Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu
masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar
dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-
rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’,
kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya.
Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi
(hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi
‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan
Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni
ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya
ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw
sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas
merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah,
jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak
maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di
jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum
tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud
dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas
dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil
jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber
hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan
syariat dan maslahah.
2. Rukun Qiyas
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama’ ushul sepakat bahwa yang
menjadikan rukun-rukun qiyas ada empat, yaitu:
a. Ashal, yaitu suatu kejadian atau kasus yang telah ada padanya nash hukum. Ashal ini disebut
jugamusyabbah bih (sesuatu yang disamakan dengannya sesuatu yang lain) dan disebut juga maqqis
‘alaih(sesuatu yang di-qiyas-kan kepadanya suatu lainnya). Seperti: minuman keras yang
bernama khamar yang telah ditetapkan hukum haramnya dalam al-Qur’an.
b. Furu’, yaitu sesuatu hal atau kejadian yang belum ada padanya nash hukum yang akan ditetapkan
hukumnya melalui qiyas. Furu’ ini disebut juga musyabbah (sesuatu yang disamakan hukumnya
kepada yang lain) dan juga disebut maqis (sesuatu yang di-qiyas-kan kepada yang lain). Seperti:
minuman keras yang bernama wiski yang tidak tersebut hukumnya dalam nash syara’ yang akan
ditetapkan hukumnya melalui qiyas.
c. Hukum, yaitu hukum yang berlaku pada ashal yang telah ditetapkan dalam nash hukum dan akan
ditetapkan pula pada furu’ melalui qiyas. Seperti: hukum haramnya.
d. Ilat Hukum, yaitu sifat yang jelas yang terdapat pada ashal, dan karena terdapat pula sifat itu
pada furu’maka hukumnya disamakan dengan ashal. Seperti: sifat memabukkan.
Dari segi perbandingan penetapan hukum pada furu’ dengan hukum pada ashal, qiyas dibagi tiga,
yaitu:
a. Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pada berlakunya
hukum pada ashal, karena kekuatan ilat yang terdapat pada furu’. Seperti: meng-qiyas-kan memukul
orang tua kepada mengucapkan kata kasar yang keharamannya ditetapkan dengan nash. Hukum haram
memukul orang tua lebih pantas dari pada haram mengucapkan kata kasar
b. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama kuatnya dengan berlakunya
hukum pada ashal. Seperti: keharaman membakar harta anak yatim yang ditetapkan pada furu’ sama
keadaannya dengan berlakunya pada ashal, karena sama-sama mengahabiskan harta anak yatim yang
dilarang dalam al-Qur’an.
c. Qiyas Adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ kurang kuat dibandingkan dengan
berlakunya hukum pada ashal, karena ilatnya lebih rendah dari yang terdapat pada ashal. Seperti:
keharaman pembunuhan dengan benda berat di-qiyas-kan kepada pembunuhan dengan benda tajam
yang ditetapkan nash al-Qur’an. Walaupun keduanya sama haram hukumnya, namun keharaman
pada furu’keadaannya kurang kuat dibandingkan dengan hukum yang terdapat ashal.
Walaupun qiyas ini sudah sah dan memenuhi syarat, namun kedudukannya lemah.
Dari segi kejelasan ilatnya, dalam hal ini qiyas terbagai menjadi dua:
a. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang ilatnya ditetapkan dengan nash yang jelas atau ilatnya tidak ditetapkan
dengan nash, namun titik perbedaan antara furu’ dan ashal dapat ditiadakan. Seperti: meng-qiyas-kan
perempua kepada laki-laki dalam hal hukum bolehnya qashar shalat, yang ditetapka dalam al-Qur’an
untuk laki-laki.
b. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang ilatnya ditetapkan melalui ijtihad. Seperti: berlaku
hukum qishas pada pembunuhan dengan benda berat dan pembunuhan dengan benda tajam, di-qiyas-
kan karena sama-sama pembunuhan dalam bentuk sengaja.
Dari segi keserasian ilatnya dengan hukum, qiyas terbagai menjadi dua:
a. Qiyas Mu’atsir, yaitu qiyas yang ilat hukum ashal-nya, hubungannnya kepada hukum ditetapkan
dengan nash atau ijma’. Seperti: meng-qiyas-kan kewalian nikah anak kepada kewalian dalam hartanya
untuk menetapkan keharusan adanya wali.
b. Qiyas Mulaim, qiyas yang ilat hukum ashal-nya tidak langsung ditetapkan melalui nash atau ijma’.
Seperti: kebolehan jamak sholat karena hujan di-qiyas-kan kepada jamak shalat dalam perjalanan,
karena adanya kesulitan yang mana kesulitan pada saat hujan adalah sejenis dengan kesulitan yang
terdapat pada kasus perjalanan.
Dari segi dijelaskan atau tidaknya ilat hukumnya, dalam hal ini ada tiga bentuk qiyas:
a. Qiyas Ma’na atau (qiyas yang furu’-nya dalam makna ashal), yaitu qiyas yang ilatnya meskipun
tidak disebutka dalam nash, namun antara furu’ dan ashal tidak dapat dibedakan. Seperti: berlakunya
sanksi hukuman terhadap budak laki-laki sebanyak separuh dari orang merdeka, dengan meng-qiyas-
kannya kepada budak perempuan yang ditetapkan dalam al-Qur’an.
b. Qiyas Illah, yaitu qiyas yang ilatnya dijelaskan dan ilat itu merupakan pendorong bagi berlakunya
hukum pada ashal. Seperti: meng-qiyas-kan wiski kepada khamar dalam menetapkan hukum haram.
c. Qiyas Dalalah, yaitu qiyas yang ilatnya bukan merupakan pendorong bagi adanya hukum
pada ashal, melainkan ia merupakan keharusan bagi ilat yang memberi petunjuk akan adanya ashal.
Seperti: meng-qiyas-kan kepada khamar dengan ilat “bau yang menyengat”.
Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf.
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya
istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat
yang menghendaki perpindahan tersebut.”
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
a. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut
qiyas. Seperti contoh : Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram
membaca Al-Qur’an. Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena
itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang
panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap
saat.
b. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan
istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada
waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi
kebiasaan mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpanagan itu. Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil,
mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa
istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully. Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam
madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih
tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.
Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum
baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan
dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus
yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak
tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه. اولئك الذين هدهم هللا. واولئك هم اولو االلبابز
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai
akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan
perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah. Hadits Nabi saw:
ئ
ٌ ِسي
َ َِّللا َ س ٌن َو َما َرأ َ ْوا
سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه َ َّللاِ َح َ فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح.
سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-
sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan. Contoh
istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas
tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut
tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting
ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli,
berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.
Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah
agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan
waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu
perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya
yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu
kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung
gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut
qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang
huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan
najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan,
sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada
pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Maslahah Mursalah
Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak
ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat
yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan
kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak
ditemukan variabel yang menola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat
mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah
mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-
mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan
Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum
(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak
bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama.
Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan
syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus
didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat
menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana
yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih
mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan
memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya
pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat
maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat,
hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang,
tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu
dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh
tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah
membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin
dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka,
maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan
apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah
bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan
musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
syari`. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.
Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan
dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.