Anda di halaman 1dari 6

Mengambil Sikap Terbaik Terkait Perbedaan Pendapat Fiqhiyah.

(Studi Kasus; Penetapan Awal


Puasa Ramadhan)

Sesungguhnya hukum yang diistinbath dari dalil-dalil syara’ dengan ijtihad syar’iy yang
shahih adalah hukum syar’iy bagi pemilik ijtihad itu, dan sekaligus merupakan pendapat yang
islami hingga meskipun menyalahi pendapat yang diadopsi hizb, khususnya jika pendapat ini
merupakan pendapat mujtahid dari para imam madzhab yang masyhur dengan keilmuan dan
ketakwaan, seperti ijtihad para imam empat madzhab dan para mujtahid madzhab-madzhab
itu.
Didalam kitab-kitab mutabannat telah dijelaskan bagaimana bersikap dengan pendapat-
pendapat fiqhiyah yang menyalahi pendapat fiqhiyah yang diadopsi hizb di lebih dari satu buku
dari buku tsaqafah hizbiyah. Diantaranya ;

1- Dinyatakan di buku Mafâhim Hizbi at-Tahrîr sebagai berikut:


[Keimanan dengan Islam berbeda dengan pemahaman hukum-hukumnya dan
tasyri’nya. Sebab keimanan dengan Islam ditetapkan melalui akal atau melalui apa yang asalnya
ditetapkan dengan akal. Oleh karena itu tidak dimasuki keraguan. Adapun pemahaman hukum-
hukum Islam maka tidak bergantung kepada akal saja. Melainkan bergantung pada
pengetahuan bahasa arab, adanya kekuatan istinbath dan pengetahuan hadits-hadits shahih
dari yang dhaif.
Oleh karena itu, para pengemban dakwah harus menganggap pemahaman mereka
untuk hukum sebagai pemahaman yang tepat yang mengandung kemungkinan keliru (fahmu
shawâb yahtamilu al-khatha`) dan menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman
yang keliru yang mengandung kemungkinan tepat (fahmu al-khatha` yahtamilu ash-shawâb).
Sehingga mereka bisa menyeru untuk Islam dan hukum-hukumnya sebagai pemahaman yang
tepat yang mengandung kemungkinan keliru. Oleh karena itu, tidak dibenarkan para
pengemban dakwah mengatakan tentang pemahaman mereka, bahwa ini adalah pendapat
Islam. Tetapi mereka harus mengatakan tentang pendapat mereka, ini merupakan pendapat
yang islami. Dahulu para pemilik madzhab dari kalangan mujtahid menganggap istinbath
mereka untuk hukum sebagai pendapat yang tepat yang mengandung kemungkinan keliru
(shawâban yahtamilu al-khatha`). Masing-masing dari mereka mengatakan, “jika telah
shahih hadits maka itu adalah madzhabku (pendapatku) dan buanglah pendapatku”.
Demikian juga, para pengemban dakwah harus menilai pendapat yang mereka adopsi atau
yang mereka capai dari Islam dengan anggapan pemahamannya sebagai pendapat yang tepat
yang mengandung kemungkinan keliru …].

2- Dinyatakan di booklet Dukhûl al-Mujtama’ sebagai berikut:


[… adapun dari sisi masuk, maka wajib tidak ditolerir kecuali dengan masuknya Islam
saja yang murni dari segala kotoran. Sebab kaum kafir, para penguasa dan politisi akan
berusaha memasukkan ide-ide non islami ke masyarakat di bawah sebutan Islam, sehingga
mereka mengadakan ketidakstabilan di masyarakat dari sisi Islam. Maka kaum Muslim wajib
memiliki kesadaran sempurna dari aspek ini sehingga mereka menyerang ide apapun yang
menyalahi Islam sebagaimana diserangnya ide kufur, sebab itu merupakan kekufuran yang
nyata.
Hanya saja, bahwa serangan ini tidak lain adalah terhadap ide-ide politik dan tasyri’iy
yakni terhadap ide-ide yang berkaitan dengan hubungan-hubungan masyarakat yang dibahas di
dalam urusan-urusan negara ketika ide tersebut dikeluarkan atau dibahas. Misalnya,
pelarangan poligami, kebolehan koperasi, berpartisipasi di dalam kabinet, saling mendekat di
antara para penguasa negara yang eksis di dunia islami dalam menjaga kelangsungan setiap
penguasa di atas status quo, al-jâmi’ah al-islâmiyah, peningkatan taraf hidup, memasukkan
dana asing ke dalam negeri, dan ide-ide semacamnya. Semua ini merupakan ide non islami yang
masuk dengan anggapan merupakan ide islami, atau bahwa itu tidak menyalahi Islam. Ini wajib
diserang dan diperangi dan tidak diberi kemungkinan untuk masuk ke masyarakat sehingga
tidak terjadi ketidakstabilan di dalam masyarakat. Adapun ide-ide islami yang menyalahi apa
yang diadopsi oleh Hizb maka Hizb menjelaskan kekeliruan pemahaman di situ, tetapi tidak
menyerang bahkan menyatakan bahwa itu merupakan pendapat islami namun lemah
dalilnya. Misalnya, dari kalangan mujtahid ada yang tidak memperbolehkan khalifah itu
kecuali seorang Quraisy atau berasal dari Ahlul Bait. Di antara mereka ada yang
berpandangan tidak bolehnya wanita menjadi qadhi. Di antara mereka ada yang
berpandangan bolehnya menimbun emas dan perak jika dikeluarkan zakatnya. Di antara
mereka ada yang berpandangan bolehnya menyewakan tanah untuk pertanian, dan
pendapat semacamnya. Pendapat-pendapat ini, semuanya merupakan pendapat islami dan
tidak dihalangi masuk ke masyarakat sebab itu tidak menimbulkan ketidakstabilan di
masyarakat karena pendapat-pendapat itu islami sebagaimana pendapat yang diadopsi oleh
Hizb, bersandar kepada dalil atau syubhat dalil. Berkaitan dengan ide-ide islami ini cukup
dengan menjelaskan kekeliruannya (ke-khatha`an-nya).
Hanya saja, Hizb di dalam lembaran-lembaran, leaflet-leaflet dan diskusi-diskusinya
sama sekali tidak menyerang pendapat apapun yang menyalahi pendapat yang diadopsi Hizb,
tetapi Hizb membolehkan penyebaran pendapat yang tidak diadopsi sebagai contoh untuk
pemahaman fiqhiyah atau tasyri’iy namun tidak dinisbatkan kepada sumbernya tetapi cukup
dengan dalilnya. Ini dari sisi pendapat yang Hizb sebarkan. Adapun jika disebarkan ide islami
bukan melalui Hizb dan pendapat ini menyalahi pendapat Hizb maka Hizb cukup dengan
mendiskusikannya jika di situ ada keperluan untuk mendiskusikannya dan jika tidak ada
keperluan maka diabaikan. Oleh karena itu semua, Hizb menghalangi masyarakat dari
ketidakstabilan yang dikhawatirkan bisa terjadi di masyarakat. Medan pertarungan terus
berlangsung antara Islam dan kekufuran sampai kaum kafir kalah dan Islam menang].
Jelas dari kutipan di atas bahwa Hizb tidak mengingkari pandangan pihak lain terkait
pendapat-pendapat fiqhiyah yang menyalahi apa yang diadopsi oleh Hizb selama pendapat itu
diistinbath dengan ijtihad syar’iy yang shahih. Jika masalahnya demikian, maka Hizb tidak
mengingkari mereka, tetapi berdiskusi dengan mereka tentang pendapat itu dan berusaha
meyakinkan mereka atas kekeliruan pendapat mereka dan keshahihan pendapat Hizb
berdasarkan dalil-dalil. Hizb tidak memerangi pendapat-pendapat mereka dan tidak
menyerangnya, tetapi Hizb cukup menjelaskan kekeliruan tentangnya dan mentolerir adanya
pendapat itu di masyarakat sebab merupakan pendapat islami hingga meskipun marjuh dan
lemah dalilnya dalam pandangan Hizb …
Di antara contoh atas hal itu, ucapan bahwa wajah dan dua telapak tangan perempuan
adalah aurat. Ini merupakan pendapat fiqhiyah islami yang dikatakan oleh sebagian fuqaha dan
mujtahid. Dan hizb tidak mengingkari atas orang-orang yang mengatakannya. Tetapi hizb
menyeru mereka kepada pendapat hizb bahwa wajah dan dua telapak tangan perempuan
bukanlah aurat, dan hizb telah menjelaskan kepada mereka dalil-dalil syar’iy yang dipandang
shahih oleh hizb. Tetapi hizb tidak menyerang pendapat-pendapat mereka ini dan tidak
mengingkari mereka mengikutinya sebab itu merupakan pendapat islami yang dikatakan oleh
fuqaha dan mujtahid.
Adapun ucapan hisab astronomis maka di situ ada lebih dari satu pendapat menurut
yang mengatakannya … Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa hilal itu jika telah
terbit di satu malam maka malam itu merupakan awal Ramadhan … Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa jika hilal telah terbit di siang hari dan tenggelam setelah tenggelamnya
matahari berapapun lamanya tenggelamnya itu maka malam ini adalah malam awal Ramadhan
… Di antara mereka ada yang berusaha mempertemukan antara hisab dan rukyat, dengan
mengatakan jika hilal terbit di siang hari dan tenggelam setelah tenggelamnya matahari dengan
jangka waktu yang memungkinkan rukyat maka malam itu merupakan awal Ramadhan …
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang lamanya jangka waktu itu apakah 10, 15 atau 20
menit. Dan begitulah … Dan hizb tidak condong kepada pandangan yang menyatakan bahwa ini
merupakan ijtihad yang shahih. Nash-nash yang ada jelas mengaitkan puasa dan berbuka
dengan rukyat.

