DI
SUSUN OLEH :
ARISMUNANDAR : 1607110085
JULANDI : 1607110042
1
A. Nazar Menurut Syari’at Islam
1.Apakah Nazar itu ?
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang sudah dikenai beban
syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan suatu ibadah karena
Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan persyaratan tertentu. Di
dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Ini
menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai Allah, dan
tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti disyariatkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ضييشةي ير ض يحددثيينا أينبوُ ننيعنيمم يحددثيينا يمالضكِك يعنن ي:٦٢٠٢ صحيح البخاري
طنليحةي نبضن يعنبضد انليملضضك يعنن انليقا ض
سضم يعنن يعائض ي
ان يعننيهاد
صضه اي فينلينضطنعهن يويمنن نييذير أينن يينع ض
صييهن فييل يينع ض سلديم يقايل يمنن نييذير أينن ينضطييع د صدلىَّ د
ان يعلينيضه يو ي يعنن الندبضيي ي
Shahih Bukhari 6202: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah
menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin Abdul Malik dari Al Qasim
dari 'Aisyah radliallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia
menaati-NYA, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepadaNya, maka
janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepadaNYA."
2.Macam-Macam Nazar
Nazar ada dua macam yaitu :
a. Nazar Muthlaq dan
b. Nazar Muqoyyad.
2
Sedangkan Nazar Muqoyyad ialah apabila ada seorang yang mewajibkan dirinya
sendiri untuk melaksanakan suatu ketaatan dengan syarat tertentu. Misalnya
dengan mengatakan: Apabila Allah menyembuhkan penyakitku aku bernazar
kepada Allah akan menyedekahkan ini atau itu. Nazar jenis inilah yang tidak
disukai oleh Nabi sebagaimana dalam hadits beliau bersabda,
Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa
yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
الننلذجر لب يجقبخدجم بشليِئئاَ بولب يجبؤخخجرهج بوإلننبماَ يجلستبلخبرجج بلله لمبن اللببلخيِلل
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah
takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR.
Muslim no. 1639)
a.Nazar taat dan ibadah, ini wajib ditunaikan dan bila dilanggar harus
membayar kaffarah (tebusan). Yang dimaksudkan disini ialah seseorang
mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat
sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau
melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar
untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau
melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar
karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung
daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau
nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
3
يمنن نييذير أينن ينضطييع د
اي فينلينضطنعهن
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar
tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun
jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan,
maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan
dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal
dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa
gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar
tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh
sumpah
b.Nazar mubah, yaitu bernazar untuk melakukan suatu perkara yang
mubah/diperbolehkan dan bukan ibadah maka boleh memilih melaksanakannya
atau membayar kaffarah. Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan
berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar
mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama)
menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
4
c.Nazar maksiat, nazarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus
membayar kaffarah. Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir
teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan
berdasarkan hadits
,
بوبملن نببذبر أبلن يبلع ل
صيِبهج فبلب يبلع ل
صله
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
فما كان ل ؛ فكفارته الوُفاء وما كان للشيطان ؛ فل وفاء فيه وعليه كفارة يمين: النذر نذران
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib
ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak
boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh
sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
d.Nazar makruh, yaitu bernazar untuk melakukan perkara yang makruh maka
memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah.
e.Nazar syirik, yaitu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah
maka nazarnya tidak sah dan tidak ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat
karena dia telah berbuat syirik akbar (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid buah
pena Ustadz Abu Isa hafizhohulloh hal. 82).
2. Hukum Nazar
a.Syari’at Islam Tidak Memerintahkan Untuk Bernazar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
5
ستينخيرنج بضضه ضمين انلبيضخيضل يعضن الندنذضر يقايل » إضندهن لي يينردد ي- صلىَّ ا عليه وسلم- َّنييهىَّ الندبضدى
يوإضنديما ين ن، شنيةئا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ستينخيرنج بضضه ضمين انلبيضخيضل لي تينننذنروا فيإ ضدن الندنذير لي يننغضنىَّ ضمين انلقييدضر ي
شنيةئا يوإضنديما ين ن
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun.
Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah
takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah
dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut
mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan.
” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
6
nazar itu pasti terwujud ketika seseorang bernazar atau jangan disangka bahwa
Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena nazar taat yang dilakukan.
Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa
yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah
takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR.
Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar adalah
larangan yang bersifat makruh. Hal ini untuk memberi petunjuk bahwa ada cara
yang lebih afdhal, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti
mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa bernazar dengan nazar yang
tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernazar
dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat,
namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
Meskipun nazar bukan merupakan perintah agama, namun bagi siapa-siapa yang
bernazar maka inya Allah mewajibkan baginya diwajibkan apa yang telah
dinazarkannya. Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
7
Allah Ta'ala juga berfirman
,
يويما أيننفينقتننم ضمنن نيفيقيمة أينو نييذنرتننم ضمنن نينذمر فيإ ضدن د
اي يينعلينمهن
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Al Baqarah: 270).
Bagi mereka yang menunaikan nazarnya dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala ,
sebagaimana firman-Nya :
Selain dari itu ada pula hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
8
tidak mau melaksanakan/menunaikan nazarnya tersebu maka orang tersebut telah
berdosa. Hal ini ditegaskan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari Imran :
ثندم- يقايل ضعنميرانن لي أيندضرىِ يذيكير ثضننتينيضن أينو ثيليةثا بينعيد قينرنضضه- ثندم الدضذيين يينلوُنينهنم، ثندم الدضذيين يينلوُنينهنم، َّيخنينرنكنم قينرضنى
ييضجىَّنء قينوُكِم يينننذنروين يولي يينفوُين، ...
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama
Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum
nazar adalah sunnah.
Nazar itu hanya boleh ditujukan kepada Allah sedangkan nazar selain kepada
Allah seperti bernazar kepada kuburan para wali atau kuburan yang dikeramatkan
merupakan perbuatan yang diharamkan
Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh dalam “Taisir” hal. 162, menukilkan ucapan Al
Imam Al Adzru’i seorang ulama’ Syafi’iyah, beliau berkata : “Dan adapun nadzar
untuk tempat yang dibangun pada kuburan wali, syaikh atau dibangun atas nama
seorang wali yang pernah singgah dan berulang kali datang ke tempat itu, maka
apabila orang yang bernadzar meniatkan – yang kebanyakan niatnya seperti itu –
untuk mengagungkan tempat, majelis, atau suatu sudut tempat beribadah orang
sholih, atau orang yang di dalam kuburan, nama orang yang dibuat majelis
karenanya, maka nadzarnya batil. Sebab, sesungguhnya mereka berkeyakinan
9
bahwa tempat-tempat tersebut memiliki kekhususan. Mereka menganggap tempat-
tempat tersebut merupakan sebab dicegahnya suatu bala’, diraihnya kenikmatan-
kenikmatan, dengannya pula disembuhkannya penyakit-penyakit. Sampai-sampai
mereka bernadzar kepada sebagian bebatuan tatkala ada yang menceritakan bahwa
batu-batu itu pernah diduduki orang sholih. Mereka bernadzar kepada sebagian
kubur-kubur dengan memberi pelita, lilin, atau minyak.
Lalu mereka mengatakan : “Kubur si Fulan atau tempat si Fulan menerima
nadzar”. Mereka memaksudkan dengan ucapan tersebut dapat teraih segala
keinginan, seperti kesembuhan, kembalinya sesuatu yang hilang, keselamatan
harta dan macam-macam nadzar mujazah (muqoyyad) yang lainnya. Nadzar
dalam bentuk seperti tadi adalah batil dan tidak ada keraguan akan kebatilannya.
Bahkan nadzar untuk memberi minyak, lilin dan selainnya kepada kubur adalah
batil secara mutlak.
Di antara contoh nadzar seperti itu adalah nadzar untuk memberi lilin yang
banyak dan besar kepada kubur Nabi Ibrohim ‘alaihissalam atau selain beliau dari
para nabi atau orang-orang sholih. Tidaklah seorang yang bernadzar untuk
memberi pelita kepada kubur tersebut melainkan pasti dalam rangka tabarruk dan
pengagungan padanya.
Mereka menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah taqarrub (kepada Allah
Subhaanahu wa ta’ala ). Padahal tidak diragukan lagi tentang batilnya perbuatan
tersebut, memberikan cahaya seperti tadi adalah haram, baik orang yang
bernadzar itu mendapatkan manfaat atau pun tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalam “Iqtidlo’ Shirotil Mustaqim” 2/158-160
berkata : “Dan lebih jelek dari itu (safar ke suatu tempat tertentu yang tidak
disyariatkan untuk mendapatkan barokah), seseorang bernadzar dalam rangka
mempersembahkan minyak tanah untuk menerangi tempat tersebut. Lalu
dikatakan tempat itu menerima nadzar sebagaimana ucapan orang-orang sesat.
