Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan
makalah pendidikan agama islam dengan judul "Tindak Pidana Atau Jinayat"
tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan


berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini


dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-
makalah selanjutnya.

Bangkinang, Oktober 2019

Penyusun

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
A. Pendahuluan ................................................................................................. 3
B. Rumusan masalah......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
a. Pengertian dan Dasar Hukum jinayat ........................................................... 5
b. Macam-macam Jinayat (Tindak Pidana) ...................................................... 8
1. Tindak pidana yang dapat dikenai Qishash atau Diyat (Jarimah Qishash/
Jaraimul Qishash) ............................................................................................ 8
2. Keadilan dalam melaksanakan Had........................................................ 11
c. Peradilan ..................................................................................................... 14
d. Pelaksanaan Hukum Atau Eksekusi ........................................................... 16
e. Hikmah Peradilan Islam ............................................................................. 17
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18
KESIMPULAN ................................................................................................. 18
D. Daftar Pustaka ............................................................................................ 19

2
BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah melalui nabi


Muhammad saw sebagai pembawa rahmat bagi semua alam. Syariat islam
dibuat guna melindungi jiwa, agama, keturunan, harta, dan harga diri
sesama makhluk. Bahkan dalam haditsnya nabi Muhammad secara jelas
mengatakan bahwa tujuan pengutusannya adalah untuk menyempurnakan
akhlak.

Seorang muslim satu dengan lainnya diibaratkan bagaikan sesosok


tubuh dimana bila satu anggota merasakan sakit maka anggota badan yang
lainnya akan merasakan sakit juga.

Tidak ada seorangpun didunia ini yang mau dilahirkan sebagai


seorang budak, seorang pelayan, seorang buruh kasar, seorang yang
teraniaya, seorang yang beragama nasrani, yahudi, majusi. Seandainya
manusia boleh memilih ketika akan dilhirkan, niscaya akan memilih
dilahirkan dan ditakdirkan sebagai orang yang sukses didunia maupun
diakhirat.

Untuk merealisasikan kehidupan yang penuh dengan rahmat, Allah


mensyariatkan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Pensyariatan ini
tidak lain adalah sebagai tindakan prefentif agar seorang tidak coba-coba
untuk membunuh.

Pensyariatan qishash tidak lain adalah sebagai bukti kecintaan


Allah kepada hambanya, bahkan dalam Al Quran di jelaskan bahwa
penghilangan nyawa satu orang itu sama saja dengan penghilangan nyawa
semua orang hal ini dikarenakan, apabila seseorang sudah berani untuk
menghilangkan nyawa satu orang, maka tidak menutup kemungkinan
bahwa ia akan melakukannya untuk kesempatan berikutnya.

Namun, apabila wali dari korban ataupun ahli waris dari korban
memaafkan pelaku tindak pidana pembunuhan tersebut, maka ia dikenakan
kewajiban diyat sebagai rasa syukur atas keringanan yang diberikan wali
atau ahli waris korban kepadanya.

3
B. Rumusan masalah

1. Pengertian dan dasar hukum jinayat


2. Pembagian jinayat
3. Pengertian peradilan dalam islam
4. Pengertian Qishash
5. Pengertian Had
6. Pelaksanaan hukum atau eksekusi
7. Hikmah peradilan islam

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui pengertian jinayat


2. Untuk mengetahui pembagian jinayat
3. Untuk mengetahui peradilan dalam islam
4. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum atau eksekusi
5. Untuk mengetahui hikmah peradilan islam

4
BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian dan Dasar Hukum jinayat

Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata
َ ‫) َجنَى الذَ ْن‬, yang berarti
“jinayah”, yang berasal dari “ (‫ب – َيجْ نِ ْي ِه ِجنَايَة‬
melakukan dosa.

Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau
jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau
tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata
jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan
jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.

Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti


yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lainnya.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu


kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas
pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat
berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian,
pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan
perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada
umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan
perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi
istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman
hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir.
Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu
larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau
ta’zir.

Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang


berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai
dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan
hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hukum pidana dalam syari’at Islam adalah ketentuan-
ketentuan hukum syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat

5
sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan
hukuman berupa penderitaan badan atau harta.

Dengan kata lain jinayat atau jarimah adalah tindak pidana dalam ajaran
Islam, yaitu bentuk-bentuk perbuatan jahat yang berkaitan dengan jiwa
manusia atau anggota tubuh (pembunuhan dan perlukaan).

Jinayah dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu:


1. Jaraimul Qishash, adalah kejahatan yang dapat dikenai hukuman
qishash atau diyat. Qishash artinya balasan yang sepadan, yaitu hukuman
yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukannya
kepada korban. Misalnya hukuman bagi pembunuh diqishash dengan cara
dibunuh, hukuman bagi pelaku yang melukai yang menyebabkan orang
lain cacat diqishash seperti perbuatannya (misalnya : qishash mata dengan
mata, tangan dengan tangan, dan seterusnya.
Qishash diatur dalam Al Quran antara lain:
QS. Al Baqarah, 2:178
“Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksaan yang pedih”.
QS. Al Maidah, 5:45
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
(pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya,
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim ”.
Sedangkan Diyat adalah ganti rugi akibat dari suatu perbuatan pidana
(jinayat). Misalnya, orang yang membunuh dengan tidak sengaja dihukum
dengan diyat berupa memerdekakan hamba sahaya dan membayar 100
ekor unta kepada keluarga korban.
Diyat diatur dalam Al Quran yaitu:

6
“………….. dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
….
(An-Nisa, 4:92)
2. Jaraimul Had, adalah kejahatan yang dikenai had atau hudud.
3. Jaraimul Takzir, adalah kejahatan yang dapat dikenai takzir. Jenis dan
hukumannya sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa
(keputusan hakim) demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapannya
prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan
umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan
(bahaya), serta penegakannya harus sesuai dengan prinsip syar’i. Misalnya
takzir atas maksiat, kemaslahatan umum, pelanggaran terhadap lingkungan
hidup, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.

7
b. Macam-macam Jinayat (Tindak Pidana)

Jinayat (tindak pidana) terbagi dalam dua macam yaitu:

1. Tindak pidana yang dapat dikenai Qishash atau Diyat (Jarimah


Qishash/ Jaraimul Qishash)

Tindak pidana yang termasuk dalam jinayat dan dapat dikenai qishash atau
diyat adalah pembunuhan. Definisi pembunuhan adalah perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain.

Pembunuhan pada asalnya terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. Pembunuhan yang diharamkan, seperti pembunuhan karena


permusuhan.

2. Pembunuhan yang hak atau diperbolehkan, seperti pembunuhan dalam


perang, atau pembunuhan terhadap orang murtad yang diperkenankan
hukum.

Pembunuhan yang termasuk tindak pidana ada 3 (tiga) macam, yaitu:

1. Pembunuhan dengan sengaja.

Pembunuhan yang disengaja adalah pembunuhan yang diniatkan atau


direncanakan dengan menggunakan alat atau cara yang dapat
menyebabkan orang lain terbunuh. Pembunuhan yang disengaja
merupakan perbuatan yang diharamkan dan pelakunya memikul dosa besar
(kabair), sebagaimana firman Allah:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah


(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dna
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.”

(QS. Al-Israa:33)

Hukuman bagi pelakunya adalah setinggi-tingginya diqishash yaitu


dibunuh. Namun apabuila keluarga (ahli waris) korban memaafkan,
pembunuh diharuskan membayar diyat senilai 100 (seratus) ekor unta
secara tunai, sebagaimana sabda Nabi:

8
“Barangsiapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan
kepada keluarga terbunuh. Apabila mereka menghendaki, maka
membunuhnya, dan apabila mereka menghendaki ambillah diyat, yaitu
tigapuluh ekor unta hiqqah, tigapukuh ekor unta jadzaah, dan empatpuluh
ekor unta khalafah. Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris).
Demikian itu untuk menakutkan terhadap pembunuhan.

