Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Tujuan dari segala bentuk akad (ekonomi) yang jalankan oleh setiap
masyarakat adalah Qabd Maal (mendapatkan harta). Syaikh Islam Ibnu
Taimiyyah dalam hal ini pernah berkata: transaksi itu ada dua: akad dan qabd.
Rasulullah SAW pun menyebutkan kedua hal itu secara bersamaan:

‫ مسحاً إذا اقتضى‬،‫ مسحاً إذا قضى‬،‫ مسحاً إذا اشرتى‬،‫رحم هللا عبداً مسحاً إذا ابع‬

“Allah SWT akan memberikan rahmat kepada hamba-Nya yang


baik/bermurah hati dalam menjual, membeli, membayar hutang, dan
meminjam hutang.”
masyarakat pun berkata: ada jual - ada beli, ada yang mengambil – ada yang
menerima.
Tujuan dari akad adalah qabd dan istiifaa (menguasai/memanfatkan). Karena
sesungguhnya segala bentuk akad mewajibkan adanya qabd, dan kebolehan ini
kedudukannya adalah kewajiban dari syariat. Kemudian taqabud dan
semisalnya adalah bentuk menepati akad, yang kedudukannya seperti
melaksanakan apa yang diperintahkan dalam syariat.
Oleh karena itu qabd memiliki pengaruh dan nilai yang penting, ada
banyak perincian dan pembahasan mendalam terkait dengan qabd, yang
membutuhkan pemaparan dan penjelasan. Akan tetapi karena pembahasan
tersebut tidak terkumpul menjadi satu bab tertentu dalam berbagai referensi
maka
Oleh karena itu Qabd menjadi sangat penting, karena berpengaruh terhadap
segala konsekuensi setelah akad terjadi. Pada pembahasan ini banyak sekali
perincian dan pembahasan mendalam yang sangat membutuhkan kejelasan dan
pemaparan yang lengkap. Sebenarnya pembahasan ini tidak memiliki porsi
yang memadai dalam pembahasannya pada sumber-sumber rujukan utama
literatus islam pada masa klasik. Akan tetapi yang bisa dilakukan saat ini
adalah mengqiyaskan segala peristiwa/transaksi modern, seuai dengan
kebiasaan atau tradisi/hukum masyarakat yang berlaku. Maka sesorang yang
mendalami hal ini sudah seharusnya melakukan istinbath dengan sangat teliti
dan mendalam, pemahaman yang lengkap sesuai dengan kaidah syariah yang
telah ada. Dengan tanpa mengabaikan tradisi/hukum masyarakat yang berlaku
(selama tidak bertentangan denga syariat tentunya).
Pada pembahasan ini saya mengumpulkan berbagai macam judul,
beserta pendapat ulama dalam masalah tersebut, dan mencoba menyimpulkan
kaidah yang digunakan dari hukum yang telah ditetapkan yang terdapat dalam
kitab-kitab kompilasi hukum, ataupun tersebar di tiap bab, fashl dan juz, dan
setiap cabang dihubungkan dengan ashal nya. Kemudian, berlandaskan kepada
kaidah ushul yang telah didapatkan tadi ditetapkanlah hukum untuk berbagai
permasalahan muamalah modern. Semoga Allah SWT selalu memberikan
petunjuk.
Hakikat Qabd dan Macamnya

a. Qabd secara bahasa

Qabd secara bahasa adalah: memperoleh sesuatu dengan kedua telapak


tangannya, seperti seseorang yang menggenggam pedang atau yang lainnya.
Dikatakan: (beberapa contoh penggunaan kata qabd)

- ‫( قبض المال‬meng qabd harta) artinya: mengambil dengan tangannya.


- ‫( قبض اليد على الشيء‬tangan meng qabd sesuatu) artinya: mengumpulkannya
setelah didapatkan.
- ‫( قبضها عن الشيء‬meng qabd dari sesuatu) artinya: mengumpulkannya
sebelum didapatkan, maksudnya adalah tidak mengambil sebuah
pemberian pun kita dapat menggunakan kata qabd (‫)قبض عن‬.

Kata qabd juga dipinjam untuk menunjukan makna memperoleh sesuatu meski
tidak langsung menggunakan kedua telapak tangan.
Contoh:

.‫ أي حزتها‬،‫قبضت الدار واألرض من فالن‬

Saya mengqabd rumah dan tanah dari fulan, artinya: mendapatkannya.

