2. Unsur Subjektif : dengan sengaja


a. Adanya hubungan bathin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak
diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak
pidana. disini sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;

5
b. Adanya hubungan bathin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya dengan
peserta yang lainnya dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.

C. BENTUK BENTUK PENYERTAAN (DEELNEMING)

Bentuk penyertaan (deelneming) di dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP yang terdiri atas dua pembagian besar berikut.

1. Pembuat (Dader) dalam Pasal 55 KUHP,terdiri dari :


a. pelaku (pleger);
b. yang menyuruh melakukan (doenpleger);
c. yang turut serta (medepleger); dan
d. penganjur (uitlokker).
2. Membantu (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP, yang terdiri atas dua bantuan,
yaitu :
a. pembantu pada saat kejahatan dilakukan; dan
b. pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Dari sudut Undang- Undang Hukum Pidana dader/pelaku dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1)

KUHP digolongkan dalam empat macam golongan pelaku, yaitu sebagai berikut:

1.Plegen (Yang Melakukan)

Kata plegen diartikan sebagai yang melakukan, sedangkan pleger dapat diartikan sebagai
pelaku. Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan pleger adalah setiap orang yang
dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di
dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur
masalah deelneming itu, orang–orang tersebut tetap dapat dihukum. Dalam praktek sukar
menentukannya, karena pembuat undang–undang tidak menentukan secara pasti siapa yang
menjadi pleger. Kedudukan plager dalam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Terutama dalam
penyertaan medeplegen.

6
2. Doenplegen (Menyuruh)
Menyuruh lakukan adalah terjemahan dari doenplegen, sedangkan orang yang
menyuruh lakukan disebut dengan istilah doenpleger. Seseorang yang menyuruh orang
lain melakukan suatu perbuatan, sama halnya dengan orang tersebut melakukan perbuatan
itu sendiri. Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus (dalam
hal ini auctor physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk
melakukan tindak pidana. Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan
menggunakan orang lain sebagai alat untuk mengendalikan auctor physicus tersebut. Dari
pengertian di atas di dapat dipahami beberapa hal.
Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu:
1. Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung
2. Auctor physicus sebagai pembuat langsung.
Kedua yang menjadi ciri – ciri dari doenplegen yaitu:
1. Alat yang dipakai adalah manusia.
2. Alat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut VOS, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
1. Orang yang disuruh melakukan adalah tidak mampu bertanggungjawab atas
perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu
jiwanya karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat (1)
KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
2. Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena adanya
pengaruh daya paksa (overmacht) sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana.”
3. Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh
sebab karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) KUHP.
4. Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan, baik berupa kesengajaan atau
kealpaan.
5. Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari
unsur tindak pidana yang dirumuskan undang–undang. Misalnya tindak pidana itu
membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur

7
kesengajaan atau unsur melawan hukum, tetapi pada orang itu maupun pada
perbuatannya tidak ada.

Menurut MvT WvS Belanda, menyuruh melakukan adalah dia yang melakukan tindak
pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai
alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau
tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada
kekerasan.
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur–unsur dari bentuk menyuruh, yaitu:
1. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam
tangannya.
2. Orang lain itu berbuat:
a. Tanpa kesengajaan.
b. Tanpa kealpaan.
c. Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) Yang tidak diketahuinya.
2) Karena disesatkan.
3) Karena tunduk pada kekerasan.

Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa
jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis
dari keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya
karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).

Menurut Adami Chazawi ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan mengapa auctus
physicus tidak dapat dipidana, yaitu:
1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan
Perbuatan auctur physicus pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak
pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena kesengajaan atau karena
kealpaan.
2. Karena Tersesatkan
Apa yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman
akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in
casu manus domina) dengan cara–cara yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas

8
kesalahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan
orang lain timbul kesalahapahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan oleh penyuruh.
Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya
dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja menyebabkan keadaan tersesatkan
tersebut.
3. Karena Kekerasan.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan
menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang, mengakibatkan
orang itu fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya
dari auctur intelectualis yang ditujukan pada auctur physicus, sehingga orang yang
menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain
selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.

