Anda di halaman 1dari 8

IJTIMA AL-HALAL WAL HARAM

Disusun oleh :
Dia Tri Caang (18913010)

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, percampuran antara hal-hal yang


dihalalkan dan yang diharamkan seringkali sulit untuk dihindari.
Hal ini terjadi dalam setiap persoalan, baik dalam konstruksi
ibadah maupun mu’amalah. Islam sebagai agama yang sempurna
telah memberikan rambu-rambu untuk dijadikan pijakan dalam
melangkah, agar umat Islam dalam hidup dan kehidupannya
terhindar dari unsur-unsur haram, sehingga bisa selamat baik di
dunia maupun di akhirat.
A. Makna Kaidah

ْ ‫إ َذا‬
َ َ‫ا ُم َغل‬8‫اجتَ َم َع ا ْل َحاَل ُل َوا ْل َح َر‬
‫ب ا ْل َح َرام‬
Apabila Sesuatu Yang Halal Berkumpul Dengan Yang Haram,
Maka Yang Menang Adalah Yang Haram.

Jika halal dan haram dipertemuan dalam suatu kondisi dan waktu
maka yang diprioritaskan adalah sesuatu yang haram. Sebab
suatu yang diharamkan mengandung unsur pencegahan terhadap
kerusakan. Sedangkan sesuatu yang halal itu mengandung unsur
kemaslahatan. Disini dapat dikatakan bahwasanya makna dari
ghuliba al-haram itu berarti dominasi yang haram terhadap yang
halal. Oleh karena itu alangkah lebih baiknya melepaskan barang
yang halal daripada mengonsumsi barang haram yang dianggap
halal
Kebalikan kaidah ini , yaitu :
‫الحرام ال يحرم الحالل‬

“ Perkara yang haram tidak dapat mengharamkan perkara yang


halal”.
B. Sumber Kaidah –Hadits-
‫ما اجتمع الحالل والحرام إال غلب الحرام الحالل‬
“Tidaklah perkara halal dan haram berkumpul kecuali yang
haram akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram
dan halal berkumpul dalam satu persoalan, maka aspek
haramnya pasti lebih dominan. Dari sini para ulama kemudian
merumuskan keharaman daging hewan sembelihan yang telah
bercampur dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat
percampuran (ijtima’) antara unsur halal dan unsur haram.
Daging sembelihan yang pada mulanya adalah halal, akan
menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging bangkai
yang notabene haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad
ulama saat menggali substansi hadits Nabi Saw. tersebut.
Urgensi Kaidah
Kaidah ini membantu untuk memperbaiki pemahaman keliru
yang terjadi pada kebanyakan manusia penjelasan hukum
melalui kaidah jika sesuatu yang halal dan hara.
Kaidah ini merupakan solusi terhadap kesalahan
hukum/yurisprudensi yang perlu dijelaskan kepada manusia
D. Kaidah Cabang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah asas
memiliki kaidah cabang. Adapun yang menjadi kaidah cabang dari
kaidah ini adalah:
Kaidah Pertama:
‫ض يُقَ ِّد ُم ا ْل َما ِن ُع‬
ِ َ‫ض ا ْل َمانِ ُع َوا ْل ُم ْقت‬ َ ‫اِ َذاتَ َع‬
َ ‫ار‬
“Apabila saling bertentang ketentuan hukum yang mencegah
dengan yang menghendaki pelaksanaan suatu perbuatan, niscaya
didahulukan yang mencegah”.
Kaidah ini menegaskan bahwa, bila terdapat keadaan yang
kontradiktif antara tuntutan dan larangan, maka yang harus
dilakukan adalah menghindari larangan tersebut, Contohnya seperti
orang yang mati syahid tetapi dalam kondisi berjunub, akan
menimbulkan dua keadaan yang kontradiktif, di satu sisi ia wajib
dimandikan karena dalam keadaan berjunub, di sisi lain ia tidak
boleh dimandikan karena dalam keadaan syahid. Jika melihat kepada
kaidah ini, maka yang didahulukan adalah al-mani’, yakni larangan
yang memandikannya.
Seorang suami mencari nafkah untuk keluarganya dengan cara
menjual khamar kesimpul dari kaidah ini yaitu mencari nafkah
dengan cara yang haram

Anda mungkin juga menyukai