Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

PERAN PEMBIAYAAN MUDARABAH TERHADAP


PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT

OLEH:
DEDE SAEPULAH
2020620204003

JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM RIYADOTUL MUJAHIDIN
2022
PERAN PEMBIAYAAN MUDARABAH TERHADAP
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT

Abstrak
Kesejahteraan merupakan sektor yang paling banyak terdapat pada masyarakat luas,
tetapi masih banyaknya pelaku usaha mikro kekurangan permodalan dalam menjalankan
usahanya sehingga kurang mampu meningkatkan volume penjualan dari usaha yang dimiliki
yang berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan yang diperoleh. Mudharabah adalah akad
niaga yang diperbolehkan dalam Islam dan isinya besar manfaat bagi manusia. Akad
mudharabah merupakan akad kerja sama yang sangat membantu dalam memberdayakan
ekonomi masyarakat. Peran mudharabah dalam pembangunan ekonomi syariah sangat besar
penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan ekonomi umat. Mudharabah
akan mengkorelasikan orang yang kelebihan harta dengan orang yang kekurangan dasar untuk
mencapai kesejahteraan manusia (al falah) melalui penataan alam sumber daya yang didasarkan
pada kerjasama dan partisipasi.

Abstract
Welfare is the sector that is most widely available in the wider community, but there are
still many micro-entrepreneurs who lack capital in running their businesses so that they are
unable to increase the sales volume of the business they own which results in welfare and income
earned. Mudharabah is a commercial contract that is permissible in Islam and its contents are of
great benefit to humans. Mudharabah contract is a cooperation contract that is very helpful in
financing the community. The role of mudharabah in the development of the Islamic economy is
very important in increasing the welfare and equitable distribution of the people's economy.
Mudharabah will correlate people who have wealth with people who lack the basics to achieve
human welfare (al falah) through the arrangement of natural resources that are intertwined in
cooperation and participation.
Pendahuluan
Persoalan ekonomi merupakan suatu kajian yang selalu diperbincangkan di seluruh
dunia. Banyak negara yang ada didunia ini melakukan pendekatan ekonomi konvensional
(kapitalis dan sosialis) dalam memenuhi kepentingan pribadivdengan pendekatan lebih
berkembang di dunia barat. Untuk itu sistem ekonomi Islam hadir sebagai solusi dan merupakan
salah satu pendekatan sistem ekonomi dalam pembentukan perekonomian masyarakat 1. Ekonomi
Islam sebagai suatu alternatif dalam kegiatan bermuamalah di bidang ekonomi mewajibkan umat
muslim untuk bertransaksi secara halal dan menghindari sistem riba dan gharar yang menjadi
hambatan psikologis bagi umat Islam. BMT merupakan lembaga keuangan mikro Islam nonbank
yang memiliki peran secara langsung bersentuhan dengan kesejahteraan perekonomian
masyarakat pada umumnya dan kesejahteraan perekenomian anggota pada khususnya, dimana
BMT melalui pembiayaannya dapat meminimalkan kegiatan spekulasi dalam usaha dan
memaksimalkan kemampuan masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaanpembiayaan
yang dilakukan sesuai dengan produk-produk yang ditawarkan pada tiap-tiap BMT yang ada2
BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang menggunakan prinsip syariah dan
berlandaskan ajaran Islam. Secara etimologis Baitul Maal wat Tamwil terdiri dari dua arti yakni
Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah
pembiayaan”. I Gde Kajeng (2013)3 menjelaskan rumah uang dalam artian ini adalah
pengumpulan dana yang berasal dari zakat, infaq, ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang
dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi hasil, yang berbeda dengan sistem perbankan
konvensional yang mendasarkan pada sistem bunga. Bunga merupakan riba yang dibenci Allah
SWT. Firman Allah SWT QS. al-Baqarah [2]: 275 4 “Dan Aku halalkan bagimu jual beli, dan
Aku haramkan bagimu riba…”. Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dengan kegiatan
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan
ekonomi pengusaha kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonominya. Disamping kegiatan menabung, BMT juga menerima transaksi titipan
1
Deti, S. (2017). Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pembiayaan Mikro Syariah. El-Jizya: Jurnal Ekonomi
Islam, 5(1), 141-176.
2
Fitria, E. N., & Qulub, A. S. U. (2019). Peran Bmt dalam Pemberdayaan Ekonomi (Studi Kasus pada Pembiayaan
Bmt Padi Bersinar Utama Surabaya). Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan, 6(11), hal 2303
3
Bagaskara, I. G. K. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol.18(2), 114–125,
2013
4
Al-Quran dan Terjemahan, Al-Quran Tajwid dan Terjemah, Bandung:Diponegoro, 2010
zakat, infaq dan sedekah sekaligus menyalurkan transaksi tersebut kepada yang berhak
menerimanya.5
Berdirinya BMT memiliki tujuan untuk merubah dan membangun perekonomian umat
menuju kemandirian ekonomi dalam rangka mencapai ridha Allah SWT serta memberikan
layanan dan solusi terbaik dalam hal penghimpunan dana, pembiayaan, pembinaan,
pendampingan dan pengembangan ekonomi umat secara amanah dan profesional6 Dengan
adanya BMT Hasanah diharapkan sebagai suatu solusi umat dan kepedulian masyarakat Islam
untuk memberdayakan ekonomi masyarakat di sekitar BMT Hasanah. Salah satunya pembiayaan
mudarabah dimana pembiayaan mudarabah merupakan akad kerja sama yang sangat membantu
nasabah dalam memberdayakan ekonominya. Dengan adanya pembiayaan mudarabah ini usaha
nasabah semakin berkembang dan pendapatan yang dihasilkan pun semakin bertambah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas peran pembiayaan mudarabah
dengan pemberdayaan ekonomi umat

