Dalil yang diperselisihkan bermakna bahwa dalil-dalil tersebut diperselisihkan oleh ulama tentang
kehujjahannya dalam menentukan sebuah hukum dalam syariat. Hal ini berbeda dengan dalil-dalil yang
seperti alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas.
1. Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti menganggap baik atau menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut
istilah, ulama ushul fikih memaknai istihasan sebagai berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jaliy
keada qiyas khafiy karena ada sesuatu yan dianggap baik, atau berpindahnya seorang mujtahid dari dalil
yang kuat kepada dalil yang lemah karena adanya sesuatu yang dianggap baik.
Untuk memahami istihasan lebih rinci berikut harus dipahami pembagian istihsan menurut ulama:
“Nabi saw melarang jual beli hashoh dan jual beli gharar”
Namun ulama berijma’ membolehkan jenis jual beli ini berdasarkan kesepahaman mereka
(ulama) pada hadis nabi yang membolehkan jual beli salam karena menganggap adanya
kebaikan di dalamnya, kebaikannya di antaranya adalah kebutuhan manusia.
2. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah sendiri secara istilah terdiri dari dua kata yaitu Maslahah dan Mursalah, kata
Maslahah menurut bahasa adalah “manfaat” sedangkan kata Mursalah yaitu “lepas” jadi kata Maslahah
Mursalah menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap Maslahah namun tidak ada ketegasan hukum
yang merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu yang mendukung ataupun menolak dari
perkara tersebut.
Menurut Abdul Wahab Khallaf Maslahah Mursalah yaitu segala sesuatu yang dapat mendatangkan atau
memberi kemaslahatan tetapi di dalamnya tidak terdapat ketegasan atau doktrin hukum untuk
menyatakannya dan juga tidak ada dalil atau nash yang memperkuat (mendukung) atau menolaknya.
Maslahah Mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum namun tidak ada petunjuk syara’ yang menolaknya.
Pada dasarnya masalahah jika ditinjau dari keterterimaannya dalam syariat itu dibagi menjadi 3:
1). maslahah mu’tabarah; yaitu maslahat yang ditetapkan berdasarkan syariat (dalil nash), seperti
hukum potong tangan bagi pencuri, hukum cambuk bagi pezina dll, kemaslahatan yang ada dalam
hukum-hukum tersebut berdasarkan pada dalil alquran atau hadis. 2). Maslahah mulghah; yaitu
kemasalahatan yang tertolak oleh syariat, misal seorang raja yang melakukan hubungan badan di siang
hari di bulan ramadhan maka akan dikenakan kafarat, sebagian ulama berkata untuk menimbulkan efek
jera bagi pelakunya maka raja jangan diberikan kafarat memerdekakan budak karena ia akan dengan
mudah melakukannya (karena raja adalah oran kaya yang banyak memiliki budak), maka ulama berkata
raja tersebut harus membayar kafarat puasa 2 bulan berturut-turut agar ada efek jera, namun pendapat
ini bertentangan dengan hadis nabi dari Abu hurairah bahwa kafarat bagi pelaku hub badan suami istri
di siang hari di bulan ramadhan adalah pertama memerdekakan budak, jika tidak mampu maka
berpuasa 2 bulan berturut2, lalu jika tidak mampu barulah memberi makan 60 org fakir miskin. 3).
Maslahah yang tidak ada dalil syar’I nya namun juga tidak tertolak, ini yang disebut dengan maslahah
mursalah, mursal atau mursalah artinya terlepas, yaitu terlepas dari dalil syari dan terlepas dari
penolakannya.
Jadi maslahah mursalah adalah suatu asas kemaslahatan yang tidak ada dalil syara’nya namun juga
secara hukum tidak tertolak/bertentangan dgn dalil yang ada.
Kemaslahatan yang dimaksud adalah semua hal yang dapat mendatangkan manfaat dan/atau
menghilangkan mudharat/bahaya.
1. Kategori dharuriyah (primer); kategori ini adalah kategori yang harus ada, artinya jika tidak ada
maka hal-hal ini akan membawa kepada kumdharatan baik dunia maupun akhirat; masalah
dharuriyah ini terbagi menjadi 5: 1. menjaga agama, 2. Menjaga jiwa, 3. Menjaga harta, 4.
Menjaga akal, dan 5. Menjaga keturunan. Maka segala hal yang dapat mengancam 5 hal
tersebut di atas harus dihilangkan. Seperti larangan memakan bangkai bagi orang yang tersesat
sepekan di hutan dan tidak ada lagi yang bisa dimakannya kecuali bangkai untuk melanjutkan
hidupnya maka hukum haram dalam perkara ini harus dihilangkan.
2. Kategori hajiyyah (sekunder); kategori ini adalah hal-hal yang menjadi pelengkap dari kategori
pertama, hal-hal yang masuk pada kategori ini tidak akan mengancam keselamatan manusia
namun akan membawa pada kesukaran/kesusahan jika ia tidak ada. Seperti kebolehan jual beli
murabahah, salam, istisna’ dan lainnya.
3. Kategori tahsiniyyah (tersier), kategori ini hanyalah pelengkap dari dua kategori sebelumnya,
artinya ketiadaannya tidak akan menghilangkan keselamatan juga tidak memberi kesukaran.
Seperti dalam ibadah shalat (dharudiyah) kita dianjurkan untuk mencari tempat yang bersih,
menggunakan pakaian bersih, wangi, dll. Secara hukum, menggunakan pakaian tidak bersih
untuk shalat dibolehkan, namun secara tahsiniyyah dianjurkan untuk memakai pakaian yang
bersih.
Contoh sederhananya untuk memahami ketiga kebutuhan tadi adalah: seperti minum, minum
merupakan kebutuhan primer (dharuriyah) karena seseorang bisa mati jika tak minum,
menggunakan gelas atau sejenisnya merupakan kebutuhan sekunder (hajiyah) yang akan sulit
bagi seseorang untuk minum tanpa alat tersebut walau sebenarnya minum tanpa alat seperti
gelas dan sejenisnya tidak akan mengancam jiwa, sedangkan menggunakan gelas yang
baik/mahal merupakan kebutuhan pelengkap (tahnisiyah).
Inilah yang dimaksudkan dengan maslahah, artinya semua jenis hal yang dapat memberikan manfaat
dan/atau menghilangkan mudharat.
Dalam kajian maslahah mursalah, berarti menciptakan atau menghadirkan perkara yang secara asal
tidak memiliki dalil syar’I, namun penciptaan perkara hukum ini ditujukan untuk menghadirkan
kemaslahatan (menghindarkan mudharat dan mendatangkan manfaat), dengan catatan keputusan
perkara hukum ini tidak boleh bertentangan dengan syariat.
Menurut Jumhur Ulama bahwa Maslahah Mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam bila
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Maslahah tersebut haruslah Maslahah yang haqiqi bukan hanya yang berdasarkan prasangka atau
asumsi dan juga merupakan kemaslahatan yang nyata, artinya dapat membawa kemanfaatan dan
menolak kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau
prasangka adanya penolakan terhadap kemudharatan, maka pembinaan hukum semacam itu adalah
berdasarkan prasangka saja dan tidak berdasarkan syariat yang benar. Seperti pengalihan infaq
jamaah masjid, tidak boleh mengalihakn infaq jamaah untuk kemaslahan social seperti bantuan studi
marbot dll berdasarkan asumsi bahwa jamaah rtelah ridho atas peralihan itu.
b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik
untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa
dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudharatan terhadap orang banyak pula.
Seperti menyelamatkan jiwa anak sendiri dari sebuah musibah dengan mengorbankan orang banyak.
c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalam Al Qur’an dan
Hadist baik secara dzahir atau batin. Seperti merobohkan masjid untuk membangun sekolah.
3. ‘Urf
Urf secara bahasa artinya kebiasaan atau adat, secara istilah ‘urf berarti sebuah kebiasaan yang
dilakukan sekelompok manusia (bukan individu atau kelompok kecil), dan mereka telah melakukannya
secara kontinyu, bukan kebiasaan dadakan atau yang kadang-kadang dilakukan, dan kebiasaan tersebut
dapat diterima oleh akal sehat dan tidak bertentangan dengan syariat.
a. Al-qoul (ucapan)
Yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan ucapan, yaitu ucapan muncul dari ucapan
segolongan manusia dan lainnya dan sudah menjadi hal yang diterima oleh halayak ramai:
seperti istilah daging tidak termasuk daging ikan, secara umum ketika manusia menyebut daging
maka yang dimaksud adalah semua jenis daging kecuali ikan, karna kebiasaan manusia tidak
menyebut daging ikan sebagai daging. Atau kata walad ( )ولدdalam alquran dimutlakan pada
semua jenis anak baik laki-laki atau perempuan, walau sebenarnya secara umum manusia
penutur bahasa Arab jika mengatakan walad ( )ولدberarti yang dimaksud adalah anak laki-laki,
namun alquran tidak demikian, maka dapat dipahami bahwa ketika alquran menyebutkan kata
walad ( )ولدmaka maksudnya adalah anak laki-laki dan perempuan. Atau kata “terserah” pada
lisan wanita bermakna ketidak jelasan. (^o^)
b. Al-Fi’li (perbuatan)
Yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang sudah menjadi kebiasaan
umum dan diterima oleh semua orang, bukan sekelompok kecil orang apalagi individu tertentu
seperti diamnya seorang perempuan bermakna dia sedang ngambek/marah. (huffffttt.. begitu
syullit), atau serah terima uang dala akad jual beli sebagai petunjuk kedua belah pihak telah ijab
dan qabul.
a. ‘Urf Sohih; adalah kebiasaan yang diketahui secara umum (bukan sekelompok orang saja) dan
kebiasaan tersebut dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan dengan syariat.
