Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Kaidah ‫َاْلَيِقْيُن َال ُيَزاُل بِااْلَّشِك‬

Sebelum membahas makna dari Kaidah ‫ َاْلَيِقْيُن َال ُي َزاُل بِااْلَّش ِك‬lebih baik kita
mengetahui makna dari setiap katanya. Menurut Ibn Mandzur al -yaqin artinya
mengetahui menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah
(verivikasi masalah). Al-yaqin merupakan kebalikan dari shakk. Sedangkan
menurut istilahnya Imam Al-Ghozali menandaskan bahwa al-yaqin adalah
kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum yang benar. Kemudian
As-Suyuthi mengatakan bahwa al-yaqin adaalah sesuatu yang tetap dan pasti yang
telah dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya. Jadi al-yaqin sendiri adalah sesuatu yang pasti. Untuk shakk
sendiri yaitu menurut bahasa adalah sesuatu yang membingungkan, keraguan atau
kebimbangan. Shakk dipandang dari segi etimologis artinya menyambung atau
melekat.1

Keyakinan (al-yaqin) adalah kepastian akan tetap tidaknya sesuatu. Sedangkan


keraguan (asysyakk) adalah ketidakpastian antara tetap tidaknya sesuatu. Kaidah
ini berarti keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu
sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai
bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau
asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.2

Jadi kaidah ‫ َاْلَيِقْيُن َال ُي َزاُل بِااْلَّش ِك‬memiliki makna Hukum yang sudah berdasarkan
pada suatu keyakinan tidak akan terpengaruh oleh keraguan yang muncul
kemudian. Karena keraguan adalah hal yang datang setelah keyakinan, dan
sebagai unsur eksternal, tidak dapat menghapuskan hukum yang sudah ada
sebelumnya.3 Dengan demikian maksud dari kaidah ini adalah Ketika seseorang
telah mencapai kepastian dalam hati terhadap suatu tindakan yang telah dilakukan,
1
Eva Nur Hopipah dan Aah Tsamratul Fuadah, “Kaidah Al-Yaqinu Laa Yuzaalu Bisyakkin:
Keyakinan Tidak Dapat Dihapuskan dengan Keraguan”, (Jurnal Hikamia, Volume 3, No 2,
September 2023), hlm 90
2
Eva Nur Hopipah dan Aah Tsamratul Fuadah, “Kaidah Al-Yaqinu Laa Yuzaalu Bisyakkin:
Keyakinan Tidak Dapat Dihapuskan dengan Keraguan”, (Jurnal Hikamia, Volume 3, No 2,
September 2023), hlm 90
3
Mif Rohim, (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum)”,
Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng, hlm 62
entah itu kepastian tersebut didasarkan pada pengetahuan yang kuat atau hanya
dugaan yang meyakinkan, hal itu dianggap sebagai kemantapan hati. Namun, jika
kemantapan hati tersebut disertai dengan keraguan saat pelaksanaan tindakan,
maka itu tidak dapat dianggap sebagai keyakinan. Kondisi di mana masih ada
keraguan atau tanda tanya tidak bisa disamakan dengan hal yang telah diyakini.

B. Perbedaan Yakin, Syak, Dzan, Dan Wahm


1. Yakin
Menurut bahasa yakin berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan di
dalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan yakin yang artinya pengetahuan
dan merupakan lawan dari syak. Menurut As-Suyuthi menyatakan yakin
adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian
dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. Menurut Abu al-Baqa’
dalam al-Kulliyat bahwa yakin ialah pegangan yang kuat, mantap, dan tetap
serta menepati kenyataan. Yakin di sini juga merupakan penjelasan mengenai
ilmu yang tetap teguh dalam hati, disebabkan ketetapannya berdasarkan sebab
tertentu. Menurut Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an
yang dimaksud yakin ialah tetapnya suatu kefahaman beserta tetapnya
hukum. Yakin merupakan sifat yang lebih tinggi daripada ma’rifat sejalan
dengan istilah ilmu al-yakin bukan ma’rifat al-yakin. Ilmu al-yakin sendiri
berarti ilmu yang tidak ada keraguan lagi. Baik ilmu maupun yakin memiliki
sedikit perbedaan, yang mana perbedaan antara keduanya terletak pada
ketetapan. Ilmu berupa pegangan terhadap sesuatu yang diketahuinya atas
dasar kepercayaan. Sedangkan yakin dan keyakinan berupa tenang dan
mantapnya jiwa terhadap apa yang diketahui. Adapula yang mengartikan
yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan
lagi.4
2. Syak

4
Mif Rohim, (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum)”,
Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng, hlm 62-63
Menurut bahasa syak berarti sesuatu yang membingungkan. Menurut istilah
syak adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak
ada.” Ada yang memberikan maksud bahwa syak adalah:
‫ُهَو َم ا َك اَن ُم َتَر ِّدًدا َبْيَن الُّثُبْو ِت َو َعَد ِمِه َم َع َتيَس اِو ى َطَر َفِي الَّص َو اِب َو الَخ َطِء ُد ْو َن َتْر ِج ْبٍح‬
‫َاَحِدِهَم ا َع ًلى اَالَخ ِر‬
“Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang
kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat
ditarjihkan salah satunya.”
Menurut pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa di dalam syariah tidak ada
sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya keraguan (syak) itu datang
kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau
lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin
bagi orang lain (mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh
karena itu, syak bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat
yang datang kemudian ketika masalah tersebut dihubungkan kepada hukum
mukallaf.
Mengenai keragu-raguan ini, menurut Asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-
Asfirayniy, ada tiga macam, yaitu: Pertama, keragu-raguan yang berasal dari
haram. Misalnya, ada seekor kambing yang disembelih di daerah yang
berpenduduk Muslim dan Majusi. Maka sembelihan tersebut haram dimakan,
sehingga diketahui kalau yang menyembelih itu benar-benar orang Islam
(Muslim). Kedua, keragu-raguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air
yang berubah, yang mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang.
Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu
suci. Ketiga, keragu-raguan atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar
haram. Dan tidak dapat dibedakanantara modal yang halal dan haram. Maka
keadaan seperti ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya
halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan
karena hukumnya makruh.5
3. Dzan
Menurut bahasa dzan artinya persangkaan kuat/ dugaan kuat, jika condong
kepada yang rajih/ kuat. Menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan al-
sHamawi dalam Syarh al-Asybah, dzan ialah seseorang yang berada di antara
dua perkara yang mana ia dapat menguatkan atau dapat mentarjihkan salah
satu di antara keduanya.6
4. Wahm
Menurut bahasa wahm artinya persangkaan lemah/ dugaan lemah/ keliru, jika
condong kepada yang marjuh/ lemah. Menurut istilah wahm ialah suatu
keraguan pada diri seseorang terhadap suatu perkara dengan persangkaan
yang lemah atau salah. Keraguan pada tingkat wahm ini tidak diterima dalam
hukum fiqh.7

Daftar Pustaka
Hopipah, Eva Nur dan Aah Tsamratul Fuadah, “Kaidah Al-Yaqinu Laa
Yuzaalu Bisyakkin: Keyakinan Tidak Dapat Dihapuskan dengan
Keraguan”, (Jurnal Hikamia, Volume 3, No 2, September 2023)
Rohim, Mif. (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar
Penetapan Hukum)”, Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng,

5
Mif Rohim, (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum)”,
Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng, hlm 63-64
6
Mif Rohim, (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum)”,
Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng, hlm 65
7
Mif Rohim, (2019), “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum)”,
Jombang: Lppm Unhasy Tebuireng, hlm 65

Anda mungkin juga menyukai