Pembahasan

Pengertian Akad Mudarabah


Kata Mudarabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha7. Akad Mudarabah adalah merupakan akad kerjasama antara pemilik dana
(sahib al-mal) dengan pengelola dana (mudarib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah
bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan.8
Secara teknis, al-mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana
pihak pertama (sahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, seangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian
tersebut9
5
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT) (Yogyakarta: UII Press,2004),126-127
6
Zaenul Arifin, Memahami Bank Syariah Lingkup, Peluang, Tantangan Dan Prospek (Jakarta: Alva Bet, 2000), 134
7
Nurul Huda, Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis Dan Praktis (Jakarta: PRENADA
MEDIA GROUP, 2010), 71
8
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,2008), 265
9
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2001), 95
Rukun dan Syarat Mudarabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad Mudarabah adalah:
- Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
Dalam akad Mudarabah harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama sebagai
pemilik modal (sahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha
(mudarib). Tanpa kedua pelaku ini, maka akad Mudarabah tidak ada
- Objek
Objek Mudarabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh
para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek Mudarabah,
sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek Mudarabah. Modal
yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill,
management skill, dan lain-lain. Tanpa kedua objek ini, akad Mudarabah pun tidak akan
ada.
Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal Mudarabah berbentuk barang. Ia
harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan
mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal Mudarabah. Namun para ulama
Mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudarib dan sahib al-mal. Yang jelas tidak boleh adalah
modal Mudarabah yang belum disetor. Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya
mudarabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti sahib al-mal tidak
memberika kontribusi apapun padahal Mudarabah telah bekerja. Para Ulama syafi’i dan
Maliki melarang hal itu karena merusak syahnya akad.
- Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
Faktor ketiga, yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari
prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Dari sini kedua belah pihak harus sama-
sama rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudarabah. Si pemilik setuju
dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pengelola usaha setuju
dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja10.

