Anda di halaman 1dari 13

1

HAKIKAT WAHYU

Abstrak
Kecerdesan manusia yang terus berkembang membuat mereka semakin mudah
untuk memahami hakikat wahyu. Wahyu dengan segala kegaibannya, membuat
banyak orang memahami dengan berbagai interpretatif, bahkan tak sedikit yang
menolak kebenarannya. Namun dengan segala keagungannya, akal pada
hakikatnya dapat menerima wahyu sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan.
Wahyu sebagai kalam Allah yang diberikan kepada nabi-Nya, disampaikan
dengan perantara (malaikat) ataupun tidak. Al-Qurn merupakan wahyu dari Allah
swt. kepada nabi Muhammad saw. Kebenarannya juga diragukan oleh sebagian kelangan,
namun fakta membuktikan kebenarannya. Di sisi yang lain, terjadi perdebatan terkait
kedudukan wahyu dan akal tentang kemampuan keduanya dalam mengetahui tentang
Tuhan, kewajiban manusia berterimah kasih kepada Tuhan, baik dan buruk,
kewajiban manusia berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk.

Pendahuluan
Semakin lama manusia semakin cerdas, diiringi pesatnya teknologi,
perkembangan ilmu, kemampuan mengeskplorasi bumi, laut dan langit, semuanya
itu membantu menyapu keraguan manusia tentang hakikat wahyu. Bagi manusia
yang berpikir, eksistensi dunia gaib tak ubahnya dunia nyata. Bedanya hanya
masalah waktu yang dibutuhkan untuk mengeksplorasi keduanya. Dimensi gaib
lebih lambat dibandingkan dengan yang telah kita capai pada dimensi nyata.
Hipnotis kini adalah hal lumrah, di mana orang berkemauan lebih kuat dapat
memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah, hingga si lemah
tertidur dan ia dikemudikan dengan mudahnya oleh kehendak orang yang
menghipnotisnya. Hal ini terjadi diantara manusia dengan manusia, dengan
demikian begitu mudahnya hal serupa terjadi antara tuhan dengan mahluk-Nya.
Telepon, televisi dan segala jenis alat komunikasi menjadi terealisir dengan
pemahaman manusia akan gelombang, frekwensi, satelit dsb. Komunikasi dua
orang yang terpisah laut dan gunung dapat berjalan sedemikan lancarnya. Apabila
fakta ini menjadi biasa, maka komunikasi antara tuhan dan nabi-Nya jadi mudah
dicerna dan diakui adanya. Rasulullah saw. bukanlah manusia pertama yang
mendapatkan wahyu, Allah telah melakukan hal serupa kepada rasulrasul
sebelum beliau saw.
2

Allah swt. di dalam al-Qurn berfirman:
.^^T .4L^OEOu El^OT
.EE .4L^OEOu OT EQ+^
=TOTEL-4 TR` Ru4
.4L^1EOu4 -OT =1R-4OT
1REcT4 4-EcT4
=Qu4C4 O4:c-4 =O1RN4
=QGC4 "+^QNC4 4NOE-4
=T4^OUc4 E4uO>-474 E1N-E1
-4OQ+Ee ^RQ 1Ec+O4 ^~
E4=~ C^OU4N TR` N:~
1Ec+O4 - O^4^ C^OU4N
=^UE4 +.- E<QN` V1TU-:>
^R
Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabinabi yang
kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus,
Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. dan
(kami telah mengutus) Rasulrasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasulrasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada
Musa dengan langsung. (QS. anNisa: 163164)

Pengertian Wahyu
Al-Wahy (wahyu) kata mashdar (infinitif). Secara etimologi (kebahasaan)
wahyu memiliki banyak arti yang berbeda-beda. Di antaranya adalah: isyarat,
tulisan, risalah, pesan, perkataan yang terselubung, pemberitahuan secara rahasia,
bergegas, setiap perkataan atau tulisan atau pesan atau isyarat yang disampaikan
kepada orang lain.
1
Dikatakan; wahaitu ilaihi dan auhaitu. Kalimat ini digunakan
jika tidak ingin orang lain mendengarnya. Dengan demikian, wahyu digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang mengandung makna tersembunyi dan cepat.
2

Di dalam al-Qurn sendiri, penggunaan kata wahy dan kata-kata
bentukannya tidak hanya dibatasi bagi para nabi, tetapi juga digunakan secara
umum untuk melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia

1
Muhammad Hadi Marifat, Sejarah al-Quran, Terj. Thoha Musawa, (Jakarta: Al-Huda,
2007), hal. 8.
2
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 34.
3

atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya, termasuk para nabi. Setidaknya terdapat
lima arti yang dapat kita cerna dari penyebutan-penyebutannya di dalam al-Qurn,
yaitu:
1. Ilham (fitrah) bagi manusia, seperti wahyu kepada ibunya Musa.
.4L^1EOu4 -OT R-+
-E<QN` u ROORO W
-OT Re^= RO^OU4N RO1^
T -41^- 4 OTC` 4
EOT+4O^4` W ^^T +1.-4O
l^OT +QUR~ET4 R`
--TUEcO^-
Artinya: Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan
janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men-
jadikannya (salah seorang) dari Para rasul. (QS. Al-Qashas: 7)

2. Ilham (insting) bagi hewan, seperti wahyu kepada lebah.
OEOu4 ElG4O OT
^4+wO- OORC+`- =TR`
4:^- 4>QNO+ =TR`4
QOEO=- OR`4 4Q7-QOu4C
Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat
manusia". (QS. an-Nahl: 68)
3. Isyarat yang cepat, seperti yang dialami nabi Zakaria.
E4OCO- O>4N ROR`Q~ =TR`
-4OR^- -Eu
&OT W-QTOlEc
LE4O'+ =OR=4N4
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat
kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
(QS. Maryam: 11)

4. Bisikan dan godaan syetan, sebagaimana Allah swt. Berfirman di dalam al-
Qurn:
4

4 W-QU> OR`
QOE'ONC Oc- *.- RO^OU4N
+O^^T4 -OR ET4
--RC4OO=- 4QNOQNO -OT
T*.4ORu
7Q7RENOR W uT4
-Q+-uC 7^^T
4Q7TO^+^O
Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu;
dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik. (QS. al-Anm: 121)

5. Sesuatu yang disampaikan oleh Allah kepada malaikat-Nya berupa perintah
untuk dikerjakan. Seperti firman Allah swt. berikut ini:
^OT ^QNC ElG4O OT
RO^UE^- OTE+ 7E4`
W-Q+-TO1 -R~-.-
W-QNL4`-47 O^+Ec OT
QU~ -R~-.- W-NOEE
=U^NOO- W-Q+TO^l -Q
-E4^N- W-Q+TO^l-4
&u+R` E 4L4
Artinya: (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
"Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-
orang yang telah beriman". kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke
dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan
pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka". (QS. al-Anfl: 12)
Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan di dalam Risalah at-Tauhid
bahwa wahyu merupakan pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya
dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan tersebut dari Allah, baik melalui
perantara maupun tidak.
3


3
Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi, (Beirut: Muassasah Izz ad-Din:
1403 H), hal. 82.
5

Dengan kata lain secara istilah, dan ini merupakan makna wahyu secara
syariat (wahyu Allah kepada para nabi-Nya) merupakan (kalam) perkataan Allah
swt. kepada seseorang hamba-Nya dengan cara-cara tertentu.
4

Dari sini jelaslah bahwa berbicara wahyu tidak telepas dari pembicaraan
tentang hal-hal gaib. Dan juga konsep wahyu sendiri tidak terlepas dari adanya
pemberi wahyu (Allah) dan penerimanya (nabi). Tidak mungkin adanya wahyu
tanpa keduanya ataupun menafikan salah satu dari keduanya.

Cara-cara Penyampaian Wahyu
Merujuk kepada pengertian wahyu di atas, maka muncul di benak pikiran
kita tentang bagaimana cara Allah swt. menyampaikan wahyu-wahyu tersebut
kepada destinasi-Nya.
Terdapat dua klasifikasi tentang cara penyampaiannya, yaitu dengan
perantaraan dan tanpa perantara
5
. Dengan perantara adalah cara Allah
menyampaikan wahyu kepada rasul-Nya melalui malaikat Jibril as. sebagai
malaikat pembawa wahyu. Dan cara penyampaiannya adalah sebagai berikut:
Pertama; Datang dengan suara seperi suara lonceng, dan suaranya sangat
kuat hingga mempengaruhi kesadaran. Cara ini merupakan cara yang terberat bagi
rasul. Dan biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya
untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara tersebut seperti
suara kepakan sayap, sebagaimana disebutkan dalam hadith yang diriwayatkan
oleh Bukhari:
Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat
memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan
gemercinganya mata rantai di atas batu-batu yang licin. (HR. al-
Bukhari)
Kedua; Malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki. Dan cara ini
tergolong lebih ringan dari pada cara sebelumnya. Beliau mendengarkan apa yang
disampaikan, dengan sangat tenang karena seperti berhadapan dengan saudara
sendiri.

4
Shabir Husan Muhammad Abu Sulaiman, Maurid adh-Dhamn fi Ulum al-Qurn,
(Bombay: ad-Dr as-Salafiyah: 1983), hal. 10.
5
Manna al-Qaththan, Pengantar, hal. 42.
6

Penjelmaan ini tidaklah serta merta melepaskan sifat-sifat keruhanian
seorang malaikat, dan tidak pula berarti bahwa zat malaikat tersebut adalah laki-
laki. Akan tetapi, hanya untuk menciptakan suasana tenang di saat rasul menerima
wahyu dari Allah swt.
Kedua cara tersebut merupakan sebuah kesimpulan dari hadith yang
diriwayatkan dari Aisyah ra. tatkala al-Harits bin Hisyam menanyakan tentang hal
tersebut. Nabi mengatakan, Kadang-kadang ia (Jibril) datang kepadaku
bagaikan decingan lonceng, dan itulah yang terberat bagiku, lalu ia pergi, dan
aku telah menyadari apa yang ia katakan. Dan terkadang ia mejelma kepadaku
sebagai seorang laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku, dan akupun memahami
apa yang dikatakannya.
Sedangkan penyampaian secara tanpa perantara adalah cara di mana rasul
menerima wahyu tidak malalui malaikat Jibril. Adapun cara ini dapat berupa
mimpi yang benar dalam tidur rasul. Hal ini sebagaimana Aisyah ra. berkata:
Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada rasul saw. adalah
mimpi yang benar dalam tidurnya. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali
mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari. (Muttafaqun Alaih)

Ataupun Allah menyampaikannya dari balik tabir tanpa perantara. Cara ini
sabagaimana terjadi pada Nabi Musa as.
O4 47.~ET E<QN`
4LR1RR +OE^UE4
+O4O 4~ 4O EOT+O
OO^ C^OT
Artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-
Araf: 143)

Al-Qurn Sebagai Wahyu Dari Allah
Dari berbagai sumber yang pernah mencuat, betapa banyak yang
menafikan bahwa al-Qurn bukanlah wahyu Allah swt. sebagaimana diyakini oleh
umat Islam. Namun pendapat ini terbantahkan dan hanya akan membuat semakin
kokoh keyakinan tentang kebenarannya. Terlebih dengan semakin pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan, satu per satu berita-berita dalam al-Qurn
7

terungkap kehebatannya bahkan dengan bukti-bukti empiris yang jauh sebelum
ilmu pengetahuan tersebut muncul tetapi al-Qurn telah menyatakan.
Terdapat argumen yang mengingkari bahwa al-Qurn adalah wahyu Allah
swt. Mereka mengatakan, al-Qurn merupakan karangan nabi Muhammad saw.
Akan tetapi pendapat tersebut pernah ditantang oleh al-Qurn sendiri sebagaimana
terdapat di dalam firman-Nya:
u HQ7Q4C +O.4O4^- W
~ W-Q> TO^ET O4Qc
RT-uVR)` e4C4O4^N`
W-QNNu1-4 ^T4` +uC4-c-
TR)` 1 *.- T +L7
4-R~R=
Artinya: Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al
Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah
sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. al-Hud: 13)

Fakta sejarah mengatakan bahwa penentang al-Qurn tidak mampu
menyamainya, sehingga ini menjadi salah satu bukti keabsahan al-Qurn
merupakan wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Semakin pesatnya ilmu pengetahuan, semakin terungkap pula kebenaran
al-Qurn. Di antaranya adalah ketika di era modern pengidentifikasian seseorang
dapat dilakukan dengan sidik jari yang ia miliki, namun al-Qurn sudah berbicara
tentang hal tersebut jauh sebelum manusia menyadarinya. Allah berfirman dalam
al-Qurn:
CU=O^4 T=O^e"- T-
E7E^+ +O4`RN ^Q O>4
4OR~ -O>4N EOQ=Owe
+O4^4L4 ^
Artinya: Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan
(kembali) tulang belulangnya? bukan demikian, sebenarnya Kami
Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (QS. al-
Qiyamah: 3-4)

8

Secara implisit al-Qurn telah memberikan penekanan pada jari jemari
yang memiliki makna sangat khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang adalah
khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini
memiliki serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain. Dan yang
tepenting adalah fakta tentang sidik jari ini baru terungkap pada abad ke-19.
Di sisi lain, Fazlurrahman dalam karya klasiknya, Islam, juga menjelaskan
keghaiban perkara wahyu haruslah dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang
mungkin. Keistimewaan nabi sebagai seorang yang dipandang kebal dari
kesalahan-kesalahan serius (doktrin ismah), dan Muhammad saw. merupakan
manusia seperti itu, dan hanya satu-satunya yang dikenal sejarah.
6


