Anda di halaman 1dari 6

Sistem sanksi Islam (Materi Ibu Nisa)

Pencurian = Mencuri ad. Mengambil harta dari pemiliknya atau wakilnya dengan cara
sembunyi-sembunyi. Pencurian wajib dikenai had potong tangan..

Syarat diberlakukannya potong tangan ada 7 yaitu:

 Pertama, perbuatannya termasuk dlm definisi pencurian.

jadi jika org merampas, menjambret, merampok atau mengkhianati, maka org tsb bukan sebg
pencuri dan tdk dikenai had potong tangan. Imam abu Dawud meriwayatkan dari Jabir “ Bagi
penipu, perampok dan perampas tidak dipotong tangannya”.

 Kedua harta yg dicuri mencapai nishab. Sebagian ulama menetapkan potong tangan, baik
harta yg dicuri sedikit ataupun banyak, mereka berdalil pd keumuman hadits “Pencuri
laki2 dan pencuri perempuan potonglah tapngan keduanya” (Al Maidah (5) : 38).

 Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda “ Allah Melaknat
pencuri, (orang) yg mencuri tali, tangannya dipotong, org yg mencuri telur tangannya
dipotong.

 Akan tetapi berdasarkan nash lain yg menunjukan wajibnya memenuhi nishab

 yaitu dari Aisyah r.a “ Rasulullah saw memotong tangan pencuri pd pencurian ¼
dinar atau lebih”. Kemudian dari Amirul mukminan Ali ra “ Sesungguhnya
Rasulullah memotong tangan pencuri yg mencuri baydlah (topi/helm) dari besi yg
nilainya ¼ dinar”. Nishab potong tangan sebesar ¼ dinar emas atau lebih setara dg
1,0625 gram emas. Sebab 1 dinar emas syar’iy setara dg 4,25 gram emas.

 Imam Bukhari meriwayatkan dari Hisyam dari bapaknya ia berkata” Aisyah telah
memberitahuku bahwa pd masa Rasulullah saw tangan pencuri tdk dipotong kecuali
senilai dg perisai/tameng”.

 Oleh karena itu, nishab harus ditetapkan dg emas yg dijadikan standar untuk
penetapan had-nya. ¼ dinar pd masa Rasulullah setara dg 3 dirham, sementara 1
dirham setara dg 2,985 gram perak, dan standar satu dinar emas setara dg 12 dirham
perak, saat ini nilai 1 dirham emas naik setara menjadi 20 dirham perak. Dengan
demikian ¼ dinar emas setera dg 15 dirham perak.

 Diriwayatkan Ibnu Majjah” Diceritakan kpd Utsman bin Affan ttg seorg pencuri yg
mencuri jeruk yg nilainya 3 dirham, apalagi dihitung setara dg 12 dinar, pencuri itu
dipotong tangannya”.

 Semua itu menunjukkan bahwa 1 nishab sama dg ¼ dinar. Kadar ini bisa
dikonversikan ke dlm perak, atau uang kertas.
 Ketiga, harta yg dicuri berupa harta yg diijinkan oleh Syar’i (Hukum) untuk dimiliki.
(maksudnya harta yd dicuri harus berupa harta yg terjaga, harta yg diijinkan oleh syar’I
untuk dimiliki)

 Keempat, ia mencuri dan mengeluarkan dari tempat penyimpanan.

 Kelima, harta yg dicuri bukan harta yang syubhat ditinjau dari sisi bahwa seseorang
memiliki hak terhadap barang tersebut, atau ia berhak mengambil barang tersebut. (oleh
karena itu pencuri tidak akan dikenakan had potong tangan apabila mencuri harta
bapaknya atau harta anaknya).

 Keenam,pencurinya telah baligh, berakal, dan terikat dengan hukum-hukum Islam, baik
muslim maupun ahlu dzimmiy.

 Ketujuh, ditetapkan berdasarkan pengakuan pencuri, atau dg saksi yg adil.

Pencuri yg tidak dikenai potong tangan

 Tidak ada potong tangan bagi pencuri yang mencuri biji-bijian yang masih ada diladang,
kebun atau binatang di padang gembalaan. Berdasarkan hadits:

“Tidak ada potong tangan dalam pencurian Tsamr dan Katsar”( HR Rafi’I bin Khudaj ra) At
tsamr adalah sebuatan bagi buah kurma yg masih menggantung di pohon. Sedangkan al-
katsar adalah kurma muda yg dicuri agar ia masak matang di tempat lain.

 Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda “ Jika kambing itu dicuri ditempat
gembalaannya, maka harus diganti harganya sebagai hukuman (baginya)”

 Apabila diambil dari tempat penyimpanannya. Maka dikenai had potong tangan
berdasarkan hadits ( Sedangkan yg diambil dari kandangnya (dalam hal ini) di potong
tangannya.

 Tidak dipotong tangan terhadap terhadap makanan yang disiapkan untuk disantap
pemilik rumah, atau disiapkan untuk dijual. “Dari Hasan ra Rasulullah saw bersabda “
Tidak ada potong tangan dalam pencurian makanan yang disiapkan utk disantap”.

 Tidak di potong tangan pada masa paceklik, yaitu terjadi kemarau panjang (atau
kelaparan) “ Makhul ra bahwa Nabi saw bersabda ( tidak ada potong tangan dalam (masa)
kelaparan).

Batas Tangan Yang di Potong

 “Pencuri laki2 dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya” ayat ini dg tegas
menjelaskan kewajiban potong tangan. Sedangkan penafsiran atas kata (aidiyahuma)
harus dikembalikan kpd makna bahasa. Menurut bahasa jika disebut dg kata yad (tangan),
adalah dari telapak tangan sampai ujung jari-jari, dan dari telapak tangan sampai akhir
telapak tangan, jadi yg dimaksud adalah sampai pergelangan tangan, dan tidak disebutkan
makna lain. Allah berfirman tentang wudhu: dan tanganmu sampai dengan siku. (Al
Maidah (5):6) .

 Diriwayatkan Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar ra. Keduanya berkata “jika seorg
pencuri mencuri, maka potonglah pergelangan tangan keduanya”. Para sahabat tdk
ada yg menentangnya. Tentang tangan kanan atau tangan kiri maka dari Mas’ud
menyatakan “Potonglah tangan kanan (keduanya)”. Maka yg dimaksud potong
tangan adalah tangan kanan.

 Memotong tangan pencuri dengan cara yg lebih mudah karena yg dituju untuk
menjatuhkan sanksi saja.

Pengecualian pelaksanaan Hukuman Potong Tangan

 Jika tdk memiliki tangan maka gugurlah hukuman potog tangan tersebut. Dapat diganti
dengan hukuman penjara (termasuk ta’zir).

 Apabila dipotong tangannya dapat menyebabkan dia binasa maka tdk dapat dilaksanakan.

 Hukuman potong tangan tdk dapat dilaksanakan kepada wanita yg sedang hamil/bersalin.

 Hukuman potong tangan tidak dapat dilaksanakan kepada org yg sakit, ditunggu sampai
ia sembuh. Supaya tdk membahayakan dirinya.
Exemptions From liability (Materi Ibu Tiya)

Penghapusan Pidana Aturan mengenai penghapusan pidana dalam sistem hukum common In
secara umum dikenakan jika telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Seseorang yang
telah dituduh melakukan tindak pidana dalam sistem hukum common law dapat mengajukan
alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan pembelaan dapat bersifat umum
yang disebut dengan general de fences, yang artinya dapat diajukan mengenai kejahatan atau
tindak pidana pada umumnya dan dapat pula yang bersifat khusus yang disebut sebagai
special defences artinya yang hanya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana
tertentu. Dalam sistem hukum pidana common law, alasan yang dapat diajukan dalam
pembelaan dan penghapusan pidana yang termasuk dalam general defences meliputi beberapa
hal berikut:

1. mistake (kesesatan);
2. compulsion (paksaan);
3. intorication (keracunan atau mabuk alkohol),
4. automatism (gerak refleks);
5. insanity (kegilaan atau ketidakwarasan),;
6. infancy (anak di bawah umur);
7. consent of the victim (persetujuan korban)

1. Mistake atau kesesatan, yaitu beberapa kondisi atau syarat yang dibenarkan dalam
pembelaan, yaitu sebagai berikut.
a. Kesesatan harus harus memiliki alasan yang kuat dan dapat dibuktikan, dengan sedemikian
rupa sehingga fakta-fakta sebagaimana yang diyakini oleh terdakwa menyebabkan tidak
adanya actusreus atau mens-rea yang disyaratkan untuk adanya tindak pidana.
b. Kesesatan yang diajukan harus beralasan dan dapat dibuktikan (reasonable).
c. Kesesatan harus mengenai fakta, bukan mengenai hukumnya
2. Compulsion atau adanya tekanan atau paksaan dalam pengajuan alasan penghapusan pidana
terdiri atas empat macam.

a. Dures per minas (by threats atau dengan paksaan). Alasan pembelaan ini didasarkan pada
adanya dalih bahwa seseorang tidak mempunyai kebebasan kehendak dalam melakukan
perbuatan pidana tersebut karena hal itu terjadi akibat dari adanya ancaman dari orang lain.
Hal ini mirip dengan daya paksa (overmacht) yang disebutkan dalam KUHP Indonesia.

b. Necessity (keadaan terpaksa), yaitu dalam hal jika seseorang menghadapi pilihan untuk
melakukan suatu kejahatan atau membiarkan berlangsungnya kemalangan yang lebih besar
sehingga lebih memilih untuk melakukan tindak pidana tersebut atau kejahatan tersebut.
Untuk dapat dikatakan adanya necessity, perbuatan orang tersebut harus berupa:

1) kejahatan atau kemalangan yang lebih kecil (a lesser evil) daripada kemalangan yang ingin
dihindarkan dengan melakukan perbuatan atau kejahatan itu;
2) kemalangan yang lebih bear tidak mungkin dihindari slain dengan perbuatan tersebut.
c. Obedience to orders, yaitu alasan pembelaan, apabila dengan adanya perintah alasan yang
menyebabkan adanya mistake offact yang artinya pelaku merasa yakin bahwa perbuatan yang
lakukan tidak melawan hukum dan keyakinannya itu cukup beralasan (reasonable).
d. Marital coercion, yaitu dalam hal apabila seorang istri melakukan suatu kejahatan dan
suaminya berada di tempat kejadian tersebut, berarti istri melakukan kejahatan tersebut atas
paksaan suami. Akan tetapi, anggapan dihapuskan oleh Criminal Justice Act 1925 Pasal 47
yang menyatakan bahwa "setiap anggapan hukum bahwa tindak pidana yang dilakukan
seorang istri di hadapan (dengan hadirnya) suaminya berarti dilakukan di bawah paksaan
suami, denganini dihapuskan, tetapi tuduhan terhadap istri untuk tindak pidana selain
pengkhianatan (treason) atau pembunuhan berencana (munder), hal demikian dapat menjadi
pembelaan untuk membuktikan bahwa tindak pidana itu dilakukan di hadapan dan di bawah
paksaan suami."

3. Intoxication (keracunan atau mabuk alkohol]). Pada dasarnya secara umum, intoxication
tidak menjadi alasan pembelaan, tetapi pada abad ke-19, sengaja memabukkan diri dipandang
sebagai faktor pemberat kesalahan, kecuali mabuk yang tidak disengaja (involuntary drun-
kenness). Contohnya, jika dipaksa atau ditipu untuk minum alkohol sehingga mengakibatkan
mabuk. Hal yang demikian dapat dijadikan alasan pembelaan. Akan tetapi, mabuk yang
disengaja dapat menjadi alasan pembelaan apabila memenuhi kriteria berikut:

a. kemabukan yang disengaja yang mengakibatkan seseorang menjadi terganggu jiwanya atau
menjadi gila (insanity) akibat kemabukan tersebut;
b. meniadakan dalam sett p kesengajaan atau dalam bentuk lain mart mens-red yang
disyaratkan untuk kejahatan yang dituduhkan.
4. Automatism (gerak refleks) dalarn hal ini jika perbuatan yang timbul disebabkan keadaan
automatism dengan ketidaksengajaan sehingga tidak dapat dipidana.
5. Insanity atau kegilaan atau ketidakwarasan yang dalam hukum pidana memiliki arti sangat
khusus yang berbeda dengan pengertian dalam medis. Ketidakwarasan dalam hukum pidana
mengenai pertanggungjawa bannya dalam hal pidana ditentukan berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan dalam M'naghten Rules. Akan tetapi, ketentuan Rules merupakan Legal
Criteria yang dipakai sebagai pertimbangan jika insanity diajukan sebagai alasan pembelaan,
yaitu sebagai berikut.

a. Presumption of sanity, yaitu pada awalnya di hadapan hukum setiap orang dianggap
normal dan dapat bertanggung jawab atas perbuatan kejahatannya, kecuali dapat dibuktikan
bahwa terdakwa gila atau terdapat gangguan jiwa pada saat melakukan kejahatan tersebut.
b. Defect of reason, yaitu untuk menetapkan pembelaan dengan berdasarkan insanity harus
dapat dibuktikan dengan jelas, yaitu pada saat melakukan kejahatan, terdakwa benar-benar
berada dalam keadaan a defect of reason (adanya akal yang rusak) sehingga karena penyakit
jiwa yang dideritanya tersebut, tidak dapat mengetahui kebenaran dan hakikat dari
perbuatannya. Jika ia tahu pun, ia tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa
perbuatannya adalah salah dan termasuk kejahatan.
c. Insane delusion, yaitu sifat halusinasi dalam arti apabila seseorang melakukan
berdasarkan keadaan khayalan (delusi atau waham) mengenai suatu fakta, kemudian ia
melakukan kejahatan atau tindak pidana tersebut.
6. Infancy (anak di bawah umur), dalam hukum pidana dikenal dengan batas usia dalam
pertanggungjawaban pidana (the age of responsibility). Termasuk juga dalam sistem hukum
pidana Inggris, tetapi beberapa aturan usia tersebut, yaitu:
a. di bawah usia 10 tahun, adanya anggapan bahwa anak di bawah usia 10 tahun dianggap
tidak mampu melakukan kejahatan (incapable of crime atau doli incapax) sehingga tidak
dapat dinyatakan bersalah atau dapat dipidana dalam hukum pidana Inggris;
b. umur 10 tahun;
c. di atas umur 14 tahun, kelompok usia ini sepenuhnya dipandang bertanggung jawab atas
perbuatan atau kejahatan yang dilakukannya.
7. Consent of the victim (persetujuan korban), dalam consent yang bisa diajukan dalam
pembelaan harus berdasarkan empat syarat, yaitu:

a. orang yang dapat memberikan persetujuan adalah orang yang mampu untuk memberikan
persetujuannya;
b. tindak pidana yang dilakukan harus merupakan jenis tindak pidana yang persetujuannya
dapat diberikan yang merupakan consentable crime;
c. persetujuan tidak bisa diberikan karena penipuan atau d. ancaman;
e. persetujuan harus diberikan oleh orang yang memiliki kewenangan untuk menyetujuinya
(Barda Nawawi Arief, 2014: 83).

Berbeda dengan penghapusan pidana yang terdapat dalam sistem hukum civil law, dalam
sistem hukum pidana civil law terdapat pengurangan atau penghapusan pidana (criminal
defenses). Misalnya, dalam hukum pidana Belanda yang menganut sistem hukum civil law
dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan seseorang bukan merupakan suatu tindak pidana
dinamakan dengan rechoaardigingsgronden. Jika perbuatan tersebut dinyatakan bukan
merupakan tindak pidana dalam suatu undang-undang, perbuatan tersebut dapat dihapuskan
dan tidak dapat dikenai tau dijatuhi pidana. Dalam hal ini berlaku asas legalitas.

Anda mungkin juga menyukai