Anda di halaman 1dari 11

REFUND BIAYA PENDAFTARAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

Alfarabi Shidqi Ahmadi

Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Magister Pendidikan Agama Islam

albihamid03@gmail.com

PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang universal tidak terbatas hanya pada mengatur
kaidah ibadah yang kaitannya hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Tetapi Islam juga mengatur perihal interaksi muamalah antara manusia dengan
sesamanya. Khususnya dalam urusan harta benda, Islam juga memiliki peran
dalam maqashid asyar’iyah yaitu hifdz al-maal (menjaga harta benda). Hal
tersebut mengatur hampir selutuh aspek yang kaitannya dengan transaksi
keuangan. Mulai dari jual-beli, gadai, hutang-piutang sampai sewa.

Dalam dunia pendidikan, selain melaksanakan kegiatan belajar mengajar,


tentu ada perputaran uang yang juga ikut mengiringinya. Hal tersebut adalah hal
wajar, sebab dalam menjalankan setiap sendi-sendi operasional kependidikan
dibutuh biaya (cost) yang tidak sedikit. Diantaranya mulai dari pengadaan sarana
prasarana, gaji guru dan karyawan, peningkatan profesionalisme guru, hingga
pemenuhan kebutuhan pokok rutin lainnya. Maka sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan pembiayaan operasional tersebut, tiap-tiap lembaga pasti memiliki
paket kebijakan dalam menghimpun dana.

Transaksi dalam bentuk apapun di lembaga pendidikan tidak berbeda


dengan transaksi yang terjalin dalam dunia bisnis dan perdagangan. Bahkan
kedua-duanya sama-sama masuk dalam lingkup ekonomi ataupun administrasi
keuangan. Hal tersebut terbukti sebagaimana menurut Thomas bahwa biaya
pendidikan merupakan satu komponen instrumen masukan yang sangat penting
dalam penyelenggaraan pendidikan. Bahkan dalam setiap upaya pencapaian
tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya
pendidikan berperan penting di dalamnya.1 Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya
biaya pendidikan, proses pendidikan tidak akan berjalan maksimal. 2

Berdasarkan sumber pembiayaannya, biaya pendidikan dapat


dikategorikan dalam empat jenis: Pertama, biaya pendidikan yang dianggarkan
oleh pemerintah. Kedua, biaya pendidikan yang didapatkan dari pelanggan, dalam
hal ini adalah masyarakat atau orang tua siswa. Ketiga, biaya pendidikan yang
dikeluarkan oleh pihak swasta atau sponsor. Dan keempat, pembiayaan dari
lembaga itu sendiri. Masing-masing sumber tersebut adalah pos strategis dalam
sirkulasi pembiayaan pendidikan untuk menopang program pendidikan yang
diagendakan, baik oleh pihak lembaga pendidikan sendiri sebagai wadah
pemberdayaan dan pengembangan, maupun pemerintah sebagai pihak yang
mempunyai kebijakan dalam penganggaran yang secara institusional memiliki
tanggung jawab utama dan pendorong ke arah efektivitas dan efisensi aktivitas
pendidikan. Oleh karena demikan, faktor biaya adalah sangat berpengaruh
terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Adapun mengenai landasan yuridis atas adanya pemberlakuan tarif jasa


pendidikan adalah mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia nomor 44 tahun 2012, yaitu tentang Pungutan dan
Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar adalah sebagai
berikut:3

1. Sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang


diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah yang
tercantum dalam pasal 5 adalah anggaran pendapatan dan belanja negara;
anggaran pendapatan dan belanja daerah; sumbangan dari peserta didik atau
orang tua/walinya; sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan
dasar di luar peserta didik atau orang tua/walinya; bantuan lembaga lainnya
yang tidak mengikat; bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
sumber lain yang sah.

1
Ahmad Munir, “Manajemen Pembiayaan Pendidikan Dalam Perspektif Islam,” at’ta’dib 8, no. 2
(2013).
2
Nanang Fatah, Ekonomi Dan Pembiayaan Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2000).
3
Ade Sopiali, “TEORI DAN KONSEP DASAR PEMBIAYAAN (COST) DALAM PENDIDIKAN
ISLAM (Rencana, Organisasi,Pelaksanaan,Dan Pengawasan),” Intelegensia 6, no. 2 (2018).
2. Kemudian dalam pasal 6, sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan
dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah bantuan dari
penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan; pungutan,
dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya; bantuan dari
masyarakat di luar peserta didik atau orang tua/walinya; bantuan
Pemerintah; bantuan pemerintah daerah; bantuan pihak asing yang tidak
mengikat; bantuan lembaga lain yang tidak mengikat; hasil usaha
penyelenggara atau satuan pendidikan; dan/atau sumber lain yang sah.

Pembiayaan yang berasal dari pelanggan, dalam hal ini adalah orang tua
atau wali siswa, diterapkan oleh tiap-tiap lembaga pendidikan melalui adanya
kewajiban pembayaran administrasi, seperti pendaftaran, uang gedung, SPP dan
sebagainya. Nominal harga yang dipatok juga sangat beragam di masing-masing
lembaga pendidikan. Hal tersebut seperti halnya terjadi perbedaan harga di
antara para pedagang, tergantung pada klasifikasi dan keunggulan masing-
masing produknya. Bukan hanya nominalnya saja yang beragam, skema
pembayarannya pun sangat beragam di tiap-tiap lembaga.

Permasalahan yang sering terjadi adalah ketika pelanggan telah terlanjur


membayarkan biaya administrasi pendidikan di suatu lembaga, kemudian
pelanggan tersebut berubah pikiran atau membatalkan niatnya untuk
mempercayakan jasa kependidikan di lembaga tersebut. Maka apakah uang yang
telah dibayarkan tersebut, oleh lembaga pendidikan harus di-refund
(pengembalian biaya) atau tidak? Sebab pada kenyataannya di lapangan, banyak
lembaga pendidikan yang tidak menerapkan skema refund biaya pendidikan
dalam kondisi atau alasan apapun. Maka sebelum lebih jauh melakukan telaah
terhadap hukum refund biaya pendidikan, ada satu hal esensial yang perlu dikaji
pula, sebenarnya pembayaran biaya pendidikan kepada suatu lembaga termasuk
kategori akad apa dalam istilah hukum Fikih atau hukum Islam?

PEMBAHASAN

A. Transaksi Pembayaran Biaya Pendidikan Perspektif Fikih Islam

Operasional kegiatan kependidikan yang sangat bergantung pada


dukungan dana menjadikan pendidikan harus menghimpun dana dari
beberapa sumber pendanaan yang ada. Sebagaimana dunia industri, lembaga
pendidikan dalam hal manajemen keuangan juga menjadikan orang tua atau
wali murid (pelanggan) sebagai salah satu sumber pendanaan. Artinya, orang
tua atau wali murid dalam perannya sebagai pelanggan, diharuskan
membayar biaya (cost) kepada penyedia layanan, yaitu lembaga pendidikan.
Maka manajemen keuangan dalam lembaga pendidikan termasuk dalam
lingkup konsep bsnis dan ekonomi. Secara khusus masuk pada lingkup
Mu’amalah.

Segala jenis transaksi keuangan memiliki pos-pos klasifikasi tersendiri


dalam kaca mata fikih Islam. Kemudian setelah ditemukan pos akad
transaksinya, maka dapat dirumuskan koridor-koridor pelaksanaan, tata cara
transaksinya hingga hukum kebolehan bertransaksinya. Hal tersebut menjadi
penting, agar segala jenis pelaksanaan transaksi keuangan tidak menjadi liar,
rentan penyalahgunaan, hingga berpotensi merugikan salah satu pihak.
Sebab di era modern, berkembang banyak sekali jenis-jenis transaksi
keuangan yang belum terjamah secara langsung oleh kaidah-kaidah fikih
klasik. Misalnya saja jual-beli saldo e-money, transaksi via aplikasi online, dan
lain semacamnya, termasuk pembayaran biaya pendidikan yang dibebankan
kepada orang tua atau wali murid oleh pihak lembaga pendidikan.

