Anda di halaman 1dari 19

Menjadi Pembina Tangguh

Dasar umum untuk tingkat Pembina


Mukaddimah ke 1
Mendefinisikan Pembinaan
Banyak definisi mengenai pembinaan, mentoring, coaching, pembelajaran,
pelatihan dan istilah lainnya dalam bidang manajemen, tetapi kami tidak
menggunakan definisi tersebut dalam kegiatan pembinaan dalam arti umum dan
luas.
Pembinaan (tasqif) adalah istilah syara yang mengacu kepada aktivitas Rasulullah
membina para Sahabatnya dan membina ummat secara umum. Ada kalanya
pembinaan yang dilakukan Rasulullah bersifat majelis, ada kalanya nasihat secara
personal, ada kalanya mencontohkan, ada kalanya mengoreksi, dll.
Terlepas dari hal teknis tersebut, semua bertujuan untuk membentuk kepribadian
Islam yang memiliki keimanan yang kuat dan ketakwaan yang tinggi. Dalam ruang
lingkup masyarakat maka pembinaan masyarakat bertujuan untuk membentuk
kesadaran umum atas permasalahan ummat
Adapun istilah pembinaan dalam bidang manajemen hanya mengacu
kepada teknis dan tujuan secara khusus berdasarkan teknis tersebut
sehingga tidak bisa mewakili istilah tasqif menurut definisi syara
Kami memposisikan istilah manajemen tersebut terhadap kategori
uslub (cara kreatif). Dan uslub dalam pembinaan dipilih sesuai dengan
kebutuhan tujuan dan efisiensi dan efektivitasnya.
Atas dasar pemahaman definisi ini, maka sudah selayaknya seorang
Pembina tidak mempersempit bentuk kegiatan tasqif (pembinaan)
terhadap salah satu aktifitas uslub saja dan memfokuskan tujuan
pembinaan terhadap pembentukan kepribadian Islam
Mukaddimah ke 2
Memahami Pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah
Perlu diketahui ada perbedaan yang cukup krusial antara kegiatan
Pembinaan (Tasqif) dan ta’lim (pengajaran). Banyak yang menganggap
aktivitas pembinaan adalah menyampaikan materi terhadap binaan,
padahal hal tersebut baru sebatas ta’lim. Dari pemahaman seperti ini
maka banyak yang mengorientasikan pembinaan sebatas hanya dengan
Menyusun materi, menyampaikan materi, dan menyiapkan pengajar
baru. Ini adalah kekeliruan mendasar yang menjadikan hasil pembinaan
masih jauh dari harapan
Jika kita teliti Kembali maka program ta’lim lebih menekankan kepada aspek
pemikiran atau fiqriyyah yang membangun aqliyyah (pola pikir), Sedangkan untuk
membentuk kepribadian islam tidak cukup hanya membangun aqliyyahnya saja.
Dibutuhkan pembinaan pola sikap atau Nafsiyyah yang mampu menyeimbangkan
pembentukan kepribadian islam
Masalah kedua adalah ketidakpahaman berkaitan dengan definisi nafsiyah. Banyak
yang beranggapan bahwa nafsiyah berkaitan dengan amalan hati atau berkaitan
dengan akhlak atau amalan amalan nafilah ibadah. Mari kita teliti Kembali
definisinya “Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang
untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-’adhawiyah (kebutuhan
jasmani); yakni upaya memenuhi tuntutan tersebut berdasarkan kaidah yang
diimani dan diyakininya”.(Min Muqawwimat An Nafsiyyah - Atha Bin Khalil)
Berdasarkan definisi diatas, maka pembinaan nafsiyah terpusat pada bagaimana cara
menyelesaikan atau memenuhi hajjatul udhawiyah dan gharizah, dalam kitab
syakhshiyyah islam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan “untuk meningkatkan nafsiyah
Islamiyah maka harus meningkatkan ketaatan kepada Allah”. Jika kami contohkan maka
kegiatannya seperti :
1. Jika binaan kurang peka terhadap ibadah maka ajarkan ibadah nafilah dan dorong
secara nyata untuk melaksanakan ibadah
2. Jika binaan kurang peka terhadap dakwah maka ajarkan tata cara dakwah dan
melakukan dakwah secara langsung
3. Jika binaan kurang peka terhadap akhlaq yang baik maka ajarkanlah akhlak dan
contohkan akhlak yang baik
4. Jika binaan kurang peka dalam thalabul ilmi maka ajarkan tata cara thalabul ilmi dan
buka majelis ilmu
Dari sini kami rasa perkaranya sudah jelas, sehingga aktivitas
pembinaan tidak bisa terbatas pada aktifitas ta’lim saja sehingga
dibutuhkan program khusus untuk membina nafsiyah secara praktis.
Jika kita negasikan pada sudut pandang Pembina, maka kita harus
memahami peran yang akan membentuk dan meningkatkan
kepribadian Islam binaannya. Tidak cukup kualifikasi mentor hanya
mampu menyampaikan materi ta’lim saja, diharuskan menguasai cara
mengarahkan binaan untuk meningkatkan ketakwaan secara praktis.
Mukaddimah ke 3
Memahami Motivasi Perbuatan
Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup,
alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu
yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya.
Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan
menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian
diganti dengan pemikiran lain.
Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim
(persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu
mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-
nya terhadap kehidupan.
Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya
akan membentuk perilaku yang berlawanan dari orang tersebut
terhadap orang lain yang dibencinya, karena ia memiliki mafahim
kebencian terhadapnya.
Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang sama sekali tidak
dikenalnya, karena ia tidak memiliki mafhum apapun terhadap orang
tersebut. Jadi, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan
mafahim yang dimilikinya.
Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia
yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus
mengubah mafhum-nya terlebih dahulu.
Penjelasan
Jika kita Kembali menelaah motivasi seseorang bergerak atau
melakukan sesuatu, maka akan dikembalikan kepada pemahamannya.
Pemahaman tidak akan terbentuk atau terbangun tanpa adanya sebuah
akidah yang menjadi pondasinya.
Atas dasar akidah tersebut pula sesorang akan memutuskan apa saja
yang diyakini dan diingkari atas pemahaman yang dibangun. Jika
pemahaman yang dia saksikan bukan berasal atau bertentangan dari
pondasi akidahnya maka dia akan menolaknya juga sebaliknya
Motivasi Bergerak (kekuatan bergerak)
Manusia memiliki beberapa kekuatan dalam dirinya, antara lain:
1. Kekuatan materi atau fisik yang meliputi tubuh dan sarana-sarana
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Kekuatan moral/jiwa yang berupa sifat-sifat mental yang selalu
dicari dan ingin dimiliki oleh seseorang.
3. Kekuatan Rohani yang terbentuk dengan adanya kesadaran atau
perasaan akan hubungannya dengan Allah SWT atau menyadari dan
merasakan hubungan tersebut.
Kekuatan yang bersifat fisik atau materi adalah motivasi yang rapuh,
karena motivasi ini mengharuskan materi untuk dicapai dalam
perbuatan tersebut. Sehingga apabila materi yang dituju tidak ada
maka orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan tersebut.

