Anda di halaman 1dari 3

Keris Bagi Perempuan Jawa

Oleh Umi Nadhiroh

Keris sebagai identitas budaya Jawa telah mengambil porsi besar sebagai pembentuk
sistem simbolis kebudayaan. Karya agung dan warisan budaya Jawa yang tidak hanya bermakna
sebagai senjata pusaka, akan tetapi memiliki tempat terhormat dalam masyarakat Jawa. Selain
berakar pada tradisi budaya Jawa keris juga menjadi jati diri bangsa. Hingga kini keberadaannya
tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Jawa.
Keris merupakan benda sakral, karena untuk memulai ritual pembuatannya Sang empu atau
pembuatnya melakukan ritual sesaji atau laku tapa, entah puasa, mutih atau matiraga. Proses ini
terkadang juga berlaku untuk sang pemesan. Kemudian perlu ditentukan hari baik, dan digelarlah
doa dengan berbagai sesaji. Hari baik dipilih untuk menghindari neton leluhur yang telah
meninggal. Setelah doa purna, sesaji dibagikan ke masyarakat dan sebagian lagi disajikan di
beselen. Besalen adalah tempat pembuatan keris. Proses yang sakral dalam pembuatannya
bertujuan untuk mendapatkan kesaktian.
Keris selama ini identik dengan kaum laki-laki. Keris dalam pemaknan kebudayaan Jawa
kerap kali hanya dipahami dalam wajah dominasi laki-laki. Keris merupakan lambang pusaka,
simbol kejantanan, sekaligus ‘kelelakian’. Seorang laki-laki dikatakan lengkap apabila telah
memiliki lima unsur yang melengkapi kelelakiannya, yaitu wisma (rumah), wanita (istri), curiga
(keris), turangga (kuda), dan kukila (burung, kegemaran, hobi) (Gesta Bayuadhy, 2015).
Dengan adannya stigma keris perwujudan simbol ‘kelelakian’ menjadikan perempuan
terpinggirkan keberadaannya. Tradisi dan kebudayaan yang mengakar pada masyarakat lokal
kerap melanggengkan budaya patriarki yang mensubordinasi posisi perempuan dalam ruang
publik. Seperti dalam tradisi Jawa yang kerap melahirkan pepatah yang bernuansa misoginis yang
mencitrakan seorang perempuan hanya sebagai pendamping yang sebatas berurusan pada masak,
macak, dan manak (memasak, berdandan, dan melahirkan).
Tradisi yang awalnya melegitimasi perempuan sebenarnya mampu direpresentasikan
kembali dengan wajah baru yang lebih humanis. Ketika keris melambangkan suara perempuan
dalam catatan sejarah. Dalam berbagai kisah ditulis bahwa putri kerajaan di Jawa dipersenjatai
patrem untuk menjaga keselamatannya. Hal ini diperkuat dengan tulisan Thomas Stamford
Raffles dalam bukunnya “Sejarah Pulau Jawa” yang menyebutkan bahwa prajurit-prajurit wanita
di keraton Yogyakarta menyandang keris di pinggangnya sebagai salah satu senjatannya.
Patrem adalah sebuah singkatan dari bahasa Jawa yaitu Panggane Ingkang Damel
Tentrem yang artinya bisa membuat hati tenteram bagi siapa saja yang menggunakannya. Tentu
saja seseorang yang memiliki senjata ini akan merasa terbantu ketika di luar rumah. Sebab senjata
ini bermanfaat untuk melindungi diri dari berbagai serangan.
Bambang Harsrinuksmo, dalam bukunya Ensiklopedia Keris, menyebutkan ada keris
khusus untuk perempuan Jawa, yaitu keris Patrem. Keris ini berukuran kecil dengan panjang
sejengkal atau sekitar 20-25 cm berukuran kurang dari 30 sentimeter. Bentuknya tidak berbeda
dengan keris pada umumnya, hanya berbeda dalam segi ukuran. Keris Patrem mulai dikenal sekitar
abad ke 14-an Masehi. Namun, masih belum dipastikan, kapan dan siapa yang memperkenalkan
keris Patrem. Catatan sejarah banyak memberi informasi berbeda terkait keris.
Patrem memiliki berbagai bentuk, ada yang bentuknya cunduk ukel atau konde, ini
merupakan senjata rahasia yang disembunyikan dalam ukelan rambut putri raja. Patrem menjadi
senjata rahasia yang dipakai putri raja. Setiap keris yang dipakai putri raja selalu dilapisi racun
dalam setiap ujungnya untuk membela diri.
Dalam kisah kerajaan Majapahit patrem adalah senjata yang dipakai Dyah Pitaloka
Citraresmi, putri dari Kerajaan Pasundan. Senjata ini digunakan Dyah Pitaloka Citraresmi untuk
bela pati (melukai diri sendiri demi membela kehormatan) pada perang Bubat. Kisah cinta tragis
yang melibatkan Raja Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, dan putri Dyah Pitaloka ini terdapat
dalam Kidung Sundayana yang dibuat oleh empu dari Bali.
Dalam fakta sejarah patrem memang digunakan para kaum perempuan. Namun tidak
semua perempuan menggunakan senjata ini hanya keluarga kerajaan dan wanita yang memiliki
wibawa dalam masyarakat. Keris patrem ini mencitrakan pendedahan feminisme melalui
kacamata perempuan Jawa sekaligus berbagai tradisi yang melekat kuat dalam perempuan.
Selain patrem ada pula cundrik. Menurut empu Subandi pada zamannya cundrik yang
kecil dan pendek itu biasa digunakan oleh para resi perempuan, termasuk permaisuri dan selir,
sebagai piandel atau kekuatan diri. Para perempuan tersebut perlu memiliki senjata itu karena
ukurannya yang relatif lebih kecil, sehingga mudah disembunyikan. Cundrik adalah keris dalam
ukuran kecil, panjangnya hanya sekitar 10 sampai 15 cm. Selebihnya, cundrik persis dengan keris,
mulai dapur, pamor, dan motifnya. Cundrik diciptakan lebih sebagai pilihan ukuran, bukan karena
alasan khusus. Jadi cundrik bisa dipahami sebagai keris kecil. Tentang ukurannya yang kecil, bisa
jadi karena cundrik memang dibuat khusus untuk kaum wanita (Nugroho Adi, 2018).
Patrem dan Cundrik menampilkan simbol kesetaraan dalam wajah Jawa yang paling
tradisional, digambarkan dalam wujud yang disandang perempuan Jawa. Menegaskan
bagaimana perempuan memiliki peran dalam kebudayaan Jawa yang tak boleh dijadikan alat
legitimasi patriarki semata. Perempuan dijelmakan sebagai rahim peradaban dan kebudayaan
yang harus terus dirawat dengan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan.

Anda mungkin juga menyukai