Pelanggan yang dalam hal ini membutuhkan produk layanan jasa, yakni
jasa pendidikan untuk putra-putrinya, membayar sejumlah biaya yang
ditentukan oleh penyedia jasa. Pembayaran biaya tersebut diperuntukkan
untuk mendapatkan suatu kemanfaatan berupa pelayanan pendidikan, bukan
produk yang bersifat fisik. Maka pembayaran semacam ini dapat
dikategorikan sebagai akad ijarah.

Ijarah pada prinsipnya merupakan akad yang berkaitan dengan


transaksi sewa-menyewa segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-fiqhu al-islam wa adillatuhu, bahwa
ijaroh secara bahasa adalah jual-beli kemanfaatan (bukan produk fisik). 4
Adapun secara istilah menurut ulama’ syafi’iyah Ijaroh adalah transaksi atas
suatu kemanfaatan tertentu yang mubah serta terdapat ganti (upah) yang
tertentu pula.5 Sementara menurut ulama’ malikiyah, yaitu pemindahan
kepemilikan atas kemanfaatan suatu produk yang mubah dengan batasan

4
Wahbah al-Zuhaili, “Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh” (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).
5
Zainuddin, Fath Al-Mu’in (Surabaya: Dar al-’Ilm, n.d.).
masa yang tertentu dan terdapat upah sebagai gantinya. 6 Dasar pengambilan
hukum dari akad ini diantaranya adalah hadist nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan dari Abu Huroiroh R.A: 7

‫يجف عرقه‬
ّ ‫أعطوا األجير أجره قبل أن‬
“berilah penyedia layanan jasa upahnya, sebelum keringat (akibat jerih
payahnya) menjadi kering”

Akad Ijaroh bukanlah suatu transaksi yang diperbolehkan oleh seluruh


ulama’ secara mutlak, melainkan ada beberapa ulama’ fiqih yang tidak
memperbolehkan akad Ijaroh. Diantaranya adalah Abu Bakar al-‘Ashm,
Ismael bin ‘Ulyah, Hasan al-Bashri, dan Ibn Kisan. Argumen mereka tidak
memperkenankan akad Ijaroh adalah karena ijaroh adalah jual beli
kemanfaatan, sementara kemanfaatan tidak dapat diserah terimakan saat
proses akad, padahal kemanfaatannya akan terus berkurang sedikit demi
sedikit seiring perjalanan waktu. Selain itu, alasan mereka melarang Ijaroh
adalah karena pada dasarnya tidak boleh menjual belikan sesuatu yang
bersifat masa akan datang.8

Sementara jumhur (mayoritas) ulama’ memperbolehkan transaksi


ijaroh, yaitu membayarkan upah atas suatu kemanfaatan. 9 Bahkan
diriwayatkan dari sahabat ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah ketika meminta
bekam, beliau memberi penyedia jasa bekam tersebut upah atau ongkos. 10
Selain itu, dalam riwayat lain Rasulullah SAW menegaskan bahwa hendaknya
seseorang yang meminta pelayanan jasa berkenan memberi tahu terlebih
dahulu upah yang akan dia berikan pada penyedia jasanya.

Korelasi antara transaksi layanan jasa pendidikan dengan akad ijaroh


adalah terletak pada pembayaran upah tertentu kepada penyedia jasa untuk
mendapat suatu kemanfaatan yang tertentu pula, dalam hal ini adalah
layanan pendidikan untuk putra-putrinya. Tidak ada produk fisik yang
diserah terimakan dalam transaksi. Sehingga jika merujuk pada pendapat

, n.d.), ‫ دار الفكر‬:‫ “ حاشية الدسوقي على الشرح الكبير( ”بيروت‬,‫ محمد بن أحمد الدسوقي المالكي‬6
https://shamela.ws/book/21604/1634.
, n.d.), https://shamela.ws/book/21590. ‫ دار الحديث‬:‫سبل السالم( بيروت‬, ‫محمد بن إسماعيل الحسني‬7
8
al-Zuhaili, “Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh.”
9
Ibid.
.‫سبل السالم‬, ‫محمد بن إسماعيل الحسني‬10
jumhur ‘ulama’ terkait hukum transaksi pembayaran dan pembiayaan dalam
dunia pendidikan adalah boleh, sebab terdapat suatu kemanfaatan yang jelas
dan bukan sesuatu yang dilarang oleh syari’at (diharamkan).

