Disusun oleh:
UNIVERSITAS DARUNNAJAH
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kiranya tak akan selesai tanpa bantuan dari beberapa
pihak yang terus mendorong penulis untuk menyelesaikannya.
Terima kasih penulis haturkan kepada Ust. M. Kadhafi Hamdie, M.A, selaku dosen mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang senantiasa membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini.
Adapun, penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis
menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini.
Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan sarannya kepada
kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang lebih sempurna lagi.
Penulis
PEMBAHASAN
Asy-Syak secara Bahasa ialah keraguan, sedangkan dalam istilah menurut imam
Al-Jurjani adalah sesuatu yang tidak menentu antara sesuatu yang saling berlawanan,
tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
Dari pengertian diatas, maka yaqin merupakan sesuatu yang telah ditetapkan
berdasarkan nazhar (pertimbangan) dan dalil (argument). Dan syak adalah sesuatu yang
masih berkisar antara keberadaan dan tidak keberadaannya, disertai dengan kesamaan
antara sisi kebenaran dan kesalahannya tanpa adanya tarjih (pengunggulan) antara satu
dengan yang lain. Jadi makna kaidah terseut adalah : bahwa sebuah perkara yang diyakini
sudah terjadi, tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga,
dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian
juga sesuatu yang sudah diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah
terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.1
Ahli fikih dan ushul fiqh menyepakati kaidah-kaidah tersebut. Namun dalam hal
mempraktikkannya terkadang mereka berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan cara pandang dan metode istinbath yang mereka pergunakan, 2 Misalnya
pendapat imam Malik dan Imam Syafi'i dalam masalah batalnya wudhu jika buang angin.
Bagi Imam Malik, wudhu seseorang batal jika ia sudah merasakan ada sesuatu (bunyi) di
dalam perutnya, dan ini sebagai suatu kehati-hatian Imam Malik dalam hal-hal yang
membatal kan wudhu. Tetapi bagi Imam Syafi'i hal itu belum membatalkan wudhu
karena belum nyata keluarnya. Penerapan kaidah ini dan juga kaidah-kaidah lainnya
sering kali berbeda sesuai dengan metode yang digunakan oleh masing-masing ulama
mujtahid.
1
Umar Sulaiman al-Asyqar, Maqasid al-Mukallafin.1981. Kuwait: Maktabah al-Falah (hal
137)
2
Al-Nadwiy, Ali Ahmad. Qawaid Fiqhiyah. 1994. Damaskus: Dar al Qalam
B. Sumber Kaidah
َو َم ا َيَّتِبُع َأْكَثُر ُهْم ِإال َظًّنا ِإَّن الَّظَّن ال ُيْغ ِني ِم َن اْلَح ِّق َشْيًئا ِإَّن َهَّللا َع ِليٌم ِبَم ا َيْفَع ُلوَن
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka / dugaan saja,
sesungguhnya prasangka / dugaan tidak sedikit pun berguna menyangkut kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Dan hadits-hadits :
َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا – صلى هللا عليه وسلم – – ِإَذ ا َو َج َد َأَح ُد ُك ْم ِفي َبْطِنِه: َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة – رضي هللا عنه – َقاَل
َأْو َيِج َد ِريًحا – َأْخ َرَج ُه, َأْم اَل ? َفاَل َيْخ ُر َج َّن ِم ْن َاْلَم ْس ِج ِد َح َّتى َيْس َم َع َص ْو ًتا, َأَخ َرَج ِم ْنُه َش ْي ٌء: َفَأْش َك َل َع َلْيِه,َشْيًئا
ُم ْس ِلم
Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa
sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka
janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.”
Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 362).
Hadits diatas menunjukan adanya keraguan bagi yang sedang shalat atau
menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaaah. Secara logika,
orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu
apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam
keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak
semula sedang keraguannya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak
perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.3
، «إذا شك أَح ُدكم في صالته: عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم
فإن كان، ثم يسجد سجدتين قبل أن ُيَس ِّلَم، فلم َيْد ِر كم صلى ثالثا أم أربعا؟ َفْلَيْطَر ِح الشك َو ْلَيْبِن على ما اْسَتْيَقَن
وإن كان صلى ِإْتَم امًا ْأِلْر َبٍع؛ كانتا َتْر ِغ يًم ا للشيطان رواه مسلم،» صلى خمسا َشَفْع َن له َص اَل ته.
Artinya : Dari Abu Sa'īd Al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi Muhammad -ṣallallāhu
'alaihi wa sallam-, "Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, sehingga tidak
mengetahui sudah berapa rakaat yang telah dia kerjakan; tiga ataukah empat? Maka
buanglah keraguan dan lanjutkan yang dia yakini (tiga rakaat). Kemudian sujud dua kali
(sujud sahwi) sebelum salam. Jika ternyata dia melakukan lima rakaat maka sujud sahwi
3
Maftuhin Arrudli. Kaidah Fiqh Menjawab Problematika Sepanjang Jaman.2015.
yogayakarta: Gava Media.(hal 71)
itulah yang menggenapkannya. Dan jika dia benar-benar salat empat rakaat, maka sujud
sahwi itu menghinakan setan." (HR Muslim)
Hadits tersebut memberikan isyarat babhwa dua buah hitungan yang diragukan
mana yang benar, maka agar ditetapkan bahwa hitunga yang terkecillah yang
memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung, sebelum sampai kehitungan yang
lebih besar, pastilah melalui hitungan yang lebih kecil dahulu, oleh karena itulah,
hitungan yang kecil yang sudah meyakinkan.4
1. Kaidah Pertama
2. Kaidah Kedua
3. Kaidah Ketiga
فاألصل أَّنُه َلْم َيْفَع ُلُه.َم ْن َشٍّك َهْل َفَعَل َش يئا أو ال
“Barangsiapa yang merasa ragu, apakah ia telah melakukan sesuatu atau belum, maka
pada dasarnya ia belum melakukannya”
Contoh :
a. Jika ada seseorang yang merasa ragu, apakah dia telah mentalak istrinya atau
belum, maka talaknya dianggap belum jatuh, karena pada asalnya dia tidak
melakukannya
b. Seseorang yang ragu-ragu sewaktu mengerjakan sholat, apakah ia telah
mengerjakan I’tidal atau belum, maka ia harus mengulalnguntuk
mengerjakannnya. Sebab ia dianggap seoalh-olah dia tidak mengerjakannya
c. Jika seseorang ragu, ditengah-tengah wudhu atau ibadah lain, apakah ia telah
meninggalkan salah satu rukunnya atau tidak, maka ia wajib mengulanginya.
4. Kaidah Keempat
َم ْن َتَيَّقَن اْلِفْع َل َو َشٍّك ِفي اْلَقِلْيِل َأِو اْلَك ِثيِر ُح ِمَل َع َلى اْلَقِلْيِل
“Barang siapa yang berkeyakinan telsh melakukan pekerjaan tetapi ia ragu tentang
banyak dan sedikitnya maka yang lebih diprioritaskan adalah yang sedikit”
Contoh :
a. Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disepakati Bersama
kreditur merasa ragu-ragu apakah angsuran yang telah dikerjakan itu 4 kali atau 5
kali, maka dianggap baru mengangsur 4 kali. Karena yang sedikit itulah yang
sudah diyakini. Hal semacam banyak dijumpai pada masa lampau karena
administrasi pada zaman itu belun secanggih saat ini
b. Jika seseorang yang terkena Najis mughaladhah merasa ragu, apakah ia telah
membasuh 5 kali atau 6 kali, maka yang lebih diutamakan adalah yang 5 kali
c. Apabila seorang suami ragu, apakah ia telah mentalak istrinya 2 kali atau 4 kali,
maka yang harus diprioritaskan adalah yang 2 kali.
5. Kaidah Kelima
6. Kaidah keenam
7. Kaidah ketujuh
7
Abdullah Bin Muhammad Sa’id, Idlah alQawaid alFiqhiyah. Indonesia: Daar Arrahmah
alislamiyah (hal 32)
8. Kaidah kedelapan
Arti dari kaidah اليقين َﻻ ُﻴَﺰﺍُﻞ ِﺒﺎﻠ ﱠﺸﻙialah “Keyakinan tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan”. Al-yaqin secara bahasa ialah kemantapan hati atas sesuatu dan Asy-
Syak secara Bahasa ialah keraguan. maka yaqin merupakan sesuatu yang telah ditetapkan
berdasarkan nazhar (pertimbangan) dan dalil (argument). Dan syak adalah sesuatu yang
masih berkisar antara keberadaan dan tidak keberadaannya. Jadi makna kaidah terseut
adalah : bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi, tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya
sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang sudah diyakini belum
terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang
meyakinkan juga
Sumber kaidah tersebut berasal dari Al-Quran surah Yunus ayat 36 dan hadits
Riwayat Muslim yang artinya “Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa
sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka
janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau”
Abdullah Bin Muhammad Sa’id, Idlah alQawaid alFiqhiyah. Indonesia: Daar Arrahmah
Al-islamiyah
Al-Nadwiy, Ali Ahmad. Qawaid Fiqhiyah. 1994. Damaskus: Dar al Qalam
Al-Qur’an Al-kariim
Ar-Raudli Maftuhin. Kaidah Fiqh Menjawab Problematika Sepanjang Jaman. 2015.
Yogyakarta : Gava Media
Busyro. Pengantar Filsafat Hukum Islam.2020. Prenaamedia
Https://almanhaj.or.id/2510-kaidah-ke-11-hukum-asal-segala-sesuatu-adalah-tetap-
dalam-keadaannya-semula.html
Jalaluddin Abdurrrahman Ahmad, Al-Asybah wa An-Nazhair Fi Al-Furu’.1965.
Surabaya: al-Hidayah
Umar Sulaiman al-Asyqar, Maqasid al-Mukallafin.1981. Kuwait: Maktabah al-Falah