Anda di halaman 1dari 3

BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

Bangsa Arab sebelum atau menjelang datangnya Islam dikenal dengan masa jahiliyah.

Pada masa itu bangsa arab hidup dalam kekolotan dan perpcahan. Mereka telah berpecah belah

dengan kelompok sekitarnya dalam hal peradaban. Sebagian besar dari mereka hidup dalam

kabilah-kabilah yang berpindah-pindah dalam kebodihan dan kelalaian. Mereka tidak mengetahui

sarana dunia luar, tidak pula berinteraksi dengan dunia lain, buta sebagai penyembah berhala, dan

tidak ada bagi merekas ejarah yang perlu diperhatikan.1 Dunia arab berbeda dengan umat-umat

dunia .masyarakat arab pada masa jahiliyah ketika itu mempunyai akhlak peradaban tersendiri,

seperti dalam hal retorika dan kekuatan bayan (salah satu aspeksastra). Suka dengan kebabasan

dan harga diri, bermegah-megah dan membanggakan keberanian, rela berjuang dalam jalan

keyakinannya, jelas dalam ucapan (tidak bertele-tele), sangat setia dalam menjaga kehormatan,

kuat hafalan, senang akan persamaan, kuat dalam tekad, dan memegang janji dan amanah.

Mereka mendapat bencana pada masa akhir lantaran masa mereka jauh dari kenabian dan para

nabi, terbatasnya pergaulan, kesamaran jazirahnya, kerasnya dalam berpegang teguh pada agama

bapak-bapak dan taklid terhadap umat-umat terdahulu, kemunduran agama yang keras, dan

penyembah berhalayang luar biasa. Oleh sebab itu, mereka disebut sebagai umat yang mengalami

dekandensi moral yang amat buruk, rusak, dan penuh kerendahan, terperosok dalam kehidupan

jahiliyah yang buruk, serta jauh dari kebaikan agama.2

Dari sisi agama, telah menyebar bentuk penyembahan berhala di Jazirah arab.

Peyembahan inihampir terjadi diseluruh kabilah. Pada setiap rumah terdapat berhala.

Diriwayatkan oleh seorang sahabat Abu Raja al-Atharadi, dia berkata: “kamiadalah kaum

penyembah batu, manakala kami mendapat batu yang lebih baik lantas kami membuang berhala

itu dan dan mengambil yang lain, apabila kami tidak mendapati batu, kami mengumpulkan

1
Jawwad Ali, al-Mufashshal fi tarikh al-Arab qabla al-islam (Cet. IV, Juz. I; t.tp.: Dar al-Saqi, 2001), h. 37.
2
Abu al-Hasan Ali al-Husni An-Nadawi, Madza Khasir al-Alam bi Inhithath al-Muslimin (Kairo: Maktabah al-
Sunnah, 1990), h. 76-77.
timbuna batu dari tanah, lalu kami dating dengan membawa kambing dan kami perah susunya

kemudian tawaf di sekitarnya.”3

Selain patung, terdapat juga bagikalangan arab tuhan yang lain, di antaranya malaikat dan

jin serta binatang-binatang. Mereka meyakini bahwa malaikat adalah anak perempuan

Allah,hingga mereka dijadikan sebagai pemberi syafaat begi merekadi sisi Allah swt. Mereka

juga menyembahnya. Malaikat dijadikan sarana atau washilah kepada Allah swt. Merekajuga

menjadikan jin sebagai sekutu bagi Allah, beriman dengan kekuasaan dan pengaruh merekaserta

menyembahnya.4

Dari sisi perilaku, meminum khamar adalah kebiasaan yang meraja lela, mengakar

sebagai satu kebiasaan sehingga hal itu menjadi sisi yang amat hebat dalam syair dan sejarah

sastra mereka. Begitu pula dengan meraja lelanya perjudian. Imam Qatadah5 mengatakan,

“seseorang pada masa jahiliyah memperjudikan keluarga dan hartanya sehingga dia duduk

dengan sedih dan terpasung melihat hartanya berada dalam tangan orang lain. Dari situ

mewariskan rasa permusuhan dan bara kebencian di antara mereka.”6

Mereka juga bermuamalah dengan riba yang menyebar antara arab dan yahudi sehingga

begitu mengakar pada mereka, sampai dikatakan “sesungguh nya jual beli itu seperti riba”. Zina

juga menjadi terjungkir dalam hubungan antara lelaki dan perempuan. Zina merupakan kebiasaan

yang lumrah terjadi. seorang laki-laki memiliki beberapa gundik, menjadikan wanita sebagai

gundik tanpa akad. Salah satu bentuk pernikahan pada masa jahiliyah adalah berkumpulnya sanak

