Fiqih Islam
Pengantar Ushul Fiqih Untuk Pemula
Hukum Syara
Hukum Syara’ adalah khithab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum)
yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba (manusia), baik itu berupa
ketetapan yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Quran dan Hadits
mutawatir, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zhanni
tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
Apabila sumber ketetapannya pasti, maka perlu dicermati; yaitu jika
penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath’iud dilalah), maka hukum yang
dikandungnya juga bersifat pasti. Misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang
kesemuanya bersumber dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum
haramnya riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina.
Akan tetapi jika seruan Syari’ itu sumber ketetapannya bersifat pasti
sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang
terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah, -
uang yang dipungut negara dari orang kafir dzimmi yang menolak
masuk Islam, tetapi bersedia hidup dalam masyarakat Islam-. Dilihat
dari sumber ketetapannya bersifat qath’i, tetapi bila ditinjau dari
perincian-perincian hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah
zhanni.
Adapun seruan Syari’ yang ketetapannya bersifat zhanni tsubut seperti
hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung di
dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalah-nya yang qath’i,
seperti puasa enam hari pada Bulan Syawal yang ditetapkan oleh
sunah, maupun yang dilalah-nya zhanni, seperti larangan menyewakan
lahan pertanian yang ditetapkan oleh sunah.
Tabel Penjelas
Sumber Dalil Dilalah Dalil Status Hukum Status Ijtihad
Tidak ada ijtihad dan tidak ada perbedaan di
Qath’i Qath’i Qath’i
semua aliran Madzhab
Wilayah Ijtihad, tidak ada perbedaan sumber dalil
Qath’i Zhanni Zhanni
tetapi ada perbedaan pemahaman dalilnya
Wilayah Ijtihad, lebih menekankan kepada
Zhanni Qathi Zhanni perbedaan sumber hadits dari sisi kekuatan sanad
dan kualitasnya
Wilayah Ijtihad, perbedaan dari sisi dalil hadits
Zhanni Zhanni Zhanni dan pemahaman hadits
Kita dapat memahami hukum syara’ dari seruan Syari’ melalui proses
ijtihad yang benar. Jadi, ijtihad para mujtahid itulah yang memunculkan
hukum syara’. Karena itu, hukum Allah bagi setiap mujtahid adalah apa
yang dihasilkan melalui proses ijtihad dan menduga kuat kebenaran
hukum tersebut.
Catatan :
- Ijtihad hanya berlaku pada dalil zhanni dan tidak berlaku pada
persoalan akidah
- Kualifikasi ulama yang mampu melaksanakan ijtihad adalah
menguasai ilmu ushul (Ushul Fiqih, Ushul Hadits, Tafsir) dan
penguasaan Bahasa arab.
Seorang mukallaf yang telah mencapai derajat ahli ijtihad dalam
masalah tertentu, apabila berijtihad dan mendapatkan hukum tentang
masalah tersebut, maka dalam hal ini terdapat kesepakatan ulama,
bahwa seorang mujtahid tidak diperkenankan bertaklid kepada
mujtahid lain yang pendapatnya berlawanan dengan hasil ijtihadnya.
Dia tidak boleh meninggalkan ijtihadnya (walaupun berbentuk zhanni)
kecuali pada empat perkara:
1. Jika sudah jelas baginya bahwa dalil yang menjadi tempat sandaran
ijtihadnya itu adalah lemah. Dan dalil mujtahid lainnya lebih kuat.
Dalam kondisi semacam ini, ia wajib meninggalkan hukum –hasil
ijtihadnya-, dan mengambil hukum yang dalilnya lebih kuat.
2. Jika sudah jelas baginya bahwa mujtahid lainnya itu lebih mampu
dalam meramu (ijtihadnya), atau lebih banyak mendalam informasi
tentang fakta, atau lebih kuat pemahaman dalil-dalilnya, atau lebih
banyak pengkajiannya tentang dalil-dalil sam’i, maka ia boleh
meninggalkan hukum –hasil ijtihadnya-, kemudian bertaklid
terhadap mujtahid lain yang lebih dipercaya bahwa proses
ijtihadnya labih terpercaya dibandingkan hasil ijtihadnya sendiri.
3. Jika terdapat pemikiran untuk menyatukan sikap kaum Muslim
dalam rangka mencapai kemaslahatan bagi kaum Muslim. Dalam
kondisi semacam ini boleh bagi seorang mujtahid meninggalkan
pendapatnya, dan mengambil hukum yang dapat menyatukan sikap
kaum Muslim. Seperti yang terjadi di masa pembai’atan Utsman ra.
4. Jika Khalifah telah memilih dan menetapkan salah satu hukum
syara’ yang berbeda dengan hukum hasil ijtihad seorang mujtahid.
Dalam kondisi semacam ini wajib atasnya tidak menjalankan hasil
ijtihadnya. Ia harus mengamalkan hukum yang telah dipilih dan
ditetapkan Khalifah. Para sahabat telah ijma’ bahwa
‘perintah/keputusan Imam (Khalifah) menghilangkan perselisihan’.
Perintah Imam harus dijalankan atas seluruh kaum Muslim.
Taqlid
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan berijtihad, maka dibolehkan
baginya bertaklid (mengikuti pendapat status hukum perbuatan)
kepada para mujtahid. Karena para sahabat telah sepakat tentang
bolehnya seorang mujtahid bertaklid kepada mujtahid lainnya.
Orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad dinamakan muqallid.
Muqallid itu terbagi dua, yaitu
1. muqallid muttabi’
2. dan muqallid ‘ammi.
Muqallid Muttabi
Muqallid muttabi’ adalah orang yang memiliki sebagian ilmu yang
diperlukan dalam berijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid
setelah ia mengetahui dalilnya. Pada saat itu hukum Allah atas muttabi’
tersebut adalah pendapat mujtahid yang diikutinya.