Anda di halaman 1dari 11

UJIAN TENGAH SEMESTER

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
Nama : Muhammad Fhadillah Putra
NPM : 2019510025
Mata Kuliah : Hukum Islam
Kelas : 1PPA
Dosen : Dr. Wahyu Nugroho, SH., MH

1. CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA HUKUM ISLAM


1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak capat diisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan
atau akhlak Islam.
3. Mempunya dua istilah kunci yakni: syariat dan fiqih. Syariat terdiri dari wahyu Allah SWT dan
Sunah Nabi Muhammad SAW, sedang 69 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal.
122. 50 fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariat.
4. Terdiri dari dua bidang yakni: ibadah dan muamalah dalam arti yang luas. Ibadah bersifat tertutup
karena telah sempurna dan muamalah dalam arti khusus dan luas bersifat terbuka untuk
dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syariat dari masa ke masa.
5. Struktur berlapis, terdiri dari nass atau teks al-Qur‟an, as-Sunah nabi Muhammad SAW, hasil
ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang wahyu dcan sunah, pelaksanaanya dalam praktik
baik berupa keputusan hakim, maupun berupa amalan-amalan umat islam dalam masyarakat.
6. Mendahulukan kewajiban daripada hak, amal dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi dua yaitu:
(a) hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima
jenis hokum, lima kategori hokum, lima penggolongan hukum yakni jaiz, sunah, makruh, wajib dan
haram, dan
(b) hukum wadh’I yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan
hukum.
TUJUAN HUKUM ISLAM:
Maqashid syariah secara sederhana diartikan sebagai tujuan syariah. Mengutip jurnal Teori
Maqashid Al-Syari'ah dalam Hukum Islam tulisan Ghofar Shidiq, Imam al-Haramain al-Juwaini
secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum
sebelum benar-benar memahami tujuan Allah SWT mengeluarkan perintah dan larangan tersebut.
Bentuk-bentuk Maqashid Syariah
1. Maqashid Syariah untuk Menjaga Agama
Sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap agama, Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya
untuk beribadah. Beberapa bentuk ibadah tersebut adalah sholat, zakat, puasa, haji, dzikir, doa, dan
lain-lain.
2. Menjaga Jiwa
Dalam rangka menjaga keselamatan jiwa manusia, Allah SWT mengharamkan membunuh manusia
tanpa alasan yang dibenarkan oleh Islam. Jika terjadi sebuah pembunuhan, wajib atasnya ditegakkan
qishas (QS. Al-Baqarah: 178). Selain larangan menghilangkan nyawa orang lain, Islam juga
melarang bunuh diri. (QS. An-Nisaa:29).
3. Menjaga Pikiran
Syariat Islam melarang minuman keras, narkotika, dan apa saja yang dapat merusak akal. Ini
bertujuan untuk menjaga pikiran manusia dari apapun yang dapat mengganggu fungsinya.
4. Menjaga Keturunan
Menjaga keturunan adalah landasan diwajibkannya memperbaiki kualitas keturunan, membina sikap
mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan di antara sesama umat manusia, dan
diharamkannya zina serta perkawinan sedarah.
5. Menjaga Harta
Untuk memperoleh harta yang halal, syariat Islam membolehkan berbagai macam bentuk
muamalah. Untuk menjaganya, Islam mengharamkan umatnya memakan harta manusia dengan
jalan yang batil, misalnya mencuri, riba, menipu, mengurangi timbangan, korupsi, dan lain-lain.
CONTOH KASUS HUKUM ISLAM
Pembagian warisan menurut hukum islam mencerminkan keadilan.
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang telah
meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya. Pembagian
harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada
pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
2. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Para ulama membagi ruang lingkup Hukum Islam (fiqh) menjadi dua yaitu
a. Ahkam Al-Ibadat Ahkam al-Ibadat, yyaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya. Ahkam Al-Ibadat ini dibedakan kepada Ibadat Mahdlah dan
Ibadat Ghair Mahdlah.
b. Ahkam Al-Mu‟amalat Ahkam Al-Mu‟amalat, yaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang
mengatur hubungan antar manusia (makhluk), yang terdiri dari:
(1) Ahkam Al-Ahwal Al-Syahsiyat (Hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang orang
(subyek umum) dan hukum keluarga, seperti hukum perkawinan;
(2) Ahkam Al-Madaniyat (Hukum Benda), yaitu hukum yang mengatur masalah yang berkaitan
dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penyelesaian harta warisan atau
hukum warisan;
(3) Al-Ahkam Al-Jinayat (Hukum Pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan
yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah) dan ancaman atau sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya (uqubat);
(4) Al-Ahkam Al-Qadla wa Al-Marafa‟at (Hukum acara), yaitu hukum yang berkaitan dengan acara
di peradilan (hukum formil), umpama aturan yang berkaitan dengan alat-alat butti, seperti saksi,
pengakuan dan sumpah.
(5) Ahkam Al-Dusturiyah (Hukum Tata Negara dan Perundangundangan), yaitu hukum yang
berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai pengaturan dasar dan system Negara.
PERBEDAAN FIQH DENGAN SYARIAH
1. Ketentuan syariah terdapat dalam Al Quran dan kitab-kitab hadits. Syariah yang dimaksud adalah
wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Sedangkan fiqih adalah sebuah
pemahaman manusia yang memenuhi tentang syariah dan terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
2. Syariah bersifat fundamental dan cakupannya lebih luas. Bahkan meliputi akhlak dan akidah.
Sedangkan fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur
perbuatan manusia.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-nya sehingga berlaku abadi. Sementara, Fiqih
merupakan karya manusia dan sangat dimungkinkan mengalami perkembangan zaman.
4. Syariah hanya satu, sedang fikih berjumlah banyak karena merupakan pemahaman manusia,
seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih.
5. Syariah menunjukkan konsep kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman
pemikiran yang memang dianjurkan dalam Islam.

