Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HADIS BERTAMU DAN MENERIMA TAMU NON MUSLIM

MATA KULIAH

HADIS HUBUNGAN ANTAR AGAMA

Dosen Pengampu:

Wardatun Nadhirah, M. Hum.

Disusun Oleh:

Aidil Amin : (180103010190)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

STUDI AGAMA AGAMA

BANJARMASIN

2020
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial seorang


manusia akan terus dan tidak mungkin hidup tanpa bersentuhan atau berhubungan
dengan manusia lainnya. Namun, di lain sisi manusia juga tidak lepas kaitannya
dengan agama. Agama tersebut memberikan tuntunan bagi manusia untuk
menjalani hidup, salah satunya dalam hal sosial. Oleh karena itu Islam sebagai
sebuah agama juga mengatur bagaimana bersosialnya seorang muslim, salah
satunya adalah dalam bertamu atau menerima tamu kepada non-muslim yang
termuat dalam hadis nabi.

Berdasarkan latar belakang di atas maka di makalah ini kita akan


membahas tentang hadis-hadis yang menjelaskan bagaimana pandangan Islam
terhadap bertamu atau menerima tamu dari non-muslim. Kita juga akan
membahas hadis-hadis tersebut berdasarkan penjelasan-penjelasan dari para
ulama. Di makalah ini juga akan sedikit memaparkan ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan memahami hal-hal tersebut diharapkan mampu memberikan


pemahaman bagi kita dalam memahami agama Islam. Di samping itu juga akan
membantu kita untuk menjalani tuntunan agama dengan sebaik-baiknya. Terakhir
juga bisa dikiaskan kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan sikap seorang
muslim dalam bersosial.

1
PEMBAHASAN

A. Hadis Tentang Menerima Tamu Non-Muslim


Dari sekian banyak hadis tentang bagaimana menerima tamu tidak ada hadis
yang secara khusus membahas tentang menerima tamu non-muslim. Namun, ada
salah satu hadis yang menyebutkan tentang menerima tamu secara umum tanpa
membedakan antara satu dan lain. Hadis itu diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang
berbunyi:

‫يد بْ ِن أَِِب الْ ُم َه ِاج ِر َع ْن‬


ِ ِ‫ود ِي عن سع‬ ِ
َ ْ َ ّ ُ‫َّد َحدَّثََنا ََْي ََي َع ْن ُش ْعَبةَ َح َّدثَِِن أَبُو ا ْْل‬
ٌ ‫َحدَّثََنا ُم َسد‬
ِ َّ ‫اَّلل صلَّى‬ ِ ُ ‫الْ ِم ْقد ِام أَِِب َك ِرميةَ قَ َال قَ َال رس‬
‫ف‬ُ ‫َصَب َح الضَّْي‬ ْ ‫اف قَ ْوًما فَأ‬
َ ‫َض‬ َ ‫اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أَمميَا َر ُج ٍل أ‬ َ َّ ‫ول‬ َُ َ َ
ِ‫َمَْروما فَِإ َّن نَصره ح ٌّق علَى ُك ِل مسلِ ٍم ح ََّّت َيْخ َذ بِ ِقرى لَي لَ ٍة ِمن زرِع ِو ومالِو‬
َ َ َْ ْ ْ َ ُ َ َ ْ ُ ّ َ َ َُ ْ ًُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Yahya dari Syu'bah telah menceritakan kepadaku Abu Al Judi dari
Sa'id bin Al Muhajir dari Al Miqdam Abu Karimah ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Laki-laki manapun
yang datang kepada suatu kaum sebagai tamu, kemudian tamu tersebut
terhalang mendapatkan jamuan, maka atas setiap Muslim wajib
menolongnya hingga ia mendapatkan jamuan pada malam hari dari
tanaman serta harta orang yang kedatangan tamu." (H.R. Abu Dawud).1