Contoh:
A dan B bertentangga, mereka sering bertengkar mulut sampai suatu ketika timbul
niatan dari A untuk melukai B. Pada saat B sedang berjalan di depan rumah, A lalu
menyuruh anaknya C yang berusia 10 tahun untuk melempari B dengan batu yang ada di
halaman. C kemudian melempari B dan mengakibatkan luka di kepala. Dalam konteks
yang demikian, A adalah doenpeleger atau orang yang menyuruh melakukan sedangkan
C adalah orang yang disuruh untuk melakukan suatu perbuatan pidana atau hanya sebagai
alat semata atau manus ministra, sudah tentu yang dimintai pertanggungjawaban pidana
adalah A bukan C.

3. Orang Yang Turut Serta / Medepleger/Medeplegen

Orang yang turut serta (Medepleger) Medepleger menurut MvT adalah orang yang
dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu,
kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. Turut mengerjakan sesuatu yaitu :

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;

b. Salah satu memenuhi rumusan delik;

9
c. Masing-masing hanya memenuhi sebahagian rumusan delik. 1

Syarat adanya medepleger, antara lain :

a. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk kerja sama
dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang- undang; 18

b. Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik yang
bersangkutan.

Medepleger merupakan orang yang dengan sengaja ikut serta melakukan suatu perbuatan.
Syarat medepleger yaitu :

1. Secara sadar melakukan kerjasama melakukan tindak pidana

2. Kerjasama perbuatannya untuk melakukan hal yang dilarang oleh undnag-undang

3. Pelaksanaan perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama menimbulkan telah


selesainya delik yang bersangkutan.

Yang di maksud dengan turut serta melakukan (mede pleger), ialah setiap orang yang
sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana, dapat di tarik kesimpulan
bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang
tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk
niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana
tersebut.

4. Penganjur /Uitlokker

Penganjur (Uitlokker) Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh
undang-undang.

Orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam
praktiknya penganjur berbeda dengan yang menyuruh lakukan. Penganjur menggerakan
orang lain menggunakan sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif
1
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers,2012, Ed ke-1, h.215.

10
sedangkan menyuruhlakukan menggerakan orang lain menggunakan sarana yang tidak
ditentukan. Pada hal penganjuran yang menjadi pembuat materiel dapat dimintai
pertanggungjawaban sedangkan pada yang menyuruhlakukan tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban.

Syarat-syarat uitlokken yaitu:

1. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana.
2. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana.
3. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut di dalam
pasal 55 (1) sub 2e (pemberian, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya).
4. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan
keinginan orang yang menggerakan.

Sarana-sarana penganjuran :Dengan memberikan sesuatu

1. Dengan menjanjikan sesuatu

2. Dengan menyalahgunakan kekuasaan

3. Dengan menyalahgunakan martabat

4. Dengan menggunakan kekerasan

5. Dengan menggunakan ancaman

6. Dengan menggunakan penyesatan

7. Dengan menggunakan kesempatan dan dengan memberi sarana

Di lihat dari sudut pertanggungjawabannya maka pasal 55 ayat (1) KUHP di atas pelaku
tindak pidana adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya pelaku di ancam dengan
hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.

ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur yaitu :

1. Tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan pada 4 hal yaitu :

11
a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran.

b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya.

c. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan apa yang dianjurkan.

d. Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggungjawab atau dapat dipidana.

2. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan


sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 55 ayat 1.

3.Terbentuknya kehendak orang yang menganjurkan (pembuat pelaksananya) untuk


melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan.

4. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai
dengan yang dianjurkan.

5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab.2

Dalam menganjurkan harus menggunakan upaya-upaya penganjuran yang ditentukan oleh


KUHP yakni :

a. Dengan memberikan sesuatu, yang dimaksudkan sesuatu dalam hal ini adalah sesuatu
yang harus berharga bbagi orang yang dianjurkan, sehingga menarik hati dan
terbentuklah kehendak seperti kehendak yang dimaksudkan oleh pembuat penganjur.

b. Dengan menjanjikan sesuatu, janji adalah yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi
orang lain (orang yang menganjurkan) bahwa sesuatu yang dijanjikan itu benar-benar
dapat memberikan manfaat, kenikmatan, keuntungan atau segala hal yang bersifat
menyenangkan bagi orang itu. Timbulnya kepercayaan akan memperoleh sesuatu yang
menyenangkan ini adalah syarat penting dari upaya menjanjikan.

c. Dengan menyalahgunakan kekuasaan (misbruik van gezag), adalah menggunakan


kekuasaan yang dimiliki secara salah.Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam
hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan baik dalam lapangan hukum public
maupun dalam lapangan hukum privat.

