Anda di halaman 1dari 7

Mengenal Nadzar adalah ibadah

*KAJIAN TAUHID*
*Bab XII Bernadzar untuk selain Allah adalah syirik*

Nadzar adalah seseorang mewajibkan kepada dirinya sendiri untuk melakukan aktivitas
ibadah yang *pada asalnya* bukan merupakan kewajibannya.

Nadzar dan penunaiannya termasuk dalam aktivitas ibadah yang hanya boleh ditujukan
kepada Allah Ta’ala saja, dan apabila ditujukan kepada selain Allah maka bisa jatuh kepada
perbuatan kesyirikan!!.

Masih ingat kan definisi ibadah?? mari kita lihat sisi pendalilan nadzar adalah ibadah

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

]‫[يوفون بالنذر ويخافون يوما كان شره مستطيرا‬

“ *Mereka menepati nadzar* dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”
(QS. Al Insan, 7)

Firman Allah Subhanahu wata’ala :


]‫[وما أنفقتم من نفقة أو نذرتم من نذر فإن هللا يعلمه‬

“Dan apapun yang kalian nafkahkan, dan *apapun yang kalian nadzarkan*, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya” (QS. Al Baqarah, 270).

Diriwayatkan dalam shoheh Bukhori dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda :

“‫ ومن نذر أن يعصي هللا فال يعصه‬،‫”من نذر أن يطيع هللا فليطعه‬

“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka ia wajib mentaatinya, dan barang siapa yang
bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah maka ia tidak boleh bermaksiat kepadaNya (dengan
melaksanakan nadzarnya itu).”

Allah Ta’ala *memuji* orang-orang yang menunaikan nadzar dan *menjanjikan pahala*
bagi mereka. Hal ini merupakan bukti bahwa nadzar adalah *sesuatu yang dicintai Allah dan

merupakan bentuk ibadah.*

Sehingga apabila ditujukan kepada selain Allah maka sama saja memalingkan ibadah kepada
selain Allah, yang konsekuensinya bisa mengeluarkan seseorang dari Islam/ Syirik Akbar/
Murtad.
Bernazar dan Hukumnya
Oleh Zamzami Saleh -

20 Oktober 2015

3766

Dok.Istimewa.

Menjelang momen-momen tertentu, orang sering kali mengucapkan nazar. Siswa


SMA kelas tiga yang akan ikut UN misalnya, ia khawatir tidak lulus UN, kemudian
bernazar, “Ya Allah, seandainya saya lulus UN maka saya akan berpuasa satu hari.”
Ibu yang kasihan melihat anaknya sakit akan bernazar, “Ya Allah, jika Engkau
memberikan kesembuhan kepada anak hamba, maka hamba akan bersedekah
seratus ribu rupiah”. Hal ini hampir menjadi tradisi bagi sebagian umat Islam. Tetapi
bagaimana sebenarnya nazar dalam pandangan Islam? Tulisan ini akan
membahasnya secara ringkas.

Pengertian Nazar

Nazar secara bahasa berarti janji untuk hal yang baik atau buruk. Secara istilah,
nazar adalah ucapan dari seorang mukallaf yang mewajibkan dirinya sendiri untuk
melakukan sesuatu hal, yang pada mulanya tidak wajib menurut hukum syara’.
Sederhananya, nazar adalah ucapan dari seseorang mukallaf yang berjanji kepada
Allah SWT untuk melakukan sesuatu hal. Hal tersebut wajib ditunaikan walaupun
pada mulanya (sebelum ia nazarkan) ia bukanlah hal yang wajib.

Macam-macam Nazar

Dilihat dari segi isi kandungannya, nazar ada tiga macam, yakni sebagai berikut:

1. Nazar Lajaj, yaitu nazar yang muncul dari seseorang dalam kondisi marah
untuk mencegah dirinya melakukan sesuatu. Contohnya: “Saya bernazar
bahwa saya akan puasa seminggu jika saya berbicara dengan si Badu’
atau seseorang berkata pada istrinya, “Jika kamu berbicara dengan
temanmu si Fulanah, maka saya bernazar untuk bersedekah”.
2. Nazar Mujazat, yaitu nazar yang muncul dari seseorang untuk melakukan
sesuatu jika terjadi atau berhasil melakukan suatu. Contohnya: “Jika saya
lulus ujian nasional, maka saya bernazar sedekah Rp.100.000,- kepada
fakir miskin” atau “jika anak saya sembuh dari sakitnya, maka saya
bernazar untuk membaca surat al-Baqarah satu kali”.
3. Nazar Tabarrur, yaitu nazar yang dilakukan secara spontan tanpa kaitan
untuk pencegahan melakukan sesuatu atau karena berhasil melakukan
sesuatu, contohnya: “Saya bernazar untuk bersedekah Rp.50.000,-
besok”.
Sebagian ulama membagi nazar kepada dua macam, yakni nazar mutlak dan
nazar mu’allaq. Nazar mutlak adalah nazar yang dilakukan tanpa mengaitkannya
dengan keberhasilan melakukan sesuatu atau untuk mencegah sesuatu (sama
dengan nazar tabarrur di atas). Sedangkan nazar mu’allaq adalah nazar yang
dilakukan dengan mengaitkannya kepada keberhasilan melakukan sesuatu atau
untuk mencegah dari melakukan sesuatu (sama dengan nazar lajaj dan
nazar mujazat di atas).
Dari segi perbuatan yang dinazarkan, ia terbagi kepada lima pembagian:

