Anda di halaman 1dari 11

MELIBURKAN PEMBELAJARAN KARENA RAPAT

ATAU UNDANGAN WALIMAH

Moch Khoirul Aris

Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Magister Pendidikan Agama Islam
arieskhoirul12@gmail.com

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat
menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya dan dengan demikian akan
menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara
akurat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar
sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan siswa tergantung pada dua unsur
yang saling mempengaruhi, yakni bakat yang telah dimiliki oleh siswa sejak lahir akan
tumbuh dan berkembang berkat pengaruh lingkungan, dan sebaliknya lingkungan akan
lebih bermakna apabila terarah pada bakat yang telah ada, kendatipun tidak dapat ditolak
tentang adanya kemungkinan di mana pertumbuhan dan perkembangan itu semata-mata
hanya disebabkan oleh faktor bakat saja atau oleh lingkungan saja.

Selaian itu, faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor pengajar dan
kegiatan belajar mengajar. Inovasi, aktualisasi dan realisasi pengajar sangat dibutuhkan
untuk membentuk output yang berkualitas. Akan tetapi dewasa ini kegiatan belajar
mengajar sering kali terhambat dengan adanya beberapa kegiatan sekolah maupun guru
yang mengharuskan untuk meliburkan kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini penulis
mengemukakan beberapa keadaan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan yaitu
meliburkan pembelajaran karena rapat atau menghadiri walimah sesuai dengan ajaran
dalam fiqih.
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Mengajar


Mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang
memungkinkan terjadinya proses belajar itu secara optimal. Sistem lingkungan ini
terdiri atas beberap komponen, termasuk guru, yang saling berinteraksi dalam
menciptakan proses belajar yang terarah pada tujuan tertentu.1 Ada yang berpendapat
bahwa mengajar itu adalah penyampaian informasi kepada peserta didik. Dalam
pengertian yang demikian, maka tekanan pada strategi belajar-mengajar terletak pada
guru itu sendiri, guru berlaku sebagai sumber informasi mempunyai posisi yang
sangat dominan. Belajar dalam pendekatan ini adalah usaha untuk menerima
informasi dari guru. Pendekatan seperti ini akan menghasilkan strategi belajar-
mengajar yang disebut teacher centre strategies, suatu strategi belajar-mengajar yang
berpusat pada guru.
Namun, jika kita perhatikan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang disertai dengan arus globalisasi yang semakin cepat, maka guru
sebagai satu-satunya sumber informasi tidak mungkin lagi dipertahankan. Bahkan
sekolah sendiri tidak mungkin lagi menjadi sumber informasi tunggal bagi peserta
didik. Oleh karena itu, pendekatan dengan strategi yang berpusatkan guru ini tidak
lagi sesuai dengan perkembangan yang dihadapi oleh sekolah.2
Dari pengertian yang telah disebutkan, maka bisa diambil garis tengah
bahwasanya kegiatan belajar mengajar tidak bisa terlaksana apabila kurang dari salah
satu kompnennya, yaitu guru, peserta didik dan bahan ajar. Dalam hukum islam
kegiatan menuntut ilmu hukumnya adalah wajib, akan tetapi dalam mengajarkan ilmu
menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-tibyan adalah fardhu kifayah sebagaimana
yang beliau sebutkan:
‫ وإن كان هناك جماعة يحصل التعليم‬، ‫تعليم المتعلمين فرض كفاية فإن لم يكن من يصلح له إال واحد تعين عليه‬
‫ وإن طلب من أحدهم وامتنع فأظهر‬، ‫ وإن قام به بعضهم سقط الحرج عن الباقين‬، ‫ فإن كلهم أثموا‬، ‫ببعضهم‬
‫ لكن يكره له ذلك إن لم يكن له عذر‬، ‫الوجهين أنه ال يأثم‬
“Mengajari para pelajar adalah fardu kifayah. Jika tidak ada orang yang mampu
kecuali seorang maka wajiblah ke atasnya. Jika ada beberapa orang yang setengah
dari mereka bisa mengajar tetapi mereka menolak, maka mereka berdosa. Jika
setengah dari mereka mengerjakannya, gugurlah tanggung jawab dari yang selainnya.
Jika salah seorang dari mereka diminta sedang dia menolak, maka pendapat yang