Hadis di atas menjelaskan bahwa setiap muslim yang mendapatkan tamu,


tanpa membedakan tamu yang satu dengan tamu yang lain, maka wajib bagi
muslim yang mendapatkan tamu tersebut untuk menjamunya. Jamuan yang
diberikan tersebut berasal dari harta yang dimiliki oleh penerima tamu. Bukan
hanya itu, jamuan tersebut juga diberikan bukan hanya sekilas saja, namun juga
diisyaratkan oleh hadis sampai jamuan di malam hari, di mana akhir segala
aktivitas dalam sehari semalam berakhir. Hal tersebut menandakan bahwa

1
Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Dawud: Jilid 2, (Beirut: Dar-Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2013), hal. 549.

2
penjamuan tamu bukan hanya sekedar sepotong makanan atau seteguk minuman,
namun juga pelayanan yang bisa kita berikan.

Di hadis yang jelaskan lagi secara jelas waktu yang harus kita lakukan
untuk menjamu tamu. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang
berbunyi:

‫صالِ ٍح َع ْن‬ ِ ٍ
َ ‫بْ ُن َمَْبُوب قَ َاَل َحدَّثَنَا ََحَّادٌ َع ْن َعاص ٍم َع ْن أَِِب‬ ‫يل َو ََُم َّم ُد‬
َ ‫ْسع‬
ِ ْ ِ‫حدَّثَنا موسى بن إ‬
َ ُْ َ ُ َ َ
ِ ِ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
ٌ‫ص َدقَة‬
َ ‫ك فَ ُهَو‬ ِّ ‫قَ َال‬
َ ‫الضَيافَةُ ثَََلثَةُ أَ ََّّيٍم فَ َما سَوى ذَل‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َّ ‫أَِِب ُى َريْ َرةَ أ‬
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il dan Muhammad bin
Mahbub mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad dari
'Ashim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Penjamuan tamu adalah tiga hari, dan
2
selain itu adalah sebuah sedekah." (H.R. Abu Dawud).

Hadis di atas sangat jelas sekali menentukan lama waktu kita menjamu
tamu. Seorang muslim diwajibkan untuk menjamu atau melayani tamunya selama
tiga hari sesuai kemampuannya. Sedangkan apabila melebihi dari tiga hari nabi
menyebutnya sebagai sedekah. Apabila diibaratkan sebagai sedekah maka hal
tersebut hanyalah sebuah sunnah. Maka tidak ada larangan apabila kita tidak lagi
menjamu atau melayani tamu tersebut ketika lebih dari tiga hari. Meskipun
demikian orang yang melayani tamunya lebih dari 3 hari, bukan berarti tidak
memiliki perbedaan, orang yang menjamu tamu melebihi kewajibannya akan
menerima balasan sedekah.

Di hadis yang lain juga lebih kuat ditekankan akan pentingnya menjamu
tamu dengan sebaik-baiknya. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, yang
berbunyi:

2
Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Dawud: Jilid 2, hal. 549.

3
ِ ِ ٍ َِّ ‫حدَّثَنا عبد‬
‫ي َع ْن أَِِب َسلَ َمةَ َع ْن `أَِِب‬ ِّ ‫َخَب َرََن َم ْع َم ٌر َع ْن ال مزْىر‬
ْ ‫اَّلل بْ ُن ََُم َّمد َحدَّثََنا ى َش ٌام أ‬ ُ َْ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَ َال َم ْن َكا َن يُْؤم ُن ِِب ََّّلل َوالَْي ْوم ْاْخ ِر فَ لْيُ ْْ ِرْم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫ُى َريْ َرةَ َر ِض َي‬
َ ‫َِّب‬
ِّ ‫اَّللُ َعنْوُ َع ْن الن‬
‫َحوُ َوَم ْن َكا َن يُْؤِم ُن ِِب ََِّّلل َوالَْي ْوِم ْاْ ِخ ِر فَ لَْي قُ ْل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُْؤم ُن ِِب ََّّلل َوالَْي ْوم ْاْخ ِر فَ لَْيص ْل َر‬ َ
‫ت‬ ِ
ْ ‫ص ُم‬
ْ ‫َخْي ًار أَْو لَي‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad telah
menceritakan kepada kami Hisyam telah mengabarkan kepada kami Ma'mar
dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia
menyambung tali silaturrahmi, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam." (H.R. Bukhari). 3