‫صو ُموا لِ ُرْؤ يَتِ ِه َوَأ ْف ِط ُروا لِ ُرْؤ يَتِ ِه» أخرجه مسلم‬
ُ «

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya” (HR Muslim).

Lalu bagaimana mereka bisa beralih dari hal itu ke hisab? Khususnya bahwa Rasul saw
menjadikan tidak adanya rukyat dikarenakan mendung misalnya, hingga meskipun hilal itu ada
di balik mendung tetapi tertutup oleh mendung sehingga tidak terlihat, Rasul menjadikan tidak
terlihatnya hilal dalam keadaan ini mewajibkan penggenapan Sya’ban menjadi 30 hari hingga
meskipun hilal itu ada di balik mendung tetapi tidak terlihat.
‫ش ْه ُر فَ ُعدُّوا ثَاَل ثِينَ » أخرجه مسلم‬
َّ ‫«فَِإنْ ُغ ِّم َي َعلَ ْي ُك ُم ال‬

“dan jika tertutup mendung bagi kalian bulan itu maka genapkanlah 30 hari” (HR Muslim).

Semua itu menegaskan bahwa sebab puasa dan berbuka adalah rukyat dan bukan sebab lain
apapun. Oleh karena itu, akan ada ‘sesuatu’ tentang penilaian hisab astronomis sebagai
pendapat yang diistinbath dengan ijtihad syar’iy yang shahih … Dan hizb telah menjelaskan
rukyat syar’iy bahwa itu adalah muktamadah berdasarkan ijtihad yang shahih sesuai ushul
syar’iy yang shahih dengan izin Allah.
Ringkasnya, bahwa hizb tidak menyerang pendapat islami manapun yang dikatakan oleh
para mujtahid muktabar selama diistinbath dari Islam dengan istinbath yang syar’iy. Tetapi hizb
berdiskusi dengan mereka secara baik bahwa pendapat hizb adalah tepat (shawâb) dan hizb
sebutkan dalil-dalil dan hizb mendengar dari mereka … Tetapi hizb bersikap tegas menghadapi
mereka yang ingin memasukkan pendapat-pendapat tidak islami dan menyesatkan orang
dengannya padahal pendapat itu jauh dari Islam laksana jauhnya antara barat dan timur!
Terkait pendapat-pendapat ini, tidak benar bersikap lemah dalam menjelaskan
kepalsuannya semisal ucapan bolehnya bunga ribawi, ucapan bolehnya berpartisipasi di dalam
sistem kufur dan berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, hingga
keadaannya sampai mereka mengatakan bolehnya perdamaian dengan Yahudi dan normalisasi
hubungan dengan entitas Yahudi.

َ ‫﴿َأاَل‬
﴾ َ‫سا َء َما يَ ْح ُك ُمون‬

“Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (TQS an-Nahl [16]: 59).

Dan pendapat-pendapat semacam itulah yang tersebar di zaman kita sekarang dan itu
tidak diistinbath dengan istinbath syar’iy yang shahih bahkan sebagiannya berbenturan dengan
dalil-dalil qath’iy dari Kitabullah saw dan Sunnah Rasulullah saw. Pendapat-pendapat semisal ini
tidak dinilai sebagai hukum syar’iy dan pendapat islami, dan kita harus mengingkari orang yang
mengucapkannya dan mengambilnya, dan harus dihalangi eksistensinya.

Anda mungkin juga menyukai