(HR. Tirmidzi)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Pembunuhan dengan


sengaja, berhubungan dengan tiga hak, yaitu:

1. Hak Allah, dan ini akan terhapus dengan tobat.

2. Hak auliya` al-maqtul, dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada
mereka.

3. Hak al-maqtul (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan
hilang. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat)
atau Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keutamaan dan kemurahan-
Nya akan menanggungnya? Yang benar adalah, Allah dengan
keutamaannya akan bertanggung jawab, apabila si pembunuh tersebut
jelas kebenaran dan kejujuran tobatnya.”

Pendapat ini pun dikuatkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam penuturan


beliau, “Yang benar adalah, bahwa pembunuhan berhubungan dengan
tiga hak: hal Allah, hak korban (al-maqtul), serta hak keluarga dan
kerabat korban (auliya` al-maqtul)”

Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan


menyesalinya dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha,
maka hak Allah Subhanahu wa Ta’ala gugur dengan tobat si pembunuh,
dan hak auliya` al-maqtul gugur dengan menunaikan qisas secara
sempurna, dengan jalan perdamaian, atau dimaafkan.

Akan tetapi, masih tersisa hak korban. Allah yang akan menggantinya di
hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah pun memperbaiki
hubungan keduanya.

Hukuman qishash bagi pelaku kejahatan pembunuhan merupakan


hukuman yang layak dijatuhkan kepada pelaku. Nyawa manusia adalah
milik Allah dan pemeliharaan terhadap nyawa adalah kewajiban manusia.

9
Hukum qishash adalah alat untuk melindungi nyawa manusia dari
kematian yang tidak dikehendaki-Nya, sebagaimana firman Allah:

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kmu bertakwa”.

(QS. Al Baqarah, 2:179)

Qishash diberlakukan agar peristiwa pembunuhan tidak terjadi, sehingga


kelangsungan hidup akan terjamin dan terlindungi.

2. Pembunuhan tidak sengaja;

Pembunuhan tidak sengaja adalah pembunuhan yang tidak dimaksudkan


untuk membunuh, karena salah sasaran, atau ketidaktahuan pelaku
sehingga secara tidak sengaja menghilangkan nyawa orang lain.

Pelaku pembunuhan ini tidak dikenakan qishash, melainkan diwajibkan


membayar diyat dengan cara memerdekakan hamba sahaya dan memberi
100 (seratus) ekor unta kepada keluarga atau ahli waris korban,
sebagaimana firman Allah:

“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah,


hendaklan ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang iserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)”

(QS. An-Nisa:92)

Diyat yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan dalam sabda Rasul:

“Sesungguhnya diyatnya pembunuhan jiwa adalah 100 ekor unta”.

(HR. Abu Daud, Nasai dan Ibn Huzaimah)

3. Pembunuhan seperti sengaja.

Pembunuhan seperti sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan tidak


sengaja dan tidak menggunakan alat dan cara yang dapat membunuh, dan
yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuh. Misalnya
seseorang memukul dengan lidi dan yang dipukul ternyata mati. Pelaku
pembunuhan ini tidak dihukum qishash, tetapi harus membayar diyat.

10
2. Keadilan dalam melaksanakan Had.

Tindak pidana yang dapat dikenai Had adalah:

1) Zina, homoseksual, lesbianisme, dan bestiality.

Berzina termasuk dosa besar dan harus dihukum sesuai dengan ketentuan
hukum (Had). Ada 2 (dua) macam kategora berzina, yaitu zina yang
dilakukan oleh orang yang pernah menikah dan oleh orang yang belum
menikah.

