Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Selfi Liana Purnama

FAKULTAS : Tarbiyah Semester II


DOSEN : Prof. Dr. HA Faruq Nasution
Mata Kuliah : Ushul Fiqih

 IHTISAN
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-
Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai
sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian
ulama saja, tidak semuanya.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya
disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Misal
yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi
pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong
tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada
hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan
suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
 Contoh dari Ihtisan
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan
air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang
haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.

 Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda.
Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil
kesimpulan hukum.
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber
hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak
menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar
hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan
Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan
dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum
syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad
dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya
(majalul ijtihad)
 Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau
dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan
pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan
memungut pajak terhadap tanah itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh
berbagai kebutuhan atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak ada
bukti syara’ yang menunjukkan terhadap penembatalannya.
 Istishab
Menurut bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,”
artinya “saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah
ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan
tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu waktu yang
telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya.
 Contoh Istishab
Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah  lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B
belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
 Urf
Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau
Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para
ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan
syari'at.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah
berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
 Kedudukan Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syari'at. Baik yang menyangkut dengan ‘urf umum dan ‘urf khusus, maupun yang berkaitan
dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.

 Qaul Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda
dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan
qaul shahabi, ada juga yang menamakannya dengan fatwa shahabi. Hampir semua literatur yang
membahas madzhab shahabi menempatkan pada pembahasan tentang dalil syara’ yang
diperselisihkan. Bahkan ada yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang
ditolak seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal ini
menunjuukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati
kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun
di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.
 Syarun Qablana
Syar’u man qablaha adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan
dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu Zahran, syariat
Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahi itu disyariatkan oleh
Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasulnya, dan telah
dinashkan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada
mereka
 Mutlaq Dan Muqoyyad
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian
tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini
memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian
makna tertentu yang telah kita pahami.
Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-
kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman”.
 Mujmal Dan Mubayan
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas,yang tidak dapat menunjukan arti yang sebenarnya
,apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya.
Maka ayat yang mujmal adalah ayat yang menunjukan kepada suatu pengertian yang tidak terang
dan tidak terperinci.Atau mujmal adalah suatu lafadz yang memerlukan penafsiran yang lebih
jelas.
Mubayan artinya penjelasan . Mubayan berarti yang menjelaskan .yang dimaksud mubayan
dalam ilmu ushul fiqih adalah menjelaskan lafadz yang masih mujmal sehingga menjadi jelas
maksudnya.
 Mantuq Dan Mafhum
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu
lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum
ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari
pemahaman terdapat ucapan tersebut.
 Dzohirin Dan Mu’awwal
Dzohirin maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi tinjauan
dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih jelas atau lebih
menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.
Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-Qur’an
kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya. Sedangkan, Mu’awwal
dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-
Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
Dengan kata lain, mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan
makna yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang
diidentikkan dengan tafsir.
 Nasakh
Kata Naskh menurut lughot bisa diartikan:  ‫(النَّ ْق ُل‬memindah atau menyalin), bisa juga diartikan: ‫ْال‬
ُ‫( ا ِ َزالَة‬menghilangkan). Sedangkan menurut istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang menunjukan
terhapusnya hukum yang ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak
ada khitob kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana semula, dan
diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada khitob pertama”.
 ‘Am
Seperti disimpulkan  Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan

untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah

tertentu. Pembahasan Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri,

karena Lafazh ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama

dalam menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan sunnah,

dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am ialah suatu lafaz

yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah

tertentu

Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan

suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali

ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.

 Nahy            

Nahy menurut bahasa artinya larangan atau yang terlarang, sedang menurut istilah adalah
“larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal itu”

 Amr

Amr menurut bahasa artinya perintah, suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul fiqh yaitu :
“suatu tuntutan (perintah) untuk melaksanakn sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya”

 Khas
Khas menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am. Menurut istilah, definisi khas
adalah  lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang,
sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah
individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua,
namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
 Sadd Adz-zariah
Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan
kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada
tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-
zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para
ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur,
2004) (yang dianjurkan).

Anda mungkin juga menyukai