1
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar (Cover Baru) (Jakarta: Grasindo, 2008), 8.
2
Gulo, 5.
lebih tepat ialah dia tidak berdosa, tetapi dihukumkan makruh ke atasnya jika tiada
halangan.."3
Seorang guru harus lebih mementingkan pengajarannya dibanding hal yang
lain yang tidak memilki keperluan yang amat penting, sebagaimana Imam
Nawawi telah menjelaskan bahwa:
Diutamakan bagi seorang guru supaya menitikberatkan pengajaran mereka dan
melampauinya di atas kemaslahatan dirinya yang bersifat duniawi yang bukan
kebutuhan paling utama atau asas yang sangat mendesak. Hendaknya ia meluangkan
hatinya dari berbagai hal yang menyibukannya disaat ia duduk untuk mengajari
muridnya. Hendaknya ia berusaha untuk menjadikan muridnya mengetahui dan
memberi kepada mereka, dan mendapatkan bagian yang layak ke atasnya. Dan
janganlah dia mengajari banyak perkara pada murid yang tidak dapat menerima
banyak dan jangan merangkumnya bagi murid yang menonjol kecerdikannya semala
tidak dibimbingkan akan terjadi fitnah ke atasnya karena timbul rasa bangga atau
lainnya.
Barang siapa yang tidak memperhatikan atau sedikit perhatiannya, seorang
guru bisa memperingatinya dengan lemah-lembut selagi dia tidak takut murid itu
lari. Janganlah benci kepada salah satu dari mereka karena keahlian yang lebih
unggul dan jangan menganggap dirinya istimewa karena nikmat yang dikaruniakan
Allah Swt kepadanya. Karena kebencian terhadap orang lain sangat diharamkan
apalagi terhadap murid yang mempunyai kedudukan bagaikan anak. Kepandaian
seorang murid adalah atas jasa gurunya yang akan mendapatkan banyak pahala di
akhirat dan pujian yang baik di dunia. 4
Hal serupa juga dijelaskan oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Beliau mengatakan
bahwa, seorang guru harus menghindarkan diri dari budi pekerti yang jelek,
karena sifat-sifat yang jelek akan menjadi pintu awal dari setiap kejelekan,
bahkan semua kejelekan berawal dari sifat tersebut.5

B. Hukum Menghadiri Walimah dalam Prespektif Imam Syafi’i


Menurut Imam Syafi’i, walimah diambil dari kata walmun yang berarti sebuah
perkumpulan, dikarenakan kumpulnya antara kedua mempelai. Juga dikatakan bahwa