2
Adami chazawi 2,Op.cit,h.109

12
Untuk adanya upaya menyalahgunakan kekuasaan yang dimaksud dalam hal penganjuran ini
diperlukan dua syarat yakni :

1. Bahwa upaya yang digunakan dalam hal yang berhungan atau dalam ruang lingkup
tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan (orang yang menganjurkan) dan orang yang
ada di bawah pengaruh kekusaan (orang yang dianjurkan).

2. Bahwa hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya
penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan.

3. Dengan menyalah gunakan martabat (misbruik van anziem). Oleh Satochid


diterjemahkan dengan menyalah gunakan kedudukan yang terhormat. 3Dalam
kehidupan sehari-hari, orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat ini sering
juga disebut dengan istilah tokoh-tokoh yang berpengaruh atau tokoh masyarakat
seperti pemuka agama, tokoh politik, pejabat publik dan lain sebagainya.dengan
menggunakan kekerasan (geweld), adalah perbuaTAN FISIK seseorang dengan
menggunakan kekuatan fisik besar atau cukup besar. Dalam melakukan penganjuran
dengan menggunakan upaya kekerasan yang ditujukan pada orang lain harus
menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan tersebut,
sehingga ia melakukan perbuatan yang dianjurkan kepadanya.

4. Dengan menggunakan ancaman (bederiging), adalah suatu paksaan yang bersifat


rohani atau psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia
memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang
mengancam. Ancaman tidak menimbulkan ketidak berdayaan yang bersifat fisik tetapi
psikis yang luar biasa.

5. Dengan menggunakan penyesatan (misleading), adalah perbuatan yang sengaja


dilakukan untuk mengelabui anggapan atau endirian orang dengan segala sesuatu yang
isinya tidak benar atau bersifat palsu dan penuh dengan intrik kebohongan atau dusta,
sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.

6. Dengan memberikan kesempatan

7. Dengan memberikan sarana

8. Dengan memberikan keterangan.

3
Ibid,adami chazawi,h.102

13
Orang yang dianjurkan haruslah orang yang mampu bertanggungjawab, sebabnya ialah
apabila pembuat materiilnya adalah orang yang tidak mampu bertanggungjawab,
misalnya orang yang terganggu jiwanya atau gila, maka akan sangat tidak mungkin
terjadi bentuk penganjuran tetapi yang terjadi adalah bentuk menyuruh lakukan.

Adapun syarat penganjuran atau uitlokker yang dapat dipidana adalah sebagai
berikut :

1. Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang


terlarang;

2. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya - upaya atau sarana - sarana seperti


ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang - undangan (bersifat limitatif);

3. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal - hal tersebut pada
angka (1) dan (2) di atas, jadi dapat dikatakan terdapat psychise causaliteit;

4. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau


percobaan melakukan tindak pidana; dan

5. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Dari 5 (lima) syarat yang disebutkan di atas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan
syarat yang harus ada pada si penganjur atau (uitlokker) sedangkan syarat 3, 4 dan 5
merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil).
Adapun kemudian muncul pertanyaan mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan
delik culpa.

Mengenai hal tersebut terdapat beberapa pendapat :

1. Pendapat pertama menyatakan "Tidak Mungkin"Pendapat ini antara lain


dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari
uitlokking yakni membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.

2. Pendapat kedua menyatakan "Mungkin"Simmons menganggap bukannya mustahil


dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan
14
pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira - ngira
kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan
kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata - nyata dapat
sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa dalam arti orang itu sebagai
pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan
perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan inklusif di dalam perbuatan sengaja itu
termasuk kealpaan dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai
kealpaan yang diisyaratkan oleh undang - undang misalnya seperti seorang pemilik
mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan mengetahui
bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya.
Penganjuran dalam Hukum Pidana (Uitlokker).