Sesungguhnya nadzar seperti itu adalah nadzar maksiat menurut kesepakatan para
ulama. Tidak boleh ditunaikan akan tetapi wajib bagi orang yang telah bernadzar
tersebut untuk membayar kafaroh (tebusan) menurut pendapat mayoritas ulama, di
antaranya Al Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang masyhur dari beliau. Namun
10
beliau juga punya pendapat lain yang persis dengan pendapat Abu Hanifah, Al
Imam Syafi’i dan selain keduanya, bahwa wajib bagi orang tersebut meminta
ampun kepada Allah dari nadzarnya. Tidak ada kafaroh baginya, dan
permasalahan ini sangat ma’ruf.
Demikian halnya jika seorang bernadzar memberikan sebuah roti atau selainnya
untuk ikan-ikan yang ada di mata air atau sumur tertentu (dalam rangka tabarruk).
Demikian juga jika bernadzar dengan harta baik berupa uang atau selainnya untuk
penjaga makam atau orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu. Sesungguhnya
mereka para penjaga makam itu mirip dengan para penjaga makam yang ada pada
berhala Latta, Uzza dan Manat. Mereka makan harta manusia dengan batil.
Mencegah manusia dari jalan Allah. Ada pun orang-orang yang beri’tikaf di
tempat itu mirip dengan orang-orang yang beri’tikaf, yang diajak bicara Ibrohim
Al Kholil, imam orang-orang yang bertauhid, beliau ? berkata
“Berhala apa ini yang kalian beriktikaf di dekatnya?”. (QS. Al Anbiyaa’ : 52)
Beliau juga berkata
أيفييرأينيتننم يما نكننتننم تينعبنندوين أيننتننم يوأييبانؤنكنم نالينقيدنمنوُين فيإ ضندنهنم يعندوو يلي إضلد ير د
: ب انليعاليضمنيين
“Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang kalian ibadahi, kalian dan
bapak-bapak kalian yang dahulu. Maka sesungguhnya mereka (sesembahan-
sesembahan) itu musuhku kecuali Robbul’alamin”. (QS. Asy Syu’ara’ : 75-77)
11
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan
harapan dan kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia
menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja
Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu
menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah
dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dlm niat itulah hakikat tauhid ibadah.
Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi
kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dlm
perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga
dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal.
153).
Nadzar untuk selain Allah adalah batil. Bila seseorang misalnya bernadzar seekor
kambing untuk Syaikh Muhyiddin atau Abdul Qodir Al Jailani. Kemudian
menginfakkan dagingnya kepada para faqir dengan harapan untuk tersampainya
pahala infak tersebut kepada ruh syaikh tersebut. Yang dari perbuatan itu akan
muncul barokah kepada orang yang bernadzar menurut keyakinannya. Apakah
nadzar seperti ini dianggap sah? Bila tidak, apakah dihalalkan makan daging tadi
ataukah termasuk di dalam firman Allah ?:
Sebab, hewan yang dinadzarkan tadi adalah hewan suci. Apakah menjadi haram
untuk dimakan karena nadzar yang batil tadi?
Nadzar dan menyembelih karena Allah adalah sebuah ibadah dari bentuk-bentuk
ibadah yang tidak boleh sedikit pun diperuntukkan kepada selain Allah.
Barangsiapa yang bernadzar atau menyembelih karena selain Allah, maka dia
telah berbuat syirik kepada-Nya. Makin besar dosanya apabila orang tersebut
12
berkeyakinan bahwa si mayit mampu memberikan manfaat atau mudhorot karena
dia telah menyekutukan Allah di dalam rububiyyah dan sekaligus uluhiyyah-Nya.
Nadzar untuk selain Allah tidaklah sah bahkan batil. Sehingga segala sesuatu yang
dinadzarkan untuk selain Allah berupa makanan atau pun hewan yang boleh
dimakan, namun tidak disembelih karena Allah merupakan bangkai yang
diharamkan untuk dimakan pemiliknya atau orang lain. Maka masuklah di dalam
keumuman ayat tadi. (Fatwa Lajnah Da’imah no. 4299)
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka tak
boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka
itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang
dicintai & diridhoi Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun
yang batin, & nazar termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan
harapan & kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia
menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja
Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu
menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah
dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat itulah hakikat tauhid ibadah.
13
Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi
kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dalam
perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga
dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal.
153).