10
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), 181-182
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memerhatikan hal-hal
berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern11
- Nisbah Keuntungan
Faktor yang keempat yakni nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudarabah,
yang tidak ada pada jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima
oleh kedua belah pihak yang bermudarabah. Mudarib mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan sahib al-mal mendapat modal atas penyertaan modalnya. Nisbah
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya penyelisihan antara kedua belah pihak
mengenai cara pembagian keuntungan12

Konsep Mudarabah
Kata Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Makna
memukul atau berjalan ini lebih tepat secara istilah diartikan sebagai seseorang yang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.13 Mudharabah adalah akad yang telah dikenal
oleh umat muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa arab sebelum
turunnya islam. Secara global dapat diartikan bahwa pengertian mudharabah adalah kerjasama
usaha antara dua pihak, pihak pertama merupakan pemilik dana (shahibul maal) yang
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang telah dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila mengalami rugi, kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik dana selama kerugian
tersebut tidak disebabkan oleh kelalaian pengelola dana14

11
Nurul Huda, Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis Dan Praktis (Jakarta: PRENADA
MEDIA GROUP, 2010), 75
12
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, 182
13
R.A.Y Prasetya dan S. Herianungrum, “Peranan Baitul Maal Wat Tamwil Meningkatkan Usaha Mikro Melalui
Pembiayaan Mudharabah” dalam Jurnal Syarikah, vol. 2, hal. 255
14
Syafi’I, Muhammad Antonio. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Depok: Gema Insani. 2009.
Landasan hukum yang menjelaskan tentang pembiayaanMudharabah. Firman Allah
SWT, dalam QS Al-Muzzamil ayat 20:

Artinya: “… dan orang-orang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah …”
(QS. Al-Muzzammil ayat 20)
Berikut skema dari pembiayaan Mudarabah:

Skema pembiayaan mudharabah diatas menjelaskan bahwa pembiayaan mudharabah


merupakan pembiayaan bagi hasil dimana pihak shahibul maal (BMT) memberi seluruh modal
sebesar 100% yang diberikan kepada mudharib (nasabah) yang mempunyai keahlian untuk
mengelola suatu proyek atau usaha, Dalam pelaksanaanya kedua belah pihak melakukan
perjanjian atau akad berdasarkan kesepakatan bersama termasuk pembagian nisbah bagi hasil. Di
dalam pembiayaan mudharabah, apabila proyek atau usaha yang dijalankan mengalami
keuntungan maka kedua belah pihak mendapat bagi hasil, namun jika terjadi kerugian maka yang
menanggung adalah shahibul maal dengan catatan bahwa kerugian yang terjadi bukan
merupakan kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan oleh mudharib.