D. PERBEDAAN ANTARA BEBERAPA BENTUK PENYERTAAN

Ada perbedaan tiap-tiap bentuk penyertaan, dengan cara membandingkan secara garis
besar, yaitu:

 Perbedaan antara Penganjuran dan Menyuruh Melakukan


- Dalam penganjuran, perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan
delik harus dapat dipertanggung jawabkan kepada yang digerakkan tadi (orang
yang di anjurkan adalah orang yang dapat dipertanggung jawabkan). Sedangkan
dalam menyuruh melakukan, perbuatan orang yang disuruh melakukan delik tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepadanya (orangnya yang disuruh tidak dapat
dipertanggung jawabkan).
- Dalam penganjuran, cara menganjurkan telah disebutkan secara limitatif oleh
undang-undang. Sedangkan dalam menyuruh melakukan, cara-cara untuk
menyuruh tidak disebutkan secara limitatif.

 Perbedaan antara Penganjuran dan Pembantuan

“Dalam suatu penganjuran, orang yang digerakkan semula tidak mempunyai niat /
opzet untuk melakukan tindak pidana. Niat / opzet itu muncul setelah ada suatu
penganjuran. Sedangkan dalam pembantuan, pelaku itu sejak semula telah
mempunyai niat untuk melakukan delik dan kemudian didukung oleh adanya
pembantuan”

15
 Perbedaan antara Turut Serta dan Pembantuan
- Dalam turut serta, perbuatan seseorang peserta / medepleger ditekankan pada
perbuatan turut melakukan. Sedangkan dalam pembantuan, perbautan seseorang
pembantu / medeplichtige ditekankan pada perbuatan membantu melakukan atau
membantu untuk melakukan suatu kejahatan.
- Dalam turut serta, seorang peserta/medepleger harus melakukan suatu perbuatan
pelaksanaan / uitvoeringshandeling. Sedangkan dalam pembantuan, seorang
pembantu cukup bila telah melakukan perbuatan persiapan /
voobereidingshandeling atau suatu perbuatan dukungan / voobereidngshandeling.
- Turut serta dalam pelanggaran dapat dipidana. Sedangkan dalam pembantuan,
membantu melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana.
- Dalam turut serta, ancaman pidana terhadap peserta /medepleger sama dengan
ancaman terhadap pelaku utama, sesuai dengan rumusan delik. Sedangkan dalam
pembantuan,
ancaman pidana terhadap pembantu adalah ancaman pidana pokok bagi pelaku
dikurangi sepertiganya.

E. PENGERTIAN PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

Lamintang mengatakan bahwa, arti harfiah dari membantu (medeplichtige)


adalah medeschuldig atau turut bersalah. Dalam rumusan Pasal 56 KUHP,
membantu/medeplichtige ini disebut “pembantu”. Dalam pembantuan ini terdapat:
pelaku/pembuat (hoofd dader) dan pembantu /medeplichtige. Menurut Simons
medeplightigheid merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu
keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang
medeplightige itu dapat dihukum atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan,
yakni apakah pelakunya telah melakukan tindak pidana atau tidak

F. DASAR HUKUM PEMBANTUAN

16
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni Pasal 56, 57, dan 60
KUHP. Pasal 56 KUHP merumuskan mengenai unsur objektif dan subjektif pembantuan
serta bentuk/macam/jenis pembantuan. Pasal 57 KUHP merumuskan mengenai batas
luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat pembantu, dan Pasal 60 KUHP mengatur
mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan, yaitu hanyalah pada pembantuan
dalam hal kejahatan saja tidak termasuk pelanggaran.

G. BENTUK/MACAM/JENIS PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan:

Ke-1: mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu

kejahatan dilakukan.

Ke-2: mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu:

1) Membantu “melakukan kejahatan”


2) Membantu “untuk melakukan kejahatan”

Yang pertama adalah membantu pada waktu kejahatan dilakukan, tanpa disebutkan
sarana atau daya upaya tertentu, sedangkan yang kedua adalah pembantuan yang
diberikan mendahului kejahatan dilakukan, yaitu dengan upaya yang berwujud
kesempatan, sarana, dan atau keterangan. Dengan kata lain, bentuk yang kedua ini
merupakan pembantuan kejahatan yang dilakukan pada saat sebelum dilakukannya
kejahatan dan telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 56 KUHP yakni, dengan cara:

 Memberi kesempatan
 Memberi sarana
 Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan

17
Simons menyatakan bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan yang tidak
berdiri sendiri,artinya seorang yang membantu ini dapat dipidana atau tidak
tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri telah melakukan tindak
pidana atau tidak. Bentuk pembantuan yang pertama, yaitu sengaja memberi bantuan
pada waktu kejahatan dilakukan, dapat berwujud bantuan material, moral ataupun
intelektual. Bentuk pembantuan yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan
untuk mempermudah orang lain melakukan kejahatan. Hal ini juga berbentuk
material, seperti memberikan alat kepada pelaku, ataupun dalam bentuk intelektual,
seperti memberikan kesempatan orang lain utnuk melakukan pencurian terhadap
barang-barang yang berada dalam pengawasannya, lebih lanjut dapat dipahami dari
penjelasan berikut:

 Memberi kesempatan: memberikan peluang yang sebaik-baiknya dalam hal orang


lain untuk melakukan kejahatan.
 Memberi sarana: memberikan alat atau benda yang dapat digunakan untuk
mempermudah melakukan kejahatan.
 Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan: menyampaikan ucapan-ucapan
dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain, berupa nasihat atau petunjuk
dalam hal orang lain melaksanakan kejahatan.

Ketiga cara ini (memberi kesempatan, sarana, dan keterangan) ini tidak berfungsi
membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melakukan kejahatan, karena
kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat pelaksanaannya telah lebih dahulu
terbentuk sebelum pembuat pembantu menggunakan atau menyampaikan 3 (tiga)
upaya tersebut.

H. SYARAT-SYARAT PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

Pasal 56 KUHP merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau “kesengajaan”


(opzettelijk), sedangkan unsur objektif adalah “memberikan bantuan”. Kedua unsur
ini terkadung 2 (dua) syarat, yakni syarat subyektif yang terkandung dalam unsur
“sengaja” atau “kesengajaan” (opzettelijk) dan syarat objektif yang terkandung dalam
unsur memberi bantuan.

18
a. Syarat Objektif

Kesengajaan pembuat pembantu dalam mewujudkan perbuatan bantuannya


ditujukan padahal untuk mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan
bagi orang lain (pembuat pelaksana). Kesengajaan pembuat pembantu tidak
ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, namun ditujukan hanya
untuk mempermudah pelaksanaan kejahatan. Berbeda dengan pembuat penganjur
yang kesengajaannya (sikap batinnya) sama dengan pembuat pelaksana. Timbulnya
kehendak pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu
dibandingkan dengan pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan. Inisiatif
mewujudkan kejahatan juga berasal dari pembuat pelaksana, bukan pada pembuat
pembantu. Kesengajaan dalam hal ini berarti, ketika terbentuknya kehendak
pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan bantuannya, maka pada saat itu
terbentuk keinsyafan atau kesadaran bahwa apa yang hendak ia lakukan atau apa
yang hendak diperbuatnya itu adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya
(pembuat pelaksana). Sikap batin pembuat pembantu tidak sama dengan sikap batin
dari pembuat pelaksanaannya.

Kesengajaan Dalam Pembantuan

Pada Pasal 56 KUHP menentukan bahwa pemberian bantuan harus dilakukan


dengan sengaja. Sampai seberapa jauh atau kemanakah arah kesengajaan ini
ditujukan, hal ini terdapat berbagai pendapat. Simons berpendapat bahwa
kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan kepada semua unsur delik, bahkan
juga harus ditujukan kepada unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan
bahwa kesengajaan pelakunya harus ditujukan kepada unsur-unsur tersebut.
Selanjutnya Simons mengatakan bahwa, agar seorang pembantu (medeplichtige)
dapat dipidana, harus dipenuhi unsur yang bersifat objektif dan subjektif.

Unsur objektif artinya: “perbuatan yang dilakukan oleh pembantu, harus benar-benar
dapat mempermudah atau mendukung pelaksanaan perbuatan, artinya, seandainya
bantuan berupa alat-alat dan sebagainya yang diserahkan kepada pelaku tidak
dipergunakan, maka si pembantu pun juga tidak dapat dipidana”.

19
Sedangkan unsur subjektif, artinya: “bila perbuatan yang dilakukan harus benar-benar
disengaja atau si pembantu memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat
mempermudah atau mendukung pelaksanaan kejahatan oleh orang lain itu adalah
memang dikehendaki“.

Sesuai dengan pendapatnya itu, selanjutnya Simons mengatakan: “pembantuan


untuk melakukan suatu kejahatan yang bersifat culpa/kelalaian sangat jarang terjadi,
bahkan tidak mungkin terjadi seperti halnya suatu penganjuran untuk melakukan
kejahatan yang bersifat culpa/kelalaian”.