Wahyu dan Ilham
Pembahasan tentang wahyu tidak akan pernah terlepas dari pembicaraan
ilham dan kasyaf. Hal ini tidak dapat kita pungkiri karena kedekatan makna di
antara ketiganya, bahkan ini menjadi polemik di sebagian kalangan sehingga
menimbulkan problematika hingga ke taraf keyakinan.
Ilham mengandung pengertian bahwa Allah menanamkan di dalam jiwa
seseorang sesuatu yang dapat mendorongnya untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu. Dalam al-Qurn Allah berfirman:
^4^4 4`4 E.QEc ^_
EEE E-4OQ+-
E.4Q^>4 ^l
Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
(QS. asy-Syam: 7-8)
Terdapat persamaan dan perbedaan antara wahyu dan ilham. Di antara
persamaannya adalah:
Keduanya sama-sama diterima oleh manusia.

6
Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 35.
9

Keduanya sama-sama menimbulkan pemahaman dalam batin.
Keduanya sama-sama menimbulkan keyakinan.
Keduanya tidak diberikan pada makhluk binatang.
Keduanya sama-sama diberikan demi kemaslahatan.
Keduanya sama-sama merupakan pemberian Allah swt.
Dan adapun perbedaan antara keduanya adalah:
Wahyu datangnya melalui kehadiran malaikat sedangkan ilham melalui
penghunjaman langsung oleh Allah kepada yang dikehendaki-Nya.
Wahyu diterima oleh manusia pilihan Allah yang mengemban tugas
kenabian atau kerasulan, sedangkan ilham dapat diterima oleh siapapun.
Wahyu diturunkan dengan tujuan untuk kemaslahatan seluruh umat
manusia atau umat tertentu, sedangkan ilham hanya untuk kemaslahatan
yang menerimanya dan tidak di bebani kewajiban untuk manyampaikan
pada orang lain.
Wahyu tidak dapat diminta kepada Allah agar diturunkan pada waktu
tertentu, sedangkan ilham menurut sebagian ulama dapat diminta kepada
Allah melalui cara membersihkan diri dan memprbanyak taqarrub pada
Allah.
Wahyu pintunya telah tertutup, bersamaan tugas kenabian yang diemban
nabi Muhammad saw. berakhir, sedangkan ilham masih terbuka selama
masih ada manusia dan berlaku sepanjang masa.
Akal dan Wahyu
Masalah akal dan wahyu sudah menjadi polemik yang hampir tiada
akhirnya di kalangan para teolog Islam. Perdebatan ini terutama terjadi antara
golongan Mutazilah, Asyariyah, dan Maturidiyah. Inti pokok dari problematika
tersebut terpusat pada kemampuan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan-
persoalan pokok agama, yaitu: mengetahui tentang adanya Tuhan, kewajiban
manusia berterimah kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, kewajiban manusia
berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk.
Aliran Mutazilah
10

Mutazilah sebagai aliran yang paling rasional, mengakui kemampuan akal
dalam mengetahui ke empat hal tersebut. Menurut mereka bentuk pengetahuan
dapat diperoleh dengan kekuatan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. Dari pandangan tersebut, dapat dipahami
bahwa menurut Mutazilah manusia senantiasa dituntut untuk mengetahui Tuhan
dan berterima kasih kepada-Nya sesuai dengan pengetahuan akalnya. Manusia
juga wajib mengetahui kebaikan dan kejahatan dan berlaku hukum tanggung
jawab atasnya, yaitu wajib mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat.
Sebagai konsekuensi dari itu, berlaku pula al-Wa'd wa al-Wa'id yang berarti
bahwa siapa yang berbuat baik pasti akan diberi pahala dan siapa yang berbuat
jahat pasti dijatuhi hukuman.
Sehubungan dengan ini Abu Huzail dengan tegas mengatakan bahwa
sebelum turunnya wahyu orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan dan jika ia
tidak berterima kasih kepada Tuhan maka orang yang demikian mendapatkan
hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan
perantaraan akal dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, seperti
bersikap lurus dan adil serta wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan
berbuat zhalim.
Menurut al-Qadi Abd al-Jabbar salah seorang pemuka Mutazilah, akal
hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara Umum (mujmal), tetapi
tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai kehidupan manusia di
dunia terlebih lagi kehidupan manusia di akhirat. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan datangnya wahyu untuk memberikan perincian. Contohnya, akal
mengetahui wajib berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang
menjelaskan perincian tersebut dengan cara berterima kasih berupa ibadah shalat,
zakat, puasa dan haji.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui oleh akal.
Akal kata Ibn Hasyim dapat mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan
yang membawa kemudaratan tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tidak dapat
diketahui akal yaitu apakah perbuatan itu membawa kebaikan atau kejahatan.
Dalam hal ini, wahyulah yang menentukan buruk dan baik perbuatan tersebut.
Sebagai contoh akal mengatakan bahwa memotong binatang adalah perbuatan
11

tidak baik tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk
keperluan- keperluan tertentu seperti memperingati peristiwa keagamaan guna
memperkuat tali persahabatan dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir
miskin adalah baik.
Aliran Asy'ariyah
Adapun golongan Asy'ariyah berpendapat bahwa akal hanya dapat
mengetahui satu dari ke empat masalah tersebut, yaitu adanya Tuhan. Akal tidak
mampu mengetahui tugas-tugas dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, tidak
mampu mengetahui yang baik dan yang buruk. Dengan ketidak mampuan akal,
maka wahyu Tuhan datang untuk memberi petunjuk serta penggambaran yang
pada mulanya tidak diketahui oleh manusia. Demikian pula dalam hal pemberian
pahala bagi orang yang taat dan siksaaan bagi orang yang berbuat dosa, tidak bisa
diketahui oleh akal melainkan oleh wahyu.
Al-Syahrastaniy salah seorang pengikut Asy'ariyah mengatakan bahwa
kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui wahyu dan pengetahuan tentang
Tuhan dapat diketahui oleh akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib. Wahyu sebaliknya
tidak dapat mewujudkan pengetahuan tentang Tuhan akan tetapi wahyu membawa
kewajiban-kewajiban.
Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa dari keempat persoalan
tersebut hanya satu yang dapat diperoleh melalui wahyu yaitu kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk diperoleh
melalui akal. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh aliran
Mutazilah, perbedaannya ialah aliran Mutazilah empat persoalan yang
dimunculkan tersebut seluruhnya dapat diketahui melalui akal.
Kemudian Maturidiyah Bukhara membagi dua dari empat persoalan
tersebut, yaitu dua dapat diketahui melalui wahyu yakni kewajiban mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk,
sedangkan yang dua lainnya dapat diperoleh melalui akal yaitu tentang
mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk.
12

Dalam persoalan mengetahui Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa akal
dapat mengetahui Tuhan melalui penalaran. Sebagaimana Allah telah
memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat-ayat Alquran.
Allah memerintahkan kepada manusia untuk berfikir mengenai kerajaan langit
dan bumi dan memberikan pengetahuan kepada manusia bahwa sekiranya akal
pikiran diarahkan secara konsisten, telepas dari pengaruh hawa nafsu dan taqlid,
niscaya ia akan sampai kepada iman dan marifah tentang Allah.
Antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara terdapat
perbedaan pendapat dalam memandang fungsi wahyu terhadap masalah-masalah
tersebut. Kaum Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mutazilah,
sedangkan Maturidiyah Bukhara sependapat dengan Asy'ariyah. Bagi ke dua
aliaran yang disebutkan terakhir, fungsi wahyu lebih banyak dibanding dengan
kedua aliran sebelumnya. Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan
wajibnya bagi manusia sebagai makhluk untuk berterimah kasih kepada Tuhan,
hanya wahyulah yang dapat menentukan perbuatan yang baik dan yang buruk.
Akal tidak mempunyai peranan dalam menentukan semua itu.




13

Daftar Pustaka

Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1994.

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 1986.

Muhammad Hadi Marifat, Sejarah al-Quran, Terj. Thoha Musawa, Jakarta:
Al-Huda, 2007.

Manna Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi, Beirut: Muassasah Izz
ad-Din: 1403 H.

Nur Iskandar al-Barsany, Pemikiran kalam Iman Abu Mansur al- Maturidi:
Perbandingan dengan Kalam Mu'tazilah dan al-Asy'ariy. Jakarta: Raja
Grafinddo Persada, 2001.

Shabir Husan Muhammad Abu Sulaiman, Maurid adh-Dhamn fi Ulum al-
Qurn, Bombay: ad-Dr as-Salafiyah: 1983.

Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka, 2003.

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qurn, Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001.

Anda mungkin juga menyukai