1. Menazarkan perbuatan yang wajib seperti bernazar untuk salat lima


waktu, puasa wajib atau perbuatan wajib lainnya;
2. Menazarkan ibadah yang sunat seperti bernazar untuk bersedekah,
membaca al-Qur’an dan lain-lain;
3. Menazarkan perbuatan mubah seperti bernazar untuk tidur, makan;
4. Menazarkan perbuatan makruh seperti bernazar untuk bermain gendang;
5. Menazarkan perbuatan haram seperti bernazar untuk berzina, mencuri,
menyembah berhala dan lain-lain;
Hukum Bernazar

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nazar (mengucapkan nazar):

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum nazar adalah makruh. Di


antara dalil yang mereka gunakan adalah:
2. Hadis dari Abu Hurairah, “Janganlah kamu bernazar, karena nazar tidaklah
menolak takdir sedikit Sesungguhnya nazar hanya dikeluarkan oleh orang
yang pelit”. (H.R. Muslim)
3. Hadis dari Ibn Umar, “Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu.
Sesungguhnya nazar hanya dikeluarkan oleh orang yang pelit”. (H.R. al-
Bukhari dan Muslim)
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa nazar adalah ibadah dan merupakan
salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dalil yang mereka gunakan,
di antaranya:
Q.S. al-Insan ayat 6-7

ِ َ ‫ ت َۡف ِج ٗيرا يف َِجرونَ َها‬٦ َُ‫ م ۡستَطِ ٗيرا ش َُّرهۥ كَانَُ يَ ۡو ٗما َويَخَافونَُ بِٱلنَ ۡذ ُِر يوفون‬٧
َ ُ‫ٱّللُ ِعبَادُ بِ َها يَ ۡش َرب‬
‫ع ۡي ٗنا‬

Artinya:

(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang
mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar
dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.

Q.S. al-Hajj ayat 29

ُ‫ورهمُۡ َُو ۡليوفواُ تَفَثَهمُۡ ۡليَ ۡقضواُ ث َم‬ َ َ‫ت َو ۡلي‬


َ ‫ط َوفواُ نذ‬ ُِ ‫قُ بِ ۡٱلبَ ۡي‬
ِ ‫ ۡٱلعَتِي‬٢٩
Artinya:

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka
dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah
mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)

Q.S. al-Baqarah ayat 270

ُ‫ٱّلل فَإِ َنُ نَ ۡذرُ ِمن نَذَ ۡرتم أَوُۡ نَفَقَةُ ِمن أَنف َۡقتم َو َما‬ َ ‫ار مِ ۡنُ لِمِ ينَُٰل‬
ََُ ۗ‫ِلظُ َو َما يَعۡ لَمهۥ‬ ُ ‫ص‬َ ‫ أَن‬٢٧٠

Artinya:

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada
seorang penolongpun baginya.

Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu ciri hamba-hamba Allah SWT yang
diberi keberkahan di surga kelak adalah mereka yang menunaikan nazar. Jika nazar
itu sesuatu yang makruh, niscaya Allah SWT tidak akan menjadikan penunaian
nazar sebagai ciri khas hambaNya dan membalasi mereka dengan kebaikan di
surga.

1. Hadis riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah RA: “Siapa yang bernazar untuk ta’at
kepada Allah, maka penuhilah (nazar berupa) ketaatan tersebut. Dan
siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia
berbuat maksiat kepadaNya”.
2. Nazar adalah salah satu wasilah (perantara) menuju ketaatan. Kaedah
fikih menyatakan bahwa hukum wasilah sama dengan hukum tujuannya.
Dalam hal ini karena perbuatan yang dituju adalah ibadah maka nazar
sebagai wasilahnya juga dihukum sebagai ibadah
Rukun Bernazar

