Anda di halaman 1dari 5

Muqallid Muttabi’

13 Februari 2018 Amir HT, Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taklid

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di
Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Muqallid Muttabi’

Kepada Imam Annawawy

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah menjaga Anda dan menguatkan Anda. Ya
amir saya dan ya saudara saya, saya mohon kelapangan waktu Anda untuk menjawab. Pertanyaannya:

Saya membaca di buku Anda Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl hal. 273 sebagai berikut: “pertanyaannya adalah:
terkait dengan seorang muqallid, jika ia telah bertaklid dalam suatu masalah tertentu apakah boleh dia
kembali (menarik diri ) dan bertaklid kepada yang lain dalam masalah yang sama? Untuk menjawab hal itu
kami katakan bahwa hukum syara’ bagi seorang muqallid adalah hukum syara’ yang diistinbath oleh
mujtahid yang ia taklidi. Ini berarti bahwa perkara tersebut menjadi sebagai berikut: jika perbuatan
muqallid itu berhubungan dengan masalah yang ia taklidi maka ia tidak boleh menarik diri darinya dan
bertaklid kepada yang lain sebab ia terikat dengan hukum syara’ pada masalah itu dan beramal dengannya”
selesai.

Muncul pertanyaan di saya, misalnya seorang ummi yang tidak mengetahui bahasa arab, ia mengambil
hukum syara’ dari imam Syafi’iy rahimahullah, misalnya shalat, dan beramal dengannya. Kemudian dia
membaca hukum shalat di buku fikih yang diterjemahkan dalam bahasa Rusia karya mujtahid lainnya,
“misalnya imam Malik rahimahullah. Ia membacanya dengan bahasa Rusia dan seorang ummi itu ingin
meninggalkan pandangan imam Syafi’iy dan mengambil pendapat imam Malik… Pertanyaannya di sini:
apakah secara syar’i hal itu boleh baginya? Dengan makna lain, apakah dibenarkan tarjih dengan selain
bahasa arab? Sebab sebuah dalil tidak bisa dinilai sebagai dalil syara’ kecuali menggunakan bahasa arab?
Kenapa saya menanyakan pertanyaan ini? Sebab banyak dari kaum Muslim di daerah saya meninggalkan
pendapat seorang mujtahid yang mereka telah beramal dengannya dan berikutnya mereka beramal dengan
pendapat mujtahid lainnya pada masalah yang sama. Pada saat yang sama, mereka tidak mengetahui
bahasa arab dan ilmu-ilmu syariah! Mereka membaca ayat-ayat dan hadits-hadits dengan bahasa Rusia dan
menyerukan bahwa itu adalah dalil-dalil syara’! Saya mohon jawaban supaya saya paham dan
memahamkan selain saya. Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik dan senantiasa menjaga
Anda.

Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Jika seorang muslim bertaklid kepada mazhab tertentu pada suatu hukum, seperti dia shalat menurut
mazhab Abu Hanifah, dan ia ingin mengubah hal itu dan shalat menurut mazhab Syafi’iy misalnya, maka hal
itu tidak boleh kecuali setelah ia berpegang pada perkara-perkara berikut:

1- Perkara itu haruslah didasarkan atas murajjih syar’iy dan bukan karena hukum baru itu lebih ringan atau
lebih gampang atau sesuai dengan hawa nafsunya, sebab mengikuti hawa nafsu adalah dilarang. Allah SWT
berfirman:

﴿‫﴾فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ َوى‬

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…” (TQS an-Nisa’ [4]: 135).

Sebagaimana Allah SWT juga berfirman:

ِ ‫َي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬


﴿‫ُول‬ ْ ‫﴾فَإِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي ش‬

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al–Quran)
dan Rasul (sunnahnya) …” (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Dan itu bagi seorang muqallid adalah merujuk kepada murajjih yang diridhai oleh Allah dan rasul. Ini
menjauhkan dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Dan memilih salah satu dari dua pendapat tanpa
murajjih adalah memilih menurut hawa nafsu dan syahwat. Dan hal itu kontradiksi dengan merujuk kepada
Allah dan rasul. Murajjih yang digunakan oleh muqallid untuk merajihkan seorang mujtahid terhadap
mujtahid lain atau merajihkan satu hukum atas hukum lainnya, ada banyak. Yang paling penting dan
pertama adalah: al-a’lamiyah (yang lebih berilmu), al-fahmu (pemahaman) dan al-‘adâlah (keadilan)… Jadi,
seorang muqallid merajihkan orang yang ia ketahui memiliki ilmu, dan keadilan sebab keadilan merupakan
syarat dalam penerimaan kesaksian seorang saksi. Dan pemberian hukum syara’ kepadanya dalam
pengajaran (ta’lîm) adalah kesaksian (syahâdah) bahwa ini adalah hukum syara’, maka dalam
penerimaannya harus ada keadilan al-mu’allim yang mengajarkan kepadanya. Maka keadilan orang yang
mengistinbath hukum tersebut tentu lebih utama lagi. Jadi keadilan (al-‘adâlah) sebagai syarat yang
menjadi sifat orang yang darinya kita mengambil hukum syara’ baik dia seorang mujtahid ataupun seorang
mu’allim, maka hal itu merupakan keharusan. Jadi siapa yang meyakini bahwa asy-Syafi’iy lebih tahu dan
tepat (shawâb) atas mazhabnya sebagian besarnya, maka dia tidak boleh mengambil mazhab yang
menyalahinya karena menuruti keinginan. Melainkan ia boleh, bahkan harus, mengambil apa yang
menyalahi mazhabnya jika tampak baginya kerajihan hal itu dengan kerajihan dalil. Jadi tarjih merupakan
keharusan. Dan keberadaan tarjih itu harus tidak berasal dari mengikuti syahwat dan hawa nafsu, juga
merupakan keharusan. Bagi seorang muqallid tidak perlu menyeleksi yang terbaik menurut pandangannya
dari mazhab-mazhab dalam setiap masalah!

Manusia dalam hal pengetahuan hukum syara’ ada dua macam: pertama, mujtahid; dan kedua, muqallid,
dan tidak ada yang ketiga. Sebab faktanya bahwa seseorang itu kadang mengambil apa yang dia capai
dengan ijtihadnya sendiri, atau apa yang dicapai oleh orang lain dengan ijtihadnya, dan perkara yang ada
tidak keluar dari dua kondisi ini. Berdasarkan hal ini, maka setiap orang yang bukan mujtahid, dia adalah
seorang muqallid bagaimanapun macamnya. Jadi masalah pada taklid adalah mengambil hukum dari orang
lain tanpa diperhatikan apakah orang yang mengambil itu seorang mujtahid atau bukan mujtahid. Jadi
boleh bagi mujtahid dalam satu masalah ia bertaklid kepada mujtahid lainnya meski dia sendiri sebenarnya
layak untuk melakukan ijtihad. Dan ketika itu ia menjadi seorang muqallid dalam masalah ini. Atas dasar hal
itu maka satu hukum kadang muqallid dalam hukum itu adalah seorang mujtahid, dan kadang dia bukan
mujtahid.

3- Mujtahid adalah orang yang memiliki keahlian ijtihad, di mana ia memilliki pengetahuan yang mencukupi
tentang bahasa arab, pengetahuan yang mencukupi tentang bagian-bagian al-Kitab dan as-Sunnah,
pengetahuan yang mencukupi mengenai tatacara menghakimi dalil-dalil dalam hal ta’adul, kompromi (al-
jam’u), dan tarjih, dan berikutnya ia memiliki kemampuan mengistinbath hukum… Mujathid ini jika ia
berijtihad dalam satu masalah dan ijtihadnya mengantarkan kepada satu hukum dalam masalah tersebut,
maka ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya dalam apa yang menyalahi apa yang dicapai oleh
ijtihadnya itu. Dan ia tidak boleh meninggalkan zhannya atau meninggalkan beramal dengan zhannya dalam
masalah tersebut kecuali dalam beberapa kondisi, yang paling penting adalah jika tampak baginya bahwa
dalil yang dia jadikan sandaran dalam ijtihadnya adalah lemah dan bahwa dalil mujtahid lain selain dia lebih
kuat dari dalil dia. Dalam kondisi ini ia wajib meninggalkan hukum yang dicapai oleh ijtihadnya seketika itu
juga dan mengambil hukum yang lebih kuat dalilnya. Dan haram baginya tetap bertahan di atas hukum
pertama yang dicapai oleh ijtihadnya sendiri itu…

Ini semua pada mujtahid jika ia secara riil berijtihad dan ijtihadnya mengantarkannya kepada satu hukum
dalam masalah tersebut. Adapun jika ia tidak berijtihad dalam masalah tersebut maka ia boleh bertaklid
kepada mujtahid lainya dan ia boleh tidak berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab ijtihad merupakan
fardhu kifayah dan bukannya fardhu ‘ain. Maka jika telah diketahui hukum syara’ dalam masalah tersebut
maka bagi seorang mujtahid tidak wajib berijtihad pada masalah tersebut. Tetapi baginya boleh berijtihad
dan boleh juga bertaklid kepada mujtahid lainnya dalam masalah tersebut.

