Anda di halaman 1dari 10

Biografi

Biografi 1

Rabi’ah dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena
kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud,
yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah.Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99
Hijriah, di kota Basrah, Irak dan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.

Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi
pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian
hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai
"The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga
menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri.Hal ini membuat
banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti
Margareth Smith.

1
Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat
sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia
menerima banyak lamaran untuk menikah.Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih
untuk tidak menikah.Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak
adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan
kepada Allah. Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas
dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.

Ayah Rabi’ah adalah seorang yang miskin harta tapi kaya akan rasa cinta dan syukur kepada
Tuhannya. Ia tidak bisa memberikan anaknya sebuah pendidikan yang layak karena keterbatsan
ekonomi. Tapi hal ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalakan
bersama dengan anaknya, dengan cara mengajak Rabi’ah pergi kemusholla. Ia tanamkan segala
hal-hal baik dan terpuji dalam diri Rabi’ah hingga ia memiliki hati yang suci dan bersih. Warisan
inilah yang menjadi bekal Rabi’ah sehingga ia bisa dikenal sebagai tokoh sufi. Al-Mahabbah
merupakan puncak tasawuf Rabi’ah. Banyak syair-syair sufistik gubahannya yang berisi
ungkapan cinta kepada Allah. Bahkan gubahan syairnya itu, kemudian dalam kehidupan sufi
lainnya

2
Kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang.
Dalam kejadian itu Rabi’ah dan saudara-saudaranya tidak luput dari penderitaan itu. Hingga
pada akhirnya Rabi’ah dan ketiga saudaranya terpaksa meninggalkan rumah merekan dan mulai
berkelana ke berbagai daerah untuk mencari hidup. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah terpisah
dari ketiga saudaranya dan tinggalah Rabi’ah seorang diri. Dalam keadaan seperti ini Rabi’ah
jatuh ketangan perampok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga enam
dirham.

3
PengertianMahabbah
Pengertian Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kataahabba,yuhibbu,mahabatan, yangsecara harfiah berarti


mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta yangmendalam. mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh hati, sehinggayang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan)
masuk ke dalam diri yang dicintai.Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah
yang sulit dilukiskandengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa

Sedangkan cinta dalam bahasa Arab disebutal-Hubb dalam dunia sufi termanifesfasi dengan
istilahal-Mahabbah. Mahabbahadalah perasaan kedekatandengan Tuhan melalui cinta. Dengan
demikian, orang yang telah mencapai tingkatmahabbah seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih
sayang dan cinta kepada Allah,sehingga kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta
yang dapatdisalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabi’ah al-Adawiyah.

Mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan keadaan rohani(hal), sama seperti tobat
adalah dasar bagi kemuliaan kedudukan, (maqam).Mahabbah termasuk dalam kategori
kedudukan (maqam) karena memang mahabbah salah satu diantara jalan yang harus dilalui oleh
seorang salik (sangpenempuh jalan spiritual).

4
Mahabbah juga sebagai keadaan ruhani(hal) karena sebagian sufi menjadikan mahabbah sebagai
suatu keadaan ruhaniyang dialami oleh salik, juga karena mahabbah pada dasarnya adalah
anugrah dari Allah. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugrah-anugrah (mawahib). Dalam kamus
tasawuf mahabbah adalah cenderung hati untuk memperhatikan keindahanatau kecantikan.
Perbedaan antara maqam dan hal adalah bahwa maqam itu diperoleh atas usaha manusia, dan
bersifat tetap. Sedangkan hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah swt, dan bersifat sementara,
datang dan pergi.

5
Jalan Menuju
Jalan menuju mahabbah:
Mahabbah

Keberagaman tingkat maqam yang terdapat dalam dunia tasawuf menjadikan ahli-ahli sejarah
tidak dapat menentukan secara pasti maqam apa saja yang telah dilalui oleh para sufi pada zaman
silam. Seperti halnya pada Rabi’ah menurut Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitab Rabi’ah Al-
Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam menyebutkan bahwasanya maqam yang telah
dilalui oleh Rabi’ah adalah tobat, zuhud, ridho, muraqabah, mahabbah.