Pelaku zina yang pernah menikah apabila terbukti dikenai hukuman


setinggi-tingginya rajam. Sedangakan bagi pelaku zina yang belum pernah
menikah hukumannya dipukul (jilid) 100 (seratus) kali pukulan dan
diasingkan selama 1 (satu) tahun.

Firman Allah:

“Perempuan yang berzina dan laik-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepda keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kmu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan sekumpulan dari orang-orang
yang beriman”

(QS. An-Nur, 24:2)

Hukuman berat bagi pelaku perzinahan dan pelaksanaanya disaksikan


orang banyak, mengandung arti hukuman itu merupakan upaya melindungi
masyarakat, memberi pelajaran kepada masyarakat agar membenci
perbuatan itu serta membuat orang menjadi takut bernuat kejahatan serupa.
Dengan demikian hukuman ini bersifat preventif dan berfungsi
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Hukum Islam lebih
berpihak pada ketenteraman orang banyak daripada memberi perlindungan
kepada para pelaku kejahatan.

Homoseksual adalah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis


yaitu laki-laki dengan laiki-laki. Apablia yang melakukannya perempuan
dengan sesama perempuan disebut lesbianisme. Hukuman bagi pelaku
homoseksual dan lesbianisme dikategorikan sama denga melakukan zina,
karena itu jika dapat dibuktikan di pengadilan dapat diancama hukuman
seperti halnya pelaku zina.

11
Sabda Nabi:

“Kalau laki-laki bersenggama dengan laki-laki, keduanya adalah pezina”

Demikian pula melakukan hubungan seksual dengan binatang (bestiality)


termasuk perbuatan zina dan dikenai hukuman sebagaimana orang berzina.

Islam sangat tegas dalam menghukum para pelaku perzinahan, karena


dampaknya besar sekali terhadap tatanan kehidupan masyarakat, bahkan
menjadi sumber penyakit yang dapat menghancurkan peradaban, seperti
penyakit AIDS yang mampu membunuh jutaan orang pada waktu yang
relatif singkat.

2) Menuduh zina (Qadzaf)

Menduduh berzina kepada orang lain apabila tuduhannya itu tidak bisa
dibuktikan, maka penuduh dapat dikenai hukuman 80 (delapan puluh) kali
pukulan.

Firman Allah:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat


zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian meeka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-
orang yang fasik”.

(QS. An-Nur, 24;2)

3) Mabuk.

Khamr adalah minuman yang diharamkan, orang yang meminumnya


berdosa. Minum khamr disamping berdosa yang hukumannya ditentukan
di akhirat, juga dalam masyarakat muslim dipandang kejahatan yang patut
dihukum. Hukuman yang diberikan adalah hukuman jilid 40 sampai 80
kai.

Hukuman berat bagi para peminum khamr dan pemabuk dimaksudkan


untuk membuat jera dan tidak mengulanginya. Permabukan dapat merusak
sistem syaraf sehingga pelakunya dapat lepas dari kontrol kesadarannya,
sehingga dengan mudah dan ringan mereka dapat melakukan kejahatan
lainnya seperti pencurian, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, dan
lain-lain.

12
Selain menghukum berat para peminum khamr dan pemabuk, Islam juga
mengharamkan pula penjualan minuman-minuman yang memabukkan.

4) Mencuri.

Pencurian adalah mengambil barang milik orang lain tanpa izin


pemiliknya secara sembunyi untuk dimilikinya. Hukuman bagi pelaku
pencurian apabila dapat dibuktikan di pengadailan adalah potong tangan,
sebagaimana firman Allah:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan


keduanya ……”.

(QS. Al- Maidah:38)

Islam menjamin hak kepemilikan dan hukum wajib memberikan


perlindungan serta keamanan. Oleh sebab it hukuman berat bagi pencurian
merupakan upaya pemeliharaan dan perlindungan terhadap hak
kepemilikan barang oleh individu maupun masyarakat.