1. Orang yang bernazar adalah orang Islam yang sudah mukallaf (sudah
balig dan berakal), cerdas dan tidak dalam kondisi terpaksa (dipaksa
orang lain untuk bernazar).
2. Shighat (redaksi) nazar. Nazar haruslah berupa ucapan yang mengandung
redaksi kalimat yang menunjukkan bahwa seseorang mewajibkan dirinya
untuk melakukan sesuatu. Misalnya: Saya bernazar untuk bersedekah
atau kewajiban bagi saya untuk berpuasa karena Allah atau saya
mewajibkan diri saya untuk membaca al-Qur’an karena Allah dan lain-lain.
Nazar tidak sah hanya dengan niat saja, melainkan harus dibarengi
dengan ucapan. Selain itu, nazar juga tidak sah jika dibarengi dengan
kalimat “insyaallah”.
3. Ada hal yang dinazarkan. Hal tersebut haruslah hal yang sunat atau hal
yang disyariatkan.
Konsekuensi Bernazar

Seseorang yang bernazar dengan nazar lajaj, maka menurut pendapat yang kuat
dari para ulama, seseorang tersebut boleh memilih antara dua hal, yakni:
menunaikan apa yang ia nazarkan atau
melaksanakan kafarat sumpah. Kafarat sumpah di sini yakni memilih antara
memberi makan 10 orang fakir miskin atau memberi pakaian kepada 10 orang fakir
miskin atau memerdekakan satu orang budak, dan jika tidak mampu ketiga di atas
maka berpuasa selama tiga hari.

Sedangkan yang bernazar dengan nazar tabarrur dan nazar mujazat, maka ia wajib
menunaikan hal yang ia nazarkan. Seseorang yang tidak mampu menunaikan
nazarnya (bisa jadi karena terlalu berat), maka ia harus melaksanakan kafarat
sumpah.

Bolehkah bernazar dengan perbuatan yang wajib?

Para ulama syafi’iyah berpendapat bahwa tidak sah hukumnya bernazar dengan
perbuatan yang merupakan wajib ‘aini (fardhu ‘ain) seperti salat lima waktu, puasa
Ramadhan dan semisalnya. Ini karena hal tersebut sudah diwajibkan bagi setiap
muslim tanpa harus dinazarkan. Merupakan tindakan yang sia-sia ketika seseorang
mewajibkan hal yang pada dasarnya sudah wajib ia lakukan.

Namun sebagian ulama berpendapat bahwa hukum nazarnya adalah sah. Oleh
karena itu jika seseorang bernazar untuk melakukan salat wajib misalnya salat
zuhur, lalu ia melanggarnya, maka selain diwajibkan mengqadha salat zuhur
tersebut ia juga diwajibkan untuk melaksanakan kafarat sumpah karena ia telah
melanggar nazar yang ia ucapkan. Dan pendapat inilah yang lebih dekat kepada
kehati-hatian.
Tetapi jika yang ia nazarkan adalah perbuatan yang wajib kifa’i (fardhu kifayah),
maka hukum nazarnya adalah sah, dan otomatis hal tersebut wajib ia lakukan.

Bolehkan bernazar dengan perbuatan yang mubah?

Para ulama menyatakan bahwa jika seseorang bernazar dengan perbuatan yang
mubah seperti “Jika aku lulus UN, maka aku akan makan lontong,” maka hukum
nazarnya tidak sah dan tidak memiliki akibat apa-apa. Hal tersebut berdasarkan
hadis riwayat Abu Daud: “Tidak ada nazar kecuali untuk hal-hal yang bertujuan
mencari keredhaan Allah SWT”.

Oleh karena itu, jika seseorang terlanjut bernazar dengan perbuatan yang mubah,
maka menurut pendapat yang kuat, ia tidak wajib menunaikan apa yang ia
nazarkan.

Dan jika nazar yang mubah saja tidak sah, maka apalagi nazar dengan yang
makruh.

Hukum bernazar dengan perbuatan maksiat

Tidak sah nazar dengan perbuatan maksiat, bahkan haram melakukannya. Misalnya
seseorang bernazar, “Jika saya sembuh nanti, maka saya akan mencuri ponsel milik
teman saya”. Nazar ini tidak sah. Namun yang harus jadi catatan adalah selama
bernazar tersebut dengan niat nazar. Tetapi jika seseorang melafazkan nazar namun
dengan niat sumpah, maka ia wajib membatalkan sumpahnya (untuk berbuat
maksiat tersebut) lalu melaksanakan kafarat sumpah.

***

Bernazar pada dasarnya boleh jika tujuan nazar kita adalah sebagai penguat diri kita
dalam beribadah kepada Allah SWT. Tetapi jika nazar kita karena menginginkan
sesuatu, seperti ingin diluluskan ujian dan semisalnya, penulis sarankan agar tidak
melakukannya kecuali karena kita lebih ingin menguatkan ibadah saja.
Sesungguhnya jika kita ingin mencapai tujuan, maka caranya adalah berusaha
sekuat tenaga, banyak berdoa dan bertawakkal kepada Allah, karena apa yang
dipilihkan oleh Allah jauh lebih baik.[]

Anda mungkin juga menyukai