Adapun besaran ujroh dalam konteks manajemen keuangan lembaga


pendidikan ditentukan atas beberapa faktor, diantaranya adalah: besar
kecilnya sebuah institusi pendidikan, jumlah siswa, tingkat gaji guru atau
dosen yang disebabkan oleh bidang keahlian atau tingkat pendidikan, ratio
siswa berbanding guru/ dosen, kualifikasi guru, tingkat pertumbuhan
penduduk (khususnya di negara berkembang), perubahan kebijakan dari
penggajian/pendapatan (revenue theory of cost). Pembiayaan pendidikan
tidak hanya menyangkut sumber-sumber dana, tetapi juga meliputi
penggunaan dana secara efisien. Semakin efisien sistem pendidikan, maka
semakin berkurang biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan suaut
lembaga pendidikan.11

Produsen penyedia layanan jasa atau disebut sebagai al-ajir terdapat


dua jenis, penyedia jasa perseorangan dan kolektif. Adapun dalam konteks
layanan pendidikan dapat dikategorikan sebagai penyedia jasa kolektif (al-
ajir al-musytarik)12 sehingga pelanggan tidak berhak untuk membatasi siapa-
siapa pelaksana dalam pemberian layanan jasa tersebut. Namun dengan
ketentuan terdapat satu orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
penyediaan jasa. Penanggung jawab ini harus memberikan penjelasan secara
baik kepada para pekerja atau pelaksana di lapangan, mulai dari pembagian
tugas, jenis pekerjaan sampai tujuan dari penyediaan jasa layanan, dalam hal
ini adalah layanan kependidikan.

Maka dapat disimulasikan ketika orang tua atau wali murid datang ke
suatu lembaga pendidikan, maka orang tua murid disebut sebagai musta’jir
dan lembaga pendidikan yang dituju adalah ajir. Kemudian kedua belah pihak
saling bertransaksi dengan akad meminta pelayanan jasa atau suatu
kemanfaatan berupa pendidikan untuk anaknya di lembaga tersebut, dengan
ketentuan jenjang sekolah bahkan fasilitas-fasilitas yang jelas. Kemudian
musta’jir membayarkan sejumlah biaya sebagai ujroh kepada ajir. Dalam hal

11
Munir, “Manajemen Pembiayaan Pendidikan Dalam Perspektif Islam.”
12
al-Zuhaili, “Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh.”
ini ajir bekerja secara kolektif, dengan pembagian-pembagian tugas atau
jobdesk yang jelas.

Kemudian untuk skema pembayaran selanjutnya, masing-masing


lembaga memiliki kebijakan-kebijakan yang beragam. Diantaranya adalah
model batasan muddah atau batasan waktu, sehingga tiap tenggat waktu
tertentu, musta’jir harus membayarkan ujroh sebagai akad baru bahwa
muddah atas transaksi ijaroh nya masih berlanjut dengan batasan waktu
berikutnya. Pembayaran seperti ini biasa disebut sebagai SPP, syahriah
ataupun UKT. Atau model ‘amal, maka akad ujroh dapat berlaku sampai
batasan selesainya suatu pekerjaan yang diharapkan. Hal ini biasa terjadi di
lembaga-lembaga kursus atau peminatan tertentu.

B. Telaah Refund Biaya Pendidikan Atas Kehendak Pelanggan dalam


Perspektif Fikih Islam

Setelah menemukan benang merah atas transaksi pembayaran biaya


pendidikan sebagai akad ijaroh, maka regulasi beserta konsekuensi hukum
yang harus ada di dalam transaksi pembiayaan pendidikan harus mengacu
pada aspek akad ijaroh. Pembayaran biaya pendidikan menjadi sauatu
permasalahan ketika ada salah satu pelanggan, orang tua atau wali murid
yang secara sepihak membatalkan keinginannya untuk mempercayakan jasa
pelayanan pendidikan di satu lembaga. Hal tersebut bisa disebabkan karena
pelanggan berubah pikiran atau melihat ada lembaga pendidikan lain yang
dianggap lebih cocok dengan tingkat keinginan dan kepuasan pelanggan.

Pembatalan transaksi secara sepihak ini berdampak pada keinginan


beberapa pelanggan untuk melakukan refund atau pengembalian dana yang
sudah dibayarkan kepada lembaga pendidikan. Terkait hukum kebolehan
atau bahkan kewajiban melakukan refund tentunya dapat dirujuk kepada
benang merah klasifikasi transaksi pembayaran biaya pendidikan dalam fikih
Islam, yaitu akad ijaroh.

Refund biaya pendaftaran pendidikan akan menjadi harus dilakukan


bila tidak ada perjanjian mengikat terkait uang yang telah dibayarkan tidak
dapat dikembalikan, selama pelanggan belum mendapatkan kemanfaatan
apapun dari layanan yang diharapkan. Hal tersebut dilandaskan pada
kenyataan bahwa transaksi belum dianggap terjadi, sebab akad ijaroh
dianggap telah terjalin disaat terpenuhinya rukun-rukun ijaroh, yaitu; adanya
dua pihak produsen dan konsumen yang bertransaksi, adanya serah-terima,
upah dan manfaat. Maka disaat belum ada ketentuan apapun terkait regulasi
pembayaran, aspek serah-terima (ijab-qobul) belum terlaksana. Ditambah
lagi, konsumen belum mendapatkan kemanfaatan apapun dari pelayanan
yang ada, maka refund baiay pendaftaran dapat dilakukan.

Namun sebaliknya, jika terdapat perjanjian baik tertulis ataupun secara


verbal, yang menyatakan bahwa ketika pelanggan telah membayarkan
sejumlah uang untuk pendaftaran, maka pelanggan dianggap telah
menyetujui semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Ditambah lagi, di
antara syarat-syarat tersebut tertulis bahwa uang pendaftaran yang telah
dibayarkan tidak dapat dikembalikan dengan alasan apapun misalnya, maka
pada kasus ini transaksi akad ijaroh telah dianggap terjadi dan sah, sebab
telah terpenuhinya rukun-rukun ijaroh.

Sebelum lebih jauh melakukan telaah terkait regulasi pembatalan akad


ijaroh, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa perjanjian yang terjalin dalam
transaksi sesama manusia dalam bentuk apapun, asalkan tidak menghalalkan
yang haram, atau sebaliknya, maka perjanjian tersebut bersifat mengikat bagi
kedua belah pihak. Hal tersebut sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW
berikut:

،‫حرم حالّل أو أح ّل حراما‬ ّ ‫الصلح جائز بين المسلمين ّإّل صلحا‬


ّ ‫والمسلمون على شروطهم ّإّل شرطا‬
‫حرم حالّل أو أح ّل حراما‬

“Perdamaian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian


yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan
kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."13

13
at-Trmidzi, Sunan At-Tirmidzi (Bairut: Dar al-Ihya’, 1994).
Pelanggan yang dalam hal ini membutuhkan produk layanan jasa, yakni
jasa pendidikan untuk putra-putrinya, membayar sejumlah biaya yang
ditentukan oleh penyedia jasa. Pembayaran biaya tersebut diperuntukkan
untuk mendapatkan suatu kemanfaatan berupa pelayanan pendidikan, bukan
produk yang bersifat fisik.

Adapun pengembalian biaya pendaftaran pendidikan akibat


pembatalan sepihak dapat dikaitkan dengan regulasi pembatalan akad ijaroh.
Dalam kitab karya Dr. Wahbah az-Zuhaili disebutkan, bahwa pembatalan
akad Ijaroh dapat terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut: 14
1. Meninggalnya salah satu pihak yang bertransaksi (menurut ulama’
Hanafiyah), sementara menurut sebagaian besar (jumhur) ‘ulama’ tidak
bisa batal.
2. Bangkrutnya pihak penyewa (produsen), maksudnya disaat penyewa
memiliki beban hutang yang sangat besar dan tidak akan dapat dilunasi
kecuali dengan menjual barang yang disewakan tersebut.
3. Rusaknya barang yang disewakan sampai menyebabkan hilangnya
kemanfaatan yang diharapkan dalam transaksi.
4. Habisnya masa sewa sebagaimana yang telah disepakati dalam transaksi.

Maka berdasarkan ketentuan regulasi pembatalan akad ijaroh,


pengembalian dana pendaftaran pendidikan tidak bisa diwajibkan atau
diharuskan, sebab jika pembatalan tersebut dilakukan secara sepihak oleh
pelanggan, hal tersebut tidak termasuk dalam ketentuan-ketentuan bolehnya
membatalkan transaksi ijaroh. Diperkuat lagi dengan adanya hadist nabi
Muhammad SAW bahwa manusia terikat dengan perjanjian-perjanjian
sesama manusia selama tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya.

Namun, refund menjadi hal yang harus dilakukan jika dalam


transaksinya dianggap sebagai uang titipan untuk biaya pendidikan. Maka
transaksi tersebut, selama belum terlaksana pelayanan jasa pendidikan
dianggap masuk pada kategori akad wadi’ah. Terlebih lagi jika disepakati di
awal transaksi jika uang pendaftara dapat dikembalikan jika pelanggan
membatalkan pendaftaran sebelum dimulainya kegiatan pendidikan di
lembaga tersebut.

14
al-Zuhaili, “Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh.”
KESIMPULAN

Dapat disimulasikan ketika orang tua atau wali murid datang ke suatu
lembaga pendidikan, maka orang tua murid disebut sebagai musta’jir dan
lembaga pendidikan yang dituju adalah ajir. Kemudian kedua belah pihak saling
bertransaksi dengan akad meminta pelayanan jasa atau suatu kemanfaatan
berupa pendidikan untuk anaknya di lembaga tersebut, dengan ketentuan jenjang
sekolah bahkan fasilitas-fasilitas yang jelas. Kemudian musta’jir membayarkan
sejumlah biaya sebagai ujroh kepada ajir. Dalam hal ini ajir bekerja secara kolektif,
dengan pembagian-pembagian tugas atau jobdesk yang jelas.

Berdasarkan ketentuan regulasi pembatalan akad ijaroh, pengembalian


dana pendaftaran pendidikan tidak bisa diwajibkan atau diharuskan, sebab jika
pembatalan tersebut dilakukan secara sepihak oleh pelanggan, hal tersebut tidak
termasuk dalam ketentuan-ketentuan bolehnya membatalkan transaksi ijaroh.
Diperkuat lagi dengan adanya hadist nabi Muhammad SAW bahwa manusia
terikat dengan perjanjian-perjanjian sesama manusia selama tidak menghalalkan
yang haram atau sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA

al-Zuhaili, Wahbah. “Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh.” Beirut: Dar al-Fikr, 1989.


at-Trmidzi. Sunan At-Tirmidzi. Bairut: Dar al-Ihya’, 1994.
Fatah, Nanang. Ekonomi Dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya,
2000.
Fathoni, Hanif. “Kodifikasi Dalam Pandangan Sunny Dan Shi’iy.” Nabawi 1, no. 1
(2020).
Munir, Ahmad. “Manajemen Pembiayaan Pendidikan Dalam Perspektif Islam.”
at’ta’dib 8, no. 2 (2013).
Sopiali, Ade. “TEORI DAN KONSEP DASAR PEMBIAYAAN (COST) DALAM
PENDIDIKAN ISLAM (Rencana, Organisasi,Pelaksanaan,Dan Pengawasan).”
Intelegensia 6, no. 2 (2018).
Zainuddin. Fath Al-Mu’in. Surabaya: Dar al-’Ilm, n.d.
‫ دار الفكر‬:‫” بيروت‬.‫ “حاشية الدسوقي على الشرح الكبير‬.‫محمد بن أحمد الدسوقي المالكي‬, n.d.
https://shamela.ws/book/21604/1634.
‫ دار الحديث‬:‫ بيروت‬.‫ سبل السالم‬.‫محمد بن إسماعيل الحسني‬, n.d.
https://shamela.ws/book/21590.

Anda mungkin juga menyukai