Anda di halaman 1dari 18

A.

Penjelasan dan Contoh 40 Kaidah Usul Fiqih


Berikut adalah 40 Kaidah dari usul fiqih.
1. Kaidah pertama
‫التجتهاد ل ينقدبالتجتهاد‬
“Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad”
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena
adanya ijtihad yang kemudian, sehingga sahlah semua
perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hokum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini
adalah karena :
a. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua
tidak lebih kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad
pertama.
b. Apabila suatu ketetapan hokum hasil ijihad dapat
dibnatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, akan
mengakibatkan tidak adanya kepastian hokum. Dan
tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan
kesulitan dan kekacauan besar.
Berdasarkan kaidah ini, maka pabila suatu pengadilan
telah memutuskan hokum terhadap suatu peristiwa ,
kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama,
pengadilan tersebut memutuskan hokum yang lai, maka
hasil keputusan yang baru tidak merubah keputusan
terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.
Contoh :
 Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil
keputusan dengan menjatuhkan hukuman penjara 10
tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dlam
peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan
menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka
dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak
keputusan ynag terdahulu, artinya pelaku yang pertama
tetap dihukum 10 tahun, dan pelaku yang kedua tetap
dihukum kurang dari 10 tahun.
 Seorang Solat dengan menghadap suatu arah yang
dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk Solat
berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia
harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan
tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.
 Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya
salah satu dari bejana kemudian mengunakannya dan
meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya,
maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang
kedua, tetapi harustayamum.
Catatan :
Rusak keputusan ijtihad seorang hakim
apabilaberlawanan dengan nash atau ijma’ atau qiyas jaly,
atau menurut Al-Iraqy, berlawana dengan kaidah-kaidah
yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya
tidak berdasarkan suatu dalil.

2. Kaidah Kedua
‫م‬ ‫ب ال ل ر‬
‫حررا م‬ ‫م غ رل ر ر‬ ‫ل روال ل ر‬
‫حررا م‬ ‫حرل م‬
‫معر اال ل ر‬
‫تجت ر ر‬ ‫اا ر‬
‫ذاا ل‬
“Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram,
dimenangkan yang haram”.

Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu


hadist :
‫ل‬
‫ض ا‬ ‫وال ل ر‬
‫ف ل‬ ‫ظ ا رب م ل‬
‫حافا م‬ ‫م رقا ر‬
‫ل ال ر‬ ‫ب ال ل ر‬
‫حررا م‬ ‫م ا اللغ رل ر ر‬ ‫ل روال ل ر‬
‫حررا م‬ ‫حرل م‬
‫معر ع رل ري لها ال ل ر‬
‫تجت ر ر‬
‫مااا ل‬
‫ر‬
‫ل لر م‬
‫ه‬ ‫ص ر‬‫ رلا ر ل‬: ‫االرعررااق ى‬
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka
dimenangkan yang haram”.
Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi
kaidahnya sendiri adalah benar sesuai perintah agama,
yaitu untuk selalu berhat-hati, yakni upaya preventif
sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.
Demikian pula apabil dua dalil bertentangan yang satu
mengharamkan, dan yang lain menghalalkan, maka di
dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya
tentang uumnya mengumpulkan dua orang wanita
bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang
keadaanya menurut ayat An-Nisa :
‫ن‬ ‫ن الل م ل‬
‫خت رى رى ل ا‬ ‫وا ب رى ل ر‬
‫مرعم ل‬
‫ج ر‬ ‫ورا ر ل‬
‫ن تر ل‬
“Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan
dua orang wanita bersaudara.”(hal 51-52)
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
‫ما فرولقر الل ا رزارا‬
‫ض ر‬ ‫ن ال ل ر‬
‫حائ ا ا‬ ‫م ر‬ ‫ل ر ر‬.
‫ك ا‬
“bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang
sdang haid pada segala yang berada di atas kainpinggang”.
Dengan Hadis:
‫ح‬ ‫ ىٍءء ا ال ل االن ن ر‬
‫كا ا‬ ‫ش ل‬ ‫وا ك م ل‬
‫ل ر‬ ‫صن ررعم ل‬
‫اا ل‬
“perbutlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang
haid) kecuali persetubuhan”.
Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum
haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu antara pusar
dan lutut.
Sedangkan hadits yang kedua memblehkan berbuat
segala seuat terhadap istri yang sedang haid, kecuali
bersetubuh.
‫م ال ل ر‬
‫ما ن اعم‬ ‫ ى قمد ن ر‬
‫ض ل‬ ‫ما ن اعم رواللم ر‬
‫قت ر ا‬ ‫ض ال ر‬ ‫اا ر‬
‫ذات رررعا رر ر‬
“Apabla berlawanan antara yang mencegah dan yang
mengharuskan, didahulukan yang mencegah”.
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka
yang lebih sah ia tidak dimandikan. Bahkan apabila
waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan
mandi, haram memandikannya.(hal 53)

3. Kaidah keiga
‫ب‬‫حب مول ب‬
‫م ل‬
‫ها ر‬ ‫مك لمروله ب ور ب‬
‫هواف ى غ ري لرا ر‬ ‫ب ر‬ ‫الل اى لرثامرابال ل م‬
‫قلر ا‬
“Mengutamakanorang lain dalam uruan ibadah adalah
makruh, dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :
‫ت‬ ‫ست رب اقم ال ل ر‬
‫خي لررا ا‬ ‫رفا ل‬.
“berlomba-lombalah kamu sekalian didalam
kebajikan.”(hal 55)

4. Kaidah keempat
‫راللتاب اعم رتاب اعب‬
“Pengikut tu adalah mengikuti”
Artinya adalah sesuatu yang mengikuti kepada yang lain
maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
‫فراد مابال ل م‬
‫حك لم ا‬ ‫ا رلتاب اعم رلي ر ل‬
“Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti”
berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak
yang ada didalam kandungannya termasuk kedalam akad
itu.
‫ط ال ل ر‬
‫مت لب مولاع‬ ‫قو ل ا‬
‫س م‬ ‫ساقا ب‬
‫ط با م‬ ‫ا رلتاب اعم ر‬
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti”
Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula
huum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu,
karena itu tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib,
kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya
shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
‫ل‬ ‫ط الل ر ل‬
‫ص م‬ ‫ق ر‬
‫س ر‬ ‫ق م‬
‫ط اا ر‬
‫ذا ر‬ ‫س م‬ ‫رال ر‬
‫فلرع م ي ر ل‬
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas
(dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila
dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula penaggungnya,
sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
‫م ع ررل ى ال ل ر‬
‫مت لب مولاع‬ ‫ا رلتاب اعم ل ري ر ر‬
‫قد ل م‬
“pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik
tempat berdirinya maupun gerakannya.
‫مارلي مغلت ر ر‬
‫فمراف ى غ ري لرا ر‬
‫ها‬ ‫واب ااع ر‬
‫فمراف ى الت ل ر‬
‫ي مغلت ر ر‬
“dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak
dimafkan pada yang lainnya”.
Dengan kaidah yang di atas;
‫ها‬ ‫مارلي مغلت ر ر‬
‫فمرف ى غ ري لرا ر‬ ‫مننا ر‬
‫ض ل‬
‫يٍءء ا‬ ‫فمراف ى ر‬
‫ش ل‬ ‫ي مغلت ر ر‬
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang
lain,tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
‫ل‬‫فمراف ى الل رروائ ا ا‬
‫مارلي رغلت ر ا‬ ‫فمراف ى الث ل ر‬
‫واان ى ر‬ ‫ي مغلت ر ر‬
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi
yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi
sah rujuknya, karena adanta rujuk setelah adanya nikah.
(hal 57-60)