3
Hadis bukhari, kitab al-Maghazi, bab wafdu wani hanifah wa hadist tsamanah bin atsal (4117).
4
Abu mandhur hisyam bin Muhammad bin saib al-Kalabi, kitab al-Ashnam (kairo: dar al-kutub al-
mishriyah, 1924), h. 44. Lihat juga Shafiyyur Rahman al- Mubarak fury, al-Rahiqim Makhtum (cet. XVII;
t.tp.: Dar al-Wafa’ al-Mansyurah, 2005), h. 47.
5
Qatada Al-Sudusi adalah seorang pembesar ulama dari kalangan tabi’in. Abu Ubaidah mengatakan, “kami
sama sekali tidak pernah kehilangan setiap hari pergi menuju tempat bani umayah untuk mengetuk pintu
qatadah. Lalu kami bertanya kepadanya tentang khabar, nasab atau syair.” Lihat Abu al-Abbas
Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abu bakar Ibnu Khalkan, Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-
Zaman (Juz. 4; Beirut: Dar Ash-Shadir,1994), h. 85-86. Terdapat juga dalam Adz-Zahabi, Tazkirah al-
Huffazh (Juz 1; t.tp.: DarIhya’ al-Turats al-Arabi, t.th.), h. 122-123.
6
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an (Cet. 1, Juz 10; t.tp.: Mu’assasah al-Risalah, 2000), h. 573.
Terdapat juga dalam Muhammad Syamsul Haq Abu Ath-Thayyib al-Azhim Abadi, Aun al-Ma’bud Syarh
Sunan Abi Dawud (Cet. 2, Juz 10; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), h. 79.
kerabat yang tidak lebih dari sepuluh orang, lalu mereka berhubungan dengan seorang perempuan

yang semuanya menjamahnya. Manakala wanita itu hamil dan melahirkan, dan berlalu beberapa

hari, kemudian wanita itu mengirimkan bayinya. Kala itu tidak ada seorangpun diantara mereka

yang bias tenang hingga merekaberkumpul dengan wanita itu. Lalu wanita itu berkata, ”kalian

telah mengetahui urusan kalian, saya malahirkan dan ini anakmu hai fulan”. Dinamailah bayi itu

dengan orang yang dicintai wanita itu dengan namanya, maka dia berhak atas anaknya. Tidak

boleh seorang pun dari lelaki itu yang melarangnya.7

Berkaitan dengan kedudukan wanita di masajahiliyah, Umar bin Khattab mengatakan,

“demi Allah dimasa jahiliyah kami tidak akan mengembalikan urusan kepada perempuan”. Bagi

wanita juga tidak terdapat hak waris. Orang-orang jahiliyah mengatakan bahwa tidakmewarisi

dari kita kecuali siapa yang memanggul pedang dan melindungi kabilah. Manakala seorang lelaki

meninggal, yang menjadi ahli warisnya adalah anaknya. jika diat idak mempunyai anak, maka

yang mewarisi adalah siapa yang didapati dari penolongnya,bias jadi bapak, saudara atau

pamannya. Istri dan putrid juga menjadi warisan, berikut apa yang ada padanya (dimilikinya).

Mereka tidak memiliki hak apapun atas hak suaminya. Jika dia mati sedang mempunyaianakdari

yang lain, maka anak yang terbesar itu lebih berhak terhadap istri bapaknya dari yang lain.

Ditetapkan dari wanita sebagai warisan sebagaimana harta bapaknya yang lain.8

Karena itu, mereka sangat tidak suka dengan anak perempuan, bahkan sampai

menguburnya hidup-hidup. Kelahiran anak perempuan merupakan aib yang memalukan menurut

ada jahiliyah. Jika didapati yang lahir anak perempuan, mereka sambut dengan tidak

menyenangkan dan menguburnya hidup-hidup. Umumnya kelahiran anak perempuan menjadikan

hidup mereka muram. Lihat an-Nahal: 58-59.

7
Raghib As-Sirjani, sumbangan peradaban islam pada dunia, Ter. Masturi Irham dan Malik Supar (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 35.
8
Muhammad ahmad ismail al-Muqaddam, al-Mar’ah baina takrim al-Islam wa ihanah al-Jahiliyyah, (t.tp.:
Dar al-Iman, 2005), h. 57.

Anda mungkin juga menyukai