Peran Mudaharabah Sebagai Akad Kerjasama Dalam Pengembangan Ekonomi Syari’ah


Mudharabah mempunyai keistimewaan dibanding akad-akad lainnya yang dikenal dalam
Islam, yaitu memotivasi pihak pengelola untuk berusaha keras agar memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya, karena hasil yang akan diperoleh akan tergantung jumlah keuntungan
yang diusahakannya. Hal ini berbeda dengan akad lain seperti akad Qordh (pinjaman), atau
Ijarah (upah) yang tidak membebani peminjam atau yang diberi upah untuk memperoleh
keuntungan besar. Salah satu prinsip syari’at adalah menghindari al-Iktinaz, yaitu menahan uang
(dana) dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran surat At-Taubah (9)
ayat 34 : “….Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah lepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih”15
Mudharabah adalah akad kerjasama yang dapat menjembatani dua pihak yang sama-sama
tidak dapat memberdayakan potensi yang dimilikinya kecuali melakukan kerjasama, yaitu pihak
yang memiliki kelebihan dana (surplus of fouds) tapi tidak dapat menggolangkannya karena
memiliki keterbatasan dalam mengelolanya, dah pihak yang memiliki keahlian dan keleluasaan
waktu dalam berusaha tapi tidak memiliki modal. Dengan kerjasama ini maka tidak akan terjadi
dana idle (menganggur) yang tidak diberdayakan, sebaliknya akan muncul prodiktifitas dan
pengoptimalisasian potensi yang dimiliki pihak yang memeliki jiwa interpreneurship yang
memerlukan dana (lack of fouds) untuk memberdayakan dan mengembangkan potensinya.
Sementara itu Mudharabah pada bank Islam adalah suatu sistem pendanaan operasional
realitas bisnis, memberikan kontribusi dalam mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu mudharabah termasuk katagori bekerja yang merupakan salah satu sebab
mendapatkan hasil / kepemilikan yang sah menurut syara’. 16 Nilai positif lain yang terkandung
dalam akad mudharabah adalah persamaan yang adil di antara pemilik modal dan pengelola,
serta adanya tanggung jawab yang berani dalam memikul risiko. Islam tidak memimak kepada
kepentingan pengusaha (interpreneur) dan mengalahkan pemilik modal, Islam juga tidak berat
kepada pemilik modal sehingga menyepelekan kontribusi usaha. Keduanya berada dalam posisi
seimbang. Inilah pengertian keadilan menurut Islam,17
Dengan demikian mudharabah mempunyai peran penting dalam pemberdayaan ekonomi
Islam atau ekonomi syari’ah yang didefinisikan oleh para sarjana muslim dengan berbagai
ragam. Definisi ekonomi syariah yang dibuat para ahli tersebut menekankan pada karakter

15
Bachtiar Surin, Op-Cit, hlm. 769
16
Habib Nazir, Op-Cit, hlm 389
17
Yusuf al-Qardhawi, Op-Cit, hlm. 52
komprehensif tentang subyek dan didasarkan atas nilai moral Islam yang universal. 18 Sementara
itu sistem ekonomi Islam itu sendiri menurut Amin Aziz adalah sistem ekonomi yang kebijakan-
kebijakan atau keputusan-keputusannya dipengaruhi atau dilandasi oleh syariah Islam19.
Secara filosofis, ekonomi syariah dilandaskan pada asas ketuhanan (tauhid), yaitu adanya
hubungan dari aktivitas ekonomi, tidak saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan
sebagai pencipta. Dari landasan tauhid ini timbul prinsip-prinsip dasar bangunan kerangka sosial,
hukum, dan tingkah laku, yang di antaranya adalah prinsip khilafah, keadilan (‘adalah), kenabian
(nubuwwah), persaudaraan (ukhuwwah), kebebasan yang bertanggung jawab (Al huriyah wal
mas’uliyyah). Selain itu, ada nilai-nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama
ekonomi, jaminan sosial, dan peran negara.20 Menurut Rahmat Syafei’i, Islam tidak mengekang
berbagai praktik perekonomian umatnya, atau melarang umatnya untuk kaya, pada prinsipnya
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk hidup makmur, bahkan Nabi Muhammad
menyatakan bahwa seorang mukmin yang kuat dalam ilmu, kekayaan, dan lain-lain lebih dicintai
oleh Allah SWT daripada seorang mu’min yang lemah.
Dengan demikian dalam prinsip-prinsip ekonomi Islam, terkandung makna bahwa Islam
menghendaki produktivitas. Oleh karenanya Islam memberikan apresiasi, insentif, baik insentif
moral maupun insentif ekonomi terhadap usaha-usaha yang produktif. Islam menghargai human
resources yang menghendaki kualitas, baik aspek profesi maupun aspek moralnya. Untuk itulah
prinsip perolehan keuntungan atau laba dalam Islam didasarkan pada adanya „prestasi“ berupa
kerja (kasab), jasa atau keahlian, tanggung jawab, dan risiko yang ditanggung. Islam tidak
membolehkan seorang memperoleh keuntungan hanya atas dasar penundaan waktu sebagaimana
pada akad pinjam meminjam, tanpa adanya kesediaan mengambil risiko yang ditanggung.
Motivasi untuk berusaha secara produktif, memiliki entrepreneurship dalam bentuk kerja yang
halal, tidak membenarkan adanya sumber yang tidak termanfaatkan dengan baik (idle), melarang
segala bentuk penimbunan (hording) adalah hal-hal yang mendorong manusia melakukan
kerjasama satu sama lain dalam bidang ekonomi. Dan mudharabah adalah akan yang tepat untuk
tujuan-tujuan tersebut.

18
Juhaya S. Praja, Pengantar Kuliah Ekonomi Syariah dan Perbankan, Program Pasca Sarjana Unisba, 2006 , hal. 1
19
Amin Aziz, Tantangan, Prospek dan Strategi Sistem Perekonomian Syariah di Indonesia Dilihat dari Pengalaman
pengembangan BMT, PINBUK, Jakarta, 1996, hal. 2.
20
Law Office of Remy & Darus Naskah Akademik Rencana Undang – undang tentang Perbankan Syariah Jakarta,
Oktober 2002, hal. 60
Mudharabah merupakan instrumen keuangan yang strategis dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak, disamping memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan meratakan peningkatan
pendapatan yang didasarkan pada prestasi. Pihak mudharib bekerja mengelola modal, sedangkan
pihak shahibul mal (pemilik dana) mempertaruhkan keberaniannya mengambil risiko atas
kegiatan usaha yang disepakatinya dengan mudharib. Dan atas risiko itulah pihak shahibul mal
berhak mendapatkan keuntungan berupa bagi hasil dari usaha yang dijalankan mudharib. Dengan
peran yang demikian, maka mudharabah sebagai salah satu instrumen keuangan harus
dioptimalkan penerapannya baik secara individu maupun di lembaga keuangan syari’ah. Hal ini
dapat dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat, disamping
penyempurnaan regulasi yang terus menerusi oleh pemerintah maupun peran serta dari pihak
terkait lainnya.

Pelaksanaan atau Operasional Pembiayaan Mudharabah


Menurut penjelasan Fatwa DSN MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 bahwa standar
kesyariahan pembiayaan mudharabah dapat disimpulkan menjadi:21
- Usaha atau proyek yang dijalankan antara shahibul maal dan mudharib adalah suatu
usaha yang produktif. Produktif artinyamampu memberi hasil atau manfaat dalam jumlah
besar bagi semua unsur yang terlibat dalam suatu usaha. Serta usaha yang dijalankan
tidak melanggar ketentuan ajaran Islam.
- Usaha yang dijalankan merupakan hasil keputusan dan telah disepakati bersama antara
shahibul maal dan mudharib.
- Segala bentuk perjanjian dan kesepakatan tertuang dalam bentuk tersirat dan tersurat
sehingga ada bukti yang konkrit.
- Sahibul maal sebagai penyedian dana harus menyerahkan dana kepada mudharib secara
tunai baik bertahapa atau tidak dan bukan dalam bentu piutang.
- Apabila proyek atau usaha yang dijalankan shahibul maal dan mudharib mengalami
kerugian atau kebangkrutan dikarenakan kecuali penyimpangan yang dilakukan mudharib
ditanggung oleh shahibul maal.

21
Dewi, E. K., & Astari, A. (2018). Peran pembiayaan mudharabah dalam pengembangan kinerja usaha mikro pada
bmt (baitul maal wat tamwil). Law and justice, 2(2), hal 121.
- Nisbah bagi hasil berdasarkan profit sharing atau revenue sharing sesuai kesepakatan
antara shahibul maal dan mudharib.
- Pembiayaan tidak menggunakan jaminan karena berlandaskan kepercayaan. Tetapi agar
dapat meminimalisir penyimpangan yang dilakukan mudharib makan shaihibul maal
dapat meminta jaminan. Jaminan hanya dapat dicairkan apabilan mudharib terbukti
melakukan penyimpangan.
- Apabila terjadi perselisihan antara shahibul maal dan mudharib, maka penyelesaian
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah serelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.

