Istilah abdi ndalem sedari dulu sudah tak asing bagi masyarakat keraton di
Jawa. hal tersebut di anggap sebagai pangkat kebanggaan bagi para pelakunya.
kebanggaan mereka merasa bahwa, mereka berguna bagi negeri ataupun
kebanggaan atas jasa-jasa yang mereka lakukan untuk mengawal dan membantu
para keluarga kerajaan di dalam urusan-urusan internal keraton.
Secara etimologi, Abdi Ndalem, berasal dari dua asal kata yang berbeda,
yaitu kata Abdi atau Abdu yang berasal dari bahasa Arab, artinya adalah seorang
kawulo, hamba ataupun budak. Dan ndalem/njero berasal dari bahasa Jawa yang
artinya dalam atau di dalam. Sedangkan menurut istilah, abdi ndalem ialah
seorang yang menyerahkan diri pada tuannya.
(adapun kebutuhan primer sebuah lembaga untuk bisa disebut sebagai pesantren
hanya ada empat, yakni adanya seorag kiyai, santri-santri, pondok atau
pesantriannya dan juga kajian kitab-kitab berbahasa arab klasik atau istilah
umumnya adalah kitab kuning, sebagai ciri khas pada suatu pesantren di bidang
kajian keilmun dan yang membedakan lembaga pesantren dengan lembaga-
lembaga keilmuan lainnya).
Para kawulo juga harus menanamkan dan selalu ingat, kalau sejatinya diri
mereka adalah seorang budak dan hamba sang kiyai. sang kiyaipun juga selalu
faham maksud seseorang datang untuk mengabdi padanya, tetapi sang kiyai tak
pernah menganggap seorang abdinya adalah abdi, kiyai memiliki pandangan
sendiri tentang mereka.
Prinsip para abdi adalah selalu bergantung dan mematuhi ucapan kiyai
atau keluarga ndalem yang dititahkan pada mereka. Sebagian dari mereka ada
yang bertugas di ndalem rumah kiyai itu sendiri, berkebun dan juga membantu
menata pesantren asuhan kiyai, pun ada juga yang menjadi ajudan kiyai, yang
biasa mengantar kiyai ke undangan atau majelis-majelis ilmu. tugas mereka adalah
mebawakan atribut sang kiyai, seperti sorban, peci atau kitab kiyai. Terutama
menjaga dan mengamankan kiyai dari hal yang tidak di inginkan terjadi pada sang
kiyai, terkhusus pada jaman kolonial atau awal-awal kemerdekaan di Indonesia.
banyak kelompok yang membenci dan memusuhi kiyai, kiyai di anggap sebagai
penghalang dan penghambat musuh untuk memecah belah bangsa ini. sifat kiyai
yang relijius dan nasionalisme tinggi lah yang membuat musuh-musuh geram dan
selalu ingin mencelakai kiyai. tetapi usaha itu tidak akan gampang selama para
abdi dan santri-santri masih berada di sekeliling kiyai, merekalah yang akan
pertama maju untuk melindungi kiyai dari bahaya fisik ini.
Abdi ndalem keraton di bagi menjadi dua kelompok, yakni abdi ndalem
anon-anon yaitu abdi yang bekerja hanya pada saat ada panggilan dari keraton
ataupun pada saatnya waktu menghadap (sowan), dan juga abdi ndalem garap
yaitu abdi yang sehari-harinya mengabdi dan bekerja rutin di keraton (Fadzar,
Taufik, moordiningsih:2007:29-30).
Adapun perbedaan abdi santren dan abdi keraton ada banyak, tetapi di sini
hanya disebutkan sebagian yang mencolok. perbedaan itu adalah seperti dalam
penerimaan abdi, pada pesantren hanya membutuhkan izin sang kiyai untuk bisa
mengabdi, sedang di keraton, di tetapkannya abdi ndalem harus dengan surat
keputusan pemberian pangkat oleh sang raja. selanjutnya, di pesantren hanya
mengharap keridhoan sang kiyai, tak mengharapkan harta apapun dari sang kiyai,
sedang abdi keraton mendapatkan penghargaan atau bayaran, terutama pada
abdi ndalem garap. ada peraturan-peraturan khusus dalam berbahasa, bersikap
dan berbusana, yakni memakai baju adat jawa khusus abdi untuk abdi keraton,
sedang untuk abdi santren tak ada peraturan khusus, hanya harus mentaati sang
kiyai, peraturan pesantren dan agama Islam utamanya. (Fadzar, Taufik,
moordiningsih:2007:29-30)
Sebagai penutup, ternyata ciri khas kebudayaan, tindak laku Jawa dan
Islam yang luhur selalu tertancap rapat di benak hati para abdi ini. keluesan,
kesederhanaan, ketenangan dan juga kesabaran, itulah yang seharusnya
diterapkan oleh seluruh orang Jawa disemua kalangan, tak memandang kasta atau
jabatan duniawi. Demi untuk menjadi seorang Jawa yang benar-benar Jawa.