Anda di halaman 1dari 8

FIQIH MURAFA’AT

Oleh: Faisol Mubarok


Nim: F02219019
Prodi : Hukum Tata Negara/ Siyasah

A. Pengertian Fiqih Murafa’at


Fiqih Murafa’at adalah aturan/ketentuan yang ditunjukkan kepada
masyarakat dalam usahanya mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi
“pencurian” atas sebuah ketentuan hukum materiil, hukum acara meliputi
ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah
dan mendapatkan keadilan dari hukum, apabila kepentingan atau haknya dilanggar
oleh orang lain dan sebaliknya, bagaimana cara mempertahankan apabila dituntut
oleh orang lain.1 Tujuan adanya hukum acara pidana islam (fiqih murafa’at) adalah
untuk memelihara ketertiban manusia agar kondusif dan untuk memelihara hukum
serta mempertahankan hukum matrerill.
Secara umum dalam hukum pidana islam pembuktian di bebankan kepada
pendakwa atau orang yang merasa di rugikan hal ini sesuai dengan Hadis Nabi
SAW:
‫اَنلبريِينرةن على اَنلنمددمعيِ رواَنليِرمميِنن على من أرننركرر‬
bukti (diwajibkan) atas pendakwah, dan sumpah diwajibkan atas yang
ingkar”.2

Hadis di atas menunjukkan bahwa dalam Islam yang diwajibkan dalam


melakukan pembuktian adalah pihak yang menuntut dan seorang yang dituntut.
Penggugat diminta mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa hukum acara pidana hampir sama
dengan hukum acara pidana Islam. Hukum acara pidana mewajibkan penyidik
untuk membuktikan sangkaann ya dengan syarat adanya bukti yang memenuhi
unsur-unsur pidananya. Hal ini diperkuat oleh aturan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana bahwa tersangka tidak dibebani kewajiban pembuktian.3
B. Tahapan Persidangan Dalam Fiqih Murafa’at
Untuk menegakkan keadilan dalam kasus pidana, maka hukum acara pidana
membutuhkan tahapan-tahapan dalam proses persidangan diantaranya yaitu;
1. Tahap Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang.
2. Tahap Penahanan
Tahanan sebagai hukuman kurungan ialah memasukkan terpidana kedalam
ruangan yang sempit, ia merupakan pembatasan ruang gerak, yang merintangi
seseorang yang bergerak bebas, baik ke masjid maupun ke rumah kediamannya.
Dan demikian itu juga diberlakukan bagi seorang penjamin terpidana, atau
wakilmya. Dia harus tetap berada dalam pengawasan. Untuk itu, Nabi Muhammad
SAW menyebutkan sebagai tawanan.
1 Asadulloh Al- Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustika 2009), 3

2 Zakariya al-anshori, Asna Al-Mathalib Fi Syarhi Raudi Al-Thalib, Juz 4 (Dar Al-Nasyr), hlm.402

3 Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1
Yang berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam tindak
pidana ialah wali al- harbi, pejabat penyidik, penyidik pembantu, jaksa, dan jaksa
pembantu, bukan hakim demikian ini menurut pendapat Asy-Syafi’i seperti Abu
Abdillah dan Al-Zubairi, dan Al-Mawardi dan yang lainnya, serta segolongan
pengikut Ahmad.
Sedangkan mengenai lamanya penahanan, mereka berselisih pendapat,
apakah diterapkan berapa lama atau tidak atau hal yang diserahkan kepada
kebijaksanaan pejabat yang berwenang melakukan penahanan dan hakim. Al-
Mawardi Abu-Ya’la dan yang lainnya menyebutkan, bahwa dalam hal ini ada dua
pendapat, yaitu pendapat Al-Zubairi yang mengatakan bahwa lamanya penahanan
ialah satu bulan dan pendapat Al-Mawardi yang mengatakan bahwa tidak ada
ketentuan waktu lamanya penahanan.
3. Tahap Putusan
Putusan merupakan proses tahapan persidangan yang terakhir untuk
mengetahui bahwa tersangka itu dikenakan hukuman dan denda. Putusan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Menurut kitab fiqh, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim
adalah nash-nash dan hukum yang pasti (qath’i tsubut wa dilalah) dari Al-Qur’an
dan sunnah, dan hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama(mujma’ ‘alaih),
atau hukum-hukum yang telah dikenal dalam agama secara dharuri. 4

