Anda di halaman 1dari 3

AL - ISHTISAN

Istihsan adalah mujtahid pada situasi tertentu meninggalkan hukum yang mencakup keadaanya
secara mum dan pindah ke hukum lain yang tertahqiq di dalamnya mashlahah disebabkan darurat
atau 'urf atau mashlahah atau qiyas khafy atau dalil lain yang menuntut meninggalkan hukum tadi.
Istihsan terjadi ketika nash mum telah menunjukkan hukum asal terhadap situasi tertentu atau
ijma' atau qiyas hanya saja kebijakan mengambil hukum dengan keumuman nash atau ima' atau
qiyas di situasi tersebut meluputkan mashlahah atau menghasilkan suatu mafsadah. Sehingga
mujtahid berpaling dari mengambil keumuman di situasi tersebut ke hukum lain yang tertahqiq
padanya mashlahah atau tertahan mafsadah. Dan tidaklah istihsan in didasari dengan sekedar hasil
pemikiran dan selera saja. Bahkan harus dilandasi dalil yang membimbing berpalingnya si mujtahid
tadi, seperti dalil mengangkat kesusahan (raf 'ul haraj) atau mencegah kesulitan.
Dan telah ditemui dalam syara' ada pengecualian dari hukum-hukum umum di sebagian
keadaan-keadaan sebagai rukhsah dan kemudahan. Sebagaimana pengecualian darurat dalam
pengharaman bangkai dan darah, dan pengecualian safar dan sulit dari pengwajiban puasa, dan
pengecualian keadaan dipaksa dalam pengharaman bicara kalimat kufur, dan mengecualikan jual
beli 'araaya dari perdagangan ribawiyah, dan mengecualikan lupa pada orang yang makan dan
minum di bulan Ramadan tidak mewajibkan qadha' sebagai peniadaan haraj (kesukaran). Demikian
juga dengan mujtahid, a berpaling dari dalil dzahir yang umum di sebagian situasi kepada dalil
samar sebagai tahqiq terhadap mashlahah-mashlahah dan menahan mafsadah-mafsadah.
Istihsan dalam gambaran figh terbatas in telah diambil orang-orang Hanafiyah dan Malikiyah
dan orang-orang Hanabilah dan dingkari Asy-Syafi'iy, ia mengatakan:

"Siapa beristinsan ia berarti mensyari'atkan.”


Dan kalam Asy-Syafiiy disini difahami kepada istihsan yang tidak didasari dalil, dan menetapkan
hukum-hukum dengan sebatas menggunakan rasa dan selera. Dan telah menuqilkan penyusun kitab
Al-Bahrul Muhiith (6/95), Setidanya mendekati 20 masalah figh yang dengannya As-Syafii berkata
dengan Istihsan juga para pengikutnya. Mereka menyandarkannya kepada dalil-dalil yang
menguatkan penunjukan bahwa yang dingkari As-Syafiiy dari Istihsan tadi hanya yang tidak
dilandasi dalil.
Dengan metode Istihsan ini sebagian fuqaha mengatakan liur burung bus adalah najis secara
giyas dan suci secara istihsan, jika telah terpotong tanga kiri seorang pencuri karena kesalahan,
tidaklah tangan kanannya dipotong meskipun nash menuntut memotongnya, dan seperti
dinamakan istihsan.
Dan pandangan pribadi, selama Istihsan yang para ahli ushul mereka cenderung mengambil
sebagai I 'tibar bolehnya adalan yang berdasar dengan dalll yang membentur keumuman, maka tidak
patut dikatakan istihsan seperti in sebagai dalil secara asal, bahkan itu merupakan diantara tata
cara ijtihad ketika nash saling bertabrakan. Dan diatas pandangan inilah datang perkataan orang
yang mengatakan: "Istihsan adalah sembilan per sepuluh figh". Karena di dalamnya ada kejelian
pandang yang sangat dari mujtahid ketika situasi penerapan (nash) dan kaidah-kaidah umum menjurus
kepada kerusakan dan membuang mashlahah di sebagian gambaran penerapan 'amaliyah.
Model Model Istihsan
Pertama: Istihsan yang sandarannya nash contohnya seorang mengatakan: "Hartaku adalah
sedekah di jalan Allah " Keumuman dalil menuntut bahwa seluruh hartanva masuk dalam
keumuman itu dan harusnva a dan berIstinsan Abu Manilan ketika mengkhususkannya dengan harta
harta yang padanya berlaku zakat saja didasari perkataan Allah:

"Ambillah sebagian hartanya mereka sebagai sedekah." (Surah At Taubah ayat:103).

Contoh lain perkataan Allah:

"Diharamkan atas kalian bangkai dan darah dan daging babi." (Surah Al-Maidah ayat: 3).
Kemudian mengatakan:

"Akan tetapi baranasiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak


menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya." (Surah Al-
Baqarah: Ayat 173).

Dan contohnya di dalam Sunnah adalah Nabi melarang dari jual beli barang yang yang tidak ada.
Dan memberikan rukhsah untuk jual beli salam.

Jenis yang Kedua: Istihsan dengan ijma'


Dan contohnya juga adalah larangan mengenai jual beli barang yang ma'dum (tidak ada).
Kemudian ahli ilmu beristihsan akan bolehnya itishna' yakni seorang tukang kayu menjual misalkan
sebuah almari yang akan dia buat. Mereka berdalil dengan melihat pada diberlakukannya model jual
beli seperti ini pada umat ini tapa ada pengingkaran, dan ini adalah ima' 'amali yang menyelisihi
nash yang itu adalah hadits larangan dari jual beli ma'dum (barang yang tidak ada). Dan jima' ini
menunjukkan dikecualikan gambaran jual beli seperti ini dalam keumuman nash yang melarangnya.

Jenis yang ketiga: istihsan 'urf


Diantara contoh-contohnya apabila seseorang terlanjur bersumpah tidak makan daging,
kemudian makan ikan secara asal adalah melanggar sumpah, tetapi Istihsan mengatakan itu
tidaklah melanggar sumpah. Ikan tidaklah dimutlaqkan secara 'urf sebagai daging.

Jenis yang Keempat, istihsan darurat dan raf'ul haraj (meringankan pembebanan)
Dan diantara contoh-contohnya adalah menyucikan sumur yang terdapat najis di dalamnya
dengan cara menguras. berhubung kontaminasi najis tetap saja terjadi setelah pengurasan adalah
asal akan tetapi mempertimbangkan konsekwensi pada kaidah di dalam tanjis (kontaminasi najis)
mendampakkan kepada mustahil disucikan, maka hal itu dihukumi suci dengan sebatas hilangnya
warna bau dengan dikuras sebagai bentuk istihsan.

Jenis kelima, Istihsan mashlahah:


Diantara contoh-contohnya adalah mempertanggung jawabkan resiko kepada ajir Musytarik. Karena
kedah dalam pengemban amanah menuntut tidak ganti rugi atas barang yang ia rusakkan tapa unsur
kesengajaan dan kecerobohannya, akan tetapi mengingat putusan seperti ini berakibat hilangnya harta
orang maka di istihsankan bagi ajir Musytarik dituntut mengganti rugi barang yang telah ia rusak dengan
tangannya dari harta orang lain.
Yang Keenam, Istihsan dengan qiyas khafy
Diantara contohnya, orang yang mewakafkan hamparan tanah pertanian tidak mengatakan
pengecualian hak dalam minum dari air tanahnya, maka minum dari tanah waqaf tadi tidak masuk
pada haknya jika diqiyaskan wakaf tersebut dengan jual beli, dan itulah yang terbenak secara dzahir,
karena waqaf menuntut keluarnya haq dari pemilik waqaf maka ia tidaklah masuk hak minum. Ini
seperti apabila ia menjualnya dan tidak mengecualikan hak minum di dalamnya. Dan secara Istihsan
adalah memiliki hak minum pada wagaf tanah tersebut, karena mengqiyaskan waqaf dengan
ijaarah lebih cocok daripada jual beli, karena waqaf diharapkan dapat diambil manfaat yang lebih
besar tapa harus (barang atau yang lainnya yang diwaqafkan tadi) dimiliki, maka qiyas seperti ini
menuntut masuknya hak minum di waqaf tersebut sebagaimana di dalam ijaarah. wAllahu a'lam

Anda mungkin juga menyukai