3
Abi Zakariya Yahya Syarafudin An-Nawawi, At-Tibyān Fi Ādābi Ḥamalat Al-Qur’ān (Makkah:
Maktabah Nazar Mustafa al-Baz, 1999), 33.
4
An-Nawawi, 34.
5
KH. Hasyim Asy’ari, Adabul Alim Wa Al-Muta’alim (Jombang: Maktabah al-Turost al-Islami, n.d.), 64.
walimah merupakan makanan yang disediakan ketika acara pernikahan, atau semua
jenis makanan yang disiapkan untuk para tamu undangan, tidak terkecuali ketika
khitan, pulang dari berpergian jauh dan lainnya.6
Syafi’iyyah menekankan bahwa hukum walimah adalah sunnah muakkadah.
Diantara hikmah dari diadakannya kegiatan walimah ini adalah sebagai bentuk rasa
syukur taufik yang telah diberikan oleh Allah SWT, dan adanya undangan kepada
kerabat, sahabat, keluarga bahkan penghuni suatu desa yang menyebabkan
tumbuhnya rasa kecintaan kepada sesama. Memperlihatkan dan menyiarkan kedua
pengantin kepada khalayak ramai, dan sekaligus memperlihatkan perbedaan adat
pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan yang tidak sesuai dengan syari’at.7
Dari pandangan yang diberikan oleh Imam Syafi’i, telah jelas bahwa walimah
merupakan sebuah acara yang diadakan oleh sahibul hajat dengan menyediakan
berbagai macam bentuk makanan untuk para tamu undangan, walimah tersebut tidak
hanya diadakan bersamaan ketika acara pernikahan atau sehari setelahnya, ketika
seorang anak diaqiqah atau dikhitan atau juga bisa dilakukan oleh seseorang setelah
bepergian jauh, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah
diperolehnya.
Imam Syafi’i memaparkan hukum menghadiri walimah dan hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai berikut :
1. Hukum Menghadiri Walimah
Syafi’iyyah memandang bahwa hukum menghadiri walimah bagi seseorang yang
mendapatkan undangan adalah fardu ‘ain. Hal ini disandarkan pada hadis Ibnu
Umar.8
‫اذا دعي احدكم الى الوليمة فليأته‬
“Apabila seseorang diundang untuk menghadiri walimah, hendaklah ia datang.”
Beliau melanjutkan dengan syarat-syarat wajib mendatangi undangan walimah,
sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu sebagai
berikut:
a. Hendaklah yang diundang tidak dikhususkan bagi orang-orang kaya, apabila
dikhusukan maka tidak ada kewajiban untuk menghadiri walimah tersebut.
6
Haerul Akmal, “Konsep Walimah dalam Pandangan Empat Imam Mazhab,” Tarjih: Jurnal Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam 16, no. 1 (June 22, 2019): 24,
https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/16.102.
7
Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwad Al Jaziri, Fiqhul ‘Am, Al Fiqh ‘Ala Mazhab al Arba’Ah, V
(Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2003), 33.
8
‘Iwad Al Jaziri, 36.
b. Hendaklah yang memiliki undangan adalah seorang Muslim, apabila
undangan tersebut berasal dari non Muslim maka tidak wajib untuk dihadiri.
c. Hendaklah undangan walimah itu dilakukan pada hari pertama, apabila
pelaksanaannya beberapa hari. Apabila diundang pada hari kedua, hukum
mendatanginya adalah mustahab, dan apabila dipanggil pada hari ketiga
hukum mendatanginya adalah makruh.
d. Hendaklah undangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan cinta antar
sesama dan menjalin kedekatan, dan tidak wajib mengahadirinya apabila
diundang karena ada unsur ketakutan atau ketamakan.
e. Tidaklah seorang yang memiliki hajat tersebut zholim atau sering melakukan
kejelekan, atau uang yang digunakan untuk walimah tersebut adalah hasil dari
uang haram. Bila demikian, maka hukum menghadiri walimah tidak wajib.
f. Hendaklah tidak menghadirkan sebuah kemungkaran di dalamnya, seperti
menyediakan khamar, berbaurnya laki-laki dan perempuan, memasang
gambar-gambar manusia dan atau hewan-hewan sebagai hiasan temboknya.
Dan apabila dengan kahadirannya, unsur-unsur kemungkaran akan hilang,
maka wajib hukum menghadirinya dan menghilangkan kemungkaran di
dalamnya.9

Dari penjelasan Imam Syafi’i di atas, hukum menghadiri walimah mencakup ke


beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan acara tersebut, yaitu
orang yang memiliki hajat atau sahibul hajat, prosesi acara walimah, dan orang
yang mendapatkan undangan. Dan pada setiap aspek harus memenuhi beberapa
syarat, sehingga tidak menjatuhkan kewajiban seseorang untuk menghadiri acara
tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:

• Sahibul hajat: hendaklah seorang Muslim, hendaklah bukan orang yang fasik dan
zholim, artinya uang yang diperoleh untuk mengadakan acara walimah, bukan dari
hasil pencurian, perampokan, atau uang haram, hendaklah tidak mengadakan acara
untuk maksud dan tujuan tertentu seperti memperlihatkan harta kekayaan yang
dimilikinya kepada khalayak atau sombong dan untuk tujuan mengadu domba.

• Prosesi walimah: Hendaklah di dalamnya tidak mengandung unsure-unsur


keharaman, kemungkaran dan pelanggaran terhadap syari’at, seperti

9
Akmal, “Konsep Walimah dalam Pandangan Empat Imam Mazhab.”
disediakannya khamr dan bercampurnya antara laki-laki dan wanita, hendaklah
undang tersebut tidak dikhususkan hanya bagi si kaya, hendaklah undangan
walimah itu dilakukan pada hari pertama, hendaklah undangan tersebut ditujukan
untuk meningkatkan cinta antar sesama dan menjalin kedekatan, bukan karena
ketamakan atau ketakutan.

• Orang yang diundang: Seorang yang diundang hendaklah tidak berhalangan untuk
hadir kecuali dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sibuk yang tidak tergantikan
atau dalam keadaan panas dan dingin yang tidak tertahankan atau hujan yang
sangat lebat.

Anjuran menghadiri walimah akan gugur tatkala terdapat udzur-udzur syar’i yang
menjadikan acara walimah tidak wajib dihadiri. Maka saat terdapat udzur syar’i yang
menyebabkan walimah tak lagi diwajibkan untuk dihadiri, sebaiknya kita
menyampaikan permohonan maaf kepada sahibul hajat atas ketidakhadiran tersebut.
Dengan begitu kita tetap menaruh hormat dan terhindar dari menyakiti hati (idza’)
pihak pengundang.10
C. Pengertian Musyawarah (Rapat) dalam Prespektif Islam
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫مشاورة‬. Ia adalah masdar dari kata
kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra‟ dengan pola
fa‟ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan
menawarkan sesuatu” Dari makna terakhir ini muncul ungkapan syawartu
fulanan fi amri (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku).11
Dalam susunan kemasyarakatan, prinsip muyawarah ditegakkan sesuai dengan
azas hukum yang mendasari sistem demokrasi. Tetapi musyawarah itu sendiri
tidak terikat oleh komunitas yang sifatnya masih (pemerintahan atau kenegaraan)
saja, ia menyentuh segala aspek yang menyangkut kepentingan bersama, bukan
masalah yang telah menjadi ketetapan Tuhan.
Karena persoalan-persoalan yang telah ada petunjukannya dari Tuhan secara
tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui nabi-Nya, tidak dapat
dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum

10
Puji Tri Astuti, “Hukum Menghadiri Walimah dalam Perspektif Imam Syafi’i - Portal Berita
HUKUM Medan - Sumatera Utara,” MUDANEWS.COM - Portal Berita Indonesia Terkini Hari Ini, August 14,
2020, https://mudanews.com/hukum/2020/08/14/hukum-menghadiri-walimah-dalam-perspektif-imam-syafii/.
11
Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, 3 (Mesir: Mustafa Al Bab
al-Halabi, 1972), 226.
ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi baik yang
bersifat global maupun tanpa petunjuk yang mengalami perkembangan dan
perubahan.12 Bisa dicontohkan dalam sebuah lembaga atau sekolah perlu diadakan
musyawarah atau dengan kata lain rapat dalam membahas permasalahan internal demi
kebaikan lembaga tersebut.
Dalam berbagai moment Rasulullah senantiasa memperlihatkan bagaimana
beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya. Atas dasar ini Zafir al -Qasimi
mengklasifikasi bentuk musyawarah yang dipraktikkan oleh Rasulullah atas dua
bentuk. Pertama, musyawarah yang terjadi atas inisiatif Rasulullah Saw. Sendiri.
Kedua, Musyawarah yang terjadi atas permintaan sahabat.13 Penelusuran terhadap
ayat-ayat al-Qur‟an yang bertemakan musyawarah menunjukan bahwa terdapat
tiga ayat al-Qur‟an yang akar katanya merujuk kepada musyawarah yaitu QS. Al-
Syura (42) : 38, QS. Al-Baqarah (2): 233 dan QS. Ali Imron ayat 159.
Quraish Shihab, dengan bukunya Wawasan al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i
atas Pelbagai Persoalan umat, menitik beratkan pandangannya terhadap tiga ayat
yang bekenan dengan musyawarah itu, karena banyaknya persoalan yang dapat
dijawab oleh ketiga ayat tersebut. Walaupun, menurutnya tidak sedikit dari
jawaban tersebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau Ulama. Juga yang
merupakan petunjukpetunjuk umum yang bersumber dari sunnah Nabi Saw.,
tetapi petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya
mengikat.14
Perintah dalam surah Ali Imran ayat 159 secara tegas menunjukkan
bahwa perintah musyawarah itu ditujukan kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini
mudajh dipahami dengan melihat redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal. Akan
tetapi, para pakar al-Qur‟an menurut Quraish Shihab, sepakat bahwa perintah
Musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh
AlQur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang ma’sum, apalagi manusia-
manusia selain beliau.15
Hal lain yang penting dikemukakan sekitar musyawarah dalam al-Qur’an
adalah hukum bermusyawarah, al-Fakhr al-Razi dalam menafisrkan surah Ali-

12
M. Quraisi Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996).
13
Zafir Al-Qasimi, Nizam Al-Hukm Fi al-Syari‟ah Wa al-Tarikh, I (Beirut: Dar al-Nafais, 1973), 67.
14
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 473.
15
M. Quraisi Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an, vol. II, I (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2000), 475.
Imran 159 di atas, berpendapat bahwa perintah itu secara lahiriah adalah bermakna
wajib. Karena itu menurutnya, firman Allah “Dan bermusyawarahlah dengan
mereka, berarti wajib. Artinya, perintah menunjukkan atas kewajiban selama
tidak ada indikasi yang mengubah wajib menjadi sunnah.16
Ibn Atiyyah berkata bahwa musyawarah termasuk salah satu kaedah syari‟at
dan ketetapan hukum. Pemimpin yang tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan
agama, maka ia wajib diberhentikan. Tidak ada yang menyalahi hal itu. Dengan
demikian, musyawarah termasuk salah satu ketetapan hukum yang tidak boleh
17
ditinggalkan. Kendati demikian, walaupun mayoritas ulama fiqh berpendapat
bahwa musyawarah itu wajib, namun ada sebagian yang berpendapat bahwa
perintah musyawarah itu perintahnya bersifat sunnah, bukan wajib. 18

D. Meliburkan Pembelajaran Karena Rapat atau Undangan Walimah


Menuntut ilmu adalah kewajiban yang tidak pernah mengenal kedaluwarsa,
akan tetapi memiliki sifat boleh ditunda atau diganti, tapi tidak boleh ditiadakan atau
dengan kata lain mempunyai hukum fardhu kifayah sesuai yang dijelaskan
sebelumnya. Sedangkan menghadiri undangan walimah nikah dan musyawarah
(rapat) juga hukumnya sunnnah bahkan sebagian ulama berpendapat wajib.
Menurut pendapat penulis kasus seperti ini tidak bisa dipukul rata, atau harus
dipilah sesuai keadaannya, dengan mempertimbangkan banyak hal. Diantaranya sisi
manfaat, peluang munculnya fitnah dan lain sebagainya. Dalam hal ini ada 2 keadaan
yaitu:

Keadaan pertama, apabila yang menikah adalah kerabat sangat dekat, semisal anak,
atau orang tua, saudara kandung atau orang yang paling penting dan berpengaruh
dalam sebuah lembaga, maka yang didahulukan adalah menghadiri undangan
pernikahan tersebut dengan meminta izin dan bahkan meliburkan kegiatan belajar
mengajar apabila seluruh pengajar hadir dalam walimah tersebut. Itu jika memang
tidak memungkinkan bila keduanya dikerjakan bersama. Begitu juga dengan rapat
(musyawarah), karena dalam rapat yang dibahas adalah tentang kabaikan
keberlangsungan kegiatan pembelajaran, maka meliburkan pembelajaran lebih aman
untuk dikerjakan dalam segi hukum.

16
Al-Fakhr AL-Razi, Tafsir Al-Kabir, IX, n.d., 67.
17
Al-Qurtuby, Tafsir Al-Qurtuby, IV, n.d., 49.
18
Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an, II, n.d., 330.
Keadaan Kedua, jika yang menikah adalah kerabat jauh (orang lain) atau bukan orang
yang berpengaruh dalam kelangsungan lembaga, maka secara asal, melaksanakan
yang sifatnya rutin (pembelajaran), didahulukan dari menghadiri undangan walimah
tersebut. Karena menuntut ilmu hukumnya wajib, maka sebagian pihak yang terlalu
bermudah-mudah meninggalkan majelis ilmu karena alasan walimah dan acara
lainnya, adalah menyelisihi keutamaan bahkan bisa menjerumuskan kepada dosa,
karena mengabaikan kewajiban sangat penting dalam syariat. Hal ini apabila tidak
menghadiri undangan walimah ini tidak terjadi fitnah dan mudharat yang besar.
Keadaan ini juga berlaku dalam musyawarah (rapat), apabila pelaksanaan rapat bukan
membahas sesuatu yang sangat mendesak dan demi kebaikan keberlangsungan
pendidikan, maka meliburkan kegiatan belajar mengajar tidak dianjurkan. Hal ini
sama halnya dengan mendahulukan kegaiatan sunnah dari pada kegiatan wajib.

Hal ini sesuai dengan kaidah Fiqih:

ُّ ‫ت ْال َمفَا ِسدُ قُد َِم اْألَخ‬


َ‫َف مِ ْنه‬ َ ‫ت ْال َم‬
ِ ‫صا ِل ُح قُد َِم اْأل َ ْعلَى مِ ْن َها َوإِذَا ت َزَ ا َح َم‬ ِ ‫إِذَا ت َزَ ا َح َم‬

“ Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat yang lebih besar (lebih
tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan)
bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan.”

Kaidah ini menjelaskan, apabila ada beberapa kemaslahatan yang tidak mungkin
digabungkan (diraih ataupun dikerjakan sekaligus), maka kemaslahatan yang lebih
besar yang didahulukan. Karena pada (urusan yang mengandung) kemaslahatan lebih
besar itu ada tambahan kebaikan dan lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla . Adapun
jika beberapa maslahat tersebut bisa dikumpulkan dan bisa didapatkan semuanya
maka itulah yang lebih diutamakan lagi. Sebaliknya, apabila berkumpul beberapa
masfsadat (keburukan) yang terpaksa harus ditempuh salah satu darinya, maka dipilih
yang paling ringan mafsadatnya. Adapun jika mafsadat-mafsadat tersebut bisa
dihindari semuanya, maka itulah yang diharapkan.19

‫ب أَخ َِف ِه َما‬


ِ ‫ارتِكَا‬
ْ ِ‫ض َر ًرا ب‬ َ ‫ِي أَ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫َان ُر ْوع‬ َ ‫ض َم ْف‬
ِ ‫سد َ ت‬ َ َ‫إذا تَع‬
َ ‫ار‬

19
Imam Ibnu Rojab al-Hanbaly, Taqrîr Al-Qawâ’id Wa Tahrîr al-Fawâid, II (Saudi Arabia: Dar
Rokaiz Saudi, n.d.), 468.
Artinya: "Apabila ada dua kerusakan berlawanan, maka haruslah dipelihara yang
lebih berat mudharatnya dengan melakukan yang lebih ringan dari keduanya".20