.‫هذا الشيء في قبضة فالن‬

Benda ini ada di qabd nya fulan, artinya: berada dalam pemilikan dan
penguasaannya.

Dikatakan:
- ‫( قبضته عن األمر‬saya meng qabd nya dari urusan/jabatan) artinya: saya
melengserkannya.
- ‫)( تقبض عنه‬, artinya: tidak suka dan meniggalkannya.

Kata qabd juga digunakan dalam bentuk kiasan untuk menunjukan orang yang
meninggal dunia, seperti: ‫( قبض فالن‬si fulan di qabd), artinya: ia dicabut
nyawanya (meninggal). Disini kata qabd lebih dipahami kepada makna
meniadakan, karena sesuatu yang di qabd dari tempatnya maka ia sudah tidak
ada lagi disana, seperti barang yang dihilangkan dari tempatnya.

b. Qabd secara istiah fiqih

Tidak ada satupun perbedaan pendapat ulama -meski dengan perbedaan


madzhab mereka- bahwa qabd adalah istilah yang menunjukan perolehan
terhadap sesuatu serta mampu memanfaatkannya, baik ia bisa
diambil/digenggam oleh tangan ataupun tidak.
Al-Kasani berkata: makna qabd adalah bisa dimanfaatkan tanpa ada satupun
penghalang, baik secara urf dan ‘adah haqiqah.
3. melihat kepada makna qabd secara bahasa dan istilah, bisa kita perhatikan
bahwa terdapat ukuran makna umum dan khusus secara muthlak. Karena
memang sesungguhnya dalam bahasa kata qabd digunakan untuk
“diperolehnya sesuatu” meski dengan tidak menggunakan kedua telapak
tangan -sebagaimana disebutkan dalam maknanya secara istilah- dan juga
digunakan untuk makna-makna lain. Maka setiap makna qabd yang secara
istilah juga termasuk didalamnya makna qabd secara bahasa, akan tetapi tidak
bisa sebaliknya. Karena makna yang lebih khusus otomatis pasti juga memiliki
makna umumnya dan tidak sebaliknya.

Macam-macam qabd
Imam al-‘Iz ibn Abdssalaam membagi qabd dari sisi perbuatan pelakunya
kedalam tiga macam: (pembagian ini diikuti oleh al-Qarafiy)
Pertama: qabd dengan izin dari syariat yang tidak membutuhkan izin mustahiq
(pemegang/pemilik barang) nya. Diantaranya:

a. Qabd nya penegak hukum atau hakim atas barang curian dari pencuri,
qabd atas harta zakat, hak-hak baitulmaal, harta yang hilang, harta para
tahana yang tidak terjaga, harta orang-orang gila dan lain semacamnya.
b. Qabd nya orang yang menemukan pakaian dirumahnya dari angin yang
membawanya.
c. Qabd nya orang yang sedang dalam bahaya/darurat atas makanan orang
lain tanpa seizin pemiliknya.
d. Qabd nya

Kedua: qabd yang hanya boleh dilakukan dengan seizin mustahiq


(pemegang/pemilik barang) nya. Seperti: meng qabd barang yang dibeli seizin
penjualnya, qabd pada jual beli fasid, qabd atas barang gadai, hibah, shadaqah,
pinjaman, titipan dan semua jenis barang amanah.
Ketiga: qabd yang tidak menggunakan izin dari syariat dan juga mustahiqnya.
Yang terkadang diketahui keharamannya, seperti meng qabd barang dengan
mencuri, maka pencuri itu berdosa, dan harus mengganti apa yang telah ia
ambil tanpa hak. Dan terkadang pula tidak diketahui bahwa itu haram, seperti
orang yang mengambil barang yang ia duga sebagai miliknya, yang kemudia
terbukti salah. Al-Qarafi pernah berkata: (dalam masalah ini tidak dipahami
bahwa syariat mengijinkannya untuk mengambilnya, akan tetapi ia dimaafkan
dari dosa). Oleh karena itulah pelaku tadi tidak berdosa, meski tidak
diperbolehkan, dan ia harus menggantinya.

Tata cara qabd


Cara qabd berbeda-beda sesuai dengan sifat/kriteria objeknya, yang secara
keseluruhan dapat diklasifikasikan kepada dua keadaan: ‘aqaar dan manquul.

a. Cara qabd ‘aqaar

Apa itu al-‘aqaar? Ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan
‘aqaar, yang terbagi menjadi dua pendapat:
Hanafi
‘Aqaar adalah: ((apa yang memiliki ashl/pondasi/akar yang tetap/permanen,
tidak dapat dipindahkan)) seperti: tanah/lahan dan desa. Adapun bangunan dan
pepohonan keduanya termasuk kategori manqul (dapat dipindah tempat),
kecuali jika ikut kedalam tanah, maka hukumnya seperti ‘aqaar dengan
turunan.

Syafii, Maliki, dan Hanbali


‘Aqaar adalah: tanah, bangunan dan pohon.
Hanafi, Syafii, Maliki, Hanbali dan Dzahiri telah sepakat bahwa qabd yang
diperlukan untuk ‘aqaar adalah dengan takhliyyah (mengkosongkannya) dan
(tamakkun) memungkinkannya untuk dimanfaatkan. Karena jika tidak dapat
dimanfaatkan seperti jika ada seseorang yang menghalang-halangi
pengunaannya, maka jika hanya dengan mengkosongkannya belum bisa
disebut qabd.
Madzhab Syafi’i menambahkan: qabd dengan kedua cara diatas juga
disyaratkan jika objeknya tidak diukur. Adapun jika objek dapat diukur, seperti
tanah petak, maka qabd nya tidak cukup dengan dikosongkan dan
dikondosikan saja, tetapi juga harus dengan memperikan hasil pengukurannya.
Makdzhab hanafi mensyaratkan ‘aqaar harus berada dekat. Karena jika ia jauh
maka mengkosongkannya saja tidak cukup sebagai qabd. Ini ada pendapat dua
sahabat dalam madzhab hanafi (Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan), juga
merupakan pendapat yang dzahir dan mu’tamad dalam madzhab hanafi, akan
tetapi berbeda dengan Imam Abu Hanifah sendiri yang tidak mensyaratkan
jauh dekatnya ‘aqar tersebut.
Mereka (juhmur fuqaha) mencatat bahwa ‘aqar yang memiliki kunci, maka
qabd nya adalah dengan memberiakan kunci dan mengkosongkannya.dimana
si pembeli dapat nantinya dengan mudah membukanya.
Madzhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa buah yang masih
berada di pohonnya sebagai ‘aqaar, dan qabdnya adalah dengan takhliyyah
(membiarkan untuk diambil) dan tidak menghalang-halangi untuk diambil. Hal
ini karena ....

b. Cara qabd manqul

Setelah menjelaskan qabd ‘aqar, tiba gilirannya membahas qabd manqul,


karena sesuatu yang di qabd tidak akan terlepas dari ‘aqar atau manqul.
Manqul adalah: apa yang bisa dipindah tempatkan. Maka termasuk didalamnya
seperti: uang, barang dagangan, hewan, mobil, perahu, pesawat, barang-barang
yang di takar, barang-barang yang ditimbang dan segala yang serupa dengan
hal itu.
Ulama berbeda pendapat mengenai qabd nya benda-benda manqul:
Madzhab Hanafi: qabd manqul bisa dengan tangan, atau dikondisikan agar bisa
digunakan. Dalam kitab Majallatulahkaam al-adhliyyah disebutkan:
menyerahkan barang dagangan adalah dengan memberikannya ke tangan
pembeli, dismpan disampingnya, atau mengijinkannya untuk mengambiln
setelah diperlihatkan barangnya. Ibnu Abidin berkata didalam kitab Hasyiyah
(Rad al-Mukhtar) nya: takhliyyah cukup menjadi qabd yang sah jika barang
memang bisa diperoleh tanpa kesulitan, meski tetapi masalah ini berbeda
tergantung kondisi barang yang dijual, seperti diantaranya: biji tanaman
gandum yang disimpan didalam rumah, jika dengan memberikan kuncinya saja
memungkinkan pembeli untuk bisa mengambilnya maka ia sudah termasuk
qabd. Adapun rumah, jika bisa dikunci oleh si pembeli maka ia qabd. Sapi di
tempat gembala, jika bisa terlihat dan ditunjukkan maka itu sudah qabd.
Pakaian yang dapat diraih oleh tangan pembeli adalah qabd. Kuda dan burung
dalam rumah jika mungkin untuk diambil tanpa ada hambatan tetentu juga
termasuk qabd.
Kitab al-Fatawa al-Hindiyyah menyebutkan: seorang lelaki menjual barang
dengan takaran atau timbangan, kemudian berkata: aku telah mempersilahkan
antara kamu pembeli dengan barang itu, kemudian memberikan kuncinya,
meski belum ditakar atau ditimbang, tapi sudah menjadi qabd bagi si pembeli.
Masih dalam kitab yang sama dikatakan: menyerahkan barang dagangan
adalah mempersilahkan antara penjual dan pembeli sehingga pembeli dapat
mengambil barang tanpa halangan, dan penjual juga dapat menerima
bayarannya.
Madzhab hanafi menjadikan takhliyyah beserta kemungkinan barnag untuk
diambil, sebagai qabd barang-barang manqul dengan alasan: karena
penyerahan suatu barang menurut arti bahasa adalah menjadikan barang
tersebut aman dan murni tanpa intervensi dari siapapun, dan semua ini bisa
dicapai dengan takhliyyah. Dan juga karena orang yang wajib menyerahkan
sesuatu maka ia harus memiliki jalan untuk melaksanakan kewajibannya, dan
yang bisa seorang penjual lakukan adalah mempersilahkan barang untuk
diambil tanpa menghalang-halangi. Adapun sampai membuat si pembeli
mengambil barangnya, maka itu sudah berada diluar kemampuan penjual,
karena mengambil barang dengan kedua tangan si pembeli merupaka pilihan.
Jika kewajiban menyerahkan barang ditambahkan dengan kewajiban membuat
pembeli mengambil barang, maka bisa jadi penjual tidak akan mampu
melaksanakan kewajibannya, dan ini tidak boleh.
Dalam masalah ini -menjadikan takhliyyah sebagai qabd atas benda manqul-
Iman Ahmad dalam salah satu riwayatnya sepakat dengan madzhab Hanafi,
karena takhliyyah cukup membuat pembeli mampu menguasai barangnya, dan
itulah yang diinginkan dari qabd, dan itu sudah tercapai
Madzhab Dzahiri berpendapat: qabd manqul adalah dengan memindahkan
barang kepada pembeli.
Jumhur Fuqaha berpendapat: barang-barang manqul dapat dibedakan dari sisi
jenis qabd nya. Karena sebagian bisa diambil dengan tangan dan sebagian
lainnya tidak. Dan yang tidak bisa diambil dengan tangan ada dua macam:
pertama: tidak memerlukan pengukuran saat akad / tidak memiliki satuan ukur
yang baku, kedua: harus diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa menurut
pendapat juhmur fuqaha, ada tiga kondisi bagi barang manqul:
Kondisi pertama: barnag yang bisa diambil dengan tangan, seperti uang,
pakaian, permata, perhiasan dan semisalnya. Qabd nya adalah diambil dengan
tangan. Ini adalah pendapat juhmur madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.
Kondisi kedua: barang yang tidak bisa diukur baik dengan takaran, timbangan,
besar dan bilangannya. Bisa jadi karena memang tidak memungkinkan, atau
dapat dimungkinkan tapi tidak diperlukan. Seperti benda, hewan, dan makanan
yang tidak ditakar atau ditimbang. Dalam masalah ini madzhab Maliki berbeda
pendapat dengan Syafi’i dan Hanbali mengenai bentuk qabd nya:
Maliki: qabd nya adalah sesuai kebiasaan masyarakat yang berlaku.
Syafi’i dan Hanbali: qabd nya adalah dengan memindahkannya.
Mereka berdalil menggunakan riwayat/hadist dan ‘urf:

- Hadist riwayat dari Ibnu Umar.

َ ُ‫صلَّى هللا‬
‫علَ ْي ِه‬ ِ ‫ان ِجزَ ا ًفا فَنَ َهانَا َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬ ِ ‫الر ْك َب‬
ُّ َ‫ام مِن‬ َّ ‫ كُنَّا نَ ْشت َِري ال‬:َ‫ع ْن ُه َما قَال‬
َ ‫ط َع‬ َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ِن ب ِْن عُ َم َر َر‬ َ
‫سلَّ َم أَ ْن نَ ِب ْي َعهُ َحتَّى نَ ْنقُلَهُ م ِْن َمكَا ِن ِه‬
َ ‫َو‬
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli
makanan secara taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai
kami memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526)
Adapun hukum untuk selain makanan diqiyaskan kepada makanan.

- Urf.
Maksudnya adalah karena para pelaku akad atas barang manqul
(masyarakt) tidak menganggap orang yang hanya meraih barang
sebagai qabd, jika tanpa dipindahkan (ketempatnya). Karena ruas jari
saja tidak cukup untuk menetapkan perkara.

Kondisi ketiga: barang yang bisa diukur dengan takaran, timbangan, besar dan
jumlahnya. Seperti orang yang membeli biji gandum dengan ditakar, barang
dengan ditimbang, pakaian dengan diukur, atau dihitung dengan bilangan.
Dalam kondisi ini sepakat madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali bahwa qabd
nya adalah dengan diambil sesuai ukuran yang telah ditetapkan. Dalam kitab
majallah al-ahkam al-syar’iyyah ‘ala madzhab al-imam ahmad disebutkan:
barang jualan yang ditakar, ditimbang, diukur atau dihitung qabd yang berlaku
adalah dengan melakukan pengukuran tersebut dihadapan pembeli atau
wakilnya. Penjual bahkan boleh mewakilkan pengukurannyan kepada pembeli
itu sendiri.
Adapun madzhab Syafi’i mereka memberikan syarat tambahan, yaitu agar
barangnya juga dipindahkan.
Jumhur fuqaha menyebutkan bahwa qabd barang yang diukur dari jenis barang
manqul adalah dengan mnggunakan satuan ukur yang berlaku dimasyarakat
seperti takaran, timbangan, besaran dan jumlahnya. Dalil adalah:
‫صاعُ ا ْل َبائ ِِع‬
َ ‫ان‬
ِ ‫صا َع‬ َّ ‫ع ْن َبي ِْع ال‬
َ ‫ط َع ِام َحتَّى َيجْ ِر‬
َّ ‫ي فِي ِه ال‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ُ َّ‫صلَّى َّللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ َّ‫ع ْن َجا ِب ٍر َقا َل نَ َهى َرسُو ُل َّللا‬
َ
‫صاعُ ْال ُم ْشت َِري‬ َ ‫َو‬
Dari Jabir radhiyaAllahu ‘anhu ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang menjual makanan hingga dilakukan dua penimbangan,
penimbangan pertama oleh penjual, penimbangan kedua oleh pembeli."
ُ‫طعَا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْكتَالَه‬
َ َ‫ « َم ِن ا ْبتَاع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ َّ‫َّاس َقا َل قَا َل َرسُو ُل َّللا‬
ٍ ‫عب‬َ ‫ع ِن اب ِْن‬
َ »
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga
ia benar-benar menakarnya.”
Dalil ini menunjukan bahwa qabd tidak dapat dilakukan tanpa pengukuran
terlebih dahulu. Adapun barang-barang lain hukumnya diqiyaskan dengan ini.
Setelah pemaparan ini, yaitu pendapat para ahli fiqih dengan segala
perbedaannya mengenai qabd ‘aqaar dan manquul, menunjukan kepada kita
sebuah hakikat yang penting, yaitu akar perbedaan pendapat semua ini adalah
adanya perbedaan adat kebiasaan yang berlaku dan dilakukan dalam
pelaksanaan qabd terhadap berbagai barang. Al-Khatib al-Syirbini berkata:
karena sesungguhnya Allah SWT menetapkan qabd dan hukumnya, tanpa
menerangkan illat nya, dan tidak dapat ditentukan hanya dari pengertian
bahasanya, maka semua dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku.
Taqiyyuddiin Ibu Taimiyyah berkata: sesuatu yang tidak ada
definisnya secara bahasa dan syariah, maka rujukannya adalah urf masyarakat,
seperti qabd yang disebutkan dalan sabda Rasulullah SAW: Siapa saja yang
membeli makanan atau bahan makanan maka janganlah dia menjual kembali
sampai ada qabdh.
Imam al-Khattabi pernah menyebutkan penyebab perbedaan pendapat
dalam masalah ini seraya berkata: bentuk-bentuk qabd berbeda-beda sesuai
karakter barang itu sendiri, dan juga menyesuaikan dengan adat kebiasaan
manusia.

Anda mungkin juga menyukai