Pompe berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa: “didalam ayat (2) kekurang
hati-hatian itu memang tidak disebutkan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa
menggerakkan orang lain untuk melakukan delik-delik yang dapat dilakukan dengan
tidak sengaja, lalu menjadi tidak harus dipidana“.

Mengenai kesengajaan seorang pembantu, Pompe mengatakan: “kesengajaan seorang


pembantu pertama-tama harus ditujukan kepada perbuatan membantu atau kepada
perbuatan memberikan kesempatan sarana atau keterangan. Kecuali itu, si pembantu
harus mempunyai kesengajaan atau ketidak sengajaan yang ditujukan kepada unsur
delik “.

b. Syarat Objektif

Wujud perbuatan yang dilakukan pembuat pembantu hanya mempermudah atau


memperlancar pelaksanaan kejahatan. Wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh
pembuat pembantu dari sudut objektif berperan mempermudah atau memperlancar
penyelesaian kejahatan dan tidak menyelesaikan kejahatan. Penyelesaian kejahatan
tergantung pada perbuatan pembuat pelaksanaannya.

I. SANKSI PIDANA

Ancaman pidana terhadap “Pembantuan / Medeplichtigheid “

Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57 KUHP, yaitu:

20
1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi
sepertiga.
2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri.
4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan
yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya

Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak dipidana, jadi hanya
pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat dipidana. Kemungkinan adanya keadaan
pribadi seseorang yang dapat menghapuskan, mengurangkan atau pengenaan pidana,
hanya diperhitungkan bagi masing-masing, yaitu terhadap pelaku saja.
Artinyapengurangan tersebut yang berkenaan dengan pelaku tidak dengan sendirinya juga
berlaku bagi pembantu, jika hal itu mengenai keadaan dirinya.

Contoh Kasus:

Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim di suatu tempat
yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun disampaikan kepada Maliki,
dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk memuluskan rencananya, Abu Bakar
membutuhkan bantuan Maliki, untuk mengetahui jalan-jalan yang akan dilalui oleh
Ibrahim, pulang dari tempat kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan
keterangan bahwa Ibrahim biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada
jam 17.00 sore. Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan
menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki bersama-
sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat tersebut, Abu Bakar
menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian yang dimiliki Ibrahim, Abu
Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman melemparkan sepotong kayu kepada
Abu Bakar, yang kemudian dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala
Ibrahim sampai tidak sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan
kode-kode dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.

BAB III

PENUTUP

21
A.Kesimpulan

Penyertaan atau deelneming dalam hukum pidana mencakup keterlibatan orang atau
orang-orang dalam melakukan tindak pidana. Ada berbagai bentuk penyertaan, seperti
melakukan kejahatan bersama-sama, merencanakan kejahatan, atau membantu pelaku utama.
Dalam hukum pidana Indonesia, penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Penyertaan
dapat berdiri sendiri, di mana setiap peserta bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri,
atau tidak berdiri sendiri, di mana tanggung jawab peserta tergantung pada perbuatan peserta
lain. Dengan demikian, penyertaan adalah konsep penting yang mempertimbangkan
keterlibatan orang-orang dalam tindak pidana dan tanggung jawab mereka sesuai dengan
peran dan kontribusinya.

Unsur penyertaan dalam tindak pidana (deelneming) terdiri dari unsur objektif dan
subjektif. Unsur objektif melibatkan tindakan mempengaruhi orang lain dengan memberikan
sesuatu, menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, atau menggunakan berbagai cara
lainnya. Unsur subjektif melibatkan kesengajaan dan hubungan batin dengan tindak pidana
yang hendak dilakukan. Dengan demikian, penyertaan melibatkan pengaruh aktif dan
kesadaran peserta terhadap tindakan pidana yang dilakukan.

