Anda di halaman 1dari 4

Annual Report Lingkar Gayatri

Diskusi Gender Berbasis Lokalitas

Bertempat di Kantor Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung, Forum Perempuan
Filsafat (FPF) menyelenggarakan diskusi Lingkar Gayatri dengan tema “Menyingkap Makna Gender” pada
hari Jum’at, 6 September 2019. Forum ini merupakan wadah untuk membangun mengarusutamakan
gagasan-gagasan tentang “keadilan gender” sekaligus menggali wacana perempuan berbasis lokalitas.

Atas dasar kepentingan yang terakhir tersebut, maka forum kajian ini lalu diberi nama ‘Lingkar Gayatri’.
Ada semangat untuk mengembangkan kajian dan penelitian terkait dengan isu-isu perempuan lokal, juga
ragam kearifan lokal yang mungkin bersintesis dengan isu-isu keadilan gender.

Diskusi interaktif perdana ini dibuka dan diberi pengantar oleh Akhol Firdaus, Direktur Institute for
Javanese Islam Research. Hadir sebagai pemantik diskusi yaitu Firda Azmi Nur Aini, mahasiswa Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Semeseter V, sekaligis staf di IJIR, bersama dengan Sely Muna Ardiani, Pengurus
Forum Perempuan Filsafat, sebagai moderator.

Harus dikatakan, diskusi ini sedikit banyak mampu menarik perhatian mahasiswa IAIN Tulungagung dan
sekitarnya. Hal itu karena untuk pertama kalinya di IAIN Tulungagung hadir forum diskusi model baru
terkait diskusi gender yang berfokus pada isu-isu perempuan dan tradisi.

Setidaknya, Kantor IJIR penuh sesak karena lebih dari 50 peserta ikut meramaikan jalannya diskusi.
Sebagian berasal dari IAIN Kediri, IAI Tribakti Kediri, IAI Al-Qalam Malang dan tentu saja mahasiswa IAIN
Tulungagung. Peserta tampak antusias mengikuti berbagai isu yang relatif sangat jarang diperbincangkan
di ruang akademik tersebut.

Sesuai tema, peserta diajak untuk melihat kembali makna gender dan bagaimana makna tersebut
menyumbang berbagai ketimpangan (gender inequality), terutama dalam kasus kekerasan seksual dan
ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang akademik. Melihat hal itu, makna isu keadilan
gender haruslah dipahami secara masif baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Sebagaimana tutur Akhol Firdaus, “kajian seperti ini merupakan kajian jangka panjang karena agenda
pengarusutamaan isu gender rupanya masih merupakan agenda yang sepi di ruang akademik. Forum
harusnya mampu menarik lebih banyak orang agar tercerahkan dalam wawasan gender. Karena, kita
hidup di lingkungan bermasalah, lingkungan kita dibangun dengan norma-norma patriarkhal yang selalu
menempatkan laki-laki dalam posisi prevelese, superior bahkan tidak tersentuh. Perempuan-perempuan
(mau muda atau tua) sangat rentan menjadi sasaran kasus kekekerasan.”

Akhol mengangkat dua isu penting yang sedang menjadi wacana publik, yakni isu pelecehan seks di
kampus dan revenge porn. “Bila tidak ada skema advokasi dan edukasi yang terus menerus, perempuan
akan menjadi sasaran empuk dalam dua kasus semacam ini, sehingga sangat peniting laki-laki dan
perempuan mendapat edukasi tentang kajian gender.”

Lingkar Gayatri selanjutnya akan rutin diselanggarakan tiap Jum’at malam, di Kantor IJIR. Setiap
minggunya, diskusi akan diisi dengan tema berbeda yang beririsan dengan isu-isu perempuan dan tradisi.
Lingkar Gayatri diharapkan dapat menjadi wadah untuk merefleksi pemikiran gender berbasis lokal yang
membawa pada sistem kehidupan berkeadilan.

Undangan Terbuka Diskusi di Lingkar Gayatri

Perempuan terus berupaya keluar dari ruang dan paradigma patriarki. Paradigma itu melahirkan beragam
ketidakadilan terhadap perempuan. Ia hadir dalam ruang budaya, ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan
sekalipun.

Perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi perempuan yang seharusnya menjadi agenda
wajib pemerintah, nyatanya masih menyimpan sejumlah ‘PR’ besar. Beberapa agenda pengajuan
perlindungan hukum bagi perempuan begitu lambat disahkan, dan dianggap bukan prioritas legislatif.

Melalui permasalahan di atas, Forum Perempuan Filsafat (FPF), Institute for Javanesse Islam Research
(IJIR) IAIN Tulungagung, mengajak semua kalangan untuk hadir dan membincang permasalahan tersebut
bersama Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dengan tema “Pasang
Surut Perlindungan Hukum dan HAM bagi Perempuan di Indonesia”.

Diskusi digelar pada Hari/Tanggal: Rabu, 2 Oktober 2019. Waktu: 19.00 WIB – selesai. Tempat: Ruang IJIR
IAIN Tulungagung (depan Aula Utama IAIN Tulungagung). Terimakasih,

Salam Emansipasi

Forum Lingkar Gayatri Bersama Asfinawati

Lingkar Gayatri minggu ini hadir dengan konsep yang berbeda. Forum yang dikelola oleh Institute for
Javanese Islam Research (IJIR) dan Forum Perempuan Filsafat (FPF) IAIN Tulungagung tersebut secara
khusus mengusung topik “Pasang surut perlindungan hukum dan HAM bagi perempuan di Indonesia”.
Tidak tanggung-tanggung, materi tersebut dibawakan oleh Asfinawati, ketua Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI).

Animo masyarakat begitu tinggi, mulai dari mahasiswa, akdemisi, LSM, para legal hingga advokat. Ada
sekitar 500an peserta diskusi yang memenuhi Auditorium Gedung KH. Arief Mustaqiem, IAIN
Tulungagung. Diskusi pada Rabu, 2 Oktober 2019 ini dipandu oleh Dian Kurnia Sari, Direktur FPF. Dian
memantik diskusi melalui urgensi diskursus perlindungan hukum bagi perempuan. Menurutnya,
perempuan adalah kategori minoritas yang mendapatkan pelemahan secara sistematis dan struktural.

Kondisi ini dibuktikan dengan berbagai kajian dan catatan yang dirilis oleh sejumlah LSM dan Komnas
Perempuan. Pada rentang 2017 dan 2018 saja, terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap
perempuan. Catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menuliskan kasus-kasus yang terlapor dari
berbagai kekerasan terhadap perempuan, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual yang terjadi di
berbagai ruang. Oleh sebab itu, patut dipertanyakan bagaimana memandang perlindungan hukum dan
HAM yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah.

Persoalan di atas kemudian mulai diurai oleh Asfinawati. Perempuan yang akrab disapa “Mbak Asfin” ini
mulai membagi perbincangan tersebut ke dalam tiga diskursus: Pasang Surut, Perlindungan, dan
Perempuan. Ketua YLBHI periode 2009-2021 ini mendasari argumentasinya dengan menaruh ‘tahun 1998’
sebagai tonggak sejarah. Kejatuhan rezim otoriter Orde Baru telah membuka berbagai ruang diskursus,
salah satunya mengenai perempuan. Meski begitu, berbagai dinamika dan pelaksanaan hukum di
Indonesia menurutnya masih dipandang sama. Penyelamatan dan Normalisasi kehidupan nasional masih
menyisakan pekerjaan besar, terutama terkait perlindungan bagi kelompok rentan.

Minoritas menurut Asfin adalah konsep yang relatif. Seseorang bisa menjadi minoritas sekaligus menjadi
mayoritas dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Ketegangannya bisa beragam, ada yang terpicu
oleh perbedaan agama, keyakinan, warna kulit, hingga strata sosial. Namun ada lagi situasi di mana
kelompok mayoritas sekaligus menjadi kelompok minoritas dalam suatu wilayah yang bersamaan. Kasus
ini terjadi kepada kelompok perempuan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa perempuan disebut
kelompok rentan.

Situasi rentan perempuan kemudian diurai lebih jauh. Perempuan yang menyelesaikan studi Ilmu Hukum
ini mengajak seluruh audiens memahami salah kaprahnya pemahaman gender yang terlanjur menjadi
kesadaran kultural. Dengan mempertukarkan konsep sex (ketubuhan) dan gender (konstruksi sosial)
baginya adalah kekeliruan mendasar. Atas pemahaman ini tercipta representasi dan objektivikasi
terhadap perempuan. Objektivikasi tersebut sangat beragam, mulai dari menggunakan tubuh perempuan
sebagai objek seksual dalam bentuk pornografi, hingga stigma buruk atas diri perempuan.

Melihat posisi perempuan dalam politik, menjadi pembahasan selanjutnya yang lebih menarik. Ia
menyatakan bahwa tidak hanya di Indonesia, di hampir semua negara, perempuan sering diposisikan
sebagai alat atau medium politik. Jika ditarik lagi dalam etalase Orde Baru, perempuan dikampanyekan
sebagai tiang negara. Konsep baru ini sengaja dihadirkan dalam rangka menyukseskan proyek
pembangunan pada saat itu. Namun anehnya, saat terjadi ketegangan politik tahun 1998, perempuan
juga dijadikan sebagai alat politik untuk menakut-nakuti masyarakat. Asfin memberikan contoh di tahun-
tahun tersebut dengan merebaknya teror mengenai “Kolor Ijo” sebagai sosok pemerkosa perempuan.

Melalui kontrol politik, Asfin menjelaskan bahwa ada cara pandang yang harus diubah dalam melihat
persoalan perempuan. Menurutnya, persoalan perempuan bukan lagi bersifat personal. Permasalahan
tersebut selalu berkaitan dengan kekuatan dan kekuasaan (power). Sebagai kasus yang harus diselesaikan
oleh negara, ia memandang adanya korelasi antara negara, pemerintah, dan rakyat. Melalui perspektif
HAM, negara yang direpresentasikan oleh pemerintah memiliki wewenang khusus terhadap rakyat. Posisi
inilah yang melandasi bahwa negara sudah seharusnya menunaikan kewajibannya untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan.

Di akhir penyampaian materi, perspektif tambahan disampaikan oleh Akhol Firdaus. Dosen Filsafat IAIN
Tulungagung sekaligus Direktur IJIR tersebut menceritakan pergulatannya dalam mengawal hak-hak
kelompok perempuan Penghayat di Indonesia. Melalui studi yang ia lakukan, Akhol menemukan spiral
diskriminasi yang jauh lebih kejam terjadi pada kelompok perempuan Penghayat Kepercayaan. Dengan
menaruh beban diskriminasi perempuan pada rata-rata, kelompok perempuan lokal ini dibebani lagi atas
status keagamaan yang belum diakui pemerintah. Konsekuensinya sangat luas, mulai dari sulitnya akses
pencatatan sipil, terhambatnya akses pendidikan, pekerjaan, bahkan proses perkawinan yang tidak bisa
dilakukan sesuai adat dan kepercayaan mereka.
Audiens begitu aktif menanggapi berbagai persoalan yang disajikan. Sesi tanya jawab diramaikan dengan
pertanyaan yang disampaikan oleh peserta, mulai dari kasus pernikahan beda agama, victim blamming,
dan prinsip-prinsip universal dalam HAM. Tidak hanya itu, persoalan mengenai Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang tidak kunjung disahkan menjadi persoalan
menarik. Menurut Asfin, yang juga terlibat dalam perancangan RUU tersebut, bahwa penundaan
disebabkan atas anggapan bahwa RUU P-KS bukanlah prioritas legislasi.

Asfin dalam penyampaiannya juga mendorong fungsi Perguruan Tinggi untuk tidak hanya melakukan
kajian tapi juga penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sesuai kapasitasnya. Peran penting ini
mempertimbangkan kampus juga memiliki kewajiban pengabdian masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai