Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FIQH JINAYAH

Dosen Pengampu : Muhibbussabry, Lc., MA

Disusun oleh : Kelompok 3


Cut Isra Salamah 0203183136
Salwiana 0203183139
Ismi Nadila Haya Marbun 0203183143
Maysarah 0203183129

Siyasah 3b

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN SIYASAH
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq dan
hidayah-Nya berupa kekuatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Fiqh Jinayah tentang “Kerjasama Berbuat Jarimah”.
Shalawat dan salam kepada junjungan Nabiullah Muhammad SAW sebagai pembawa
misi kebenaran dalam menapaki jalan kemuliaan, sehingga menuju jalan kehidupan yang
terang benderang dibawah Nur Ilahi.
Tiada kesempurnaan dimuka bumi ini kecuali kesempurnaan yang di miliki oleh Allah
SWT. demikian pula dengan penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan
kekeliruan, saran dan kritik yang membangun, kami harap demi penyempurnaan makalah ini.

KATA PENGANTAR

2
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 4
A. Latar Belakang................................................................. 4
B. Rumusan Masalah............................................................ 4
C. Tujuan Masalah................................................................ 4
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................ 5
A. Pengertian Kerjasama
Jarimah.............................................................................. 5
B. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan
C. Turut-Serta Jarimah....................................................... 6
BAB III : PENUTUP......................................................................................... 9
A. Kesimpulan....................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 10

BAB I

3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sejatinya diciptakan oleh Allah Swt,. dari ketururan yang satu yaitu satu pasangan
dari nabi adam dan hawa yang dari pada itu manusia berkembang dengan lawan jenisnya,
karena sesungguhnya Allah Swt,.menciptakan manusia berpasang-pasangan dan dari kemudian
itu mereka melanjutkan untuk berketururan sebagai tindakan yang telah diatur dalam
kehidupan manusia oleh Allah Swt,.manusia dilahirkan didunia ini adalah sebagai makhluk
tuhan yang paling sempurna karena manusia diberikan akal, pikiran, hawa dan nafsu sebagai
kesempurnaan sang maha kuasa, setelah manusia dilahirkan dan bertumbuh sebagai mana
mestinya. Maka disitulah manusia mengalami perubahan dalam pola kehidupannya. Karena
pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial dimana manusia mengalami masa pertumbuhan
dan ketika menginjak dewasa manusia diikat dalam suatu lingkungan masyarakat yang didalam
terdapat aturan-aturan masyarakat yang mengikat pada diri manusia.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang
menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan
larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma
seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum. Adanya
norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada
masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan
hidup bersama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kerjasama berbuat jarimah?
2. Apa bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama berbuat jarimah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu kerjasama berbuat jarimah
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama berbuat jarimah

BAB II
PEMBAHASAN

4
A. Pengertian Kerjasama Jarimah
Jarimah adalah tindakan pidana, Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama
dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi
bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat
salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi istilah, al-Mawardi
mendefinisikan jarimah:
Artinya ““Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah SWT dengan
hukuman had atau ta’zir”.1 Baik dari segi bahasa maupun istilah dalam tindakan pidana
(jarimah) adakalanya tindakan dilakukan oleh seorang diri namun banyak juga tindakan pidana
yang dilakukan oleh lebih dari satu orang yang masing-masing diantaranya ikut andil dalam
melaksanakannya. Turut serta berbuat jarimah ialah suatu tindakan yang ikut andil dalam
menyelesaikan suatu perkara hukum ditengarai karena terdapat tindakan yang tidak sesuai
dengan aturan Hukum pidana Islam didalamnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi.
Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan
adakalanya pula oleh beberapa orang atau sekelompok orang yang masing-masing ikut andil
dalam melaksanakannya. Turut serta melakukan jarimah ialah melakukan jarimah secara
bersama-sama. Baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain,
memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk agar perbuatan jarimah dapat
dilakukan. Dari definisi tersebut dapat diketahui sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik
dikehendaki bersama, secara kebetulan,sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau
memberi fasilitas bagi terselanggaranya suatu jarimah.
Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):2
a. Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur
material tindak pidana bersama orang lain.
b. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c. Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah ).
d. Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan
berbagai cara tanpa turut berbuat.
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada
tiga jenis, yaitu Hudud, Qishash diyat dan Ta’zir. Perbuatan jarimah dalam Hukum Pidana
Islam secara langsung berkenaan dengan Hudud (yang telah digariskan oleh Allah SWT) yang
jelas aturannya seperti perbuatan perzinaan, pencurian, penipuan, pemerkosaan, penganiyaan,
pembegalan, perampokan, perjudian, perampasan, pembantaian, pemberontakan, minum-
minuman keras dan lain sebagainya.3
Sedangkan jarimah Ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam
dengan hukum ta’zir yaitu hukuman selain had dan qishash diyat. Pelaksanaan
hukuman ta’zir baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak, baik perbuatan itu
menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya
untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa)4. Menurut Imam Mawardi mendefinisikan jarimah, yaitu:
“Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara”5. Perbuatan jarimah baru dikatakan perbuatan yang bertentangan

