Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL ILMIAH

MEKANISME UANG ELEKTRONIK DITINJAU DARI PERSPEKTIF BISNIS


SYARIAH

OLEH:
FAISHAL DAUDSHAH
1810116054
faishal.daudshah@upnvj.ac.id

Program Studi Ekonomi Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
2021
ABSTRAK
Penilitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana mekanisme uang elektronik berdasarkan
dari perspektif syariah. Perkembangan teknologi di Indonesia saat ini sudah semakin canggih,
terutama di sektor perekonomian yang ditandai dengan hadirnya keberadaan pembayaran
digital. Uang elektronik menjadi salah satu tipe pembayaran digital yang paling banyak
digemari oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Data untuk penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari
penelitian-penelitian terdahulu.
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Manusia sangatlah berdekatan dengan kata bisnis dalam praktek kehidupan
sehari-hari. Dalam pengertiannya Bisnis adalah suatu kegiatan guna menghasilkan
barang maupun jasa dalam rangka pemenuhuan memenuhi kebutuhan yang dimiliki
oleh masyarakat. Pelaku bisnis akan mendapatkan keuntungan atau profit, dari
kegiatan distribusi barang dan jasa kepada masyarakat. Bisnis akan muncul untuk
memenuhi suatu barang maupun jasa yang dibutuhkan masyarakat. Bisnispun terus
berkembang seiring dengan masyarakat yang terus berkembang secara kuantitatif dan
kualitatif sesuai apa yang dibutuhkan mayarakat. Kualitas pendidikan yang semakin
baik, serta pemikiran masyarakat yang semakin maju, merupakan cerminan dari
Perkembangan secara kualitatif. Sedangkan bertambahnya jumlah penduduk
(kelahiran, dan kematian) merupakan cerminan dari pertumbuhan secara kuantitatif.
Kegiatan berbisnis dapat dijalankan dengan menghalalkan cara apapun dalam
meraih keuntungan, bahkan bangsa Barat menetapkan bahwa manusia adalah manusia
yang mengejar materi saja atau istilah lainnya sebagai homo ecominicus. Memperoleh
hasil yang berganda dengan menggunakan modal awal sekecil mungkin. Pelaku bisnis
yang melakukan kegiatan bisnis yang seperti ini umumnya tidak memikirkan
tanggungjawab yang harus ia lakukan. Aturan-aturan bisnis islam harus dilakukan
oleh pelaku bisnis muslim agar bisnis dapat berjalan dengan baik dan menjadi bisnis
dengan kegiatan usaha yang baik.
Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia telah diatur oleh islam tidak
terkecuali dalam bermuamalah yakni dengan memberikan batasan Halal dan Haram.
Sebuah bisnis berbasis syariah dilakukan harus berlandaskan sesuai aturan syariaah.
Semua hukum dan aturan syairat yang ada dilakukan bertujuan untuk terwujudnya
kesejahteraan distribusi yang merata serta menjaga pelaku bisnis agar memperoleh
rizki yang halal di ridhai oleh Allah SWT. Aturan atau etika berbisnis syariah
berperan penting dalam bisnis berbasis syariah.
Berbisnis dengan memenuhi landasan etika perilaku bisnis islam akan
menuntun seorang wirausahawan muslim pada kesejahteraan yang berada di dunia
dan akhirat. Mengingat Allah dalam kegiatan berbisnis merupakan keharusan seorang
wirausaha muslim, sehingga dalam pelakasanaannya, seorang wirausahawan muslim
harus menghindari sifat yang dilarang dalam islam seperti bohong, curang dan menipu
dalam melayani pembelinya. Allah SWT menyuruh hamba-hambaNya bahkan
mewajibkan untuk mencari harta-kekayaan. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-
Mulk ayat 15:

Source: tafsirweb.com

Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa Allah telah menyuruh hambanya