Keterangan:
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan
kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim. [295]
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
Inilah inti ajaran Islam yang keislaman seseorang tidak akan sah kalau keduanya
tidak tergabung dalam dirinya. Lalu bagaimana mungkin seorang yang mengakui
Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya Zat yang menguasai
segala urusan kemudian menujukan salah satu bentuk ibadah (yaitu nazar) kepada
14
selain-Nya. Bukankah hal ini jelas-jelas bertentangan dengan syahadat yang
diucapkannya?
Sesungguhnya nadzar itu adalah sebuah ibadah. Sehingga mutlak harus
dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak
diperkenankan untuk diselewengkan pada selain-Nya.
Berdasarkan uraian diatas yang didasari atas dalil baik yang termaktub dalam al-
Qur’an maupun hadits-hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ternyata
bahwa bernazar kepada kuburan para wali atau tempat-tempat yang dikeramatkan
sebagaimana yang banyak dilakukan oleh banyak orang-orang muslim yang awam
di negeri ini sesungguhnya merupakan nazar yang dilarang dalam Islam. Karena
bernazar kepada kuburan-kuburan atau tempat-tempat keramat bukanlah ibadah
sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang bernazar. Bahkan nazar tersebut
termasuk perbuatan syirik.
Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari ibadah,sedangkan ibadah itu
hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila melakukan ibadah
kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan maka perbuatan tersebut
termasuk perbuatan yang syirik..
Sesungguhnya bahwa nadzar itu adalah sebuah ibadah. Sehingga mutlak harus
dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak
diperkenankan untuk diselewengkan pada selain-Nya.
Para ulama kita sebagai pewaris Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam menerangkan
kepada kita tentang perkara-perkara yang ternyata banyak di antara kita tidak
memahaminya. Terutama dengan digolongkannya nadzar sebagai suatu ibadah
sehingga sangat rawan sekali untuk kita terjerumus kepada kesyirikan kepada
Allah Subhaanahu wa ta’ala. Banyak kalangan mengira bahwa nazar itu boleh
ditujukan kepada apa saja, termasuk bernazar kepada selain Allah subhanahu wa
15
ta’ala yang didalamnya termasuk bernazar kepada kuburan dan tempat tempat
yang dikeramatkan.
Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al Quran yang mulia :
بو بماَ ألنفبلقتجلم لملن نبفبقبرة أبلو نببذلرتجلم لملن نبلذررفبإ لنن اب يبلعلبجمهج
“Dan apa yang kalian nafkahkan dari sebuah nafkah atau kalian nadzarkan
dari sebuah nadzar maka pasti Allah mengetahui-Nya “. (QS. Al Baqarah : 270)
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka tak
boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka
itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang
dicintai & diridhoi Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun
yang batin, & nazar termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada hakikatnya telah menggantungkan
harapan & kekhawatirannya kepada selain-Nya, padahal sebenarnya dia
menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti terjadi, dan kalau saja
Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak ada yang mampu
16
menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa yang sudah
dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat itulah hakikat tauhid ibadah.
Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi
kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dalam
perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga
dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal.
153).
Sesungguhnya kalimat tauhid Laa ilaaha illAllah menetapkan ibadah itu harus
ditujukan hanya kepada Allah dan menolak beribadah kepada selain-Nya.
Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah taala,
Kesimpulan
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang sudah dikenai beban
syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan suatu ibadah karena
Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan persyaratan tertentu. Di
dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Ini
menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai Allah, dan
tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti disyariatkan.
17
Sesungguhnya Islam tidak mensyari’atkan kepada umatnya untuk melakukan
nazar, namun demikian syari’at memerintahkan apabila bernazar wajib untuk
dipenuhi.
Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari ibadah,sedangkan ibadah itu
hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila melakukan ibadah
kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan maka perbuatan tersebut
termasuk perbuatan yang syirik..
Bernazar untuk selain Allah hukumnya syirik akbar. Nazar adalah ibadah maka
tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah
maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu
yang dicintai & diridhai Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir
maupun yang batin, dimana nazar termasuk di dalamnya ( Wallahu ta’ala ‘alam ).
Sumber:
1.Al-Qur’an dan Terjemahan www.salafy-db
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam www.lidwapusaka.com
3. Kitab Tauhid ( terjemahan ) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi.
4. Fathul Majid Penjelasan Kitab Tauhid ( Terjemahan), Syaikh
Abdurrahman Hasan Alu Syaikh.\
5.Artikel www.rumaysho.com
6.Artikel www.assalafy.org
7.Artikel www.muslim.or.id
18