C. Penyelesaian dalah Fiqih murafa’at


Untuk mencapai penyelesaian perkara yang diajukan kepada seorang hakim,
harus menguasai 2 hal berikurt:
1. Mengetahui hakikat dakwaan
2. Mengetahui hukum allah
Mengenai pengetahuan hakim tentang hakikat dakwaan atau gugatan dapat di
peroleh dengen menyaksikan peristiwanya sendiri atau dengan menerima
keterangan-keterangan dari pihak yang mutawatir, dan jika tidak ada maka hal itu
tidak dapat di sebut sebagai persangkaan (zhan).
Mengenai pengentahuan hakim tentang hukum allah, seorang hakim harus
memiliki pengetahuan tentang nash-nash yang qath’i, atau hukum-hukum yang
telah disepakati oleh ulama. Jika tidak ditemukan nash-nash yang qath’i dan tidak
pula hukum yang disepakati oleh ulama, hakim harus melakukan ijtihad.
Cara untuk mengethui hakikat dakwaan atau gugatan ada beberapa macam,
diantaranya disepakati oleh ulama dan sebagiannya masih diperselisihkan. Ulama
dari kalangan Mazhab Hanafi, menyebutkan alat bukti dalam bentuk puisi
(nazham) yang terdiri dari tiga bait, yaitu:

‫ساهدي لمن رام القضاء طرقا له * بما يهتدي ان مظلم الخطب اعضرا‬
‫يمين واقرار نكول قسامة * وبينة علم به يا اخا العل‬
‫صل‬
‫كذاك الذي يبدوله من قرائن * اذا بلغت حد اليقين ف ص‬

Artinya: aku akan memberi petunjuk berupa alat-alat bukti bagi orang yang
bermaksud mengadili perkara, apabila orang berbeda dalam gelapnya situasi,
ia akan memperoleh petunjuk daripadanya.

4 Basiq Jalil, Peradilan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) hlm. 79.

2
Sumpah, pengakuan, penolakan sumpah, qosamah, bayyinah, ilmu qadhi, hai
sahabat mulia.
Demikian juga sangkaan-sangkaan atau petunjuk-petunjuk, apabila semua itu
telah meyakinkan maka berhasillah (pembuktian itu).
Demikian alat-alat bukti menurut Mazhab Hanafi, dan masih ada tambahan alat-
alat bukti lain menurut mazhab lainnya, yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim
dalam mencari kebenaran. Alat-alat bukti ini tidak hanya khusus untuk lembaga
pengadilan saja, tetapi juga untuk wilayatul hisbah, wilayatul mazhalim, dan setiap
orang yang memangku jabatan keagamaan pada saat masuk ranah pembuktian.5
1. Pengertian dan makna alat bukti
2. Iqrar (pengakuan)
Iqrar secara bahasa adalah ‫ العاعععتراف‬artinya mengaku, memgakui atau
mengizinkan. Menurut istilah fuqaha’ Iqrar adalah mengakui tentang hak yang
tetap kepada orang itu dan ini adalah pengertian menurut ulama’ jumhur.
Sesuatu yang diakui sendiri tentang kesalahanny dalam hal beracara pidana
islam, maka hal itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat sebagai putusan
hakim.6 Oleh karenanya dalam Iqrar sendir dibagi menjadi dua; pertama ikrar
yang boleh untuk di cabut kembali pengakuannya, diamana pengakuan ini
adalah pengakuan yang bersifat haqqullah yaitu pengakuan yang berkaitan
dengan hak allah atau hubungan dengan allah. Pengakuan seperti ini boleh untuk
dicabut kembali seperti had zina dan had sariqah, bahkan dalam kasus zina
dusunnahkan untuk mencabut kembali pengakuannya. Iqrar seperti ini boleh
untuk dicabut kembali karena haqqullah itu di dasarkan atas kemurahan (‫حق ا‬
‫)مبني عالى المساحة‬. Kedua Iqrar yang tidak boleh untuk ditarik kembali, dimana
pengakuan ini adalah pengakuan yang bersifat haqq al-adami yaitu pengakuan
yang berkaitan sesama manusia atau hubungan antar manusia. Pengakuan ini
tidak boleh dicabut kembali karena haqq al-adami di dasarkan pada kesulitan
atau persengketaan (‫ )حق الدامي مبني عالى المشاحة‬, seperti had al-qhadf.
Pengakuan sebagai alat bukti tidak cukup hanya sekedar pengakuan semata
namun, pengakuan dapat dianggap sah manakala pengakuan tersebut memenuhi
syarat. Adapun syarat-syarat seorang pengaku sebagai berikut;
a. Orang yang mengaku (muqir) harus sudah balig
b. Orang yang mengaku (muqir) harus berakal normal atau sehat
c. Orang yang mengaku (muqir) harur kemauannya sendir bukan atas
dasar paksaan.7
Yang dimaksud dengan pengakuan dalm dunia peradilan adalah
mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan
ucapan atau berstatus sebagai ucapan meskipun untuk masa yang akan datang.
Apabila seseorang telah mengaku dihadapan sidang pengadilan bahwa rumah
yang dikuasai oleh fulan adalah milik orang lain, dan dimasa mendatang rumah
tersebut dikuasai oleh pengaku tersebut terkenalah dirinya akibat pengakuannya
sendiri.
Dan pasal 408 undang-undang perdata mesir, bahwa yang dimaksud
pengakuan yaitu:

5 Ibid. 34.

6 Al-mausu’ah al-fiqhiyah, juz 6, (Mesir: dar al-sofwah), hlm.46

7 Ali Ibn Khasim Al-Ghazy, Al-Bajuri , juz2 (Surabaya: Nurul Hidayah), hlm,4.

3
‫اَعتراَف اَلخصم اَمام اَلقضاء بواَقعة قانونيِة مدعى بها عليِه‬
Pengakuan pihak lawan (tergugat/tertuduh) dimuka sidang tentang
sesuatu peristiwa hukum yang dituduhkan/digugatkan kepadanya.
Pengakuan terjadi ditengah-tengah proses pemeriksaan gugatan atau
Pengakuan (iqrar) adalah dasar yang paling kuat karena akibat
hukumnya kepada pengaku sendiri dan tidak dapat menyeret kepada yang lain,
kecuali pada beberapa perkara yang disebutkan perinciannya dalam kitab-kitab
fiqh, dan pasal 409 undang-undang perdata mesir menyebutkan bahwa
pengakuan adalah dasar yang hanya terbatas kepada pengakuan.
Pengkuan dapat berupa ucapan, tulisan atau isyarat bagi orang yang bisu.
Namun menurut mazhab Abu Hanifah, dalam kasus zina tidakbisa menggunakan
pembuktian isyarat karena akan menimbulkan syubhat. Sebab isyarat dapat
menimbulakn pemahaman yang berbeda-beda sehinga menimbulakn syubhat
dalam menjatuhkan putusan. Berbeda dengan pendapatnya Imam Syafi’i dan
sebagian pengikut Imam Maliki.

3. Bayyinah
Bayyinah dapat di artikan sebagai bukti atau saksi. Menururt ibnu al-
Qoyyim, bayyinah meliputi apa saja yang mengungkapkan dan menjelsakan
kebenaran sesuatu, dan siapa yang mengartikan bayyinah sebagai dua orang
saksi belum dipastikan memenuhi yang dimaksud, dan di dalam al-Qur’an sama
sekali tidak ditemukan kata bayyinah berarti dua orang saksi, tetapi arti
bayyinah di dalam al-Qur’an: adalah al-hujjah, ad-dalil, al-burhan dalam
bentuk mufrad dan jamak. Demikian juga sabda Nabi SAW. Al-bayyinatu ala-
al-mudda’i. Yang dimaksud adalah penggugat membuktikan gugatan, ia harus
membawa bayyinah sedangkan di antara bayyinah itu adalah dua orang saksi,
dan tidak ragu-ragu lagi, bahwa alat-alat bukti lainnya sealin dua orang saksi,
yang kedudukannya lebih kuat dari dua orang saksi, seperti dalalat al-hal yang
lebih kuat dari pada keterangan saksi.
Menurut jumhur bayyinah sinonim dengan syahadah, sedangkan arti
syahadah adalah “ keterangan orang yang dapat dipercaya didepan sidang
pengadilan dengan lafal kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain.”
Oleh karena itu dapat pula dimasukkan kesaksian yang didasarkan atas hasil
pendengaran, seperti kesaksian atas kematian, dan bagi orang yang dapat
diperlukan kesaksiannya wajib memenuhi, kecuali terhadap perkara yang
mengandung syubhat karena firman allah swt.
‫ول ياب الشهداء اذا مادعوا‬
Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka itu di
panggil. (QS. Al-Baqarah (2):282)
Maksud ayat tersebut adalah mereka tidak boleh menolak untuk memberikan
kesaksian apabila di minta, dan dengan kesaksian yang memenuhi syarat akan
tampak kejelas kebenaran bagi hakim, dan hakim wajib menjatuhkan keputusan
berdasarkan kesaksian tersebut.

4. Sumpah
Apabila sesorang tidak dapat membuktikan gugatannya sedang tergugat
menolak isi gugatan tersebut diantara hak penggugat adalah mengajukan
tuntutan kepada hakim agar tergugat bersumpah mengingat sabda nabi
muhammad Nabi SWA. Yang berbunyi
‫اَلبيِنة على اَلمدعيِ واَليِميِن على من اَنكر‬

4
Bukti itu wajib atas penggugat dan sumpah itu wajib kepada orang yang ingkar
atau pihak menolak

Disamping itu ada juga kasus-kasus yang perlu membuktikan dengan


sumpah tampa didasarkan adanya tuntutan, sebagai sumpah yang dihadapkan
kepada penggugat, seperti orang yang menggugat suatu hak kepada mayat, maka
dalam kasus seperti ini, hakim tidak boleh memutuskan atas dasar adanya
gugatan tersebut sebelum meminta sumpah penggugat. Fuqha’ banyak berbeda
pendapat tentang siapa yang harus disumpah. Seperti seorang istri yang telah
habis masa iddahnya karena talak raj’i , ia menyatakan telah dirujuk oleh
suaminya sedang pihak suami tidak mengakui atau sebeliknya, dan masing-
masing tidak memiliki bukti. Dalam kasus seperti ini menurut dua teman imam
abu hanifah, abu yusuf dan muhammad, pihak yang menolak harus dimintai
sumpah, dan hal ini berbeda dengan pedapat abu hanifah sendiri.
Redaksi sumpah adalah “billahi” dan bukan lainnya, mengingat sabda
Nabi SAW. Yang berbunyi
‫من كان حالفا فليِحلف بال اَو ليِذر‬
Barang siapa bersumpah maka bersumpahlah dengan billahi atau
jangan bersumpah

Sumpah bukan merupaka alat bukti untuk menetapkan hak, ia ditempuh


hanya karena mengharapkan menolaknya pihak yang diminta melakukannya
didepan sidang pengadilah setelah terjadi penolakan pihak yang diminta sumpah
barulah hakim menjatuhkan putusan atas dasar penolakan tersebut dan hakim
harus mengingatkan kepada pihak tergugat tentang akibat yang akan
menimpanya apabila ia sampai memberi sumpah palsu, hal semacam itu akan
mendorongnya mengakui yang sebenarnya.
Dan apabila tergugat telah bersumpah selesailah persengketaan antara
pengguagat dan tergugat tentang kasus yang terjadi. Untuk masa mendatang
menurut pendapat yang kuat, bila pembuktian tidak berhasil diperoleh dan
tergugat menolak sumpah maka putusan dijatuhkan atas kemenangan
penggugat. Bila menyangkut perkara yang diancam qishash maka tetaplah tidak
dapat gugur dan tanggungan tertuduh tidak dapat dibebaskan menurut sebagian
ulama.

5. Penolakan Sumpah (Nukul)


Penolakan sumpah atau nukul berarti pengakuan. Ia merupakan alat
butki dan penggugat memperkuat gugatannya dengan bukti lain agar gugatannya
dpat mengena kepada pihak lainnya.
Kalangan fuqaha’ berbeda pendapat tentang penolakan sumpah sebagai
alat bukti

Mazhab hanafi dan imam ahmad mengaggap penolakan sumpah


merupaka alat bukti yang dapat dipergunakan sebagai dasar putusan demikian
pula pendapat Utsman bin dan qadhi syuraih. Ada riwayat bahwa abdullah bin
umar telah menjual seorang hamba seharga 800 dirham dlam keadaan sehat,
kemudian pembelinya memperkarakan penjualannya kepada Umar bin Affan,
lalu Utsman berkata kepada penjual abdullah bin umar “bersumpahlah bahwa
kamu telah menjualnya sedang hamba itu dalam keadaan sehat” abdullah
menolak sehingga hamba tersebut dikembalikan kepada penjualnya oleh

5
Utsman. Pendapat lain menyatakan bahwa penolakan sumpah tidak dapat
dipakai sebagaialat bukti tetapi jika tergugat menolak gugatan penggugat, maka
penggugat yang disumpah. Kemudian jiak ia mau bersumpah maka diputuskan
atas dasar sumpah penggugat itu, dan jika ia menolak bersumpah maka ia
dikalahkan. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i dan maliki yang bersumber
dari pendapta umar bin Khattab, Zait bin Tsabit, dan Ubai Bin ka’ab. Dan al-
Baihaqi meriayatkan dari ibnu umar bahwa Nabi SAW. Perna mengembalikan
sumpah kepada penggugat.

