Anda di halaman 1dari 10

DALIL YANG DIPERSELISIHKAN

Dalil yang diperselisihkan bermakna bahwa dalil-dalil tersebut diperselisihkan oleh ulama tentang
kehujjahannya dalam menentukan sebuah hukum dalam syariat. Hal ini berbeda dengan dalil-dalil yang
seperti alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas.

Adapun dalil-dalil yang diperselisihkan itu sangat banyak, di antaranya:

1. Istihsan

Istihsan secara bahasa berarti menganggap baik atau menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut
istilah, ulama ushul fikih memaknai istihasan sebagai berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jaliy
keada qiyas khafiy karena ada sesuatu yan dianggap baik, atau berpindahnya seorang mujtahid dari dalil
yang kuat kepada dalil yang lemah karena adanya sesuatu yang dianggap baik.

Untuk memahami istihasan lebih rinci berikut harus dipahami pembagian istihsan menurut ulama:

1. Istihsan bi al-nash (istihsan berdasarkan nash)


Istihsan jenis ini adalah berpindahnya seorang mujtahid dari dalil naqli yang lebih kuat kepada
dalil (dalam nash) yang lemah karena dianggap ada sebuah kebaikan di sana, contoh:
Hukum potong tangan bagi pelaku pencurian yang telah sampai nishobnya, hal ini berdasarkan
dalil alquran al-Maidah ayat 38: “pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan
mereka sebagai balasan atas perbuatannya.” Ayat ini jelas menunjukan hukuman potong tangan
bagi pencuri baik laki-laki maupun perempuan jika telah mencapai nishobnya.
Namun dalam keadaan tertentu mereka tidak dipotong tangannya, missal dalam keadaan
paceklik, hal ini berdasarkan pada ayat 173 al-Baqarah: “tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada
dosa bagi mereka.
Jika dilihat konteks pendalilan, sebenarnya surah al-Maidah 38 tersebut lebih kuat karena lebih
khusus dari surah al-Baqarah 173, namun karena diangap ada kebaikan dalam hal itu maka
ulama lebih memilih untuk tidak memotong tangan pencuri berdasarkan ayat albaqarah 173
yang sebenarnya lebih umum (dan lebih lemah).

2. Istihsan bi al-Ijma’ (Istihsan berdasarkan Ijma’)


Istihsan jenis ini adalah jenis yang menjadikan dalil ijma’ sebagai pilihan karena dianggap adanya
kebaikan, sebagai contoh:
Hukum akad jual beli istishna’ adalah terlarang, karena terlarangnya jual beli barang yang tidak
ada (belum ada fisiknya) karena termasuk jual beli gharar (jual beli yang tidak jelas) yang
berpotensi merugikan salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak yang berakad dan jual
beli gharar terlarang berdasarkan hadis:
‫َن َه ى َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ْن َب ْي ِع اْلَح َص اِة َو َع ْن َب ْي ِع اْلَغ َر ِر‬

“Nabi saw melarang jual beli hashoh dan jual beli gharar”

Namun ulama berijma’ membolehkan jenis jual beli ini berdasarkan kesepahaman mereka
(ulama) pada hadis nabi yang membolehkan jual beli salam karena menganggap adanya
kebaikan di dalamnya, kebaikannya di antaranya adalah kebutuhan manusia.

3. Istihsan bi al-‘Urfi (Istihsan berdasarkan pada Urf/Adat Kebiasaan)


Yaitu memilih urf sebagai dalil atas dalil yang lebih kuat karena dianggap adanya kebaikan di
dalamnya, contoh:
Waqaf hanya diperbolehkan pada barang/benda yang tidak bergerak dan bisa bertahan lama
seperti tanah dan rumah, namun berdasarkan kebiasaan umum (‘urf) bahwa masyarakat telah
terbiasa mewaqafkan barang bergerak dan tidak bertahan lama, seperti buku, motor, mobil,
lemari dan jenis2 barang lainnya. Karena dianggap adanya kebaikan (al-husn) maka waqaf atas
barang jenis ini diperbolehkan. Atau ijab qabul dalam jual beli, berdasarkan ijma’ bahwa ijab
qabul merupakan rukun jual beli, namun karena tradisi yang berlaku umum maka ijab qabul itu
tidak ada perlu lagi, namun serah terima barang sudah dapat menggantikan posisi ijab qabul,
seperti jual beli shampoo seharga Rp500, maka tidak perlu lagi menyebutkan ijab “saya beli
shampoo merk A dgn harga 500 dst”, dan qabul dengan ucapan: “saya terima uang sebesar
Rp500 untuk harga shampoo……… dst”. Hal ini dianggap ada kebaikan di dalamnya (istihsan)
yaitu memudahkan transaksi.

4. Istihsan bi al-Dharurah (berdasarkan keadaan darurat)


Sebagaimana istihsan lainnya, jenis juga dipilih berdasarkan keadaan yang dianggap sdharurat.
Seperti dalam mazhab syafi’i bahwa najis seperti percikan air kencing menjadi penghalang
(mani’) untuk ibadah, namun dalam kasus sekarang dimana setiap orang beraktifitas
menggunakan celana panjang yang missal ke tolilet dengan posisi seadanya yang mengakibatkan
tidak terhalangnya celana dari terkena percikan air kencing maka kasus seperti ma’fu
(termaafkan) sehingga tetap dibolehkan untuk beribadah (shalat) dengan menggunakan celana
yang sama. Padahal dalil kuatnya adalah tidak boleh shalat karena adanya najis (percikan
kencing walau hanya sedikit karena tetap najis).

5. Istihsan bi al-mashlahah (berdasarkan maslahat)


Istihsan jenis ini adalah peralihan hukum dari dalil yang lebih kuat kepada dalil yang lebih lemah
berdasarkan pada kemaslahatan karena dianggap ada kebaikan di dalamnya.
Contoh: dalam sewa kosan, pemilik kos boleh meminta uang jaminan atas kemungkinan
kerusakan barang, walau sebenarnya tidak boleh karena penyewa tidak boleh dibebankan
kecuali uang sewa (kos). Namun karena dianggap ada kemaslahatan seperti penyewa kos tidak
berlaku seenaknya hingga dapat merusak sewaannya.
6. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (memilih qiyas khafiy atas qiyas jaliy)
Beralihnya ulama/mujtahid dari qiyas jaliy kepada qiyas khafiy karena dianggap ada kebaikan di
dalamnya. (qiyas jaliy adalah qiyas yang illatnya jelas, sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang
illatnya samar-samar, dalam kajian qiyas terdahulu, dalam penerapannya; qiyas jaliy lebih
diutamakan dari qiyas khafiy karena kejelasan ‘illatnya.
Contoh: wakaf tanah diqiyaskan kepada akad jual beli karena illatnya jelas yaitu perpindahan
kepemilikan barang, (baik jual beli maupun waqaf sama-sama akad yang kepemilikan barang
berpindah ke pihak lain), maka jika tanah yang diwaqafkan terdapat sumur di atasnya, maka
sumur tersebut tidak termasuk dalam barang yang diwaqafkan kecuali disebutkan secara jelas
dalam akad seperti halnya jual beli (jika menjual tanah yag ada sumur di atasnya, harus
disebutkan secara jelas bahwa sumur tersebut masuk dalam akad jual beli, jika tidak disebutkan
maka sumur tersebut tidak termasuk yang diperjual belikan). Namun jika waqaf diqiyaskan pada
sewa menyewa maka sumur tersebut termasuk dalam benda yang diwaqafkan tanpa harus
disebutkan sumur di atasnya, karena secara otomatis sumur tersebut termasuk dalam barang
yang disewa.
Dalam qiyas, mengqiyaskan waqaf dengan jualbeli itu lebih kuat karena illatnya lebih kuat (qiyas
jaliy), namun berdasarkan istihsan mujtahid lebih memilih mengqiyaskan waqaf dengan sewa
menyewa walau illatnya lemah (karena sewa menyewa dan waqaf tidak sama dalam
perpindahan barang, kesamaannya hanya terletak pada pemanfaatan barang saja, karena sama-
sama dapat dimanfaatkan), namun karena adanya kebaikan di sana maka qiyas khafiy ini lebih
dipilih, sehingga tidak perlu menyebutkan sumur dalam akad karena sudah termasuk dalam
tanah yang diwaqafan.
Demikian juga wanita haidh yang menghafal quran, diqiyaskan pada shalat karena illatnya kuat
yaitu ibadah (jaliy), maka berdasarkan qiyas ini wanita haid terlarang menghafal alquran.
Sedangkan qiyas khafiy nya diambil dari illat dzikir (khafiy), kesamaannya hanya terletak pada
mengingat Allah, baik menghafal quran dan zikir sama2 mengingat Allah, namun illat ini lebih
lemah namun lebih dipilih karena ada kebaikan di sana yaitu mengingat Allah (istihsan), artinya,
ketimbang wanita haid melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat lebih baik dia menghafal
alquran.

2. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah sendiri secara istilah terdiri dari dua kata yaitu Maslahah dan Mursalah, kata
Maslahah menurut bahasa adalah “manfaat” sedangkan kata Mursalah yaitu “lepas” jadi kata Maslahah
Mursalah menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap Maslahah namun tidak ada ketegasan hukum
yang merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu yang mendukung ataupun menolak dari
perkara tersebut.

Menurut Abdul Wahab Khallaf Maslahah Mursalah yaitu segala sesuatu yang dapat mendatangkan atau
memberi kemaslahatan tetapi di dalamnya tidak terdapat ketegasan atau doktrin hukum untuk
menyatakannya dan juga tidak ada dalil atau nash yang memperkuat (mendukung) atau menolaknya.
Maslahah Mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum namun tidak ada petunjuk syara’ yang menolaknya.

Pada dasarnya masalahah jika ditinjau dari keterterimaannya dalam syariat itu dibagi menjadi 3:

1). maslahah mu’tabarah; yaitu maslahat yang ditetapkan berdasarkan syariat (dalil nash), seperti
hukum potong tangan bagi pencuri, hukum cambuk bagi pezina dll, kemaslahatan yang ada dalam
hukum-hukum tersebut berdasarkan pada dalil alquran atau hadis. 2). Maslahah mulghah; yaitu
kemasalahatan yang tertolak oleh syariat, misal seorang raja yang melakukan hubungan badan di siang
hari di bulan ramadhan maka akan dikenakan kafarat, sebagian ulama berkata untuk menimbulkan efek
jera bagi pelakunya maka raja jangan diberikan kafarat memerdekakan budak karena ia akan dengan
mudah melakukannya (karena raja adalah oran kaya yang banyak memiliki budak), maka ulama berkata
raja tersebut harus membayar kafarat puasa 2 bulan berturut-turut agar ada efek jera, namun pendapat
ini bertentangan dengan hadis nabi dari Abu hurairah bahwa kafarat bagi pelaku hub badan suami istri
di siang hari di bulan ramadhan adalah pertama memerdekakan budak, jika tidak mampu maka
berpuasa 2 bulan berturut2, lalu jika tidak mampu barulah memberi makan 60 org fakir miskin. 3).
Maslahah yang tidak ada dalil syar’I nya namun juga tidak tertolak, ini yang disebut dengan maslahah
mursalah, mursal atau mursalah artinya terlepas, yaitu terlepas dari dalil syari dan terlepas dari
penolakannya.

Jadi maslahah mursalah adalah suatu asas kemaslahatan yang tidak ada dalil syara’nya namun juga
secara hukum tidak tertolak/bertentangan dgn dalil yang ada.

Kemaslahatan yang dimaksud adalah semua hal yang dapat mendatangkan manfaat dan/atau
menghilangkan mudharat/bahaya.

Dalam isu kemaslahatan ini ulama membaginya menjadi 3 kategori:

1. Kategori dharuriyah (primer); kategori ini adalah kategori yang harus ada, artinya jika tidak ada
maka hal-hal ini akan membawa kepada kumdharatan baik dunia maupun akhirat; masalah
dharuriyah ini terbagi menjadi 5: 1. menjaga agama, 2. Menjaga jiwa, 3. Menjaga harta, 4.
Menjaga akal, dan 5. Menjaga keturunan. Maka segala hal yang dapat mengancam 5 hal
tersebut di atas harus dihilangkan. Seperti larangan memakan bangkai bagi orang yang tersesat
sepekan di hutan dan tidak ada lagi yang bisa dimakannya kecuali bangkai untuk melanjutkan
hidupnya maka hukum haram dalam perkara ini harus dihilangkan.
2. Kategori hajiyyah (sekunder); kategori ini adalah hal-hal yang menjadi pelengkap dari kategori
pertama, hal-hal yang masuk pada kategori ini tidak akan mengancam keselamatan manusia
namun akan membawa pada kesukaran/kesusahan jika ia tidak ada. Seperti kebolehan jual beli
murabahah, salam, istisna’ dan lainnya.
3. Kategori tahsiniyyah (tersier), kategori ini hanyalah pelengkap dari dua kategori sebelumnya,
artinya ketiadaannya tidak akan menghilangkan keselamatan juga tidak memberi kesukaran.
Seperti dalam ibadah shalat (dharudiyah) kita dianjurkan untuk mencari tempat yang bersih,
menggunakan pakaian bersih, wangi, dll. Secara hukum, menggunakan pakaian tidak bersih
untuk shalat dibolehkan, namun secara tahsiniyyah dianjurkan untuk memakai pakaian yang
bersih.

Contoh sederhananya untuk memahami ketiga kebutuhan tadi adalah: seperti minum, minum
merupakan kebutuhan primer (dharuriyah) karena seseorang bisa mati jika tak minum,
menggunakan gelas atau sejenisnya merupakan kebutuhan sekunder (hajiyah) yang akan sulit
bagi seseorang untuk minum tanpa alat tersebut walau sebenarnya minum tanpa alat seperti
gelas dan sejenisnya tidak akan mengancam jiwa, sedangkan menggunakan gelas yang
baik/mahal merupakan kebutuhan pelengkap (tahnisiyah).

Inilah yang dimaksudkan dengan maslahah, artinya semua jenis hal yang dapat memberikan manfaat
dan/atau menghilangkan mudharat.

Dalam kajian maslahah mursalah, berarti menciptakan atau menghadirkan perkara yang secara asal
tidak memiliki dalil syar’I, namun penciptaan perkara hukum ini ditujukan untuk menghadirkan
kemaslahatan (menghindarkan mudharat dan mendatangkan manfaat), dengan catatan keputusan
perkara hukum ini tidak boleh bertentangan dengan syariat.

Syarat Maslahah Mursalah

Menurut Jumhur Ulama bahwa Maslahah Mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam bila
memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Maslahah tersebut haruslah Maslahah yang haqiqi bukan hanya yang berdasarkan prasangka atau
asumsi dan juga merupakan kemaslahatan yang nyata, artinya dapat membawa kemanfaatan dan
menolak kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau
prasangka adanya penolakan terhadap kemudharatan, maka pembinaan hukum semacam itu adalah
berdasarkan prasangka saja dan tidak berdasarkan syariat yang benar. Seperti pengalihan infaq
jamaah masjid, tidak boleh mengalihakn infaq jamaah untuk kemaslahan social seperti bantuan studi
marbot dll berdasarkan asumsi bahwa jamaah rtelah ridho atas peralihan itu.

b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik
untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa
dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudharatan terhadap orang banyak pula.
Seperti menyelamatkan jiwa anak sendiri dari sebuah musibah dengan mengorbankan orang banyak.

c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalam Al Qur’an dan
Hadist baik secara dzahir atau batin. Seperti merobohkan masjid untuk membangun sekolah.
3. ‘Urf

Urf secara bahasa artinya kebiasaan atau adat, secara istilah ‘urf berarti sebuah kebiasaan yang
dilakukan sekelompok manusia (bukan individu atau kelompok kecil), dan mereka telah melakukannya
secara kontinyu, bukan kebiasaan dadakan atau yang kadang-kadang dilakukan, dan kebiasaan tersebut
dapat diterima oleh akal sehat dan tidak bertentangan dengan syariat.

‘urf dapat berupa:

a. Al-qoul (ucapan)
Yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan ucapan, yaitu ucapan muncul dari ucapan
segolongan manusia dan lainnya dan sudah menjadi hal yang diterima oleh halayak ramai:
seperti istilah daging tidak termasuk daging ikan, secara umum ketika manusia menyebut daging
maka yang dimaksud adalah semua jenis daging kecuali ikan, karna kebiasaan manusia tidak
menyebut daging ikan sebagai daging. Atau kata walad (‫ )ولد‬dalam alquran dimutlakan pada
semua jenis anak baik laki-laki atau perempuan, walau sebenarnya secara umum manusia
penutur bahasa Arab jika mengatakan walad (‫ )ولد‬berarti yang dimaksud adalah anak laki-laki,
namun alquran tidak demikian, maka dapat dipahami bahwa ketika alquran menyebutkan kata
walad (‫ )ولد‬maka maksudnya adalah anak laki-laki dan perempuan. Atau kata “terserah” pada
lisan wanita bermakna ketidak jelasan. (^o^)
b. Al-Fi’li (perbuatan)
Yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang sudah menjadi kebiasaan
umum dan diterima oleh semua orang, bukan sekelompok kecil orang apalagi individu tertentu
seperti diamnya seorang perempuan bermakna dia sedang ngambek/marah. (huffffttt.. begitu
syullit), atau serah terima uang dala akad jual beli sebagai petunjuk kedua belah pihak telah ijab
dan qabul.

Al-‘Urf dibagi menjadi dua jenis:

a. ‘Urf Sohih; adalah kebiasaan yang diketahui secara umum (bukan sekelompok orang saja) dan
kebiasaan tersebut dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan dengan syariat.
Seperti akad istishna’, kebiasaan anak mencium tangan orangtuanya dsb.
b. ‘Urf Fasid; adalah kebiasaan yang diketahui secara umum dan dilakukan oleh manusia namun
bertentangan dengan akal sehat dan syariat; seperti healing sampai hilang, minum khamar saat
pesta, jabat tangan perempuan dan laki2 ajnabi dll.

Syarat-syarat diterimanya ‘Urf:

Sebenarnya ulama banyak dan berbeda dalam membuat syarat diterimanya ‘urf, namun secara umum
dapat kita sebutkan sebagai beikut:
a. ‘urf atau kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang diketahui oleh banyak orang, nukan
kelompok kecil atau satu keluarga saja, dengan kata lain semua orang dalam negeri/wilayah
tersebut mengakui atau menjalankan kebiasaan tersebut secara kontinyu, bukan hanya sekali-
kali.
b. ‘urf tidak bertentangan dengan syariat dan dapat diterima oleh akal sehat.
c. ‘urf tersebut sudah berlaku lama.
d. ‘urf tersebut membawa manfaat dan/atau menghilangkan mudharat.

4. Sadduz dzari’ah

Secara bahasa, Saddu artinya: menutup, mencegah, menghalangi. Dari kata: sadda-yasiddu-saddan.

Dzari’ah artinya: jalan, perantara, wasilah. Dari kata: dzara’a-yadzra’u-dzar’an.

Secara istilah, Saddu Dzari’ah artinya:

‫سد ما ظاهره مباح ويتوصل به إلى محرم‬

“Saddu Dzari’ah yaitu: melarang sesuatu yang zahirnya mubah, namun menjadi jalan menuju sesuatu
yang haram.”

Atau dengan redaksi yang lain:

‫سد األمر الذي ظاهره اإلباحة إّال أنه ُيفضي ويؤول إلى المفسدة وفعل المحرم‬

“Saddu Dzari’ah adalah: melarang sesuatu yang secara zahir mubah, namun mengantarkan dan
mengakibatkan pada mafsadah dan perbuatan haram.”

Dengan demikian, Saddu Dzari’ah memiliki dua ciri-ciri sebagai berikut:

- Secara zahir merupakan perbuatan halal/mubah


- Perbuatan halal itu menjadi pintu gerbang kepada perbuatan haram.

Contoh: Menanam anggur secara asal hukumnya adalah mubah, namun jika menanam anggur utk
tujuan dijadikan bahan membuat minuman keras maka menjadi haram.

Sadduz dzri’ah ini dapat dipahami secara sederhana sebagi menutup segala keran yang memungkinkan
untuk terjadinya kejahatan/dosa.

Pmbagian Sadduz Dzari’ah.

Sadduz dzari’ah dibagi menjadi 4 macam:


a. Macam yang pertama adalah dzari’ah yang mafsadatnya/Mudharatnya samar (jarang terjadi)
dan manfaatnya lebih besar. Seperti: “nazhar” saat lamaran, atau menanamam anggur; tujuan
menanam anggur di antara memang untuk dijadikan bahan baku pembuatan khamar, namun itu
jarang terjadi karena kebanyakan orang menanam anggur untuk tujuan halal, maka hukum
menanam anggur adalah mubah.
b. Macam kedua adalah mudharatnya lebih besar dari manfaatnya; seperti menanam anggur yang
memang tujuannya untuk dijadikan bahan pembuatan khamar walau memang kadang
dikonsumsi sebagai buah, maka menanam anggur dalam kasus ini hukumnya haram. Atau
membeli senjata api untuk tujuan kejahatan seperti begal, walau tujuan senjata api banyak
namun karena tujuan utamanya untuk kejahatan dan Nampak kemudharatanya maka
hukumnya menjadi haram. Atau ngontrak rumah bersama lawan jenis dll. (wadidaw)
c. Macam yang ketiga adalah dimana mudharat dan manfaatnya seimbang (sulit ditakar), seperti:
belajar di kelas yang bercampur dengan lawan jenis. Maka dalam masalah ini dikembalikan
kepada keadaan dan tujuannya.
d. Hilah yang haram. Hilah merupakan cara cerdik/licik untuk mengakali sesuatu atau agar
terhindar dari sesuatu (trik, tipu daya). Seperti megurangi nishab emas untuk zakat maal saat
akan tiba satu haul. Pada dasarnya seseorang boleh menjual belikan emas, namun jika untuk
menghindari kewajiban zakat maal agar tidak terkena nishabnya maka seseorang menjual
sebagian emasnya, dan jika telah lewat satu haul dia membeli emas kembali. Dan jenis perilaku
ini adalah haram, termasuk juga nikah tahlil.

5. Istishab

Istishab secara bahasa berarti membersamai atau terus menerus bersama. Sedangkan yang dimaksud
dengan istishab menurut ulama ushul fikih adalah menjadikan hukum semula sebagaimana adanya
sampai adanya keyakinan perubahan hukum tersebut. seperti seseorang yang telah melakukan shalat
zuhur dan ketika tiba waktu ashar tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa wudhunya telah batal, maka
dia dianggap masih memiliki wudhu, dalam hal ini hukumnya kembali kepada hukum awal bahwa dia
telah berwudhu.

Pembagian istishab:

1. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah; Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

‫اَألْص ُل َبَر اَء ُة الِّذ َّمِة‬


“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar
Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri.
Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad
mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya. Atau seseorang terbebas dari
kewajiban membayar zakat maal jika orang tersebut tidak memiliki harta yang mencapai nishab
zakat maal, karena pada hakikatnya setiap orang itu terbebas dari segala jenis tanggungan.

2. istishab al-ibahah al-ashliyyah; yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah.
Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

‫ُة‬ ‫َأل‬ ‫َأل‬


‫ا ْص ُل ِفي ا ْش َي اِء اِإلَب اَح َح َّت ى َي ُد َّل الَّد ِلْيُل َع َلى الَّت ْح ِر ْي ِم‬
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Contohnya, hewan jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun
hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah
dijelaskan hukum keharamannya, seperti memiliki tariang dan kuku untuk berburu mangsa dll.
Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan makan jerapah.

3. istishab al-hukm; yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai
sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:

‫اَألْص ُل َب َقاُء َم ا َك اَن َع َلى َم ا َك اَن‬


“Pada dasarnya, hukum sesuatu itu bersifat tetap sebagaimana keadaan hukum itu semula.”

Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa,
kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu
sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap
sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. Atau orang yang wudhu
kemudian dari tempat wudhunya tidak menggunakan alas kaki sehingga menimbulkan keraguan
apakah ada najis yang diinjaknya, maka hukumnya tetap bahwa dia masih dalam keadaan
wudhu. Atau orang yang menjual kambing, saat transaksi kambing tersebut dalam keadaan
normal, setelah pembayaran dan hendak dimuat ke atas kendaraan kambing tersebut tiba-tiba
cacat kakinya, dalam kasus ini yang dimenangkan (dibenarkan) adalah penjual karena asalnya
kambing tersebut sehat (normal).

4. istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang
dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
Maka ketika orangtuanya meninggal dan hendak dibagi warisan, orang hilang tersebut tetap
harus dibagikan jatahnya untuk disimpan.

‫الَي ِقْيُن اَل ُيَز اُل ِبالَّش ِك‬


“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”
Contoh lain adalah: jika seseorang shalat zuhur (4 rakaat) dan dia ragu apakah dia sudah shalat 3
atau 4 rakaat maka dia harus meyakini bahwa dia masih shalat 3 rakaat dan menambah 1 rakaat
lagi karena itu yang lebih meyakinkan. Demikian juga sahalat magrib, jika ragu apakah telah
melaksanakan shalat 2 atau 3 rakaat maka dia harus meyakini 2 rakaat dan menambah satu
rakaat lagi.

---------- SELAMAT BELAJAR--------

JANGAN CUMA MAIN HP!!

Anda mungkin juga menyukai