Pasal 55 KUHP mengatur pelaku tindak pidana (pleger) yang terdiri dari pelaku utama,
yang menyuruh melakukan, yang turut serta, dan penganjur. Pasal 56 KUHP mengatur
bantuan dalam tindak pidana (medeplichtige) yang terdiri dari pembantu saat kejahatan
dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan. Dalam praktiknya, ada perdebatan
mengenai peran pelaku utama (pleger) dalam Pasal 55, terutama dalam penyertaan
medeplegen.doenplegen (menyuruh melakukan) dalam penyertaan (deelneming).
Terdapat beberapa cara dan upaya,serta penganjur dapat terpidana?
1. Penganjur harus memiliki kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan tindak
pidana.
2. Penganjur harus menggunakan salah satu cara atau upaya yang ditentukan oleh undang-
undang, seperti memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan,
menyalahgunakan martabat, menggunakan kekerasan, menggunakan ancaman,
menggunakan penyesatan, memberikan kesempatan, memberikan sarana, atau
memberikan keterangan.
3. Kehendak orang yang dianjurkan harus sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh
penganjur.

22
4. Orang yang dianjurkan harus benar-benar melaksanakan tindak pidana sesuai dengan
yang dianjurkan.
5. Orang yang dianjurkan harus memiliki kemampuan bertanggungjawab, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Jika penganjur memenuhi syarat-syarat tersebut, mereka dapat dikenai pidana sesuai
dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Penganjur akan dianggap sebagai penanggung
jawab penuh atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang dianjurkan, dan dapat
diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan. Pada
intinya, penganjur dapat terpidana jika secara sengaja menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-
undang, dan jika orang yang dianjurkan benar-benar melaksanakan tindak pidana tersebut.
Persamaan antara penganjur dan orang yang menyuruh melakukan adalah keduanya
merupakan bentuk penyertaan dalam tindak pidana, di mana mereka berperan dalam
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan. Baik penganjur maupun orang
yang menyuruh melakukan memiliki niat atau opzet untuk mempengaruhi orang lain agar
melakukan tindak pidana.
Perbedaan utama antara penganjur dan orang yang menyuruh melakukan terletak pada
pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang digerakkan, serta
dalam batasan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Penganjuran menekankan
tanggung jawab terhadap perbuatan yang diarahkan, sedangkan penyuruhan lebih fokus pada
peran perintah atau suruhan untuk melakukan tindak pidana.
Pembantuan merupakan bentuk penyertaan dalam kejahatan di mana seseorang dengan
sengaja memberikan bantuan atau mempermudah pelaksanaan kejahatan oleh orang lain.
Pembantu dapat dikenai pidana, namun pidana yang diterima biasanya dikurangi dari pidana
pokok terhadap kejahatan tersebut. Pembantuan hanya berlaku untuk kejahatan dan tidak
untuk pelanggaran. Keadaan pribadi yang dapat mengurangi atau menghapuskan pidana
hanya berlaku bagi pelaku, bukan pembantu.

B. Saran
Berdasarkan pemaparan mengenai materi diatas, maka kita sebagai seorang mahasiswa
hendaknya memahami dengan baik landasan hukum yang mengatur penyertaan, seperti Pasal
55 dan 56 KUHP, serta konsep dan terminologi yang terkait. Selanjutnya pelajari juga
putusan pengadilan dan bandingkan dengan hukum pidana negara lain untuk mendapatkan
perspektif yang lebih luas. Dan diperlukan juga adanya diskusi mengenai pemahaman dengan

23
pelajar lainnya dan dosen, serta membaca literatur dan penelitian terkait untuk memperdalam
pengetahuan. Kemudian mempraktikkan pemahaman melalui studi kasus, identifikasi bentuk
penyertaan dan tanggung jawab hukum peserta yang terlibat. Dan kita sebagia mahasiswa
hendaknya tetap mengikuti perkembangan terkini dalam hukum pidana, mengembangkan
pemikiran kritis, dan memanfaatkan peluang untuk mengambil kursus atau menghadiri
seminar guna mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Herman Sitompul,Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum,Vol.6

No.2 (September,2019)

Suyanto,(2020),Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta:Deepublisher)

Whyuni,F.(2017).Dasar – dasar Hukum Pidana di Indonesia, Tangerang Selatan:PT

Nusantara Persada Utama.

Lamintang, P.A.F., 2013 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar

Baru, Bandung.

Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,

Bina Aksara, Jakarta.

Ishaq,2020,Hukum Pidana,PT RajaGrafindo Persada,Depok.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia

Publishing, Malang.

Buku Ajar Hukum Pidana (Prof. Masruchin Ruba’i, S.H.,M.S, dkk)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:Rajawali

Pers,2012

http://repository.uin-suska.ac.id/2772/3/BAB%20II.pdf

24
25

Anda mungkin juga menyukai