6. Qasamah
Qasamah menurut bahasa adalah sumpah yang dihadapkan kepada para
wali dari tertudup pelaku pembunuhan.
Sedang menurut fuqaha’ qasamah sama artinya dengan sumpah dan
mereka tidak mengartikan sumpah khusus seperti yang diharapkan kepada para
wali tertuduh dan pernah di praktikkan pada masa Nabi SAW.
Misalnya telah terjadi pembunuhan disatu tempat dan tidak diketahui
siapa pembunuhnya, serta tidak didapatkan bukti-bukti dan petunjuk sedang
wali terbunuh menuduh seseorang atau sekelompok orang atas dasar adanya
qarinah yang mencurigakan. Apabila wali terbunuh meminta agar dilakukan
qasamah sedang syarat-syarat yang telah terpenuhi maka permintaan mereka
harus dikabulkan dengan cara menyumpah 50 orang yang dipandang shalih dari
penduduk desa dimana tertuduh itu bertempat tinggal , dan mereka itu dipilih
oleh para wali terbunuh, kemudian satu persatu dari 50 orang pilihan tersebut
diambil sumpahnya dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak melakukan
pembunuhan, dan benar tidak diketahui siapa pembunuhnya. Lalu apabila
mereka telah diambil sumpah seluruhnya maka putusan dijatuhkan dengan
ketentuan bayar diyat, dan siapa yang menolak putusan tersebut ditahan sampai
mau bersumpah atau mengakui. Ada ulama’ berpendapat wajib di-qishash.
Disamping itu, menurut mazhab Maliki dan satu riwayat dari imam ahmad,
sumpah tersebut dihadapkan kepada pihak wali terbunuh.

7. Ilmu qhadi
Menurut mazhab Maliki,hakim tidak boleh memutus perkara atas dasar
bukti pengakuan tentang keadaan tergugat/tertuduh, baik pengetahuannya itu
sebelum atau sesudah diangkat sebagai hakim, baik pengethuannya itu ketika di
dalam sidang pengadilan atau diluar. Demikian juga baik sebelum atau sesudah
pemeriksaan perkara. Berbeda dengan pendapat Sahnun (pengikut mazhab
Maliki) yang membenarkan bahwa hakim boleh memutus perkara atas dasar
pengetahuannya tentang keadaan tergugat/tertuduh sesudah dipaksa. Tidak ada
perbedaan pendapat tentang apa yang diketahui atau didengar hakim tentang
kedaan tergugat/tertuduh di luar sidang pengadilan. Hal ini tidak dapat
digunakan sebagai dasar putusan apabila hakimtelah menjatuhkan putusan atas
dasar demikian maka putusan tersebut berhak dibatalkan.
Menurut mazhab Hanafi, apabila hakim mengetahui sengketa perkara
tersebut, ia boleh memutus perkara itu atas dasar pengetahuan karena
pengetahuannya itu berstatus sebagai dua orang saksi dan bahkan lebih utama
dari itu. Keyakinannya tentang duduk perkara itu diperoleh dari hasil
pengetahuannya sendiri dengan melihat atau mendengar, sedang apa yang ia
peroleh dari hasil kesaksian hanya akan sampai pada zhan. Adapun apa yang ia

6
ketahui sebelum pengangkatan dirinya atau diluar wilayah yuridiksinya maka
menurut Abu Hanifah ia tidak dibenarkan menggunakan pengetahuan tersebut
sebagai dasar putusan. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat
bahwa semacam itu boleh dijadikan dasar putusan hakim seperti apa yang ia
lihat dan dengar setelah menduduki jabatan hakim diwilayah kekuasaannya.8

D. Analisis
Fiqih murafa’ah merupakan salah satu acara yang penting guna untuk
mengadili kasus. Dalam hal ini yang menguasai ruang acara adalah seorang hakim,
tentunya hakim ini adalah orang yang berhak memutuskan perkara berdasarkan
ketentuan atau dengan melihat kasus dengan pendekatan zhan. Dalam fiqih untuk
mencapai keputusan yang falid dan bijak sana serta benar, hakim mengerahkan
kemampuannya untuk sampai pada puncak kebenaran. Dalam mencapai kebenaran
ini tentulah seorang hakim haruslah orang yang kompeten serta memenuhi kreteria
hakim sesui islam. Dalam syariat islam menjadi seorang hakim tentulah hal yang
sangat sulit seleksinya, hakim harus menguasai urusan ilmu syariat, seperti ilmu
fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadis dll. Ketentuan untuk mencapai kapasitas seorang hakim
yang memadai atauran syari’at islam, sehingga dalam membrikan putusan
bijaksana.
Dalam beracara sebuah kasus secara singkat dapat di buktikan dengan dua hal;
pertama dapat dibuktikan dengan bayyina atau bukti yang berkaitan dengan sebuah
kasus sehingga dengan bukti yang falid hakimdapat memberikan putusan. Kedua,
dapat dibuktikan dengan iqrar atau pengakuan dari pihak pelaku klejahatan, apabila
seorang pelaku mengakui kesalahannya maka sudah pasti pengakuan itu bias
dijadikan bukti yang falid sehingga hakim dapat memutuskan, meskipun dalam
masalah iqrar masih ada yang perlu untuk dicabut jika berkaitan dengan haqqullah
dengan cara hakim memalingkan perkatannya atau sebagaimana nabi pernah
melakukan hal demikian ketika salah seorang sahabat dating kepada Nabi mengakui
perbuatan zina.
Putusan seorang hakim sebenarnya adalah salah satu ijtihad, sehingga perlu
data dan pengetahuan keilmuan yang tinggi. Oleh karenanya kasus itu harus dapat
di buktikan dengan falid baik dengan bayyinah atau iqrar, ini semata dilakukan agar
orang tidak terjerumus dalam tuduhan atau had qadf . karena pada dasarnya semua
orang memiliki asas praduga tak bersalah.
Dalam islam pun asas ini juga ada jauh sebelumnya. Sebuah dakwaan tidak
akan berakibat had baik itu qishash atau sebagainya manakala orang itu tidak
mengajukan bukti yang falid, dakwaan itu dianggap syubhat sebagaimana yang
dijelaskan dalam kaidah fiqih seperti;
‫اَلحدود تسقط بااَلشبهات‬
Dari kaidah ini dijelaskan satu kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan
bukti yang falid maka akan menggugurkan kepada had atau hukuman.
Oleh sebabnya maka, seorang jangan sekali-kali mendakwa orang lain tampa
disertai dengan bukti. Maka al-hudud bisa dilaksanakan manakala dibuktikan
dengan dua hal sebagaimana yang disebutkan diatas yaitu; dengan iqrar dan
bayyinah. Fqih Murafa’at atau hukum acara pidana islam meski diindonesia secara
keseluruhan tidak memekai ketentuan syari’at, namun setidaknya acara pidana ini
salah kontribusi pemerintah dalam negara untuk menciptakan keadilan dan

8 Basiq Jalil, Peradilan islam, hlm. 55.

7
kemakmuran rakyat dalam memnuhi hak-haknya, ini sesuai dengan kaidah fiqih
yaitu;
‫تصرف اَلمام على اَلرعيِة منوط بالمصلحة‬
Bahwa apa yang dilakukan imam (pemerintah) semata-mata adalah untuk
kemaslahatan umatnya, tentu dengan kaidah ini kita bisa berfikir bahwa
pemerintah yang sudah syah tidak boleh diganggu gugat apa lagi mau di
turunkan melihat betapa pedulinya seorang pemimpin terhadap rakyatnya.

Daftar Pustaka

Al- Faruq, Asadulloh . Hukum Acara Peradilan Islam Yogyakarta: Pustaka Yustika 2009.

Al-Anshori, Zakariya . Asna Al-Mathalib Fi Syarhi Raudi Al-Thalib, Juz 4 Dar Al-Nasyr.

Ali Ibn Khasim Al-Ghazy, Al-Bajuri , juz2, Surabaya: Nurul Hidayah.

Al-mausu’ah al-fiqhiyah, juz 6, Mesir: dar al-sofwah.

Jalil, Basiq . Peradilan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai