Anda di halaman 1dari 4

ABDI NDALEM SANTREN SALAF

Istilah abdi ndalem sedari dulu sudah tak asing bagi masyarakat keraton di
Jawa. hal tersebut di anggap sebagai pangkat kebanggaan bagi para pelakunya.
kebanggaan mereka merasa bahwa, mereka berguna bagi negeri ataupun
kebanggaan atas jasa-jasa yang mereka lakukan untuk mengawal dan membantu
para keluarga kerajaan di dalam urusan-urusan internal keraton.

Tetapi faktanya, abdi ndalem tidak hanya di sandarkan kepada abdi


ndalem di keraton saja. melainkan juga ada abdi ndalem di dalam pesantren,
terutama pesantren salaf. Tentu saja istilah ini hanya dikenal oleh masyarakat
Islam di Jawa terkhusus pada masyarakat pesantren, yang notabenenya hampir
disetiap pesantren pasti terdapat abdi ndalem.

Banyak masyarakat luar pesantren umumnya, yang menganggap bahwa


abdi ndalem hanyalah seorang santri biasa, hanya saja mereka ikut membantu di
internal ndalem atau rumah kiyai. padahal aslinya bukan membantu, tetapi
memang hal itu sudah menjadi pekerjaan wajib bagi mereka. Anggapan itu adalah
sebuah kesalahan tafsir.

Secara etimologi, Abdi Ndalem, berasal dari dua asal kata yang berbeda,
yaitu kata Abdi atau Abdu yang berasal dari bahasa Arab, artinya adalah seorang
kawulo, hamba ataupun budak. Dan ndalem/njero berasal dari bahasa Jawa yang
artinya dalam atau di dalam. Sedangkan menurut istilah, abdi ndalem ialah
seorang yang menyerahkan diri pada tuannya.

Jika difikir-fikir, ternyata konsep ‘santri ngabdi’ seperti ini mirip-mirip


dengan konsep keilmuan Islam ‘Sufisme’, mereka para sufi mempercayai kalau
kemanfaatan sebuah ilmu sangat bergantung pada dua hal, yakni ridho Allah SWT.
Dan juga keridhoan sang guru. Disamping mereka selalu mengingat, bergantung
akan tuhan dan berdoa, mereka juga akan menyerahkan diri mereka pada sang
guru atau ngabdi. ‘Ali bin Abi thalib seorang yang berjiwa sufi ini pernah
mengucap, “barang siapa yang pernah mengajari ilmu pengetahuan kepadaku
walaupun hanya satu huruf saja, maka sudah ku anggap diriku ini sebagai
budaknya, dia bebas ingin menjualku, memerdekakanku ataupun tetap
memperbudakku” (syeikh Az- Zarnuji nafa’anallahu ta’ala : At-Ta’limul Muta’allim
Thoriqotut Ta’allumi).

Posisi kedudukan atau keberadaan seorang abdi ndalem di dalam sebuah


pesantren sebenaraya tidaklah primer. karena memang, abdi ndalem tidaklah
termasuk sebagai elemen wajib atau sebuah syarat sebuah institusi disebut
segagai lembaga pesantren.

(adapun kebutuhan primer sebuah lembaga untuk bisa disebut sebagai pesantren
hanya ada empat, yakni adanya seorag kiyai, santri-santri, pondok atau
pesantriannya dan juga kajian kitab-kitab berbahasa arab klasik atau istilah
umumnya adalah kitab kuning, sebagai ciri khas pada suatu pesantren di bidang
kajian keilmun dan yang membedakan lembaga pesantren dengan lembaga-
lembaga keilmuan lainnya).

Ibarat ‘Peran yang di mainkan’, tindak laku seorang kawulo di pesantren


bisa berganti-ganti di setiap harinya. mereka tidak bisa bebas melakukan semua
semau mereka. begitupun dengan urusan mengaji, mereka harus selalu bisa
menekannya, Karena mereka tidak seperti santri-santri biasa, para abdi harus
terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang rutin ataupun pekerjaan
yang bersifat dadakan.

Para kawulo juga harus menanamkan dan selalu ingat, kalau sejatinya diri
mereka adalah seorang budak dan hamba sang kiyai. sang kiyaipun juga selalu
faham maksud seseorang datang untuk mengabdi padanya, tetapi sang kiyai tak
pernah menganggap seorang abdinya adalah abdi, kiyai memiliki pandangan
sendiri tentang mereka.