Artinya, bahwa seorang mujtahid boleh beralih dari satu pendapat ke pendapat yang lain dengan murajjih
yaitu kekuatan dalil, baik apakah dia sendiri yang mengistinbath hukum tersebut ataukah mujtahid lainnya.
4- Ini adalah fakta taklidnya mujtahid. Adapun selain mujtahid maka ada dua jenis: muttabi’ dan ‘âmiy. Dan
untuk masing-masingnya ada syarat-syarat ketika beralih dari satu mazbah (pendapat) ke mazhab
(pendapat) yang lain. Peralihan ini dalam semua kondisi, tidak boleh menurut syahwat dan hawa nafsu atau
karena lebih ringan, akan tetapi harus dengan murajjih syar’iy untuk muttabi’ dan ‘âmi:

– Adapu seorang muttabi’ adalah orang yang memiliki sebagian ilmu yang muktabar dalam tasyri’. Yang
paling penting adalah:

1. Pengetahuan yang relevan (ma’rifatun munâsabatun) tentang bahasa arab, artinya dengannya ia
mungkin memahami bahasa arab sampai batas tertentu, dan membaca al-Quran dengan bahasa arab, dan
jika ia membaca hadits ia mungkin memahami maknanya dengan bahasa arab. Hal itu bukan berarti ia bisa
memahmi semua kata di dalamnya, akan tetapi ia bisa bertanya tentang kata bahasa arab dan mencari
maknanya…

2. Pengetahuan yang relevan meski dengan terjemahan, tentang konotasi mutawatir, shahih, hasan, dan
dha’if pada hadits-hadits. Dan hendaknya ia memiliki pengetahuan hadits-hadits yang sahih dari kitab-kitab
hadits. Misalnya, ketika ia melihat hadits di al-Bukhari atau Muslim, ia tahu bahwa hadits itu shahih.
Demikian juga jika ia membaca suatu hadits di at-Tirmidzi dan tentangnya at-Tirmidzi mengatakan hadits
hasan, ia mengetahui konotasi hal itu… Dan berikutnya ia memahami makna shahih, hasan dan dha’if…
Begitulah.

Dan seorang muttabi’ beralih dari satu pendapat ke pendapat lainnya menurut pengetahuan dalilnya. Jadi
hukum yang ia ketahui dalilnya ia ikuti, hukum itu lebih rajih dari hukum yang tidak ia ketahui dalilnya. Dan
jika ia bertaklid kepada suatu mazhab tanpa mengetahui dalilnya, dan ia menelaah mahab lain dengan dalil-
dalilnya lalu ia mengikuti mazhab yang ia ketahui dalilnya dan meninggalkan pendapat yang tidak ia ketahui
dalilnya.

Artinya, seorang muttabi’ beralih dari satu pendapat ke pendapat yang lain menurut murajjih, yaitu bagi
muttabi’ adalah mengikuti hukum yang ia ketahui dalilnya dan meninggalkan pendapat yang tidak ia
ketahui dalilnya.

– Adapun seorang al-‘âmiy maka dia adalah orang yang tidak memiliki sebagian ilmu-ilmu muktabar dalam
tasyri’. Jadi pengetahuannya tentang bahasa arab hampir-hampir tidak ada, pengetahuannya tentang dalil-
dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah hampir tidak ada… Dan ia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana yan
dikatakan kepadanya oleh seorang syaikh pada suatu mazhab. Dan semisal ini, ia tidak boleh beralih dari
mazhabnya ke mazhab yang lain dalam suatu masalah kecuali dengan murajjih. Dan murajjih bagi seorang
al-‘âmiy adalah ketsiqahannya pada orang yang ia taklidi dari sisi pemahaman, ketakwaan dan baiknya
muamalah. Jadi dia bertaklid kepada syaikh perguruan tinggi atau bapaknya atau orang yang mengajar
masyarakat di masjid jami’ mengenai membaca al-Quran… Maka ia shalat semisal mereka berdasarkan
mazhab asy-Syafi’iy misalnya. Dan dia, sementara keadaan ini, ia tidak boleh beralih dari mazhab ini ke
mazhab yang lain kecuali, seperti yang kami katakan, dengan murajjih. Yaitu mengetahui (mengidentifikasi)
seseorang bahwa orang itu lebih tahu dari mereka dan ia percaya dengan ketakwaan orang itu dan
keadilannya lebih dari mereka, dan orang itu shalat menurut mazhab Abu Hanifah, dan dia lihat orang itu
lebih tahu dan lebih takwa dari mereka maka dia lebih percaya padanya dan yakin dengan ilmunya, apalagi
dia menghadiri kajian orang itu tentang shalat menurut mazhab Abu Hanifah, sehingga orang itu menjadi
kepercayaannya dan keyakinannya, maka boleh baginya dalam kondisi ini beralih dalam shalatnya dari
mazhab asy-Syafi’i ke mazhab Hanafi dengan tarjih kepercayaan dan keyakinan…