3. AHKAMUL KHOMSAH
Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ahkamul khamsah (5 hukum syara).
-Pertama, jaiz atau mubah, yaitu sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih dikerjakan atau
ditinggalkan. Contoh makan dan minum bebas dilakukan waktunya.
-Kedua, Sunnah (mandub) adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah atau RasulNya
kepada manusia yang sudah dewasa (aqil baliqh). Yang mengerjakan dapat pahala, yang tidak
mengerjakan tidak berdosa. Contoh shalat traweh.
-Ketiga, makruh, adalah sesuatu perbuatan jika dilakukan tidak berdosa, akan tetapi mendapat
pahala jika ditinggalkan. Contoh, tidur pagi sesudah shalat Subuh, makan dan minum berdiri.\
-Keempat, haram, yaitu larangan keras untuk dikerjakan. Kalau dikerjakan berdosa, dan dikenakan
hukuman. Jika tidak dikerjakan dapat pahala.
Contoh berzina, mencuri, membunuh dan sebagainya.
-Kelima, wajib, yaitu sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau RasulNya untuk dikerjakan.
Dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan berdosa dan mendapat hukuman.
Contoh perintah berpuasa, shalat 5 waktu, Bayar zakat.

4. ASAS-ASAS HUKUM ISLAM SECARA UMUM:


a.Asas keadilan. Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Demikian
pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas semua asas hukum Islam. Di dalam al-Qur‟an,
karena pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak
setelah Allah SWT dan ilmu pengetahuan. Salah satunya dalam Q.S. Shad ayat 26,
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” )Q.S.
Shad : 26).
b. Asas kepastian hukum, terdapat dalam Q.S. al-Isra‟ ayat 15 “Barangsiapa yang berbuat sesuai
dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul.” (Q.S. al-Isra‟ : 15).
c. Asas kemanfaatan, asas ini ditarik dari Q.S. al-Baqarah ayat 178 , “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih.”(Q.S. al-Baqarah : 178).
ASAS HUKUM PERKAWINAN
a. Asas Personaliti Keislaman Asas Personaliti Keislaman merupakan salah satu hukum perkawinan
Islam di Indonesia berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan junto Pasal 40 hurup c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa “ perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Asas Kesukarelaan Asas kesukarelaan, menurut Mohammad Daud Ali, tidak hanya harus terdapat
pada kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua masing-
masing calon mempelai.kesukarelaan wali pihak perempuan adalah merupakan unsur penting karna
wali nikah merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan rukun nikah terdiri atas calon suami,
calon istri, wali nikah, dua orang saksi laki-laki, dan ijab 10 Kabul, jo. Pasal 19 sampai dengan
pasal 23 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan tentang wali nikah.
c. Asas Persetujuan Hukum Perkawinan Islam sangat menghormati hak asasi manusia dalam hal
perkawinan yang telah ditentukan sejak awal islamyaitu sekitar abad ke 7 Masehi. Dalam memilih
pasangan perkawinan, perempuan muslimah diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan
menerima atau tidak pinanangan laki-laki (asas persetujuan). Hal itu berdasarkan hadis-hadis.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari, Ahmad, Nasa’I, Muslim, dan Abu
Daud, dari Ibnu Abbas, bahwa “Rosulullah saw. Bersabda: “perempuan janda itu lebih berhak atas
dirinya dari pada walinya, sedang gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya. Dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’I Muslim, dan Abu Daud “Dan gadis hendaknya ayahnya
meminta izin kepadanya (maksudnya sebelum dilangsungkan akad nikah, dia ditanya
persetujuannya terlebih dahulu.)”
d. Asas Kebebasan Memilih Pasangan Asas kebebasan memilih pasangan merupakan rangkaian dari
asas persetujuan dan kesukarelaan. Hal ini dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan Jamaah
kecuali Muslim, dari Khansa’ binti Khidam al- 11 Anshariyah, sebagaimana telah disebutkan pada
asas persetujuan bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedang dia janda, tetapi dia tidak menyukai
perkawinan itu, lalu dia dating pada Rosulullah saw. Membatalkan pernikahan itu. Selain itu, dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Maja, dan Daruquthani, sebagaimana telah
dikemukakan juga pada “asas persetujuan” yaitu hadis dari Ibnu Abbas bahwa seorang gadis dating
kepada Rosulullah saw. Lalu dia menceritakan kepada beliau tentang ayahnya yang
mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak dia sukai. Maka Rosulullah saw. Menyuruh dia untuk
memilih menerima atau menolak.
e. Asas Kemitraan Asas kemitraan dalam hukum perkawinan islam dapat dilihat dari: pertama,
subjek hukum atau orang yang berakad nikah, yaitu calon suami dan calon istri, yang dilaksanakan
oleh walinya. Kedua, dalam hal yang diakadkan, atau objek akad nikah, ialah halalnya hubungan
antara suami istri secara timbal balik. Dalam akad nikah terkandung amanah dari Allah dan kedua
orang tua mempelai perempuan (istri) kepada mempelai laki-laki (suami) agar dalam
penyelenggaraan rumah tangga dan membina keluarga terhindar dari kesengsaraan lahir batin ketika
didunia dan terhindar pula dari api neraka. Sebagaimana ditentukan dalam alQur’an surah at-Tahrim
ayat 6 mengingatkan bahwa: 12 “jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”.
f. Asas Monogami Terbuka Hukum perkawinan islam menganut asas monogamy terbuka, yaitu
pada asasnya perkawinan menurut islam adalah monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu,
suami boleh melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak empat orang
istri, sebagaimana ditentukan dalam surah an-Nisaa (4) ayat 3 bahwa: “dan jika kamu takut tidak
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka
(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.
g. Asas Utuk Selama-lamanya Tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya, bukan untuk
sementara waktu dan untuk sekedar bersenang-senang atau rekreasi semata. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw.
Bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah azza wajallah adalah (cerai)”.
5. TIGA PETUNJUK MANUSIA DI DALAM AL-QUR’AN
-Pertama, adl ajaran yg memberi pengetahuan ttg berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yg
mendiaminya, termasuk ajaran ttg keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak.
-Kedua, Al Quran berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dl termasuk kejadian para Nabi,
dan berisi pula ttg petunjuk di hari kemudian atau akhirat.
-Ketiga, Al Quran berisi pula sesuatu yg sulit dijelaskan dgn bahasa biasa karena mengandung sst
yg berbeda dgn yg kita pelajari secara rasional.
FUNGSI HADITS
1. Bayan At-Taqrir (Memperjelas Isi Al-Qur’an)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang pertama yakni adalah Bayan At-Taqrir atau
memperjelas isi Al-Qur’an. Hadits berfungsi untuk memperjalas isi Al-Qur’an, agar lebih mudah
dipahami dan menjadi petunjuk umat manusia dalam menjalankan perintah dari Allah SWT.
Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-Qur’an. Sebagai contoh hadits
yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia
berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir atau menjelaskan dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

‫ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ِن‬


ِ ِ‫صلَو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َوَأ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
ّ ‫يَااَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ااِ َذاقُ ْمتُ ْم اِلَى ال‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)

Contoh lainnya dari Bayan at-Taqrir adalah terkait perintah sholat. Allah SWT berfirman,
“Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
(QS. 4/An-Nisa`: 103)

“Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah
sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan juga mungkar.” (QS. 29/Al-
Ankabut: 45).
Dalam dua ayat diatas Allah SWT tidak memberikan penjelasan tentang jumlah rakaat didalam
shalat dan juga bagaiman tata cara pelaksanaannya. Maka dari itu Rosulullah SAW menjelaskan
dengan berupa perbuatan/praktek ataupun dengan perkataan. Rasulullah SAW bersabda, ” Sholatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. ” (HR. Bukhori).

2. Bayan At-Tafsir (Menafsirkan Isi Al-Qur’an)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai Bayan At-Tafsir atau hadits
berfungsi untuk menafsirkan isi Al-Qur’an.

Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Al-Qur’an
yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat
yang bersifat mutlak (taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At- tafsir adalah penjelasan nabi
Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.

ِّ‫ص ِل ْالكَف‬ ِ ‫َأتَى بِ َسا ِر‬


َ ‫ق فَقَطَ َع يَ َدهُ ِم ْن ِم ْف‬

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan
pencuri tersebut dari pergelangan tangan”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ااَ ْي ِد يَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِمنَ هللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong
tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang
dipotong dari pergelangan tangan.

3. Bayan At-Tasyri’ (Memberi Kepastian Hukum Islam yang Tidak Terdapat dalam Al-
Qur’an)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni adalah sebagai Bayan At-Tasyri’, yang
dimana hadits sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan
dalam Al-Qur’an. Biasanya Al-Qur’an hanya menjelaskan secara general, kemudian diperkuat dan
dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadits. Sebagaimana contohnya hadist mengenai zakat fitrah,
dibawah ini:

ٍّ‫ص‡ا ًع‡‡ا ِم ْن َش‡ ِعي ٍْر َعلَى ُك‡‡لِّ ُح‡‡ر‬ َ ْ‫‡راَو‬


ٍ ‡‫ص‡ا ًع‡‡ا ِم ْن تَ َم‬ ِ َّ‫ض‡انَ َعلَى الن‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ض َز َكا ةَ الف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ ِ‫اِ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫اَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر َأوْ ُأ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’
kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”(HR.
Muslim).

4. Bayan Nasakh (Mengganti Ketentuan Terdahulu)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai Bayan Nasakh atau mengganti
ketentuan terdahulu. Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir
(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan).

Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan
lingkungannya dan lebih luas.

Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama. Para
ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits
walaupun hadits ahad.

Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir.
Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain
itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist.

Salah satu contoh dari Bayan Nasakh ini yakni :

‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬


ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬
 “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

َ‫ف َحقًّا َعلَى ال ُمتَّقِ ْين‬


ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َواَْأل ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َمو‬
َ ‫ت اِ ْن تَ َر‬
ِ ‫ك خَ ْي َرال َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

-MENCURI

Mencuri sangat dilarang di dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38).

Hukuman dengan memotong tangan orang yang mencuri bukti bahwa mencuri adalah perbuatan
yang sangat dilarang dalam Islam. Dalam hadis bahkan orang yang mencuri akan dilaknat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫لعن هللا السارق يسرق البيضة فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده‬

Artinya: “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, lalu di lain waktu ia dipotong
tangannya karena mencuri tali.” (HR. Bukhari no. 6285).

-BERZINA
Zina merupakan sebuah tindakan yang dilarang oleh Allah SWT. Tindakan yang termasuk dosa
besar ini apabila tetap dilaksanakan akan mendapatkan balasan pedih dari Allah SWT sebagaimana
yang tertulis dalam firman Allah di surat ayat 68-69.

"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)
(68) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab
itu, dalam keadaan terhina (69)." (QS Al-Furqan: 68-69).

Anda mungkin juga menyukai