Prinsip para abdi adalah selalu bergantung dan mematuhi ucapan kiyai
atau keluarga ndalem yang dititahkan pada mereka. Sebagian dari mereka ada
yang bertugas di ndalem rumah kiyai itu sendiri, berkebun dan juga membantu
menata pesantren asuhan kiyai, pun ada juga yang menjadi ajudan kiyai, yang
biasa mengantar kiyai ke undangan atau majelis-majelis ilmu. tugas mereka adalah
mebawakan atribut sang kiyai, seperti sorban, peci atau kitab kiyai. Terutama
menjaga dan mengamankan kiyai dari hal yang tidak di inginkan terjadi pada sang
kiyai, terkhusus pada jaman kolonial atau awal-awal kemerdekaan di Indonesia.
banyak kelompok yang membenci dan memusuhi kiyai, kiyai di anggap sebagai
penghalang dan penghambat musuh untuk memecah belah bangsa ini. sifat kiyai
yang relijius dan nasionalisme tinggi lah yang membuat musuh-musuh geram dan
selalu ingin mencelakai kiyai. tetapi usaha itu tidak akan gampang selama para
abdi dan santri-santri masih berada di sekeliling kiyai, merekalah yang akan
pertama maju untuk melindungi kiyai dari bahaya fisik ini.

Ketika seseorang telah memutusukn untuk menjadi abdi kiyai, maka


keluarga yang mengizinkan mereka untuk berangkat, sudah otomatis mereka juga
telah melepaskan hak mereka kepada calon abdi tersebut.
Tentu terbesit di fikiran kita, mengapa ada orang yang mau menyerahkan
hampir keseluruhan hidupnya untuk mengabdi pada kiyai. mereka para abdi
bahkan tak mempunyai angan-angan, ingin jadi seperti apa kehidupan mereka
untuk kedepannya, karena semua telah di gantungkan pada sang tuannya.

walaupun mereka menganggap diri mereka seperti budak, tetapi mereka


berbeda, mereka bahagia dan selalu ikhlas menjalani kehidupannya sebagai
seorang budak. hanya Sedikit yang mereka harapkan pada sang kiyai, yakni
keberkahan Ilmu dan keridhoan kiyai untuk mereka, itupun sudahlah di anggap
sangat banyak bagi mereka.

Ketika membahas seorang abdi ndalem, tentu terdapat perbedaan dan


persamaan yang mencolok, antara abdi ndalem pesantren dan juga abdi ndalem
keluarga keraton. Secara pengartian abdi ndalem keraton sama saja dengan abdi
ndalem pesantren, hanya saja berbeda obyeknya.

Abdi ndalem keraton di bagi menjadi dua kelompok, yakni abdi ndalem
anon-anon yaitu abdi yang bekerja hanya pada saat ada panggilan dari keraton
ataupun pada saatnya waktu menghadap (sowan), dan juga abdi ndalem garap
yaitu abdi yang sehari-harinya mengabdi dan bekerja rutin di keraton (Fadzar,
Taufik, moordiningsih:2007:29-30).

Adapun perbedaan abdi santren dan abdi keraton ada banyak, tetapi di sini
hanya disebutkan sebagian yang mencolok. perbedaan itu adalah seperti dalam
penerimaan abdi, pada pesantren hanya membutuhkan izin sang kiyai untuk bisa
mengabdi, sedang di keraton, di tetapkannya abdi ndalem harus dengan surat
keputusan pemberian pangkat oleh sang raja. selanjutnya, di pesantren hanya
mengharap keridhoan sang kiyai, tak mengharapkan harta apapun dari sang kiyai,
sedang abdi keraton mendapatkan penghargaan atau bayaran, terutama pada
abdi ndalem garap. ada peraturan-peraturan khusus dalam berbahasa, bersikap
dan berbusana, yakni memakai baju adat jawa khusus abdi untuk abdi keraton,
sedang untuk abdi santren tak ada peraturan khusus, hanya harus mentaati sang
kiyai, peraturan pesantren dan agama Islam utamanya. (Fadzar, Taufik,
moordiningsih:2007:29-30)

Adapun persamaan antar keduanya adalah sama-sama berperan dalam


membantu internal sang tuan mereka, dan juga sama-sama budak yang bahagia
dan ikhlas dalam menjalani kehidupan kehambaannya.

Sebagai penutup, ternyata ciri khas kebudayaan, tindak laku Jawa dan
Islam yang luhur selalu tertancap rapat di benak hati para abdi ini. keluesan,
kesederhanaan, ketenangan dan juga kesabaran, itulah yang seharusnya
diterapkan oleh seluruh orang Jawa disemua kalangan, tak memandang kasta atau
jabatan duniawi. Demi untuk menjadi seorang Jawa yang benar-benar Jawa.

Anda mungkin juga menyukai