untuk mencari rezeki yang telah Allah sediakan di bumi dengan menggunakan cara
yang halal.
Di era yang sudah serba digital ini, dimana teknologi yang berkembang sudah
semakin maju dan canggih. Hampir seluruh sektor kegiatan kini didukung oleh
canggihnya teknologi ini, tak terikecuali kegiatan bisnis. Kegiatan jual beli kini
banyak berbasis online, sehingga tidak memerlukan penjual dan pembeli bertemu
secara langsung. Penjualan barang atau jasa kini dapat dilakukan melalui aplikasi-
aplikasi yang terdapat ponsel pintar atau gadget lain yang dapat mendukung kegiatan
tersebut.
Salah satu fenomena digitalisasi terjadi pada sektor jasa keuangaan.
Munculnya financial technologi salah satu bentuk perkembangan jasa keuangan.
Financial teknologi itu sendiri dibagi menjadi beberapa bentuk diantaranya adalah
peer-to-peer lending, blockchain, aggregator dan uang elektronik. Tentunya mekaisme
yang diterapkan melalui platform digital ini akan berbeda dengan bisnis yang
dilakukan secara face-toface. Jurnal ini akan memfokuskan pembahasan pada
mekanisme uang elektronik yang akan ditinjau dari prespektif Syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme uang elektronik?
2. Apa saja akad-akad terdapat pada mekansime uang elektronik?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori
1. Praktik Bisnis yang Diperbolehkan dalam Islam
Dalam Islam diketahui bila hukum kegiatan muamalah adalah diperbolehkan
(mubah) kecuali ada nash yang melarang, sehingga dapat diartikan bahwa semua
praktik bisnis boleh dijlanakan selama tidak ada ayat yang secara jelas
melarangnya. Akan tetapi, dalam menjalankan usahanya seorang muslim perlu
menggunakan cara khusus sebab ada aturan yang perlu diikuti agar tetap
mendapatkan ridha Allah Swt. baik di dunia maupun di akhirat. Ada beberapa
praktik bisnis yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
a. Titipan (Wadiah)
Bank Indonesia dalam Gulo (2013) menjelaskan jika wadiah
merupakan akad penitipan barang atau aset yang dilakukan antara pihak
yang memiliki barang atau aset dengan pihak yang diberikan kepercayaan
untuk menjaga barang atau aset tersebut. Barang atau aset yang dititipkan
dapat berupa uang, dokumen seperti surat berharga, atau barang berharga
lainnya. Ascarya (2008) menyatakan bahwa wadiah awalnya muncul
dalam bentuk yad al-amanah yang setelah berjalannya waktu berkembang
dan melahirkan bentuk baru yaitu yad-dhamanah.
Pihak penyimpan atau pihak yang menerima kepercayaan dalam
wadiah yad al-amanah akan mendapatkan biaya atas jasa penitipan yang
dilakukan sebagai bentuk kompensasi, akan tetapi mereka tidak
mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab bila terjadi kecacatan
barang atau aset dalam masa penitipan, dengan cacatan jika kejadian
tersebut terjadi bukan karena kelalaian dari pihak penyimpan. Kemudian
yang membedakan dalam wadiah yad-dhamanah terletak pada izin yang
pihak penyimpan dapatkan dari pihak pemilik barang untuk
mempergunakan barang atau aset tersebut dalam mencari keuntungan.
Keuntungan yang didapatkan nantinya akan didsitribusikan di antara
pihak penyimpan dan pihak pemilik barang, begitu juga dengan kerugian
yang mungkin akan terjadi.
b. Bagi Hasil (Syirkah)
Menurut Hanafiah dalam Hasanuddin dan Mubarok (2016), syirkah
secara istilah merupakan penggabungan harta yang kemudian dapat
dijadikan sebagai modal dan keuntungan serta kerugiannya akan dibagi
bersama. Terdapat banyak jenis syirkah, di antaranya adalah musyarakah
dan mudharabah.
Akad musyarakah adalah akad bagi hasil yang dapat dilakukan oleh
dua pemilik modal atau lebih untuk bekerja sama dalam menjalankan
sebuah usaha, membiayai investasi usaha baru, atau usaha yang sudah
berjalan. Setiap pihak membuat kesepakatan untuk membagi peran dalam
mengelola kegiatan usahanya. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan
akan didistribusikan boleh berdasarkan proporsi modal yang disertakan
atau kesepakatan yang telah ditentukan.
Sementara mudharabah merupakan penyerahan modal kepada orang
lain yang sedang menjalankan usahanya dan membutuhkan modal.
Pemilik modal yang biasa disebut sebagai shahibul maal akan
memberikan dananya kepada pelaku usaha yang bisa disebut sebagai
mudharib atau pengelola modal. Keuntungan yang dihasilkan akan
didistribusi sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan, apabila
terjadi kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian dari mudharib
maka akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, namun apabila
kerugian terbukti terjadi karena kelalaian mudharib maka pelaku usaha
yang akan menanggungnya.
c. Jual Beli (Tijarah)
Salah satu kegiatan bisnis yang sudah berjalan cukup lama dan sering
dilakukan di tengah masyarakat adalah jual beli. Dalam Islam sendiri
terdapat beberapa jenis jual beli yang boleh dipraktikkan, di antaranya
adalah murabahah, salam, dan istishna. Praktik bisnis yang menggunakan
akad murabahah harus diawali dengan penjual memberitahu harga barang
bersamaan dengan penetapan margin keuntungannya. Sedangkan untuk
akad salam, dilakukan dengan memesan barang dan membayar sesuai
dengan harga yang telah ditentukan secara bersama, yang membedakan
antara salam dan murabahah terletak pada barangnya yang masih berada
dalam proses pembuatan serta harga barang yang harus dilunaskan begitu
akad telah disetujui. Kemudian istishna bisa diartikan sebagai sebuah
permintaan untuk mengerjakan sesuatu atau pembeli akan memesan
barang dengan kriteria tertentu, kedua belah pihak kemudian membuat
kesepakatan akan harga dan sistem pembayarannya, apakah akan dicicl,
dibayar di muka, atau ditunda sampai masa yang akan datang.
d. Sewa (Ijarah)
Solihhah (2014) menjelaskan bahwa Ijarah adalah akad pengambilan
manfaat jasa, baik jasa atas barang maupun jasa atas tenaga kerja. Akan
disebut sewa menyewa bila diambil pemanfaatan atas barang dan disebut
sebagai upah mengupah jika dilakukan pemanfaatan atas tenaga kerja.
Ijarah juga bisa disebut sebagai akad pemindahan hak guna terhadap
barang atau jasa tanpa diikuti dengan bergantinya hak kepemilikan
melalui pembayaran upah sewa. Selain itu, ada ijarah muntahiyah bit-
tamlik (IMBT) atau gabungan dari sewa menyewa dengan jual beli atau
sewa menyewa yang hak kepemilikannya akan berpinah tangan di akhir
akad perjanjian.
2. Praktik Bisnis yang Dilarang dalam Islam
Seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan kesulitan atau masalah dilarang
dalam islam. Suatu bisnis yang melakukan konsumsi yang tidak halal, melanggar
atau merampas hak dan kekayaan orang lain merupakan dari bisnis yang tidak
dihalalkan. Praktik bisnis atau jual beli yang dapat dilakukan oleh setiap manusia
telah ditetapkan batasanya dalam ajaran islam. Oleh karena itu, islam
memberikan kategorisasi halal (bisnis yang diperbolehkan) dan Haram (bisnis
yang dilarang). Adapun untuk praktik bisnis yang dilarang di dalam Islam antara
lain:
a. Bai Najasy
An-najasy secara bahasa memiliki arti Al-Itsarah yang memiliki arti
menggerakan. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa Najasy memiliki
arti sebagai seseorang datang bertemu penjual yang meghadapi pembeli
yang hendak melakukan pembelian atas barang tersebut, dan melakukan
penawaran atas barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi, meski
pada kenyataannya tidak ada maksud untuk membeli barang tersebut
namun hanya ingin menggerakan kemauan pembeli atas barang tersebut.
Sedangkan Imam As-Syafi’i menyatakan bahwa Najasy memiliki arti
sebagai orang yang melakukan kesengajaan atas penawaran harga beli
yang lebih tinggi sementara itu seseorang tersebut tidak memiliki niat
untuk membeli.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Najasy memiliki pengertian
sebagai seseorang yang melakukan penawaran atas suatu barang tanpa
memiliki niat untuk benar-benar membelinya dengan tujuan menarik
pembeli lain untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Berikut
ini adalah contoh praktik najasy:
b. Monopoli
Bisnis Syariah dalam kegiatan ekonominya menggunakan konsep
kebebasan yang memberikan kebebasan pada kelancaran keluar masuknya
barang. Bisnis syariah melarang adanya praktik-praktik monopoli, riba·,
dan kecurangan, meskipun engan adanya kebebasan yang proporsional.
Melegitimasi monopoli dan oligopoly merupakan salah satu dari
keburukan sistem ekonomi kapitalis.
Dalam Islam diajarkan bahwa semua menusia diperbolehkan untuk
berbisnis, namun monopoli sendiri tidak diperbolehkan. Kegiatan
monopoli (bisnis dengan penjual tunggal) tidak dipermasalahkan selama
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih penjual tidak melakukan
ikhtikar (penimbunan) barang atau dalam istilah ekonominya disebut
monopolys rent. Larangan praktik dalam ajaran Islam seperti demikian
dilakukan agar manusia tetap selalu mengamalkan aturan agama dalam
setiap kegiatan bisnisnya sehingga selalu berada pada jalan yang baik.
c. Ihtikar
Proses penimbunan barang guna mengharap mendapat harga yang
tinggi dikemudian hari merupakan pengertian dari Ihtikar. Dalam berbisnis
Syariah, Ihtikar dilarang sebab dapat merugikan bagi banyak orang.
Seseorang pelaku bisnis muslim yang melakukan penimbunan harta benda
merupakan manusia yang tidak mengetahui tujuan utama dari mencari
harta. Dalam Agama Islam telah diatur tentang bagaimana memperoleh
harta dengan halal. Mencari harta dengan cara halal yaitu dalam prosesnya
senantiasa dengan niat, dan sarana yang sesuai dengan syariat.
d. Menjual Barang Haram
Menjual suatu barang harus tergolong dalam barang yang halal untuk
digunakan atau dikonsumsi dan juga memiliki manfaat bagi orang lain.
Agar dapat digolongkan sebagai barang yang diperbolehkan untuk dijual,
maka setidaknya barang tersebut hasil suci dan bersih dari najis, memliki
kegunaan dan halal. Dengan meraih keuntungan yang besar namun
berharap dengan modal yang sekecil mungkin, banyak cara yang dilakukan
tanpa melihat kehalalan cara tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
Padahal Islam melarang pelaku bisnis menghalalkan segala cara untuk
meraih rizki.
Allah telah menegaskan dalam Al-Quran Surah An-Nahl ayat 115 dibawah
ini;

Source: tafsirweb.com

e. Tadlis
Secara garis besar, tadlis memiliki arti yaitu menyembunyikan aib pada
barang yang dijual sehingga pembeli tidak mengetahuinya dan dapat
menyebabkan nilai akan suatu barang berkurang namun harga barang yang
dijual dapat dinaikkan atau berada setara dengan harga pasar. (Taufiq,
2016). Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa tadlis adalah suatu
transaksi yang memiliki suatu hal utama yang tidak diketahui oleh pihak
lain yang terlibat dalam transaksi tersebut atau biasanya disebut sebagai
konsep “unknown to one part.”
Sedangkan dalam islam, dalam melakukan suatu transaksi harus
didasarkan prinsip kerelaan diantara seluruh pihak yang terlibat. Sehingga
untuk mendukung prinsip tersebut, seluruh pihak yang terlibat harus
memiliki informasi yang lengkap dan sama atas transaksi yang akan
dilakukan agar menghindari terjadinya kecurangan, penipuan, dan lain lain
yang dapat menyebabkan kerugian atas pihak yang terlibat.
Tadlis sendiri memiliki 4 jenis dalam terjadinya transaksi jual-beli,
diantaranya tadlis dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu
penyerahannya.
3. Unsur-unsur yang Dilarang dalam Bisnis Islam
a. Riba
Riba fadl (jual beli) adalah lebihan atau kelebihan yang didapatkan
melalui proses transaksi atau tukar-menukar barang. Riba juga berkaitan
dalam proses penetapan harga suatu barang, apabila penjual menetapkan
harga yang terlalu tinggi mengakibatkan pembeli tidak memiliki keinginan
aau kerelaan untuk melakukan pembayaran atas barang dengan harga
tersebut. Sehingga diharuskan terdapat sebuah kesepakatan antara penjual
dengan pembeli dalam penentuan harga atas dasar suka sama suka dan
dilakukan secara baik. Dalam melakukan penentuan harga seorang penjual
harus memberikan sikap toleran dengan tetap menghormati pembeli. Riba
sangat diaggap perilaku tercela dalam agama Islam seperti yang
disebutkan di dalam hadits berikut ini:

Source: akurat.co.id
b. Gharar
Transaksi Jual-beli barang yang masih samar-samar merupakan Jual
beli gharar. Praktik Gharar pada akad memiliki transaksi yang dilakukan
namun belum memiliki kejelasan dan mengandung unsur penipuan karena
barang yang diperjual-belikan masih belum jelas wujudnya, dalam contoh
kasusnya seperti melakukan penjualan atas anak sapi yang masih berada di
dalam kandungan induknya. Abu Hurairah dalam haditsnya
menyampaikan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual
beli al-hashah dan jual beli gharar”. Dan Allah melarangmemakan harta
orang dengan cara yang batil seperti yang disebutkan dalam surah Al-
Maidah / 5:90

