Anda di halaman 1dari 22

PENEMUAN HUKUM

DENGAN SUMBER
IJTIHADI
MUHAMMAD KHAERUDDIN HAMSIN
PENGERTIAN IJTIHAD
• Dari segi etimologi, ijtihad berasal dari kata al-jahdu yang berarti
kemampuan atau al-juhdu yang berarti kesukaran.Dua arti ini sesuai
dengan realita ijtihad, karena memang ijtihad itu sukar dan perlu
kemampuan untuk melakukannya.
• Dan dari segi terminologi, ijtihad didefinisikan seperti berikut:
‫• بذل املجتهد وسعه في نيل حكٍم شرعي عملي بطريق االستنباط‬
• “Pengerahan mujtahid segenap kemampuannya untuk
mendapatkan hukum syar’i yang praktis dengan cara menyimpulkan
(hukum dari sumber hukum).”
Urgensi ijtihad
1. Teks agama terbatas sementara aktifitas manusia selalu
berkembang. Tanpa ijtihad aktivitas manusia tersebut tidak dapat
diketahui hukumnya, padahal semua aktivitas itu ada hukumnya dan
hukumnya itu perlu diketahui dan ditaati oleh umat Islam agar
mereka selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, ijtihad
membuktikan kedinamisan hukum Islam yang selalu mengikuti
perkembangan zaman.
2. Ijtihad membuktikan bahwa hukum Islam sesuai untuk seluruh
tempat dan waktu. Pintu ijtihad tidak boleh tertutup. Tanpa ijtihad,
Islam hanya sesuai untuk orang-orang Arab di semenanjung Arab
pada zaman dahulu
MOTIVASI BERIJTIHAD
• HR. Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716: Nabi bersabda:

• (Barangsiapa yang melakukan ijtihad dengan mencurahkan segala


upayanya untuk menemukan kebenaran; maka jika usahanya benar
akan mendapat dua pahala, dan jika salah akan mendapatkan satu)
MACAM-MACAM IJTIHAD
• Dilihat dari segi hukum yang dihasilkan, ijtihad dapat dibagi menjadi:
• 1. Ijtihad Insyai:
• 2. Ijtihad Intiqai:

• Dan dari segi pelaku ijtihad, ijtihad dapat dibagi menjadi:


• 1. Ijtihad al-Fardi:
2. Ijtihad al-Jama’i:
SYARAT BERIJTIHAD
• Adil, tidak fasiq.
• Mendalami ilmu-ilmu al-Quran.
• Mendalami ilmu-ilmu hadis.
• Mengetahui ijma’.
• Memahami qiyas.
• Memahami bahasa Arab.
• Mengetahui ilmu ushul fiqih.
• Memahami maqasid syariah.
• Mempunyai kesiapan diri menyimpulkan hukum, yaitu dengan cara latihan yang berterusan.
• Memahami permasalahan yang ditanyakan.
• Memahami tabiat manusia.
MACAM MUJTAHID DAN
OBYEKIJTIHADNYA
• MACAM-MACAM MUJTAHID
1. Mujtahid Mustaqill:
2. Mujtahid Mutlaq/Madzhab:
3. Mujtahid Muqayyad:
4. Mujtahid Tarjih:
5. Mujtahid Fatwa:

• SYARAT OBYEK IJTIHAD


1. Masalah yang diijtihad tidak mempunyai dalil yang qath’i dan ijma’, karena tidak boleh ada ijtihad
padahal sudah ada nash/dalil.
2. Masalah yang diijtihad jika mempunyai dalil maka ia harus dzonni. Contohnya, shalat di Bani
Quraidhah.
3. Masalah yang diijtihad bukan termasuk masalah aqidah yang pokok.
4. Masalah yang akan diijtihad adalah masalah yang benar-benar terjadi atau akan terjadi pada
umumnya dan memang diperlukan.
PENEMUAN HUKUM DENGAN IJMAK
Pengertian Ijmak
• Bahasa: “al - ittifaq” kesepakatan (antara kelompok) “al-azm wa at - tashmim”
(antara kelompok atau individu)
• Istilah: Kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah Saw meninggal dunia.
Pembagian Ijmak:
1. Ijma’ qauly: Para mujtahidin sepakat menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas
baik berupa ucapan atau tulisan, Ijma’ ini disebut juga sebagai Ijma’ bayani atau sharih.
2. Ijma’ sukuti: para mujtahidin tidak menyatakan kesepakatannya dengan jelas atau tegas,
tetapi mereka diam diri atau absen dan tidak memberikan reaksi terhadap suatu
ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahidin lain yang hidup di masanya, ijma’
ini disebut juga Ijma’ I’tibari
• Ijmak dapat pula dibagi menjadi :
• Ijmak formal: yaitu kesepakatan menerima hukum untuk diformalkan
• Ijmak persuasif: kesepakatan menerimahukum tanpa diformalkan
PENEMUAN HUKUM DENGAN QIYAS
Pengertian:
oBahasa: “at - taswiyah (menyamakan), “at - taqdir” (mengukur)
oIstilah: Menetapkan suatu hukum atas suatu kejadian atau peristiwa
yang belum ada kedudukan hukumnya dengan suatu kejadian atau
peristiwa yang sudah ada kedudukan/ketentuan hukumnya dari nash
al-Quran dan Hadits, karena adanya segi-segi persamaan antara
keduanya yang disebut ‘illat”.
 Rukun Qiyas:
1) Ashal: yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya dalam nash (al - Quran dan Hadits), ashal disebut juga “maqis
‘alaih” .
2) Fara’: yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ada ketetapan
hukumnya karena tidak ada nash (al - Quran dan Hadits) yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya, fara’ disebut juga “maqis”
3) Hukum al - ashal (hukum asal) yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan
berdasrkan nash (al - Quran dan Hadits) dan hukum itu jugalah yang dtetapkan
apabila ada kesamaan illatnya.
4) Illat: yaitu: suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat tersebut yang dicari di fara’.
Seandainya sifat yang di ashal ada kesamaannya pada fara’ maka kesamaan
sifat tersebut menjadi dasar dalam penetapan hukum.
 Qiyas ada tiga macam:
1. Qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’, karena keduanya
memiliki kesamaan illat. Qiyas ini terbagi dua:
 qiyas jali: qiyas yang illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain illat tersebut (umpatan terhadap ibu
kandung yang menjadi dasar tidak boleh ada pemukulan kepada
orang tua).
 qiyas khafi: qiyas yaang illatnya dapat dijadikan sebagai illat dan
mungkin pula unuk tidak dijadikan illat (contoh: sisa minuman
burung buas diqiyaskan / dianalogikan kepada sisa minuman
binatang buas, keduanya sama-sama minum sehingga air liur
keduanya dapat bercampur dengan sisa air yang diminumnya. Namun
mulut keduanya berbeda: burung dari unsur tulang atau zat tanduk
(suci) sementara binatang dari daging, daging binatang buas haram.
2. Qiyas dalalah: qiyas yang illatnya tidak disebut, namun merupakan petunjuk
yang dapat memberi indikasi adanya illat untuk menetapkan suatu hukum
(contoh: harta anak-anak kecil yang belum balig, apakah wajib dizakati atau
tidak. Harta tersebut dapat diqiyaskan kepada harta orang dewasa yang wajib
dizakati, karena kedua harta terebut dapat bertambah dan berkembang).
