Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
Nama : Muhammad Fhadillah Putra
NPM : 2019510025
Mata Kuliah : Hukum Bisnis Pariwisata
Kelas : 5PPA
Dosen : Dr. Liza Marina, SH., MH

JAWABAN:
1. Prinsip-Prinsip dan Kewajiban Anggota Negara Dalam GATS
 1. Most Favoured Nation (MFN) Prinsip MFN ini dikenal juga dengan prinsip nondiskriminasi,
merupakan suatu kewajiban umum (general obligation) dalam GATS. MFN ini merupakan
prinsip utama di dalam perdagangan barang (GATT) yang juga dipakai dalam perdagangan jasa
(GATS) Pemerintahan untuk tidak memberikan perlakuan diskriminasi antara jasa dan pemberi
jasa dari negara-negara lainnya. Prinsip ini mensyaratkan pemerintah negara anggota untuk
memberikan semua jasa dan pemberi jasa perlakuan yang tidak kurang sifatnya Setiap tindakan
yang mendiskriminasikan antara jasa dan pemasok jasa suatu negara asing dengan jasa dan
pemasok jasa asing lainnya adalah bertentangan dengan Persetujuan GATS-WTO.
 2. Prinsip National Treatmen Prinsip ini mensyaratkan bahwa setiap negara anggota untuk
memperlakukan jasa-jasa dan pemberi jasa dari negara-negara anggota lainnya. Perlakuan
tersebut harus tidak kurang atau sama dengan perlakuan yang diberikan terhadap jasa atau
pemberi jasa dari negaranya. Perlakuan terhadap jasa dan pemberi jasa ini hanya wajib berlaku
terhadap sektor sektor yang tercantum dalam schedule of commitment beserta peryaratan-
persyaratannya
 3. Prinsip Pengakuan Prinsip ini mensyaratkan bahwa perjanjian-perjanjian bilateral antara
pemerintah mengenai pengakuan atas kualifikasi–kualifikasi tertentu, misalnya mengenai
pengakuan lesensi atau sertifikasi terhadap pemberi jasa, harus pula diberi kesempatan terhadap
negara-negara anggota lainnya yang menginginkan menegoisasikan hal tersebut atau
menginginkan menegoisasikan perjanjian serupa.
 4. Prinsip Transparansi Pertama, prinsip ini mensyaratkan diterbitkannya atau diumumkannya
semua undang-undang, peraturan, pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan
yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang
mempunyai dampak pada pelaksanaan Persetujuan GATS. Disamping itu persetujuan
internasional yang mempengaruhi perdagangan jasa-jasa di mana suatu negara anggota turut
serta dalam persetujuan tersebut juga wajib diterbitkan.
 5. Prinsip Pembayaran dan Transfer Internasional Prinsip ini mensyaratkan bahwa untuk
transaksi transaksi yang berkaitan dengan komitmen-komitmen spesifik berdasarkan perjanjian
ini, tidak boleh dibatasi, kecuali suatu negara mengalami kesulitan dalam neraca
pembayarannya. Dalam hal demikian itu, rintangan tersebut harus terus dibatasi dan sifatnya
sementara
 6. Prinsip Pembukaan Pasar ( Market Access) dan Perlakuan Nasional Prinsip ini mensyaratkan
bahwa komitmen negara negara anggota terhadp sektor-sektor perdagangan jasa harus
dicantumkan dalam National Schedule (Daftar Nasional). Daftar ini mencantumkan jasa-jasa
berbagai kegiatan jasa yang akses pasarnya ke dalam negara dijamin. Daftar ini mencantumklan
pula persyaratan-persyaratan terhadap akses pasar dan memuat setiap pembatasan-pembatasan
terhadap komitmen pemberian akses pasar yang adil.
 7. Prinsip Liberalisasi Progresif Perjanjian GATS mensyaratkan putaran perundingan lanjutan
yang pertama akan dimulai dalam jangka waktu lima tahun setelah berlakunya WTO untuk
melaksanakan proses liberalisasi lebih lanjut. Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf
komitmen-komitmen negara anggota yang tertuang dalam daftar nasional dan mengurangi
dampak-dampak yang merugikan terhadap upaya-upaya perdagangan oleh pemerintah terhadap
perdagangan jasa sehingga tercapai akses pasar yang efektif.

2. Suatu bentuk pariwisata misalnya Wisata rekreasi, setidaknya harus melengkapi dan harus
terdapat beberapa aspek penting dari aspek-aspek yang terdapat pada Pasal 14 UU No. 10 Tahun
2009 tentang kepariwisataan.
Kemudian dalam hal menyelenggarakan usahanya juga dijelaskan dalam Pasal 15 UU No.10 Tahun
2009 yakni:
(1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Upaya Pengentasan Kemiskinan
 Pertama mengurangi beban pengeluaran warga, antara lain memberikan jaminan kesehatan
kepada warga miskin baik bersumber dari pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah
kabupaten. Kemudian ada bantuan rumah swadaya bagi warga yang berpenghasilan rendah,
pemasangan sambungan air bersih, pemberian seragam gratis, pemberian beasiswa untuk siswa
miskin, pemberian makanan pendamping untuk keluarga pasien miskin di rumah sakit,
Pamsimas, dan pendampingan operasi katarak.
 Strategi kedua yakni meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin, dimana
bentuk kegiatan berupa bantuan pupuk untuk petani kopi, bantuan ternak kambing, bantuan bagi
keluarga miskin. Lalu, melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat,
pengembangan lumbung pangan bagi warga serta pelatihan bagi warga binaan serta pelatihan
sablon.
 Sedangkan strategi ketiga mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil,
antara lain ada program pengembangan industri kreatif, pengembangan industri agro, pembinaan
dan pengembangan BUMPekon, pengembangan wirausahaan, serta sertifikat produk industri.
 Yang terakhir untuk strategi penanggulangan kemiskinan yaitu mensinergikan kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan antara lain yang sudah dilakukan koordinasi
penanggulangan kemiskinan tingkat kabupaten melalui TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan) serta melakukan verifikasi dan validasi data fakir miskin.

4. Dasar dari pembentukan standar Usaha Hotel, Peraturan

Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor Pm.53/Hm.001/Mpek/2013


Tentang Standar Usaha Hotel.

 Usaha Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam suatu
bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan
dan/atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan.

 Standar Usaha Hotel adalah rumusan kualifikasi usaha hotel dan atau penggolongan kelas usaha
hotel yang mencakup aspek produk, pelayanan dan pengelolaan usaha hotel.
 Sertifikat Usaha Hotel adalah bukti tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi usaha
pariwisata kepada pengusaha hotel yang telah memenuhi standar usaha hotel.

 Sertifikasi Usaha Hotel adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha hotel untuk mendukung
peningkatan mutu produk, pelayanan dan pengelolaan usaha hotel melalui penilaian kesesuaian
standar usaha hotel.

5. Perubahan berbagai pasal dalam UU ketenagakerjaan, hal yang terjadi justru sebaliknya terhadap
adanya perubahan kebijakan di sektor pariwisata. Pemangku kepentingan pariwisata terutama para
pelaku usaha pariwisata masih terkesan “wait and see” terhadap UU Cipta Kerja ini. Hal ini tidak
terlepas dari belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai produk hukum turunan UU Cipta Kerja di
sektor pariwisata, yang sejatinya mengeliminasi berbagai Peraturan Menteri sebagaimana yang telah
diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sesuai dengan Paragraf 3, Pasal
67 dalam UU Cipta Kerja, terdapat enam pasal dalam UU Kepariwisataan yang mengalami
perubahan yaitu pasal 14, 15, 26, 29, 30, dan 54. Perubahan pasal 14 menekankan bahwa usaha
pariwisata yang meliputi 13 unsur yaitu: daya tarik wisata; kawasan pariwisata; jasa transportasi
wisata; jasa perjalanan wisata; jasa makanan dan minuman; penyediaan akomodasi;
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi, dan pameran; jasa informasi wisata; jasa konsultan pariwisata; jasa pramuwisata; wisata
tirta; dan spa, tidak lagi diatur oleh Peraturan Menteri, namun diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penguatan dasar hukum yang mengatur sub sektor usaha pariwisata ini menunjukkan adanya upaya
pemerintah untuk menjamin kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwasata, sehingga
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus ditaati oleh peraturan di bawahnya seperti
Peraturan Daerah. Kondisi ini tentunya dapat mendorong peningkatan investasi pada usaha
pariwisata yang ada di Indonesia. erikutnya
perubahan pada pasal 15 yang menekankan bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata wajib
memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, kriteria yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Adanya penekanan pada norma sebagai dasar dalam perizinan berusaha pariwasata ini menunjukkan
bahwa usaha pariwisata yang dijalankan haruslah disesuaikan dengan aturan dan tatanan tingkah
laku yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu usaha pariwasata juga harus memiliki standar,
prosedur, dan kriteria yang memungkinkan memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada
masyarakat lokal maupun para wisatawan.

Lahirnya UU Cipta Kerja juga memberikan pengaruh penting pada kemudahan penerbitan izin
berusaha pariwisata. Perubahan pada Pasal 29 ayat 1 huruf c dan Pasal 30 ayat 1 huruf d dalam UU
Kepariwisataan, yang mengatur kewenangan pemerintah daerah melaksanakan pendaftaran,
pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata diubah menjadi kewenangan menerbitkan
perizinan berusaha. Perubahan yang terakhir adalah pada Pasal 54 yang mengatur tentang standar
usaha pariwisata yang meliputi produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata. Standar usaha
pariwisata saat ini tidak lagi dilakukan melalui sertifikasi usaha, namun dilakukan dengan
memenuhi ketentuan perizinan berusaha.

Anda mungkin juga menyukai