Source: tafsirweb.com

c. Maysir
Kegiatan maysir tidak diperbolehkan dalam kegiatan muamalah atau
bisnis Syariah. Maysir sendiri memiliki arti sebagai suatu kegiatan dimana
usaha untuk mendapatkan sesuatu/ keuntungan dengan mundah cenderung
bersifat instan dan terdapat unsur judi atau taruhan di dalamnya. Dasar
hukum maysir tertulis di dalam Alquran Surah Al Maidah ayat 91 dan
Surah Al Baqarah ayat 219.
4. Uang Elektronik
Uang elektronik merupakan suatu alat pembayaran dimana penerbit
melakukan penerbitan berasarkan nilai uang yang telah dilakukan penyetoran
lebih dulu oleh pemegang uang eletronik kepada penerbit, dimana yang nilai uang
tersebut disimpan secara elektronik di dalam suatu media berbentuk server atau
chip dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksi yang dilakukan
dengan penjual yang bukan penerbit dari uang elektronik tersebut.
Berikut ini adalah beberapa contoh uang elektronik yang ada di Indonesia
adalah GOPAY, OVO, DANA, ShopeePay, LinkAja, dan lain-lain. Beberapa
aplikasi diatas sudah berkembang dengan pesat dan memiliki pengguna yang
cukup banyak. Sehingga aplikasi tersebut sudah cukup populer di kalangan
pengguna pembayaran elektronik.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Agustin
(2016) mengartikan deskriptif kualitatif sebagai penelitian yang dipergunakan untuk
menggambarkan peristiwa yang tengah terjadi. Sedangkan bagi Anggito dan Setiawan
(2018:8), penelitian kualitatif sendiri merupakan teknik untuk mengumpulkan data
terhadap suatu latar alamiah dengan tujuan menerangkan suatu peristiwa yang tengah
terjadi. Penelitian kualitatif juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang hasilnya
tidak ditemukan dari prosedur statistik maupun metode kuantitatif lainnya, melainkan
dengan dengan menganalisis dan menerjemahkan data yang telah dikumpulkan.
Penelitian ini memakai jenis penelitian deskriptif atau sebuah metode yang
memiliki fungsi untuk menafsirkan atau memberikan sebuah paparan terhadap objek
penelitian menggunakan data yang dikumpulkan sebagaimana adanya sebelum
melakukan analisis dan membuat kesimpulan secara umum. (Sugiyono, 2011:29)
B. Sumber Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder atau data
yang diperoleh kemudian digabungkan dengan penelitian sebelumnya atau yang telah
diterbitkan oleh instansi lain, biasanya dari sumber tidak langsung seperti data
dokumentasi. (Situmorang, Muda, Doli, & Fadli, 2010)
Widoyoko dalam Anggito dan Setiawan (2018) mengungkapkan bahwa dalam
melakukan analisis dokumen, peneliti diminta menganalisis buku, peraturan, notulen
rapat, dan sebagainya.
C. Teknik Analisis Data
Agusta (2001) menjelaskan bila dalam menggunakan metode penelitian
kualitatif, terdapat tiga langkah dalam melakukan analisis data, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I. (2003). Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi. Litbang Pertanian, Bogor, 27.
Agustin, R. D. (2016). Kemampuan penalaran matematika mahasiswa melalui pendekatan
problem solving. PEDAGOGIA: Jurnal Pendidikan, 5(2), 179-188.
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: Jejak
Publisher.
Ariyadi. (2018). Bisnis Dalam Islam. Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 5 Issue 1, June
2018, Page 13-26.
Fatimah, S. (2016). Analisis Praktek Tadlis pada Masyarakat Kota Makassar (Studi Lapangan
Pedagang Buahan-Buahan di Kota Makassar). Jurnal Ilmiah Bongaya, 218-235.
Gulo, M. V. (2013). Wadiah VS Ju’alah Pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Jurnal
Akuntansi AKUNESA, 2(1).
Hasanuddin, H. M., & Mubarok, H. J. (2018). Perkembangan akad musyarakah. Jakarta:
Prenada Media.
HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab: Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar,
1513.
HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim, no. 4132.
Kurniawan, A. (2017). Muamalah bisnis perdagangan syariah. Justitia Jurnal Hukum, 1(1).
Putri, N. U. (2010). Kasus Najasy di Pasar Cik Puan Pekanbaru dan Relevansinya dengan
Pemikiran Ibnu Qudamah (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau).
Situmorang, S. H., Muda, I., Doli, M., & Fadli, F. S. (2010). Analisis data untuk riset
manajemen dan bisnis. USUpress.
Solihah, A. M. A. (2014). Penerapan Akad Ijarah pada Pembiayaan Multijasa dalam
Perspektif Hukum Islam. Az Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam, 6(1).
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Syaifullah, MS. (2007). Perdagangan Terlarang Menurut Islam Dalam Tinjauan Maqashid
Al-Syari’ah. Jurnal Hunafa Vol. 4 No. 3, September 2007:217-226.
Taufiq, T. (2017). TADLIS MERUSAK PRINSIP’ANTARADHIN DALAM
TRANSAKSI. JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 15(1), 1-10.

Anda mungkin juga menyukai