13
c. Peradilan

Peradilan dalam islam yaitu Penerapan hukum atas tindak pidana


sebagaimana disebutkan di atas dilakukan melalu proses peradilan yang
menyidangkan perkara-perkara. Dalam sejarah Islam, orang yang pertama
memegang peradilan (hakim) adalah Rasulullah sendiri, selanjutnya sesuai
dengan kebutuhan umat Islam yang berkembang terus menerus.

Hakim dipandang sebagai sebagai mujtahid, Islam memberikan nilai-nilai


dasar yang harus dipegang oleh seorang hakim dalam memutuskan
perkara. Seorang hakim dengan kekuasaannya dapat menjatuhkan
hukuman kepada seseorang, oleh sebab itu hakim dituntut bertindak adil
dalam memutuskan perkara.

Sabda Nabi:

“Aku telah mendengar Rasulullah bersabda : Janganlah sekali-sekali


seorang hakim mengadili urusan antara dua orang, sedang dia dalam
keadaan marah”.

(HR. Jamaah)

Suatu perkara dapat digelar apabila ada dakwaan yang memenuhi


ketentuan. Dakwaan adalah sesuatu yang menghubungkan kepada diri
sendiri atas sesuatu yang ada pada orang lain atau dalam tanggungan orang
lain. Dakwaan diakui apabila dikuatkan dengan ikrar (pengakuan),
kesaksian, sumpah, atau dengan dokumen yang sah.

Ikrar adalah pengakuan terhadap apa yang didakwakan dan ini merupakan
dalil yang paling kuat untuk menetapkan dakwaan.

Sedangkan kesaksian adalah pemberitahuan seseorang tentang sesuatu


yang dia ketahui. Kesaksian dapat berupa pengetahuan melalui penglihatan
atau pendengaran. Kesaksian hukumnya menjadi fardu ain apabila
seseorang dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang.

Firman Allah:

“Janganlah kmu sembunyikan persaksian, dan barangsiapa yang


menyembunyikannya, maka dia adalah orang yang berdosa hatinya”.

14
(QS. Al Baqarah, 2:283)

Kesaksian itu harus oleh 2 (dua) orang laki-laki, kecuali untuk kesaksian
pada pidana zina atau tuduhan zina, saksinya harus 4 (empat) orang laki-
laki, sebagaimana firman Allah:

“Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, maka


datangkanlah empat orang di antara kamu untuk menjadi saksi”.

(QS. An-Nisa, 4:15)

Dan firman-Nya:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat


zina, dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi……..”.

(QS. An-Nur, 24:4)

Sumpah dalam hukum Islam dapat dijadikan bahan penetapan dakwaan


yang berkaitan dengan harta benda (perdata). Sedangkan untuk pidana,
sumpah tidak diterima sebagai alat pembuktian.

Dalam menetapkan hukum pidana, peradilan Islam sangat hati-hati.


Kesalahan dalam penetapan hukum dapat berakibat kerugian (untuk
hukuman diyat) dan kecacatan (untuk hukuman potong tangan) dan
bahkan kematian seseorang (untuk hukuman rajam atau qishash).

Pelaksanaan hukuman dilakukan dengan segera setelah pengadilan


menetapkan hukuman bagi para pelaku. Ketentuan pelaksanaan hukuman
dilaksanakan secara terbuka dan disaksikan orang banyak setelah selesai
sholat Jumat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bagi seluruh
masyarakat tentang hukumana bagi para pelaku kejahatan. Dengan
demikian, tidak ada lagi orang yang mencoba meniru atau mengulangi
perbuatan jahat.

