Anda di halaman 1dari 4

Al-yaq Īnu Lā Yuz Ālu Bisy-syak (keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan).

Jika kita memiliki


suatu keyakinan kita harus tetap mempertahankan keyakinan daripada memilih keraguan. Contoh lain
adalah ketika seseorang ragu tentang waktu shalat shubuh apakah sudah masuk waktunya atau belum.
Maka dia harus mengambil yang yakin. Selama dia belum punya keyakinan atau persangkaan yang kuat,
dia harus mengambil keyakinannya bahwa waktu subuh belum masuk.

1. Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak

Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-
Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan. Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni :

1. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan
berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa
ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.

2. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh
hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.

3. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui
penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.

4. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada
atau tidak ada”.

5. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu
yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.

Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam
menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :

1. Al Yakin

Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak. Bisa
disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya
tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang,
dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat.

2. Ghalabah al Dzan

Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga
salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah,
maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.

3. Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang
lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah maka
inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain
maka disebut Ghalabatul al dzan

4. Al syak

Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara antara dua
perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong pada
salahsatunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka
disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah
duga/al wahn.

2. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya

Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya
yakni :

1. َ‫( اأْل ضصْ ُل بَقا ُء َماكَانَ َعلَى َما َكان‬Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)

Kaidah ini semakna pula dengan ‫( َما ثَبَتَ ِبزَ َم ِن يُحْ َك ُم ببَقَا ِء ِه َمالَم يَقُ ْم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه‬Apa yang ditetapkan
berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak
ada dalil yang bertentangan dengannya)

Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya,
harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah,
selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.

2. ‫( أْل َصْ ُل بَ َر َءةُ ال ِذ َّم ِة‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)Pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir
muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.

3. ‫) اأْل َصْ ُل ْال َع َد ُم‬Hukum asal adalah ketiadaan) Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah) ‫ت‬
ِ ‫اأْل َصْ ُل فِي الصِّ فَا‬
‫ض ِة ْال َع َد ُم‬ ِ ‫) ْال‬hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada(
َ ‫عأر‬

ِ ‫ث تَقَ ِّد ُرهُ بِأ َ ْق َربِال َّز َم‬


4. ‫أن‬ ِ ‫( اأْل َصْ ُل فِي ُكلِّ َحا ِد‬Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)

Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi
juga terdapat ‫ب أَوْ قَاتِ ِه‬ ِ ‫ضفَةُ ْالحأ ِد‬
َ ‫ث إِلَى أ ْق َر‬ َ ِ‫( اأْل َصْ ُل إ‬Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada
waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja

5. ‫( اأْل َصْ ُل فِي اأْل َ ْشيَا ِء اإْل ِ بَا َحةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّحْ ِري ِْم‬Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada
dalil yang menunjukkan keharamannya)

6. ‫باليَقِي ِْن ِم ْثلِ ِه‬


ْ ‫( ْاليَقِنُ يُ َزا ُل‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)

Misal :
1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut
tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.

2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si
B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka,
si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.

7. ‫( أَ ْن َماثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُرْ تَفَ ُع إِاَّل يَقِ ْي ٍن‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi)

Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam
keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang
meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila
seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

8. ُ‫( اأْل َصْ ُل فِي ْالكَاَل ِم ال َحقِ ْيقَة‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)

Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh.
Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa
berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Misal :

1. Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak
dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.
Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus
diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.

9. ‫اع التَّحْ ِر ْي ُم‬


ِ ‫ض‬َ ‫( اأْل َصْ ُل فِي اأْل َ ْب‬Hukum asal bersenggama adalah haram)

Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan
(senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan
perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni
pernikahan.

Misal :

1. Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari
syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal melakukan
hubungan badan adalah haram.

Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la
Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai berikut :

ْ ‫( اَل ِع ْب َرةُ بِالظَّنِّ الَّ ِذي َي‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
10. ُ‫ظهَ ُر َخطَا ُءه‬
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau
penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh
debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang
dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya.

11. ‫( اَل ِعب َْرةُ لِلتَّ َوهُّ ِم‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])

Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam
wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris,
maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.

Anda mungkin juga menyukai