Tujuan dari segala bentuk akad (ekonomi) yang jalankan oleh setiap
masyarakat adalah Qabd Maal (mendapatkan harta). Syaikh Islam Ibnu
Taimiyyah dalam hal ini pernah berkata: transaksi itu ada dua: akad dan qabd.
Rasulullah SAW pun menyebutkan kedua hal itu secara bersamaan:
مسحاً إذا اقتضى، مسحاً إذا قضى، مسحاً إذا اشرتى،رحم هللا عبداً مسحاً إذا ابع
Kata qabd juga dipinjam untuk menunjukan makna memperoleh sesuatu meski
tidak langsung menggunakan kedua telapak tangan.
Contoh:
Benda ini ada di qabd nya fulan, artinya: berada dalam pemilikan dan
penguasaannya.
Dikatakan:
- ( قبضته عن األمرsaya meng qabd nya dari urusan/jabatan) artinya: saya
melengserkannya.
- )( تقبض عنه, artinya: tidak suka dan meniggalkannya.
Kata qabd juga digunakan dalam bentuk kiasan untuk menunjukan orang yang
meninggal dunia, seperti: ( قبض فالنsi fulan di qabd), artinya: ia dicabut
nyawanya (meninggal). Disini kata qabd lebih dipahami kepada makna
meniadakan, karena sesuatu yang di qabd dari tempatnya maka ia sudah tidak
ada lagi disana, seperti barang yang dihilangkan dari tempatnya.
Macam-macam qabd
Imam al-‘Iz ibn Abdssalaam membagi qabd dari sisi perbuatan pelakunya
kedalam tiga macam: (pembagian ini diikuti oleh al-Qarafiy)
Pertama: qabd dengan izin dari syariat yang tidak membutuhkan izin mustahiq
(pemegang/pemilik barang) nya. Diantaranya:
a. Qabd nya penegak hukum atau hakim atas barang curian dari pencuri,
qabd atas harta zakat, hak-hak baitulmaal, harta yang hilang, harta para
tahana yang tidak terjaga, harta orang-orang gila dan lain semacamnya.
b. Qabd nya orang yang menemukan pakaian dirumahnya dari angin yang
membawanya.
c. Qabd nya orang yang sedang dalam bahaya/darurat atas makanan orang
lain tanpa seizin pemiliknya.
d. Qabd nya
Apa itu al-‘aqaar? Ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan
‘aqaar, yang terbagi menjadi dua pendapat:
Hanafi
‘Aqaar adalah: ((apa yang memiliki ashl/pondasi/akar yang tetap/permanen,
tidak dapat dipindahkan)) seperti: tanah/lahan dan desa. Adapun bangunan dan
pepohonan keduanya termasuk kategori manqul (dapat dipindah tempat),
kecuali jika ikut kedalam tanah, maka hukumnya seperti ‘aqaar dengan
turunan.
َ ُصلَّى هللا
علَ ْي ِه ِ ان ِجزَ ا ًفا فَنَ َهانَا َرس ُْو ُل
َ هللا ِ الر ْك َب
ُّ َام مِن َّ كُنَّا نَ ْشت َِري ال:َع ْن ُه َما قَال
َ ط َع َ ُي هللا َ ض ِ ع ِن ب ِْن عُ َم َر َر َ
سلَّ َم أَ ْن نَ ِب ْي َعهُ َحتَّى نَ ْنقُلَهُ م ِْن َمكَا ِن ِه
َ َو
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Dahulu kami (para sahabat) membeli
makanan secara taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai
kami memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526)
Adapun hukum untuk selain makanan diqiyaskan kepada makanan.
- Urf.
Maksudnya adalah karena para pelaku akad atas barang manqul
(masyarakt) tidak menganggap orang yang hanya meraih barang
sebagai qabd, jika tanpa dipindahkan (ketempatnya). Karena ruas jari
saja tidak cukup untuk menetapkan perkara.
Kondisi ketiga: barang yang bisa diukur dengan takaran, timbangan, besar dan
jumlahnya. Seperti orang yang membeli biji gandum dengan ditakar, barang
dengan ditimbang, pakaian dengan diukur, atau dihitung dengan bilangan.
Dalam kondisi ini sepakat madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali bahwa qabd
nya adalah dengan diambil sesuai ukuran yang telah ditetapkan. Dalam kitab
majallah al-ahkam al-syar’iyyah ‘ala madzhab al-imam ahmad disebutkan:
barang jualan yang ditakar, ditimbang, diukur atau dihitung qabd yang berlaku
adalah dengan melakukan pengukuran tersebut dihadapan pembeli atau
wakilnya. Penjual bahkan boleh mewakilkan pengukurannyan kepada pembeli
itu sendiri.
Adapun madzhab Syafi’i mereka memberikan syarat tambahan, yaitu agar
barangnya juga dipindahkan.
Jumhur fuqaha menyebutkan bahwa qabd barang yang diukur dari jenis barang
manqul adalah dengan mnggunakan satuan ukur yang berlaku dimasyarakat
seperti takaran, timbangan, besaran dan jumlahnya. Dalil adalah:
صاعُ ا ْل َبائ ِِع
َ ان
ِ صا َع َّ ع ْن َبي ِْع ال
َ ط َع ِام َحتَّى َيجْ ِر
َّ ي فِي ِه ال َ سلَّ َم َ ُ َّصلَّى َّللا
َ علَ ْي ِه َو َ ِ َّع ْن َجا ِب ٍر َقا َل نَ َهى َرسُو ُل َّللا
َ
صاعُ ْال ُم ْشت َِري َ َو
Dari Jabir radhiyaAllahu ‘anhu ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang menjual makanan hingga dilakukan dua penimbangan,
penimbangan pertama oleh penjual, penimbangan kedua oleh pembeli."
ُطعَا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْكتَالَه
َ َ « َم ِن ا ْبتَاع-صلى هللا عليه وسلم- ِ ََّّاس َقا َل قَا َل َرسُو ُل َّللا
ٍ عبَ ع ِن اب ِْن
َ »
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga
ia benar-benar menakarnya.”
Dalil ini menunjukan bahwa qabd tidak dapat dilakukan tanpa pengukuran
terlebih dahulu. Adapun barang-barang lain hukumnya diqiyaskan dengan ini.
Setelah pemaparan ini, yaitu pendapat para ahli fiqih dengan segala
perbedaannya mengenai qabd ‘aqaar dan manquul, menunjukan kepada kita
sebuah hakikat yang penting, yaitu akar perbedaan pendapat semua ini adalah
adanya perbedaan adat kebiasaan yang berlaku dan dilakukan dalam
pelaksanaan qabd terhadap berbagai barang. Al-Khatib al-Syirbini berkata:
karena sesungguhnya Allah SWT menetapkan qabd dan hukumnya, tanpa
menerangkan illat nya, dan tidak dapat ditentukan hanya dari pengertian
bahasanya, maka semua dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku.
Taqiyyuddiin Ibu Taimiyyah berkata: sesuatu yang tidak ada
definisnya secara bahasa dan syariah, maka rujukannya adalah urf masyarakat,
seperti qabd yang disebutkan dalan sabda Rasulullah SAW: Siapa saja yang
membeli makanan atau bahan makanan maka janganlah dia menjual kembali
sampai ada qabdh.
Imam al-Khattabi pernah menyebutkan penyebab perbedaan pendapat
dalam masalah ini seraya berkata: bentuk-bentuk qabd berbeda-beda sesuai
karakter barang itu sendiri, dan juga menyesuaikan dengan adat kebiasaan
manusia.