Hukuman yang berat tidak dimaksudkan sebagai balas dendam kepada


para pelaku kejahatan, melainkan untuk menjaga agar kehidupan
masyarakat aman dan tenteram. Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan
hukuman diumumkan kepada masyarakat agar peristiwa itu berkesan pada
setiap orang dan berdampak pada pendidikan masyarakatnya. Setiap orang

15
yang akan melakukan kejahatan akan berpikir kembali karena takut akan
hukuman yang berat itu. Hukuman mati (qishash) bukanlah hukuman yang
tanpa perikemanusiaan, justru merupakan hukuman yang melindungi hak-
hak asasi manusia, karena para pelaku kejahatan telah menginjak-injak
nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan mulia.

d. Pelaksanaan Hukum Atau Eksekusi

Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelesaikan dan


memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk
menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui
tegaknya hukum. Peradilan Islam bertujuan pokok untuk menciptakan
kemaslahatan umat dengan tegaknya hukum Islam. Untuk terwujudnya hal
tersebut di atas, peradilan Islam mempunyai tugas pokok yaitu :
a) Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b) Menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan
yang melanggar hukum.
c) Terciptanya amar ma’ruf nahi munkar.
d) Dapat melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat.
e) Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya hukum
Islam.

16
e. Hikmah Peradilan Islam

Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas,


maka dengan adanya peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar
bagi kehidupan umat, yaitu:

1. Peradilan dapat mewujudkan masyarakat yang bersih. Hal ini sesuai


dengan hadits Rasulullah Saw: Dari Jabir berkata, Saya mendengar
Rasulullah Saw bersabda: ”Bagaimana suatu umat (dinilai) bersih, bila
hak orang lemah tidak bisa di tuntut dari mereka yang kuat”. (HR. Ibnu
Ḥibban)
2. Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya setiap hak – hak
orang dihargai dan tidak dianiaya.
3. Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
4. Terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
5. Dengan masyarakat yang bersih, pemerintah yang bersih dan
berwibawa serta tegaknya peradilan maka akan terwujud ketentraman,
kedamaian dan keamanan dalam masyarakat. Demikianlah sahabat
bacaan madani ulasan tentang pengertian peradilan, fungsi peradilan
dan hikmah peradilan. Semoga dengan adanya peradilan bisa
mewujudkan masyarakat yang bersih serta terwujudnya keadilan.
Aamiin. Sumber Buku Fiqih-Usul Fiqih Kelas XI Kementerian Agama
Republik Indonesia.

17
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

1. Jinayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan


nyawa orang jinayat terhadap jiwa terbagi menjadi tiga:
a) pembunuhan sengaja.
b) pembunuhan semi sengaja.
c) bembunuhan tidak sengaja.
2. Jinayat terbagi menjadi 3 aspek yaitu :
a) Jaraimul Qishash
b) Jaraimul Had
c) Jaraimul Takzir
3. Macam-macam Jinayat Yaitu :
a) Tindak pidana yang dapat dikenai Qishash atau Diyat (Jarimah
Qishash/ Jaraimul Qishash)
b) Keadilan dalam melaksanakan Had
4. Dalam sejarah Islam, orang yang pertama memegang peradilan
(hakim) adalah Rasulullah sendiri, selanjutnya sesuai dengan
kebutuhan umat Islam yang berkembang terus menerus
5. Peradilan Islam bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan
umat dengan tegaknya hukum Islam
6. Hikmah peradilan islam
a) Peradilan dapat mewujudkan masyarakat yang bersih.
b) Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat.
c) Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
d) Terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
e) terwujudnya ketentraman, kedamaian dan keamanan dalam
masyarakat.

18
D. Daftar Pustaka

o Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Bandung: CV SINAR BARU


o Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul
Ahyar. Jakarta: Al Haramain
o Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam. Jakarta: Darus Sunnah
o http// www.jinayat.com
o http//blogspot.tindak pidana atau jinayat.com
o https://www.bacaanmadani.com/2017/08/pengertian-peradilan-fungsi-dan-
hikmah.html
o https://gunawansriguntoro.wordpress.com/2011/12/20/jinayat-tindak-
pidana-dan-peradilan-dalam-islam/
o https://almanhaj.or.id/2527-fikih-jinayat.html

19

Anda mungkin juga menyukai