Kesimpulan
Mudharabah adalah salah satu akad yang dibolehkan dalam Islam yang memiliki manfaat
besar dalam meningkatkan bukan hanya kesejahteraan individu, akan tetapi juga pemberdayaan
ekonomi masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syari’ah. Peran mudharabah dalam
memberdayakan ekonomi syari’ah terlihat dari karakteristiknya yang adil, seimbang, dan
menekankan pada prestasi baik berupa kerja maupun risiko yang ditanggung. Pembiayaan
mudharabah merupakan pembiayaan yang ideal serta merupakan pembiayaan primer di dalam
pembiayaan Islam, pembiayaan mudharabah dapat menggali, menyalurkan potensi dan
kreativitasnya yang ada dalam dirinya dalam menjalankan suatu usaha.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahan, (2010). Al-Quran Tajwid dan Terjemah, (Bandung:Diponegoro).

Adiwarman Karim. (2003). Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: IIIT Indonesia)

Adiwarman Karim. (2003). Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan. (Jakarta: IIIT Indonesia).

Amin Aziz, Tantangan. (1996). Prospek dan Strategi Sistem Perekonomian Syariah di Indonesia
Dilihat dari Pengalaman pengembangan BMT, PINBUK, Jakarta.

Bagaskara, I. G. K. (2013). Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Jurnal Buletin Studi


Ekonomi, Vol.18(2): 114–125.

Bachtiar Surin. (1987). Terjemah dan Tafsir al-Quran, Jilid I s/d Vi, Cet ke Satu, Angkasa,
Bandung.

Burhanuddin Susanto. (2008). Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press).

Deti, S. (2017). Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pembiayaan Mikro Syariah. El-Jizya:


Jurnal Ekonomi Islam, 5(1): 141-176.

Dewi, E. K., & Astari, A. (2018). Peran pembiayaan mudharabah dalam pengembangan kinerja
usaha mikro pada bmt (baitul maal wat tamwil). Law and justice, 2(2), 113-123.

Fitria, E. N., & Qulub, A. S. U. (2019). Peran Bmt dalam Pemberdayaan Ekonomi (Studi Kasus
pada Pembiayaan Bmt Padi Bersinar Utama Surabaya). Jurnal Ekonomi Syariah Teori
Dan Terapan, 6(11), 2303-2330.

Habib Nazir. (2004). Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Kaki Langit, Bandung.

Juhaya S. Praja. (2006). Pengantar Kuliah Ekonomi Syariah dan Perbankan, Program Pasca
Sarjana Unisba.
Law Office of Remy & Darus. (2002). Naskah Akademik Rencana Undang – undang tentang
Perbankan Syariah Jakarta,

Muhammad Ridwan. (2004). Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT) (Yogyakarta: UII
Press).

Muhammad Syafi’i Antonio. (2001). Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani
Press)

Nurul Huda, Muhammad Heykal. (2010). Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis Dan
Praktis (Jakarta: Prenada Media Group).

Prasetya, Renata Agung, and Sri Herianingrum. 2016. “Peranan Baitul Maal Wa Tamwil
Meningkatkan Usaha Mikro Melalui Pembiayaan Mudharabah.” Jurnal Syarikah : Jurnal
Ekonomi Islam 2(2): 252–67.

Syafi’I, Muhammad Antonio. (2009). Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Depok: Gema Insani.

Yusuf Qordhowi. (2000). Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Bunga Bank Haram, Alih
bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. Ke dua, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.

Zaenul Arifin. (2000). Memahami Bank Syariah Lingkup, Peluang, Tantangan Dan Prospek
(Jakarta: Alva Bet).

Anda mungkin juga menyukai