1 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka. 2004), hal.3
2 Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang.2005), hal.95
3 Ibid,. 99
4 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka. 2004), hal.13
5 Ahmad wardi muslich. Pengantar dan asas hukum pidana, (Jakarta: sinar grafika, 2004). Hal.19

5
dengan undang-undang dan diancam dengan hukuman pidana, suatu perbuatan dianggap
sebagai jarimah karena perbuatan tersebut merugikan kepada tata aturan masyarakat,
kepercayaan, dan Agamanya, harta dan benda, nama baik, serta pada umumnya merugikan
kepentingan dan ketentraman masyarakat.6 Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya
ditentukaan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas,
sesuai dengan kejahatan dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri
manusia.7 Dalam Hukum Islam yang diterapkan adalah asas keadilan (moral) ada penawaran
jika yang dilakukan berkenaan dengan dirinya sendiri, tapi kalau seperti
tindakan jarimah mencuri tidak ada penawaran baginya. Dalam jarimah yang menjadi obyek
kajiannya ada 2 macam, yaitu: Hudud dan Ta’zir.
Jarimah, qishash, diyat adalah tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap
jiwa atau anggota tubuh seseorang. Hukuman terhadap tindak pidana ini adalah Qishash, (yaitu
memberikan perlakuan yang sama kepada terpidana sesuai dengan tindak pidana yang ia
lakukan, misalnya membunuh dibalas dengan hukuman mati) atau diyat yaitu ganti rugi
dengan harta melalui keputusan hakim8.

B. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah


Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal,
yaitu langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).9
a. Keikutsertaan Langsung, mubasyir
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi
satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
1. Tawafuq (kebetulan)
Tawafuq artinya si pelaku jarimah membuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa
kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas kehendak
pribadinya atau refleksi atas suatu kejadian dihadapannya. Jadi, setiap pelaku dalam jarimah
yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak saling mengenal antara satu dan yang lainnya
dan mereka tidak melakukan kesepakatan untuk merrencanakan secara kolektif.
2. Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya.
Mayoritas fuqaha membedakan antara tanggung jawab pelaku-langsung pada kasus
kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada
kasus “kebetulan”, setiap pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya
dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul
seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul seseorang. Salah satu di antar dua orang
ini memotong tangannya, sedangkan yang lain memotong lehernya. Orang pertama
bertanggungjawab atas pemotongan, sedangkan orang kedua bertanggungjawab atas
pembunuhan. Pidana semacam ini adalah kasus pidana yang direncanakan; mereka berdua
sama-sama bertanggungjawab atas pembunuhan itu.10

Sedangkan tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang
melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu

6 Ibid,. Hal.10
7 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Paragonatama Jaya. 2013),. hal.4
8 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka. 2004),. hal.6
9 Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang.2005),. hal.95
10 Jundy Abdul Malik, al-Maushu’ah al-Jina’i (Beirut: Dar an-Nahdhah. tt) Vol.5, hal.145

6
terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba.11 Hal
ini yang terjadi pada kasus kerusuhan spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa
ada kesepakatan terlebih dahulu dan melakukannya berdasarkan dorongan pribadi dan
pikirannya secara spontanitas. Karena itu, mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya,
tanpa harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain.12
Dalam kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara tawafuq dan
tamalu’. Menurutnya, hukum pada kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah pelaku atas
perbuatannya sendiri. Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di atas, yang satu dipersalahkan
karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi dipersalahkan karena berbuat rusuh.
Sedang Imam madzhab yang lainnya membedakan antara tawafuq dan tamalu’ sebagaimana
yang telah diterangkan sebelumnya .13 Akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
mengambil pendapat Imam Abu Hanifah.

b. Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir.


Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang
lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan
dan menyuruh serta memberi bantuan.
Adapun unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:14
1. Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian
dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa
pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum
meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum.
2. Unsur kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh
kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu.
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, pada dasarnya, kaidah hukum Islam
menetapkan hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak
pidana hudud dan qishash, dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada
pelaku tidak langsung. Berdasarkan prinsip tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak
pidana hudud dan qishash tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya,
bagaimanapun bentuk keturut-sertaannya. Dalam hal ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan
pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak pidana hudud dan qishash adalah karena umumnya
hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat dan keturut-sertaan tidak
langsung si pelaku tidak dianggap syubhat yang menolak yang menolak hukuman hudud
atasnya. Juga karena pelaku tidak-langsung pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih
sedikit bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak
sama.
Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka pengertian hak manusia di
sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dima’afkan oleh korban atau
keluarganya.
Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishash dan diat itu adalah:
1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’dan
tidak ada batas minimal atau maksimal.

11 Muhammad Abdul Jawad Muhammad, Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-Qanun, (Mesir: Dar al-kutub),
hal.55
12 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, (Kairo: dar an-Nandhah. 1987), hal.120
13 Muhammad Abdullah bin Quddamah, al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy, (Mesir: Al-Manar. tt) vol.9, hal.399
14 Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu. 1990), hal.160

7
2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban
atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan.
Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:15
a. Pembunuhan sengaja (‫)القتل العمد‬
b. Pembunuhan menyerupai sengaja (‫القتل شبه العمد‬
c. Pembunuhan karena kesaalahan ( ‫)القتل الخطأ‬
d. Penganiayaan sengaja (‫الجرح العمد‬
e. Penganiayaan tidak sengaja (‫)الجرح الخطأ‬
Dalam prakteknya pembunuhan yang secara tidak langsung dapat dicontoh seperti, ada
seorang pemburu yang ingin menembak burung diatas pohon tetapi secara tidak sengaja ada
orang lewat kemudian pelurunya mengenai orang yang lewat tersebut hingga mati. Atau ada
seorang yang ingin mengusir Ayam yang sedang makan padi dihalaman rumahnya saat ingin
mengusir Ayam tersebut mengunakan ketapel dan tidak sengaja malah salah sasaran mengenai
orang didepan ayam tersebut yang sedang berjalan karena sebelumnya orang ini mempunyai
riwayat penyakit jantung dan ketika terkena ketapel itu dia terkejut hingga penyakitnya kumat
sampai menimbulkan dia itu mati. Hal ini juga dapat disebut sebagai pembunuhan secara tidak
langsung. Oleh karenanya pemburu dikatakan sebagai pelaku pembunuhan secara tidak
langsung, maka hukumannya menjadi Hukuman Ta’zir.
Alasan pengkhususan kaidah tersebut untuk tindak pidana hudud dan qishash adalah
umumnya hukuman-hukuman yang telah ditentukan itu jumlahnya sangat berat dan keturut-
sertaan ghayr mubasyir si pelaku tidak dianggap syubhat yang menolak
hukuman hudud atasnya. Juga karena pelaku ghayr mubasyir pada umumnya lebih ringan
kejahatannya dan lebih sedikit bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman
terhadapnya tidak sama.16

BAB III
PENUTUP

15 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas hukum pidana islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal.18-19
16 Ali Yafie, dkk. Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT.Kharisma Ilmu.2000), hal.38

8
A. Kesimpulan
Baik dari segi bahasa maupun istilah dalam tindakan pidana (jarimah) adakalanya tindakan
dilakukan oleh seorang diri namun banyak juga tindakan pidana yang dilakukan oleh lebih dari
satu orang yang masing-masing diantaranya ikut andil dalam melaksanakannya. Turut serta
berbuat jarimah ialah suatu tindakan yang ikut andil dalam menyelesaikan suatu perkara
hukum ditengarai karena terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan aturan Hukum pidana
Islam didalamnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang
menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan
larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma
seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Makhrus, Munajat, 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta: Logung
Pustaka.

9
2. Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
3. Mawardi Muslich, Ahmad. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
4. Nurul,M irfan, Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayah, Jakarta: Paragonatama Jaya.
5. Jundy, Abdul Malik, tt. Al-Maushu’ah al-Jina’i. Beirut: Dar an-Nahdhah
6. Muhammad Abdul Jawad Muhammad, 1870. Buhuts fi as-Syariah al-Islamiyah wa al-
Qanun, Mesir: Dar al-kutub.
7. Al-Mawardi, 1987. Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Kairo: dar an-Nandhah
8. Muhammad Abdullah bin Quddamah, tt. Al-Mughni ala mukhtasar al-Kharaqy, Mesir:
Al-Manar.
9. Yusuf, Qardhawi, 1990. Membumikan Syariat Islam, Surabaya: Dunia Ilmu.
10. Ali Yafie, dkk. 2000. Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Bogor: PT.Kharisma Ilmu

10

Anda mungkin juga menyukai