Dalam hadis di atas menyebutkan kedudukan penjamuan atau memuliakan tamu


merupakan perbuatan yang berkaitan dengan keimanan seseorang kepada Allah sebagai
Tuhan alam semesta dan keimanan seseorang terhadap datangnya hari akhir atau hari
kiamat, di mana ketika hari itu semua amal perbuatan manusia akan dibalas. Hal ini
menunjukkan bahwa menjamu dan memuliakan tamu merupakan salah satu wujud
nyata yang timbul dari keimanan yang dimiliki seseorang. Namun, hadis ini bukan
berarti menyatakan bahwa orang yang mejamu dan memuliakan tamu adalah orang
yang beriman. Hal ini dikarenakan dasar keimanan tidak bergantung pada perbuatan
seseorang melainkan ada di hati seseorang yang kemudian terwujud dalam ucapan dan
perbuatan seseorang tersebut.

3
Al-Bukhari dan Al-Sindi, Sahih al-Bukhari: bihasiyat al-Imam al-Sindi: Jilid 4, (Beirut:
Dar-Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), hal. 136.

4
B. Hadis Tentang Bertamu Kepada Non-Muslim

Selain menerima tamu dari non-muslim, kita juga akan dihadapkan dengan
masalah bertamu kepada non-muslim. Bertamu kepada non-muslim tidaklah
dilarang selama tidak menyangkut akidah. Sebagaimana cerita nabi yang sering
mengunjungi orang tua Yahudi yang buta, maka tidak apa-apa mengunjungi non-
muslim. Namun, bagaimana cara bertamu kepada non-muslim, sulit mencari hadis
yang khusus untuk non-muslim. Ada sebuah hadis riwayat muslim yang
memberikan tuntunan umum ketika kita bertamu, maka berhak untuk
mendapatkan pelayanan sebagai seorang tamu. Hadis tersebut berbunyi:

‫ث َع ْن يَِزي َد بْ ِن أَِِب‬ ُ ‫َخَب َرََن اللَّ ْي‬ ٍ ِ‫ح َّدثََنا قُت ي بةُ بن سع‬
ْ ‫ث ح و َح َّدثََنا ََُم َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح أ‬ ٌ ‫يد َح َّدثََنا لَ ْي‬ َ ُ ْ َْ َ َ
ٍ
‫َّك تَ ْب َعثُنَا فَ نَ نْ ِز ُل بِ َق ْوم فَ ََل يَ ْق ُرونَنَا‬ ِ
َ ‫ول َّاَّلل إِن‬
َ ‫ال قُلْنَا ََّي َر ُس‬ ِ
َ َ‫يب َع ْن أَِِب ا ْْلَِْْي َع ْن ُع ْقَبةَ بْ ِن َعام ٍر أَنَّوُ ق‬ ٍ ِ‫َحب‬
‫ف َف ْاق َب لُوا‬ َّ ِ‫صلَّى َّاَّللُ َعَل ْي ِو َو َسلَّ َم إِ ْن نََزلْتُ ْم بِ َق ْوٍم َفأ ََم ُروا َل ُْ ْم ِِبَا يَ ْن َبغِي ل‬
ِ ‫لض ْي‬ ِ
َ ‫ال َلَنا َر ُسو ُل َّاَّلل‬َ ‫َف َما َت َرى َف َق‬
‫ف الَّ ِذي يَنْ َبغِي ََلُْم‬ َّ ‫فَِإ ْن ََلْ يَ ْف َعلُوا فَ ُخ ُذوا ِمنْ ُه ْم َح َّق‬
ِ ‫الض ْي‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Laits. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami
Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair dari 'Uqbah bin
'Amir bahwa dia berkata, "Kami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anda mengirim kami, lalu kami singgah di suatu kaum
sebagai tamu, akan tetapi mereka tidak melayani kami sebagaimana
layaknya, bagaimana menurut anda?" maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Jika kalian singgah di suatu
kaum, lalu mereka melayani kalian sebagaimana layaknya seorang
tamu maka terimalah layanan mereka. Jika mereka tidak melayani
kalian, maka kalian boleh mengambil dari mereka hak tamu yang
pantas mereka berikan." (H.R. Muslim).4

4
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim: Jilid 2, (Beirut: Dar-Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008),
hal. 98.

5
Paparan hadis di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang menjadi
tamu berhak mendapatkan haknya sebagai tamu, sama saja ia bertamu kepada
seorang muslim atau non-muslim. Pernyataan ini dikuatkan oleh hadis mauquf
dari Umar ra. Yang berbunyi:

‫ﺣدﺛﻧﺎ وﻛﯾﻊ ﻗﺎل ﺛﻧﺎ ھ ﺷﺎﻡ اﻟد ﺳﺗواﺋﻲ ﻋن ﻗﺗﺎدة ﻋن اﻷﺣﻧف ﺑن ﻗﯾس أن ﻋﻣر ا ﺷﺗرط ﺿﯾﺎﻓﺔ ﯾوﻡ‬
‫وﻟﯾﻠﺔ وأن ﯾﺻﻠﺣوا اﻟﻘﻧﺎطر وإن ﻗﺗل رﺟل ﻣن اﻟﻣﺳﻠﻣﯾن ﺑﺄر ﺿﮭﻡ ﻓﻌﻠﯾﮭﻡ دﯾﺗﮫ‬
Artinya:
“Sesungguhnya Umar mensyaratkan masa bertamu satu hari satu
malam, agar mereka memperbaiki jembatan, dan jika seorang muslim
terbunuh di negeri mereka maka diwajibkan membayar diat”.

Dalam Hadis lain di katakan bahwa Umar bin Khattab mensyaratkan


masa bertamu ini hingga tiga hari, dan juga memperhatikan permasalahan ahl
al-Zimmah seperti jizyah, begitu juga dalam menerima tamu muslim, diantara
mereka ada yang menyepakati sehari semalam, tiga hari sesuai dengan
kesanggupan mereka. Maka perjanjian Umar bin Khattab dengan ahl al-Zimmah
ini berjalan dengan baik, di pakai bagi pengikut setelahnya, dan di jadikan
5
sebagai sunnah yang di ikuti sepanjang masa.
Meskipun begitu, kita sebagai tamu kita tidak boleh memberatkan orang
yang kita datangi. Hal ini sesuai dengan hadis nabi:

‫أن‬: ‫ﺣدﺛﻧﺎ ﻋﺑد ﷲ ﺑن ﯾو ﺳف أﺧﺑرﻧﺎ ﻣﺎﻟﻙ ﻋن ﺳﻌﯾد ﺑن أﺑﻲ ﺳﻌﯾد اﻟﻣﻘﺑري ﻋن أﺑﻲ ﺷرﯾﺢ اﻟﻛﻌﺑﻲ‬
‫ ﻣن ﻛﺎن ﯾؤﻣن ﺑﺎ واﻟﯾوﻡ اﻵﺧر ﻓﻠﯾﻛرﻡ ﺿﯾﻔﮫ ﺟﺎﺋزﺗﮫ ﯾوﻡ وﻟﯾﻠﺔ‬: ‫ر ﺳول ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ و ﺳﻠﻡ ﻗﺎل‬
‫ ﻓﻣﺎ ﺑﻌد ذﻟﻙ ﻓﮭو ﺻدﻗﺔ وﻻ ﯾﺣل ﻟﮫ أن ﯾﺛوي ﻋﻧده ﺣﺗﻰ ﯾﺣرﺟﮫ‬. ‫واﻟﺿﯾﺎﻓﺔ ﺛﻼﺛﺔ أﯾﺎﻡ‬
Artinya:
“Barangsiapa yang beriman dengan Allah dan hari Kiamat maka
hendaklah memuliakan tamu, keharusannya sehari semalam hingga tiga

5
Johar Arifin, “Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non-Muslim (Musalimun)”,
dalam Jurnal Toleransi Vol. 2 No. 2 , Desember 2010, hal. 5.

6
hari, labih dari itu maka dia termasuk sedekah. Maka tidak boleh
menginap di rumahnya hingga memberatkannya”. 6
Selain itu kita juga disuruh untuk bersikap baik, dan meminta izin. Hal ini
sesuai dengan firman Allah:

‫ٓاَّيَيمَها الَّ ِذيْ َن آ َمنُْوا ََل َت ْد ُخلُْوا بُيُْو ًًت َغْي َر بُيُْوتِ ُْ ْم َح َّّٓت َت ْسَتأْنِ ُسْوا َوتُ َسلِّ ُمْوا َعٓلاى اَ ْىلِ َها ٓذلِ ُْ ْم‬
‫َخْي ٌر لَّ ُْ ْم َل َعلَّ ُْ ْم َت َذ َّك ُرْو َن‬

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tadkhulụ buyụtan gaira buyụtikum ḥattā


tasta`nisụ wa tusallimụ 'alā ahlihā, żālikum khairul lakum la'allakum
tażakkarụn.

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah


yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat.” (Q.S. An-Nur: 27)

Dalam kitab Tafsir Qurtubi dijelaskan lagi oleh imam Malik bahwa
meminta izin tersebut maksimal 3 kali. Jika, diberi izin maka kita boleh masuk,
namun apabila disuruh pulang atau tidak ada jawaban ketika meminta izin yang
7
ketiga kali maka kita tidak memaksanya dan menjauh.

6
Johar Arifin, “Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non-Muslim (Musalimun)”,
hal. 5.
7
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li’ahkam Al-Qur’an: Jilid 6, (Beirut: Dar-Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2010), hal. 143.

7
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hadis nabi maka seorang muslim wajib melayani tamunya,


baik itu tamu muslim maupun non-muslim sesuai kemampuannya. Lama waktu
untuk melayani tamunya maksimal 3 hari. Apabila lebih dari tiga hari maka itu
dihitung sedekah. Memuliakan tamu merupakan bentuk perwujudan seorang
keimanan muslim, tapi bukan inti keimanan itu sendiri.

Berdasarkan hadis nabi ketika betamu maka kita dibolehkan untuk


mengambil hak kita sebagai tamu sesuai kemampuan penerima tamu meskipun itu
kepada non-muslim berdasarkan hadis mauquf Umar ra.. Namun, kita tidak boleh
memberatkan orang yang kita datangi. Kita juga harus meminta izin terlebih
dahulu, apabila diberi izin maka bolehlah kita bertamu, namun apabila ditolak
atau tidak ada jawaban ketika 3 kali meminta izin maka, tidak memaksa dan
menjauh.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim

Al-Bukhari dan Al-Sindi, Sahih al-Bukhari: bihasiyat al-Imam al-Sindi: Jilid 4,


Beirut: Dar-Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012.

Al-Qurtubi, Al-Jami’ li’ahkam Al-Qur’an: Jilid 6, Beirut: Dar-Al-Kotob Al-


Ilmiyah, 2010.

Arifin, Johar, “Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non-Muslim


(Musalimun)”, dalam Jurnal Toleransi Vol. 2 No. 2 , Desember 2010.

Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim: Jilid 2, Beirut: Dar-Al-Kotob Al-Ilmiyah,


2008.

Sulaiman bin Asy’ats, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud: Jilid 2, Beirut: Dar-Al-
Kotob Al-Ilmiyah, 2013.

Anda mungkin juga menyukai