Anda di halaman 1dari 13

Pensyariatan Hukum Islam |1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah yang terkandung
dalam

kitab

Al-Quran

dan

Sunnah

Rasulullah

SAW.

Setiap orang

yang

mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan


kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Qardhawi, syariat Ilahi yang tertuang
dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan
agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan
integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan --- idealnya Islam ini tergambar dalam
dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup 1.
Masalah-masalah yang muncul di era modern ini membutuhkan satu bentuk
penyimpulan hukum yang tepat. Hal ini menuntut adanya sisi fleksibilitas dalam hukum
Islam. Tetapi di sisi lain, tidak dapat dipungkiri adanya prinsip dan asas yang harus
dipegang teguh agar kesimpulan hukum yang didapatkan sesuai dengan koridor Islam.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka penulis akan membahas lebih mendalam terkait
prinsip dan tujuan pensyariatan hukum Islam. Hal ini diharapkan mampu menjadi sesuatu
yang diperhatikan dengan perhatian penuh, terutama bagi para ulama yang akan
melakukan ijtihad hukum.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa tujuan pensyariatan hukum Islam?
b. Apa prinsip-prinsip dalam pensyariatan hukum Islam?

1.3. Tujuan
a. Mengetahui tujuan pensyariatan hukum Islam
b. Mengetahui prinsip-prinsip dalam pensyariatan hukum Islam

Qardhawi, Yusuf. 1993. Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Kairo: Maktabah Wahbah hal.
151

Pensyariatan Hukum Islam |2


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tujuan Pensyariatan Hukum Islam
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam tujuan pensyariatan hukum Islam, maka perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Hukum Islam adalah
khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan
redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan
lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan antara
manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta.
Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida
(tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadhi (sebab akibat).
Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf 2.
Sedangkan menurut ahli Ushul Fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan hukum syari
ialah: khithab (sabda) pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain 3.
Dilihat dari sudut kerasulan Nabi Muhammad Saw. Dapat diketahui bahwa syariat
Islam diturunkan oleh Allah untuk mewujudkan kesejahteraan universal atau alam
semesta. Hal ini selaras dengan firman Allah,


Artinya : Dan tidaklah kami utus engkau melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam.
(Al-Anbiya[21]: 107)
Ada satu kaidah umum yang berkaitan dengan tujuan umum syari, yaitu bahwa
tujuan umum syari dalam mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia
dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari
mereka4.

Zahrah, Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus hal. 26


Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: Al-Maarif
hal. 121
4
Khallaf, Abdul Wahhab. 1989. Kaidah-kaidah hukum Islam : (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta: Rajawali hal. 331

Pensyariatan Hukum Islam |3


Tujuan Syari dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir kemaslahatan manusia
dengan menjamin kebutuhan pokoknya ( )dan memenuhi kebutuhan sekunder
( )serta kebutuhan pelengkap ( )mereka.
Jadi, setiap hokum syara tidak ada tujuan kecuali salah satu di antara tiga unsur
tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyat
tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi hajiyat.
Dan Hajiyat, juga tahsiniyat tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya
terdapat kerusakan bagi dharuriyat.
Bentuk kemaslahatan dari syariat hukum Islam adalah terpeliharanya tiga macam
kebutuhan manusia yaitu dharuriyat (kebutuhan pokok), hajiyat (kebutuhan sekunder),
dan tahsiniyat (kebutuhan pelengkap). Penjelasannya sebagai berikut:
a. Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat adalah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hal itu tersimpul kepada lima
sendi utama: agama, nyawa atau jiwa, akal, keturunan, dan harta 5. Dalam arti lain, ia
adalah sesuatu yang menjadi pokok kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya
untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia itu (primer). Apabila tanpa adanya
Sesutu itu, maka akan terganggu keharmonisan kehidupan manusia, dan tidak akan
tegak kemaslahatan-kemaslahatan mereka, serta terjadilah kehancuran dan kerusakan
bagi mereka. Hal-hal yang bersifat primer (dharuriyat) bagi manusia dalam pengertian
ini berpangkal kepada pemeliharaan lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta. Jadi, memelihara salah satu di antara lima perkara itu, adalah merupakan
kepentingan yang bersifat primer bagi manusia. 6
Agama, adalah merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang
yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan-hubungan manusia
dengan Tuhannya (hubungan vertikal) dan hubungan antara sesama manusia (hubungan
horizontal). Contoh dari memelihara agama adalah sebagai seorang muslim kita
menegakkan perintah Allah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Sedangkan dalam rangka memelihara jiwa, Islam mensyariatkan untuk tidak
membunuh sesama makhluk atau diri sendiri. Selain itu, ada juga syariat untuk
memperoleh sesuatu yang dapat menegakkan jiwa berupa makanan pokok, minuman,

5
6

Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada hal. 49
Khallaf, Abdul Wahhab. Op. Cit. hal. 333

Pensyariatan Hukum Islam |4


pakaian, serta tempat tinggal. Juga pensyariatan hukum qishosh (hukuman setimpal),
diyat (denda) dan kafarah (tebusan) terhadap orang yang menganiaya jiwa. Dan
mengharamkan menggunakan jiwa untuk kerusakan dan juga mewajibkan
mempertahankan jiwa dari bahaya. Adapun contoh dalil dari qishosh yaitu,


Artinya: dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 179)
Dan untuk memelihara akal, Islam mensyariatkan mengharamkan khomr (arak =
jenis minuman keras) dan setiap yang memabukkan, memidana orang yang
meminumnya, atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Untuk memelihara keturunan atau kehormatan, Islam mensyariatkan had (dera)
bagi lelaki atau perempuan yang berzina. Juga had bagi al-qodzif (penuduh berbuat
zina). Islam juga melarang kita untuk berzina.
Untuk memelihara harta, Islam menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Selain itu, Islam juga menyuruh umatnya untuk berupaya mencari dan mendapatkan
harta melalui cara-cara yang halal. Islam juga memberi had (dera) kepada pencuri lelaki
atau perempuan, mengharamkan penipuan, khianat dan memakan harta manusia secara
bathil.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam mensyariatkan beberapa hukum dalam
berbagai bab ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), dengan tujuan menjamin
keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara, dan menjaganya.
b. Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia
untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya: ketiadaan aspek
hajiyat ini tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak,
melainkan hanya sekadar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja 7.
Implementasinya dapat dirupakan digolongkan dalam tiga macam ketentuan, yaitu
ibadah, muamalat dan pidana. Dalam hal ibadah, Islam memberi keringanan
(rukhshah) bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu
kewajiban ibadahnya. Islam membolehkan berbuka pada siang bulan Ramadhan bagi

Koto, Alaiddin. 2012. Op. Cit..hal. 51

Pensyariatan Hukum Islam |5


orang yang sakit atau di dalam bepergian (musafir) dan meringkas (qoshor) shalat
empat rakaat bagi musafir dan sholat dengan duduk bagi orang yang tidak kuat berdiri.
Islam juga memperbolehkan tayamum bagi orang yang tidak menemukan air, dan sholat
di atas kendaraan meskipun tidak menghadap kiblat dan hokum-hukum rukhsoh yang
lain yang disyariatkan untuk menghilangkan kesempitan manusia dalam melaksanakan
ibadah.
Dalam bidang muamalat, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharuf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti membolehkan jual beli
pesanan (ishtishna). Dalam bidang pidana, Islam menetapkan kewajiban membayar
denda (diyat) bagi yang melakukan pembunuhan tidak sengaja. Islam juga menolak
pelaksanaan hokum had karena kesamaran (belum jelas) dan memberikan hak kepada
wali (orang tua) terbunuh untuk mengampuni pelaksanaan hokum qishosh terhadap
pembunuh.
Adapun beberapa dalil dalam hal pemeliharaan kebutuhan hajiyat ini adalah
sebagai berikut:

... ...
Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, ... (Q.S. Al-Maidah[3]: 6)

... ...
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu(Q.S. Al-Baqarah[2]: 185).
c. Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan al-mukarim al-akhlaq (budi pekerti mulia), serta pemeliharaan
tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, dat dan muamalat. Ketiadaan aspek ini
akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat
dan adat kebiasaan, menyalahi kepatutan, sopan santun, dan menurunkan martabat
pribadi atau masyarakat.

Pensyariatan Hukum Islam |6


Ketentuan tahsiniyat ini berkaitan erat dengan pembinaan akhlaq yang baik,
kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dhoruri dengan cara yang paling
sempurna8.
Aspek tahsiniyat dalam bidang ibadah, misalnya kewajiban membersihkan diri dari
najis, menutup aurat, berhias bila hendak ke masjid, dan melakukan amalan-amalan
sunnah dan bersedekah.
Sedangkan dalam lapangan muamalah, Islam mengharamkan memperdaya,
memalsu, menipu, melampaui batas (boros) dan kikir terhadap diri sendiri. Islam juga
melarang menggunakan setiap yang najis dan berbahaya.
Dalam lingkup pidana, Islam mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak
dan kaum wanita dalam peperangan.Melarang penyiksaan dan khianat. Melarang
membunuh orang tidak bersenjata, dan membakar orang hidup-hidup atau sesudah mati.
Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat ini telah banyak dalil dan
dasarnya, seperti sabda Nabi Muhammad SAW,


Artinya: Sesungguhnya Allah SWT itu suci. Dia tidak menerima kecuali sesuatu yang
suci/baik.
Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia (dharuriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat) di atas, dalam mencapai kesempurnaan kemaslahatan yang diinginkan
syara sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Intinya ketiganya memiliki peranan
penting dan saling melengkapi dalam haltercapainya tujuan syari dalam pensyariatan
hukum Islam9.

2.2. Prinsip-prinsip Pensyariatan Hukum Islam


Pensyariatan sebuah hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, segala hal yang mengandung
kemudharatan harus dihindari dan dicegah. Secara umum, prinsip-psrinsip pokok yang
menjadi landasan pensyariatan hukum Islam dikelompokkan dalam dua hal:
a. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Maslahat berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan tenteram.
Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun
8
9

Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawali hal. 29
Koto, Alaiddin. 2012. Op.Cit. hal. 52

Pensyariatan Hukum Islam |7


yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam
hukum Islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat
dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak
ada satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada
pembahasannya dalam syariat Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan
mendalam.
Ulama menyimpulkan bahwa prinsip ini meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan adalah inti atau prinsip paling utama dalam pensyariatan hukum Islam.
Karena itulah syariat Islam diturunkan Allah bertujuan untuk mengatur supaya seluruh
perilaku manusia berdampak pada kemaslahatan mereka di dunia mapun di akhirat.
Dalam mencapai kemaslahatan itu, ada tiga tingkatan yang harus diperhatikan, yaitu
kemaslahatan pada yang diperbolehkan (mubah), kemaslahatan pada yang dianjurkan
(mandub atau sunnah), kemaslahatan pada yang diwajibkan (wajib).
Sedangkan kemafsadatan memiliki dua tingkatan, yaitu makruh dan haram. 10
b. Memberikan kemudahan dan menolak kesukaran
Ulama menetapkan salah satu kaidah pokok lainnya yaitu bagaimana pun semua
hal yang membuat segala sesuatu menjadi sempit dan sulit harus dihilangkan karena
agama diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan kesulitan bagi manusia.
Melainkan untuk memberikan kemudahan bagi mereka.11 Kaidah pokok itu adalah
( Kesulitan itu mendatangkan kemudahan).
Dasar dari kaidah tersebut adalah Quran surat Al-Haj ayat 78,

...
Artinya :
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Q.S. Al-Haj[22]: 78)

Sedangkan ada 3 prinsip lain selain 2 prinsip pokok yang telah disebutkan, yaitu:
a. Menyedikitkan beban
10
11

Ibid. hal. 147


Ibid. hal. 149

Pensyariatan Hukum Islam |8


Al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, paksa, berat. Adapun arti
terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara
berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian hari.
Dalam mengadakan aturan-aturan untuk manusia, selalu diusahakan oleh
Tuhannya agar aturan-aturan tersebut mudah dilaksanakan dan tidak merepotkan,
meskipun hal ini berarti tidak harus menghapuskan aturan (perintah-perintah) sama
sekali, sebab dengan perintah-perintah itu dimaksudkan agar keruncingan jiwa manusia
terhadap perbuatan yang buruk dapat dibatasi. Jadi, maksudnya dengan menyedikitkan
hukum Islam, ialah yang berlebih-lebihan dan yang menghabiskan kekuatan badan
dalam melaksanakannya.
Nabi melarang sahabat untuk banyak bertanya tentang masalah yang belum ada
hukumnya. Nabi justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah umum.
Dalam Al-Quran, ayat tentang hukum hanya sedikit, sehingga memberikan ruang
untuk berijtihad bagi manusia. Dengan demikian, hukum Islam tidaklah kaku, keras,
dan berat bagi manusia. 12
b. Ditetapkan secara bertahap
Tiap-tiap masyarakat tentu memiliki adat kebiasaan tersendiri, baik tradisi itu baik
maupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri. Tradisi tersebut ada yang berakar
dan mendarah daging.
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional
atau yang tingkat intelektualnya rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru
dalam kehidupannya. Lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan
dengan tradisi yang ada.
Menanggapi hal ini, Al-Quran turun dengan berangsur-angsur, surat demi surat,
ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Dengan cara
demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi dan lebih mendorong ke arah
mentaatinya serta bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerapkan
ketentuan yang baru.13
Hal ini dapat dicontohkan seperti pengharaman khomr yang bertahap

12
13

Djamil, Fatchurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu hal. 68
Ibid. hal. 69

Pensyariatan Hukum Islam |9

,

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". (Q.S. Al-Baqarah[2]: 219).
Dan ayat di atas tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, meskipun
dengan ayat ini seseorang yang jiwanya dalam lagi mengetahui rahasia tasyri akan
memahaminya, karena sesuatu yang banyak dosanya, sesuatu itu haram dilakukannya
karena perbuatan-perbuatan itu hanya mengandung keburukan-keburukan sematamata, sedang tempat berputarnya pengharam dan penghalalnya adalah memenangkan
kebaikan atas keburukan. Kemudian Allah menurunkan titahnya yang mengatakan
bahwa kepada mereka yang mabuk dilarang untuk solat. Allah berfirman :





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(Q.S. An-Nisa[4]: 43)

P e n s y a r i a t a n H u k u m I s l a m | 10
Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan yang
menguatkannya. Kemudian Al-Quran menjelaskan larangan sebagai keputusan secara
tegas kepada suatu hukum, dengan firman Allah,




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud

hendak

menimbulkan

permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu,
dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. Al-Maidah[5]: 90-91).
Begitulah Islam mensyariatkan sebuah hukum perbuatan atas dasar bertahap.
c. Mewujudkan keadilan yang merata
Keadilan memiliki beberapa arti. Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan
sesuatu pada tempatnya (wadl al-syai fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat
Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk
menyatukan urusan dalam ruang limgkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan.
Menurut syariat Islam, semua orang memiliki derajat atau kedudukan yang sama.
Penguasa tidak terlindung kekuasaannya ketika ia berbuat kedzaliman. Orang kaya dan
orang berpangkat tidak terlindung oleh harta dan pangkat ketika yang bersangkutan
berhadapan dengan pengadilan. 14
Dalam khutbah haji wada yang pengikutnya hampir seluruhnya orang
berkebangsaan Arab, rasul bersabda: Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan
orang ajam.
Salah satu dalil tentang keadilan adalah firman Allah SWT,
14

Ibid. hal. 73 dikutip dari Ahmad Hanafi, M.A. 1991. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang hal. 29

P e n s y a r i a t a n H u k u m I s l a m | 11




Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
Al-Maidah[5]: 8)

P e n s y a r i a t a n H u k u m I s l a m | 12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Bahwa tujuan pensyariatan hokum Islam adalah terpenuhinya 3 kebutuhan manusia
yang menunjukkan atas kemaslahatan umat manusia, yaitu kebutuhan dhoruriyat
(primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyat (pelengkap). Ketiganya harus berimbang
bila ingin adanya sebuah kemaslahatan yang sempurna dalam sebuah hukum.
2. Adapun prinsip pensyariatan hukum Islam ada beberapa prinsip, yaitu prinsip meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, memberikan kemudahan dan menolak
kesukaran, menyefikitkan beban, ditetapkan secara bertahap, dan merujudkan keadilan
yang nyata.

P e n s y a r i a t a n H u k u m I s l a m | 13
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fatchurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Khallaf, Abdul Wahhab. 1989. Kaidah-kaidah hukum Islam : (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta:
Rajawali
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Qardhawi, Yusuf. 1993. Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Kairo:
Maktabah.
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawali
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami.
Bandung: Al-Maarif
Zahrah, Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus
http://rifkygr.blogspot.com/2013/06/makalah-tarikh-tasyri-prinsip-prinsip.html diakses pada 1
Oktober 2014 pukul 7:30

Anda mungkin juga menyukai