Kaidah ini, menjelaskan bahwa manakala ada perbuatan yang mengandung dua
kemafsadatan atau kerusakan, maka hendaklah dipilih mana yang lebih ringan.
Kaidah lain mengatakan :
َّ ‫َت أ َ ْوخَا‬
ً ‫صة‬ ْ ‫عا َّمةً كَان‬ َ ‫ْال َحا َجةُ تُن ََّز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َُّر‬
َ ‫ور ِة‬
Artinya: "Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat, baik kebutuhan itu bersifat
umum atau khusus".
Kaidah ini menjelaskan bahwa hajat (kebutuhan mendesak) dapat disamakan dengan
keadaan darurat.21

KESIMPULAN
1. Mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan
terjadinya proses belajar itu secara optimal. Mengajarkan ilmu menurut Imam
Nawawi dalam kitabnya adalah fardhu kifayah.
2. Menurut Imam Syafi’i, walimah diambil dari kata walmun yang berarti sebuah
perkumpulan, dikarenakan kumpulnya antara kedua mempelai. Syafi’iyyah
menekankan bahwa hukum walimah adalah Fardu Ain.
3. Istilah musyawarah berasal dari kata ‫مشاورة‬. Ia adalah masdar dari kata kerja
syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra’ dengan pola fa’ala.
Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan menawarkan
sesuatu. Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa musyawarah itu wajib,
namun ada sebagian yang berpendapat bahwa perintah musyawarah itu
perintahnya bersifat sunnah, bukan wajib.
4. Dalam permasalahan meliburkan pembelajaran karena rapat atau mendatangi
walimah ada dua keadaan yaitu pertama diperbolehkan dan yang kedua tidak
diperbolehkan.

20
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih) (Palembang: CV. Amanah, 2019), 85.
21
Ibrahim, 86.
DAFTAR PUSTAKA

Akmal, Haerul. “Konsep Walimah dalam Pandangan Empat Imam Mazhab.” Tarjih: Jurnal
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam 16, no. 1 (June 22, 2019): 21–33.
https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/16.102.
Al-Jassas. Ahkam Al-Qur’an. II, n.d.
Al-Qasimi, Zafir. Nizam Al-Hukm Fi al-Syari‟ah Wa al-Tarikh. I. Beirut: Dar al-Nafais,
1973.
Al-Qurtuby. Tafsir Al-Qurtuby. IV, n.d.
AL-Razi, Al-Fakhr. Tafsir Al-Kabir. IX, n.d.
An-Nawawi, Abi Zakariya Yahya Syarafudin. At-Tibyān Fi Ādābi Ḥamalat Al-Qur’ān.
Makkah: Maktabah Nazar Mustafa al-Baz, 1999.
Astuti, Puji Tri. “Hukum Menghadiri Walimah dalam Perspektif Imam Syafi’i - Portal Berita
HUKUM Medan - Sumatera Utara.” MUDANEWS.COM - Portal Berita Indonesia
Terkini Hari Ini, August 14, 2020. https://mudanews.com/hukum/2020/08/14/hukum-
menghadiri-walimah-dalam-perspektif-imam-syafii/.
Asy’ari, KH. Hasyim. Adabul Alim Wa Al-Muta’alim. Jombang: Maktabah al-Turost al-
Islami, n.d.
Gulo, W. Strategi Belajar Mengajar (Cover Baru). Jakarta: Grasindo, 2008.
Hanbaly, Imam Ibnu Rojab al-. Taqrîr Al-Qawâ’id Wa Tahrîr al-Fawâid. II. Saudi Arabia:
Dar Rokaiz Saudi, n.d.
Ibrahim, Duski. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang: CV. Amanah,
2019.
‘Iwad Al Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad. Fiqhul ‘Am, Al Fiqh ‘Ala Mazhab al
Arba’Ah. V. Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2003.
Shihab, M. Quraisi. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an. Vol. II. I.
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000.
———. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Zakariyya, Abu Husayn Ahmad bin Faris bin. Mu’jam Maqayis al-Lughah. 3. Mesir: Mustafa
Al Bab al-Halabi, 1972.

Anda mungkin juga menyukai