Kekuatan moral yang berasal dari naluri lebih kuat daripada kekuatan
materi, karena bisa jadi motif dari perbuatannya mengabaikan
keuntungan material seperti mendapatkan Wanita yang dicintainya,
dipuji oleh orang orang, dan sebagainya. Tetapi kekuatan ini juga lemah
dan hilang seiring dengan motif moral tersebut dapat diraih atau tidak.
Jika sebuah usaha tidak mendekatkannya pada Wanita maka dia tidak
akan lakukan usaha itu begitupun sebaliknya.
Kekuatan yang rohani (Spiritual) adalah kekuatan yang sangat kuat
tanpa kelemahan, karena melakukan perbuatan berdasarkan hukum
syara serta bertawakkal kepada Allah. Orang dengan kekuatan ini akan
melakukan apapun asalkan mendekatkan diri kepada Allah tanpa
memandang hasil material atau hasil moral
Seperti dakwah di jalan Allah, dalam perjalannya akan mengeluarkan
uang dalam aktivitasnya dan akan berhadapan dengan cobaan dan
celaan. Tetapi karena dakwah adalah semulianya amal maka orang
tersebut bersabar dan berpegang teguh di jalan para Nabi
Kesimpulan
Maka Ketika kita ingin merubah sesorang maka wajib berfokus pada
pemahaman yang akan dibangun disertai dengan membuat
pemahaman lama dari seseorang ditinggalkan. Kemudian menanamkan
motivasi spiritual yang kokoh agar disetiap perbuatannya selalu ikhlas di
jalan Allah
Mukaddimah ke 3
Memahami Poros Hidup

Anda mungkin juga menyukai