Berbeda lagi dengan pendapat Mufidul Khoir dalam bukunya yang berjudul kisah-kisah
pencerahan sufi, yakni tobat, zuhud, sabar, syukur, wara dan ridha. Begitu juga dengan M. Alfatih
Suryadilaga dalam bukunya, Miftahus Sufi menuturkan tentang maqam yang dilalui oleh Rabiah
dimulai dari tingkat ikhlas, ridho, mahabbah, hingga mencapai ma’rifah.

Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Asep Usmar Ismail dalam buku Tasawuf.
Ia menjelaskan, jika para sufi umumnya menetapkan tobat sebagai tingkat pertama yang harus
dilalui, maka tidak dengan Rabi’ah Al-Adawiyyah. Tahap pertama yang dilalui Rabi’ah adalah
kehidupan zuhud. Dengan usaha yang tiada henti-henti Rabiah meningkatkan martabatnya dari
tingkat ibadah ke tingkat zuhud hingga tingkat ridha. Dari tingkat ridha Rabi’ah menuju ketingkat
ihsan, ia menyambah Allah dengan seluruh hatinya. Setelah melewati tingkat-tingkatan tersebut,
maka sampailah Rabi’ah pada tingkat mahabbah.

6
Mahabbah dan Jalan
Menuju Tuhan

Bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorongdalam segala aktivitasnya,
bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga,hal ini terungkap dalam syair’a. Tiada lain
semuanya karena berlandaskan cinta dan yang dicintai. Karena kecintaan inilah menyebabkan ia
senantiasa rindu danpasrah kepada Allah. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhasrat untuk
maumenikah dan meminta uluran tangan dari sesamanya. Di dalam jiwanya tidak adaruang
kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun rasa benci
terhadapnya.

Untuk mencapai tingkatan yang tinggi, sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat, Rabi’ah
menempuh berbagai jalan atau tahap-tahap sebagaimana para sufi lainnya. Banyaknya perbedaan
pendapat tentang tahap-tahap jalan menuju Tuhan dan tingkatan-tingkatan apa saja yang telah
dilalui oleh Rabi’ah, tapi satu yang pasti adalah Rabi’ah telah sampai kepada apa yang ia cita-
citakan yakni ia dapat melihat dan berjumpa dengan Tuhan atau dalam istilah ajaran tasawuf
disebut makrifat.

Makrifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang
sanggup menerimanya. Makrifat juga bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada
kehendak dan rahmat Tuhan.
7
Konsep Mahabbah
Konsep MahabbahRabi’ah
dalam Tasawuf Dalam

Mahabbah menurut Rabi’ah adalah perasaan kemanusiaan yang amat mulia, amat agung, dan
amat luhur. Cinta yang mengatasi hawa nafsu yangrendah, cinta yang dilandasi oleh rasa iman
yang tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju
Allah.

Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang
langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakarkalbu yang mencintai-
Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah
engkau berburuk sangka kepada Kami.”

Dalam beberapa karya Rabi’ah yang berupa puisi, Al-Ghazali mempunyai pendapat tentang
makna cinta yang dimaksud oleh Rabi’ah. Adapun dari karya syair Rabi’ah yang berbunyi: (“Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku
adalah keadaanku senantiasamengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah
bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”)

8
Dan syairnya (“Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkaupatut untuk dicintai,
cintakulahyang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suciini, sibakkanlah tabir penutup
tatapan sembahku. Janganlah Kau puji akulantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”)

Ghazali mengomentari syair tersebut dengan menyatakan, bahwa mungkin yang dimaksud
dengan cinta rindu adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya kepadanya. Dan cinta
karena Dialayak dicinta yaitu karena keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap baginya.
Atau boleh juga cinta rindu dimaksudkan karena hanya Dialah yangselalu dikenang bukan yang
lainnya. Dan cinta karena Dialah yang layak dicintayaitu karena Allah membuka tabir, sehingga
Dia nyata baginya.

Rabi’ah mencintai Tuhannya dengan dua cinta, yakni cinta karena dirinya dan cinta karena
Tuhan. Cinta karena dirinya adalah keadaannya senantiasa selalu mengingat Tuhannya, dan cinta
karena Tuhannya adalah karena Tuhannya telah membuka tabir-Nya sehingga ia bisa melihat
keindahan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai