Anda di halaman 1dari 4

IRFAN MOULANA

A.PENGERTIAN ISTIHSAN

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan
karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi
pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya.
Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa
tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang
menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus
dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini,
sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

B.KHILAF TENTANG HUKUM DASAR ISTIHSAN

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi'i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.

Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum
syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah
Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang
menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk
menentukan arah Ka'bah itu."

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i.

Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-
Muwâfaqât menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan
rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum
itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang
umum."
C.BENTUK BENTUK ISTIHSAN

#Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada
qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat
untuk mengalihkan hukum tesebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah kemaslahatan. Seperti
pengangkatan khalifah setelah rosul wafat.

#Istihsan Istisna'i

Istihsan Istisna'i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip khusus.

D.ISTIHSAN BENTUK KEDUA INI DIBAGI MENJADI LIMA, YAITU:

(1) Istihsan dengan nash. Maknanya adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada
ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut
Al-Qur’an atau Sunnah.

(2) Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih maupun
sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.

(3) Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau
kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan.

(4) Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi
konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang
bersifat perkataan maupun perbuatan—.

(5) Istihsan dengan maslahah al-mursalah. Yaitu mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku
umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslahatan.
E.Definisi

Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:[1]

 Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya
kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid
 Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-
kata
 Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat
darinya.
 Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

#CONTOH ISTIHSAN

Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka
dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalahhak pengairan, hak membuat
saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut
tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.

Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.

Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-
menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari
pemilik barang kepada penyewa barang.

Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan
itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari
asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.

Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta,
tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf,
maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

#CONTOH LAIN

Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.

Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan
air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.

Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang
haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.

Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.

Anda mungkin juga menyukai