Seperti akad istishna’, kebiasaan anak mencium tangan orangtuanya dsb.
b. ‘Urf Fasid; adalah kebiasaan yang diketahui secara umum dan dilakukan oleh manusia namun
bertentangan dengan akal sehat dan syariat; seperti healing sampai hilang, minum khamar saat
pesta, jabat tangan perempuan dan laki2 ajnabi dll.
Sebenarnya ulama banyak dan berbeda dalam membuat syarat diterimanya ‘urf, namun secara umum
dapat kita sebutkan sebagai beikut:
a. ‘urf atau kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang diketahui oleh banyak orang, nukan
kelompok kecil atau satu keluarga saja, dengan kata lain semua orang dalam negeri/wilayah
tersebut mengakui atau menjalankan kebiasaan tersebut secara kontinyu, bukan hanya sekali-
kali.
b. ‘urf tidak bertentangan dengan syariat dan dapat diterima oleh akal sehat.
c. ‘urf tersebut sudah berlaku lama.
d. ‘urf tersebut membawa manfaat dan/atau menghilangkan mudharat.
4. Sadduz dzari’ah
Secara bahasa, Saddu artinya: menutup, mencegah, menghalangi. Dari kata: sadda-yasiddu-saddan.
“Saddu Dzari’ah yaitu: melarang sesuatu yang zahirnya mubah, namun menjadi jalan menuju sesuatu
yang haram.”
سد األمر الذي ظاهره اإلباحة إّال أنه ُيفضي ويؤول إلى المفسدة وفعل المحرم
“Saddu Dzari’ah adalah: melarang sesuatu yang secara zahir mubah, namun mengantarkan dan
mengakibatkan pada mafsadah dan perbuatan haram.”
Contoh: Menanam anggur secara asal hukumnya adalah mubah, namun jika menanam anggur utk
tujuan dijadikan bahan membuat minuman keras maka menjadi haram.
Sadduz dzri’ah ini dapat dipahami secara sederhana sebagi menutup segala keran yang memungkinkan
untuk terjadinya kejahatan/dosa.
5. Istishab
Istishab secara bahasa berarti membersamai atau terus menerus bersama. Sedangkan yang dimaksud
dengan istishab menurut ulama ushul fikih adalah menjadikan hukum semula sebagaimana adanya
sampai adanya keyakinan perubahan hukum tersebut. seperti seseorang yang telah melakukan shalat
zuhur dan ketika tiba waktu ashar tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa wudhunya telah batal, maka
dia dianggap masih memiliki wudhu, dalam hal ini hukumnya kembali kepada hukum awal bahwa dia
telah berwudhu.
Pembagian istishab:
1. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah; Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:
Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar
Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri.
Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad
mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya. Atau seseorang terbebas dari
kewajiban membayar zakat maal jika orang tersebut tidak memiliki harta yang mencapai nishab
zakat maal, karena pada hakikatnya setiap orang itu terbebas dari segala jenis tanggungan.
2. istishab al-ibahah al-ashliyyah; yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah.
Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:
Contohnya, hewan jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun
hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah
dijelaskan hukum keharamannya, seperti memiliki tariang dan kuku untuk berburu mangsa dll.
Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan makan jerapah.
3. istishab al-hukm; yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai
sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa,
kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu
sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap
sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. Atau orang yang wudhu
kemudian dari tempat wudhunya tidak menggunakan alas kaki sehingga menimbulkan keraguan
apakah ada najis yang diinjaknya, maka hukumnya tetap bahwa dia masih dalam keadaan
wudhu. Atau orang yang menjual kambing, saat transaksi kambing tersebut dalam keadaan
normal, setelah pembayaran dan hendak dimuat ke atas kendaraan kambing tersebut tiba-tiba
cacat kakinya, dalam kasus ini yang dimenangkan (dibenarkan) adalah penjual karena asalnya
kambing tersebut sehat (normal).
4. istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
Maka ketika orangtuanya meninggal dan hendak dibagi warisan, orang hilang tersebut tetap
harus dibagikan jatahnya untuk disimpan.