3. Qiyas syibh: qiyas yang fara’ daapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih,
akan tetapi diambil ashal yang lebih banyyak persamaannya. (contoh dalam
masalah perbudakan: hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum
merusak orang merdeka. Tapi dapat juga diqiyaskan kepada merusak harta
benda, karena budak dapat juga dikategorikan sebagai harta benda, namun
budak diqiyaskan ke harta benda karena lebih banyak persamaannya,
dibanding dengan orang merdeka).
PENEMUAN HUKUM DENGAN
ISTIHSAN
Secara harfiah : menjadikan sesuatu baik
Istilah : Meninggalkan ketentuan hukum yang umum berlaku
mengenai suatu kasus dengan mengambil ketentuan hukum lain
karena adanya alasan hukum untuk melakukan hal demikian.
• Menurut Imam As-Sarkhasi: pada prinsipnya “istihsan” merupakan
dua qiyas (analogi), yaitu “qiyas jali” memiliki pengaruh lemah dan;
“qiyas khafi” yang memiliki pengaruh kuat, dan inilah yang disebut
sebagai “istihsan” atau “qiyasan istihsanan”.
• Macam-macam Istihsan:
Ditinjau dari dalil yang digunakan:
1) Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas khafi.
Contoh: Mewakafkan tanah yang didalamnya ada jalan dan sumber air minum.
 Jika ijtihadnya didasarkan dengan qiyas jali, maka jalan dan sumber air minum
tidak otomatis termasuk diwakafkan, seperti yang terjadi dalam transaksi jual-beli.
 Namun jika di alihkan kasus tersebut dari qiyas jali kepada qiyas khafi (istihsan)
maka akan diqiyaskan kepada transaksi sewa menyewa, sehingga menyimpulkan
hukum lain yaitu dengan mewakafkan tanah tersebut maka secara otomatis jalan
dan sumber air tersebut termasuk yang diwakafkan. Si mujtahid menggunakan cara
lain (qiyas khafi) karena pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahaan lebih
tinggi. Pendekatan inilah yang dikatakan “Istihsan”.
2) Beralih dari yang tuntutan nash yang umum kepada hukum khusus. Contoh:
sanksi hukum terhadap pencuri (QS. Al-Maidah: 37). Secara dhahir ayat
tersebut menyatakan jika terjadi pencurian yang telah memenuhi syaratnya
makan sanksi hukuman adalah potong tangan. Namun jika pencurian terjadi
pada masa paceklik atau kelaparan, maka potong tangan sebagai ketentuan
umum tidak diberlakukan dan dialihkan kepada ketentuan lain yang bersifat
khusus. Inilah Istihsan.
3) Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian. Contoh: transaksi wakaf yang dilakukan oleh orang yang masih
dibawah perwalian (mahjur ‘alaih li al-safahi). Bila ditinjau dari ketentuan
kulli, yang bersangkutan tidak boleh mewakafkan hartanya karena tidak
termasuk dalam kategori “ahliyat at-tasharruf atau mahjur ‘alaih. Namun
berdasarkan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan
terhadap dirinya sendiri.
 Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan.
1) Istihsan dengan sandaran qiyas khafi:
contoh hukum air yang bekas diminum burung buas; jika burung buas
diqiyaskan kepada binatang buas maka hukumnya tidak bersih, illatnya
kedua jenis bintang tersebut dagingnya haram dimakan (qiyas jali). Namun
jika didasarkan kepada qiyas khafi, maka air itu bersih, karena burung itu
minum berbeda dengan binatang buas, dimana burung minum dengan
paruhnya sehingga air itu tidak bersentuhan dengan liur burung yang
melekat dilidahnya. Meskipun dagingnya haram dimakan, namun daging
burung buas tersebut hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak
bersentuhan dengan air liur, karena ia minum dengan paruhnya,
sedangkan paruhnya tidak kotor.
2) Istihsan dengan sandaran nash.
Contoh: Jual beli salam (pesanan atau inden), pada saat transaksi dilakukan barang yang dijual belum ada.
Berdasarkan ketentuan umum (qiyas) transaksi itu tidak boleh dan tidak sah karena tidak memenuhi syarat
(barang harus tersedia). Namun qiyas itu tidak digunakan, akan tetapi yang digunakan nash pengecualian
yang disebut “nash istihsan”. Conoth lain, sahnya puasa yang makan di siang hari karena lupa. Sabda Nabi:
lanjutkanlah puasamu karena Allah yang memberimu makan dan minum.
3) Istihsan dengan sandaran ‘urf (ijma’).
contoh penggunaan kolam renang umum, WC umum dikenai biaya sebagai tanda masuk. Kalau dasarnya
hukum umum, hal itu sulit diterima, karena jika didasarkan pada jual-beli, tentu nilai yang dibayarkan sesuai
kadar penggunaan, sama halnya dengan trasaksi sewa menyewa (masa penggunaan). Ketentuan umum
ditinggakan dan memakai ketentuan ‘urf (adat istiadat).
4) Istihsan darurat:
contoh: tidak berlaku sanski potong tangan bagi yang mencuri pada masa paceklik dan kelaparan, seperti
yang terdapat pada nash, namun menggunakan ukuran darurat (karena mencuri demi mempertahankan
kelangsungan hidupnya).
PENEMUAN HUKUM DENGAN
MASLAHAH
Pengertian Mashlahah:
• Mashlahah secara harfiah berasal dari kata “ash shalah” berarti kebaikan
atau manfaat, kebalikan dari kerusakan atau mafsadah
• Mafsadah berasal dari kata “al fasad” berarti “at talaf” (kebinasaan atau
kemudlaratan).
• Jadi al mashlahah adalah sesuatu yang dapat membawa kebaikan dan
menolak kemudlaratan, sementara al mafsadah adalah sesuatu yang dapat
membawa kebinasaan atau kemudlaratan.
• Sementara arti dari “Mursalah” adalah netral.
• Jadi arti dari Mashlahah mursalah adalah segala kepentingan yang
bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash dari al Quran dan Sunnah yang
mendukung secara langsung ataupun melarangnya
• Pada prinsipnya, mashlahah dapat mencakup semua persoalan yang berkaitan
dengan kepentingan manusia, baik hal yang primer (dlaruriyat); sekunder
(hajiyat) dan pelengkap (tahsiniyat).
• Mashlahah dibagi menjadi:
- Mashlah mu’tabarah yaitu: suatu kepentingan yang baik yang
mendapat penegasan secara langsung dari al-Quran dan Sunnah.
- Mashlahah mulghah: suatu kepentingan (yang menurut anggapan kita)
baik, namun mendapat pelarangan secara langsung dari al-Quran dan
Sunnah
- Mashlahah mursalah adalah suatu kepentingan yang baik yang tidak
mendapat larangan dari al- Quran dan Sunnah dan juga tidak mendapat
penegasan langsung dari kedua sumber tersebut.
• Contoh: kewajiban melakukan pencatatan nikah
PENEMUAN HUKUM DENGAN SADD ADZ-
DZARI’AH
Pengertian:
• Secara harfiyah “Sadd” berarti: menutup dan “Adz dzari’ah”: Jalan yang
menghantarkan untuk sampai kepada sesuatu. Jadi “sadd adz dzari’ah:
menutup jalan.
• Istilah: sebagai pencegahan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan
kerugian yang muktabar meskipun awalnya perbuatan-perbuatan tersebut
mengandung mashlahat.
• Jadi Sadd Adz Dzari’ah adalah merupakan tindakan preventif dengan melarang
suatu perbuatan yang menurut hukum syara’ sebenarnya dibolehkan, namun
–dengan ijtihad- perbuatan tersebut dialarang karena karena dapat membawa
kepada suatu yang dilarang atau yang menimbulkan mudlarat.
Contoh: saling berpandangan, dilarang karena dapat mengantar ke
perzinahan.
Pembagian Dzari’ah ada tiga:
 dzari’ah yang secara pasti membawa kerusakan: (menggali sumur -
dibelakang pintu rumah - dengan zhalim; perzinahan yang menyebabkan
tercampunya keturunan anak manusia).
 dzari’ah secara praduga yang kuat membawa kerusakan: (penjualan senjata
di waktu komplik; penjualan anggur sebagai bahan baku minuman keras).
 dzari’ah yang biasanya membawa kerusakan: (merokok, jual salam, larangan
berduaan di tempat tertutup dsb)
 dzari’ah yang kemungkinan kecil dapat membawa kerusakan, namun jarang
terjadi : penggalian sumur di tempat yang aman, pandangan seseorang
terhadap tunangannya).

Anda mungkin juga menyukai