Artinya, bahwa seorang al-‘âmiy beralih dari satu pendapat ke yang lain dengan adanya murajjih. Dan
murajjih itu bagi seorang al-‘âmiy adalah pengetahuan atas seseorang yang ia percayai ketakwaannya dan
keadilannya dan ia yakin dengan ilmu dan pemahamannya, dan orang itu menunjukinya kepada mazhab
yang menjadi tujuan peralihannya, maka jika ia yakin, ia boleh beralih…

5- Semua ini jika amalnya telah berhubungan dengan taklid kepada mujtahid dan ia ingin beralih ke
mujtahid lainnya. Maka ia memerlukan adanya murajjih, baik apakah murajjih itu dengan mengetahui dalil
jika dia mengikuti seorang mujtahid tanpa mengetahui dalilnya, ataukah ia belajar dari orang yang tsiqah
bahwa dalil-dalil mujtahid ini lebih kuat dari mujathid yang ia taklidi sebelumnya. Adapun jika
perbuatannya belum berhubungan dengan taklid kepada seorang mujtahid dalam suatu masalah, dan ia
ingin bertaklid sebagai awal maka dia boleh bertaklid mujtahid siapapun dan ia yakin dengan dalil-dalil dan
pengetahuannya.

Penting disebutkan bahwa dalam satu masalah, wajib dari satu mujtahid dalam masalah tersebut, syarat-
syarat dan rukun-rukunnya… Misalnya, tentang shalat maka wajib ia mengambil dari satu mujtahid, shalat
itu, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya… seperti wudhu, berdiri dan ruku’… semuanya diambil dari satu
mujtahid yang sama. Seperti, shalat, puasa, haji, maka ia boleh mengambilnya semuanya dari seorang
mujtahid; atau mengambil shalat dari seorang mujtahid sementara puasa dari mujtahid lainnya…begitulah.

6- Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka jawaban pertanyaan Anda tentang saudara-saudara yang
tidak mengetahui bahasa arab dan menilai diri mereka termasuk dalam konotasi muttabi’. Oleh karenanya
mereka membaca terjemahan dalil-dalil, dan berdasarkan hal itu mereka beralih dari mazhab lama mereka
ke mazhab baru mereka berdasarkan anggapan bahwa mereka pada hukum muttabi’ yang cukup baginya
mengetahui dalil… Sungguh realita mereka tidak menunjukkan hal itu selama mereka tidak mengetahui
bahasa arab. Karenanya tidak cukup terjemahan untuk meninggalkan mazhabnya dan beralih ke mazhab
yang lain! Akan tetapi, perlu adanya murajjih lainnya seperti seorang al-‘âmiy, dengan mengenal orang yang
tsiqah yang mengetahui bahasa arab, orang itu membacakan dalil kepadanya dengan bahasa arab dan
menjelaskan kepadanya bahwa mazhab ini lebih rajih… Maka jika dia percaya dengan ilmu (pengetahuan)-
nya dan pemahamannya maka ketika itu boleh baginya beralih ke mazhab yang dirajihkan kepadanya oleh
orang tsiqah tersebut… Artinya, saudara-saudara itu jika mereka ingin beralih dari mazhab lama ke mazhab
baru maka tidak cukup hanya membaca terjemahan, selama mereka tidak mengetahui bahasa arab. Akan
tetapi wajib ada pada mereka murajjih bagi al-‘âmiy di samping terjemahan tersebut

Ini yang saya pandang dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasyta

Anda mungkin juga menyukai