5. Kaidah kelima
‫صل ر ر‬
‫حةا‬ ‫م ل‬ ‫عي لةا من مول ب‬
‫ط ابال ر‬ ‫عل ى اللر ا‬
‫مام ا ر‬
‫ف ال ا ر‬
‫صلر م‬
‫تر ر‬
“tharruf (tindakan) imama terhadap rakyat harus
dihubungkan dngan kemaslahatan”.
Tindakan dan kebikalsanaan yang ditempuholeh
pemempin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan
umum bukan untuk golongan ayau diri sendii. Penguasa
adalah engayom dan pengemban kesengsaraan umat.
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Syafi’I :
‫صل ر ر‬
‫حة ا‬ ‫ط ابال ل ر‬
‫م ل‬ ‫من مول ب‬
‫عي لةا ر‬
‫ن اللر ا‬
‫م ر‬ ‫من لزال رةا الل ا ر‬
‫مام ا ا‬ ‫ر‬
“keduduan imam tergadap rakyat adalah seperti
kedudukan wali terhadap anak yatim”.(hal 61).
6. Kaidah keenam
‫ت‬‫شب مرها ا‬ ‫ق م‬
‫ط ابال ش‬ ‫س م‬ ‫ا رل ل م‬
‫حد مولد م ت ر ل‬
“hukum-hukuman itu gugur karena syubhat”
Suatu kasus yang belum bsa dbuktikan secara
factual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak
bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memfonis pelaku
tindak krimnalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan
bukti-bukti obyektf meyakinkan.
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :
‫ت‬‫شب مرها ا‬ ‫ؤاال ل م‬
‫حد مولد اابال ش‬ ‫ا ٍءد لررا م‬
“hindarkanlah hukuman hukuman karena adanya
syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran,
karena cat dan merk sama, ternyata bukan.
‫ت‬
‫شب مرها ا‬ ‫ق م‬
‫ط ابال ش‬ ‫س م‬ ‫ا رل لك ر ل‬
‫فاررة م ت ر ل‬
“kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya
syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan
Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.(hal
64)
7. Kaidah ketujuh
‫ت ال لي رد ا‬
‫ح ر‬ ‫خ م‬
‫ل تر ل‬ ‫ا لل ل م‬
‫حشرل ري رد ل م‬
“Orang yang merdeka itu tidak masuk dalam
kekuasaan”.
Contoh : Seandainya mengurung orang yang merdeka,
dengan memperlakukannya dengan baik, kemudina da mati
karena tertimpa tembok yang robohdan sebagainya, maka
tidak wajib membayar ganti ruginya.(hal65)
8. Kaidah kedelapan
‫م لر م‬
‫ه‬ ‫حراي ل ب‬
‫ما همور ر‬ ‫حك ل م‬
‫م ر‬ ‫م لر م‬
‫ه م‬ ‫ال ل ر‬
‫حراي ل م‬
“yang mengelilngi larangan hukumnya sama dengan
yang dikelilingi”.
Dasar darikaidah ini ialah hadis Nabi :
‫ن‬‫م ا‬‫فر ر‬.‫س‬
‫ن اللنا ا‬ ‫م ر‬‫ن ك رث اي لبر ا‬ ‫شت رب ارهات بل ري ررعلل ر ر‬
‫مهم ل‬ ‫م ل‬ ‫ماا م م‬
‫مولبر م‬ ‫ن ورب ري لن رهم ر‬‫م ب ري ل ر‬‫حررا م‬‫ن روال ل ر‬ ‫حرل م‬
‫ل ب ري ي ب‬ ‫ا رل ل ر‬
‫ت ورقرعر اف ى ال ل ر‬
‫حررام ا‬ ‫شب مرها ا‬ ‫ن ورقرعر ال ش‬ ‫م ل‬ ‫ضها ور ر‬ ‫علر ا‬‫ست رب لرررءل اد اي لن اها ور ا‬
‫دا ل‬ ‫ق ا‬‫ت فر ر‬‫شب مرها ا‬‫قي ال ش‬ ‫ات ل ر‬
‫ش م‬
‫ك ي رلرت رعر فاي لها‬ ‫م ى ي رول ا‬ ‫ل ال ل ا‬
‫ح ر‬ ‫حو ل ر‬
‫ع ى ر‬
‫ع ى ي رلر ر‬ ‫ ر‬.
‫كالرا ا‬
“Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan
diantara keduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang
tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak
mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga
diri dari syubhat, berti ia halal membersihkan agama dan
dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman,
seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar
pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar
(memasuk) ke dalam pagar”.(hal-67)

9. Kaidah kesembilan
‫غا ل انبا‬ ‫ل اف ى الل ا‬
‫خرا ر‬ ‫خ ر‬
‫ماد ر ر‬
‫صولد مهم ر‬
‫ق م‬
‫م ل‬
‫ف ر‬
‫خت رل ا ل‬ ‫حد ٍء ل ر ل‬
‫م ير ل‬ ‫س روا ا‬
‫تجن ل ٍء‬
‫ن ا‬‫م ل‬
‫ن ا‬ ‫مع ر ا ر ل‬
‫مررا ا‬ ‫تجت ر ر‬ ‫اا ر‬
‫ذا ل‬
“Apabla berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak
berbeda makud dari keduanya, maka menurut biasanya
yang satu masuk kepada yang lain”.
Contoh : Apabila orang hadas kecl dab hadas besar
(junub), maka cukup dengan bersucu saja, seperti kalau
orang junub dan mandi.(hal 69)
10. Kaidah kesepuluh
‫ن ااهما ل اها‬ ‫ل الكرلم ا ا رولرل ى ا‬
‫م ل‬ ‫ا لع ل ر‬
‫ما م‬
“Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama
daripada menyia-nyiakannya”.
Perkara itu ada kalanya jelas maksudnya, dan ada
kalanya kurang jelas maksudnya. Terhadap yang telah
maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan yang
dimaksud itu, dan terhadap yang belum jelasmaksudny,
maka mengamalkan lebih baik daripada meniadakannya
atau menyia-nyiakannya.
Contoh : Orang berwasiat membeekan hartanya kepada
anak-anaknya, padahaal a sudah tidak mempunyai anak lagi
kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikn kepada
cucu-cucunya.
‫ل‬ ‫سي ل م ر‬ ‫ل‬
‫ن الت لأك اي لد ا‬
‫م ر‬
‫ ى ا‬
‫س امول ر‬ ‫رالت لأ ا‬
“Membuat dasar tu lebih utama dari pada memperkuat”.
Contoh : seorang laki-laki berkata pada istrinya :
“engkau saya tolak, enkau saya talak” dengan tdak ada niat
apa-apa dalam pengulangannya, maka yang lebih sah
adalah diartikan sebagai ta’sis ( ucapan permulaan, bukan
memperkuat).(hal 69)
11. Kaidah kesebelas
‫ن‬
‫ما ا‬
‫ض ر‬
‫ج اباال ل‬ ‫ا رل ل ر‬
‫خررا م‬
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan
menaggung kerugian”.(hal 70)
12. Kaidah kedua belas
‫ب‬
‫ح ب‬
‫ست ر ر‬
‫م ل‬ ‫خل ر ا‬
‫ف م‬ ‫ن ال ا‬
‫م ر‬
‫ج ا‬ ‫ا رل ل م‬
‫خمرول ر‬
“keluar dari khilaf itu diutamakan”.
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari
barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau
bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW :
‫ر‬ ‫ت فر ر‬
‫ست رب لررأل اد اي لن اها‬
‫دا ل‬
‫ق ا‬ ‫ق ى ال ش‬
‫شب مرها ا‬ ‫ن ات ل ر‬ ‫فر ر‬
‫م ا‬
“Maka barang iapa yang menjaga diri dari syubhat
(tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk
agama dan kehormatannya”.
Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang
atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya
diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada
beberapa syarat yaitu :
 Jangan sampai membawa khilaf yang lain.
 Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit.
 Hendaknya kuat dasarnya.(hal 73)

13. Kaidah ketiga belas


‫ن اللرفلاع‬
‫م ر‬ ‫الد لفلعم ا رقل ر‬
‫و ى ا‬
“Menolak itu lebih kuatdari pada mengangkat”
Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat
daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada
mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air
sebelum shalat bagi orang yang tayamum, berarti
mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di
tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat.(hal 74)
14. Kaidah keempat belas
‫ص ى‬ ‫ط ابال ل ر‬
‫مررعا ا‬ ‫ص رلت مرنا م‬
‫خ م‬
‫الشر ل‬
“keringanan (rikhshah) itu tidak dihubungkan/dikaitkan
dengan kemaksiatan-kemaksiatan”.
Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab,
namun apabila sebab itu ada kaitanny dengan perbuatan
maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah in tidak
diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat
itu bisa diberikan rukhshah.
Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk
mengqashar dan menjama’, atau berbuka puasa. Sedang
kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.
(hal 75)
15. Kaidah kelima belas
‫ث‬ ‫ص رلت مرنا م‬
‫ط ابال اث لل ا ا‬ ‫خ م‬
‫الشر ل‬
“keringanan (rukhshah) tidak dikaitkan dihubungkan
dengan syak (ragu-ragu)”.
Artinya orang ragu-ragu tentang dibolehkannya
qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena
yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.(hal
76)
16. Kaidah Keenam Belas
‫الر ضا با لشئ رضا بما يتولد منه‬
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa
yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
‫المتولد من ما ذ ون فيه ل اثرله‬
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan
(diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima
sesuatu, makaia harus menerima segala rentean persoalan
akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti
menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia
harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu.
Misalnya: cactnya berkembang lebih besar. Demikian pula
membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua
yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.
17. Kaidah Ketujuh Belas
‫السؤال مرعا د ف ى الجوا ب‬
“Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban”
Jadi hukum dari suaru jawaban itu adalah terletak
pada soalnya. Sehingga apabila seseorang hakim bertanya
dengan maksud minta keterangan kepada seorang
tergugat: “apakah istrimu telah engkau talak?”. Apabila
dijawab: “ya”, maka istri tergugat telah berlaku hokum
sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam
hal ini tergugat telah mengakui (ikrar) atas gugatan
mudda’iy.
18. Kaidah Kedelapan Belas
‫لينسب ال ى سا كت قول ما كا ن اكثر فرعل كا ن اكا ن اكثر فضل‬
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak
keutamaannya”.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada
Aisyah RA:
(‫اتجرك عل ى قد ر نصبك )رواه مسلم‬
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah,
maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah
perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat,
makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama
disbanding dengan secara disambung, sebab dengan
diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah
beberapa perbuaqtan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi
syarat-syaratnya, lebih baik daeipada shalat dengan tidak
qashar.
19. Kaidah Kedua Puluh
‫المترعد ى افضل من القا صر‬
“perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih
utama daripada yang terbatas untuk kepentingan sendiri”.
Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan
kemanfaatan yang dapat mencakup kepada kepda orang
lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya
hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam
Haromain dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang
melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada
melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu
kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran
yang ada pada ummat.
Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama
dari pada shalat sunat, karena mencari ilmu akan
bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat
sunnat itu hanya manfaatnta pada diri sendiri.
20. Kaidah Kedua Puluh Satu
‫الفر ض افضل من النفل‬
“Fadlu itu lebih utama daripada sunnat”
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW
dalam salah satu Hadits beliau:
‫من تقر ب فيه بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة‬
‫فيما سواه ومن اد ى فريضة فيه كا ن كمن اد ى سبرعين فريضة فيما سواه‬
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada
Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan
kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan
menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan
barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan
Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu
diselain bhulan Ramadhan.”
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan
antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di
luar Ramadhan, semua ini member pengertian bahwa
fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70
derajat/tingkat.
21. Kaidah Kedua Puluh Dua
‫الفضيلة المترعلقة بذا ت الرعبا د ة اول ى من المترعلقة بمكا نه‬
“Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri, lebih
baik dari pada yang dipautkan dengan tempatnya”.
Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: segolongan
dari segolongan kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa
kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini difahamkan dari
perkataan ulama-ulama yang terdahulu.
Diantara hokum yag ditetapkan berdasarkan kaidah
ini ialah:
 Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada
diluar masjid
 Shalat sunnah dirumah adlah lebih uta
daripada suhalat sunnah di masjid.
 Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah,
larikecil disunatkan dengan dekat pada ka’bah.
22. Kaidah Kedua Puluh Tiga
‫الواتجب ل يتر ك ال لوا تجب‬
“Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali
karena sesuatu yang wajib”
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu
yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu kewajiban yang mengahruskan untuk
meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak
wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai
adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitu: Sujud
sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak
disyari’atkan tentu tidak boleh dilakukan.
23. Kaidah Ketiga Puluh Lima
‫ما ثبث با لشرع مقد م عل ى ما وتجب با لشرط‬
“Apa yang telah tetap menurut syara’, didahulukan
daripada apa yang wajib menurut syara”.
Ketetapan yang berasal dari syara’ harus
didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang
timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia,
sehingga karenannya tidak boleh bernadzar dengan
sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan,
atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suamrkata pada
istrinya: “Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri
uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk
kepadamu”.
Perkataan member uang Rp. 10.000,- sebagai syarat
untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’
telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
24. Kaidah Kedua Puluh Enam
‫ما حرم استرعما له حرم ا تخا ذ ه‬
“Apa yang haram menggunakannya, haram pula
memperolehnya”
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
‫ كا لرا عى يرعى‬. ‫ومنوقع فى الشبها توقع فى الحرام‬
(‫حول الحما يوشك ان ير تع فيه )متفق عليه‬
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada
haram, seperti pengembala yang mengembalakan
disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada
larangan”
Maka oleh karena itu orang diharamkan menyimpan
alat/sarana kemaksiatan. Menyimpan wadah/bejana
terbuat dari bahan mas atau perak. Sutra dan mas bagi
laki-laki. Sebab larangan menyimpan barang-barang
tersebbut karna boleh jadi akan menggunakannya.
Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain anjing
untuk menjaga keamanan dan berburu.
25. Kaidah Kedua Puluh Tujuh
‫ما حرم اخذ ه حرم اعطا ؤه‬
“Sesuatu yang haram diambilnya, diharamkan pula
memberikannya”
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
(3:‫ )الما ئدة‬. ‫ول ترعا ونوا عل ى ال ثم والرعد وان‬
“jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan”.
Jadi artinya apabila dibolehkan memberikannya,
maka berarti menolong dan mendorong untuk
mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat
dalam dosa. Untuk itu apabila diharamkan mengambilnya,
maka untuk memberikannya juga diharamkan.
Berdasarkan kaidah ini maka diharamkan member
uang riba suap, upah pelacur, pemberian pada kahin dan
sebagainya, sebagaimana diharamkan untuk
mengambilnya.
26. Kaidah Kedua Puluh Delapan
‫المشغول ل يشغل‬
“Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu,
tidak boleh obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi
obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain,
karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan
jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan
hutang yang lain.
27. Kaidah Kedua Puluh Sembilan
‫المكبر ل يكبر‬
“Yang sudah diperbesar tidak boleh dibesarkan”
Apabila suatu perkara sudah dibesarkan atau
ditinggalkan hukumnya sampai pada hukum yang tertinggi,
maka tidak dapat ditingkatkan lagi, atau
ditambah/diperbesar dengan hukum yang dibawanya.
28. Kaidah Ketiga Puluh
‫من استرعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحر ما نه‬
“Barangsiapa yang berusaha menyegarkn sesuatu yang
sebelum waktunya, menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu itu”.
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar
orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan
atau suatu tindakan dalam rangka untuk mendapatkan
hakny sebelum waktunya. Sebab akibatnya dapat
merupakan kegagalan.
29. Kaidah Ketiga Puluh Satu
‫النفل اوسع من الفرض‬
“Sunnah itu telah longgar dari pada fardlu”
Suatu perbuatan yang disyariatkan sebagai
perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih longgr daripada
perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbutan yang wajib.
30. Kaidah Ketiga Puluh Dua
‫الو ل ية الخا صة اقو ى من الول يةالرعا مة‬
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan
yang umum”
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah
suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus
terghadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan
wewedangnya lebih kuat daripada pengusa umum,
sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung
terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa
khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih
berfungsi.
31. Kaidh Ketiga Puluh Tiga
‫لعبرة باالظن البين خطؤه‬
“Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada
yang jelas salahnya”
Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu
pendapat yang lebih cenderung kepada tetapnya atau
benarna daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah
bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada
dhon, tetapi kemudian jelas salahnya, maka hukum
tersebut tidak berlaku atau batal.
32. Kaidah Ketiga Puluh Empat
‫ال شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود‬
“Berbuat yang buakn dimaksud, berarti berpaling dari
yang dimaksud. (sehingganya karena batal yang
dimaksud)”
Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal
pada suatu rumah.kalau setelah bersumpah itu dia masih
mondar-mandir dirumah itu,berarti dia telah melanggar
sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena
sibuk mengumpulkan barang-barangnya karena
keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.

33. Kaidah Ketiga Puluh Lima


‫لينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه‬
“Tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum
haranmya), dan sesungguhnya yang diingkari ialah yang
telah disepakati (hukum haramnya) ”.
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat
perbuatan yang munkar, sehingga karenanya wajib
diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu
okum haramnya diperselisihkan.Tetapi baru dianggap
munkar dan wajib diingkari (dicegah) kalau perbuatan
tersebut keharamannya telah disepakati.
34. Kaidah Ketiga Puluh Enam
‫ىدخل القوي عل ى الضرعيف ولعكس‬
“Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya”.
Suatu perkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan
atau untuk meniggalkan, dengan tuntutan atau hukuman
yang lebih berat dapat mencakup perkara yang sejenis,
yang tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi
tidak sebaliknya, yakni yang tuntutannya lebih lemah tidak
dapat mencakup yang tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan
ibadah haji sekaligus umroh, tetapi tidak boleh melakukan
ibadah umroh sekaligus haji.
35. Kaidah Ketiga Puluh Tujuh
‫يرعتفرف ى الو سا ئل مال يرعتفر رف ى المقاصد‬
“Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada
maksud”
Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harusada
pada pa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi,
sedangkn pada cara untukmencapai maksud dapat
dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau
mengurangi.
36. Kaidah Ketiga Puluh Delapan
‫الميسور ليسقط بالمرعسور‬
“Yang mudah dilaksanakan, tidak gugur/ditinggalkan
karena adanya yang sukar dilksanakan”
Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
‫اذا امرتتكم بامر فأ توامنه ماستطرعتم‬
“Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka
kerjakanlah menurut perintahmu”
Setiap amalan dalam syara’ harus dilaksanakan
menurut daya kemampuan si mukallaf.
Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak
pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa
orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya
harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup
aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan berdiri.
37. Kaidah Ketiga Puluh Sembilan
‫ماليقبل التبرعيض فا ختيا ربرعضه كا ختيا ر كله واسقا ط برعضه كا سقا ط‬
‫كله‬
“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan
sebagian seperti mengusahakan keseluruhannya, dan
menggugurkan sebagian seperti menggugurkan
keseluruhannya”
Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada
kalanya dapat dibagi-bagi yang sebagian dapat dipisahkan
dengan bagian yang laintetapi ada pula yang tidak dapat
dibagi-bag, seperti thalak, qishas, merdeka dan
sebagainya.
38. Kaidah Keempat Puluh
‫اذااتجتمع السبب والغروروالمبا شرة قد مت المبا شرة‬
“Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan dan pelaksana
langsung, maka didahulukan pelaksanaan langsung ”
Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga factor
yang mengakibatkan terjadinya, yaitu:
 Yang merupakan sebab bagi terjadinya peristiwa.
 Berwujud penipuan yang membantu terjadinya
peristiwa.
 Perbuatan langsung yang mengakibatkan terjadinya
peristiwa.
Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung
mengakibatkan peristiwa itulah yang mula-mula harus
dimintai pertanggungan jawabannnya. Contoh: Dalam
suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang
pertama sebagai penunjuk jalan, yang kedua sebagai
pelaksana penipu si korban,untuk datang pada suatu
tempat tertentu, sedangkanyang ketiga dialah yang
langsung membunuhnya setelah berada di tempat yang
ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang
dituntut pertama terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai