Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL PENELITIAN

Tinjauan Islam tentang Pengaruh Akad Mudharabah terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) di Desa Widang

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum

Dosen Pengampu: Dr. Nurul Huda, M.H.I

Disusun Oleh:

Moh Nur Hidayatullah (210401002)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembiayaan merupakan penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan
antara koperasi dan pihak lain yang wajib untuk mengembalikan uang atau tagihan setelah
jangka waku tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah memiliki perbedaan pada pembagian keuntungan. Jika
pembiayaan mudharabah, pihak bank 100% menyumbangkan modal, sedangkan pihak
nasabah hanya mengelola usaha saja. Pembagian keuntungan berdasarkan besar modal
yang disumbangkan. Jika pembiayaan musyarakah, pihak bank dan nasabah sama-sama
menyumbangkan modal dan mengelola usaha, biasanya sebesar 60% : 40%. Pembiayaan
yang diberikan kepada nasabah merupakan pembiayaan produktif. Pembiayaan produktif
merupakan pembiayaan yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti
luas, yaitu untuk meningkatkan usaha bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).1
UMKM merupakan unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha di semua sektor ekonomi, yang dipercaya mampu
memberikan retribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara
sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.2
UMKM terhadap pembangunan ekonomi berperan serta dalam meningkatkan
pendapatan negara, dan UMKM mampu menyerap banyak tenaga kerja, dan sebagainya.
Karena itu, dengan menyadari betapa pentingnya UMKM tidak mengherankan kenapa
pemerintah sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan memberikan
kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting, untuk mendukung perkembangan dan
pertumbuhan UMKM. Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
terbukti merupakan penggerak utama sektor riil yang berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah, jumlah UMKM pada tahun 2018 sebanyak 64.194.057 unit dengan terbagi
sebagai berikut 63.350.222 unit Usaha Mikro, 783.132 unit Usaha kecil dan 60.702 unit

1
Siti Fauziah, “Mudharabah dan Musyarakah Pengaruhnya Terhadap Lba Bersih BUS di Indonesia”, Jurnal
Islaminomic, Vol. 6, No. 2, (Agustus, 2015).
2
Tulus Tambunan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2012), hlm. 11.
Usaha Menengah. Jumlah UMKM pada tahun 2019 adalah sekitar 99,99 persen dari jumlah
total unit usaha yang ada, Unit-unit tersebut diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 96,71 persen.
Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2008 tentang usaha
mikro, kecil dan menengah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah perlu
diselelnggarakan secara menyeluruh, optimal dan berkesinambungan melalui
pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan,
perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan
kedudukan, peran, dan potensi UMKM dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan.3
Namun demikian perkembangan UMKM umumnya masih mengalami berbagai
masalah dan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, Masalah umum yang
hingga kini masih menjadi kendala dalam pengembangan usaha UMKM yang dihadapi
oleh pengusaha kecil dan menengah seperti, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran,
keterbatasan SDM, keterbatasan komunikasi, keterbatasan model investasi, keterbatasan
modal yang dimiliki dan sulitnya UMKM mengakses sumber permodalan. Sebelum
diberlakukannya Undang-Undang tentang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam
membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, Bank Indonesia dapat memberikan
bantuan keuangan kepada UMKM, yang dikenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). Namun setelah undang undang tersebut di atas diberlakukan peranan Bank
Indonesia dalam membantu usaha kecil menjadi bersifat tidak langsung dan lebih terfokus
kepada bantuan teknis serta pengembangan kelembagaan. Tugas pengelolaan kredit
program telah dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk Pemerintah, yaitu PT Bank
Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Tabungan Negara (BTN), dan PT Permodalan Nasional
Madani (PNM). Dalam hal ini, PT BRI berfungsi sebagai koordinator penyaluran skim
Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Kepada Koperasi (KKop) dan Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya - Tebu Rakyat (KKPA-TR), PT BTN sebagai koordinator
penyaluran skim Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit Pemilikan

3
Ibid, hlm. 13.
Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), sementara PT PNM sebagai koordinator penyaluran
skim kredit lainnya. Pengalihan tersebut mencakup pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program yang masih berjalan dan belum jatuh
tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik.4
Dari persoalan tersebut mendorong munculnya lembaga keuangan syariah
alternatif, yakni BMT. Salah satu lembaga pembiayaan yang menangani pendanaan
UMKM yaitu BMT (Baitul Maal Wattamwil). BMT saat ini sudah berkembang sangat
pesat, melalui BMT tersebut UMKM dapat mengembangkan usahanya melalui jasa
pembiayaan syari’ah sebagai alternatif yang lebih inovatif dalam jasa keuangan. Banyak
pengusaha yang menggunakan jasa pembiayaan syari’ah yang ada di BMT karena syarat
dan prosesnya mudah. BMT melakukan kegiatan pengembangan usaha produktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Lembaga
keuangan mikro syari’ah dalam hal ini, BMT memiliki pengembangan cukup besar dengan
adanya kebutuhan masyarakat dan dukungan kebijakan yang kuat. Baitul Mal at-Tamwil
(BMT) sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat, dalam artian didirikan dan
dikembangkan oleh masyarakat. Pada awal pendiriannya, biasanya dilakukan dengan
menggunakan sumber daya, termasuk dana atau modal dari masyarakat sendiri. Sejak awal
berdirinya, BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi, sehingga dapat disebut bahwa BMT
merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata memang
lebih fokus kepada masyarakat. BMT berupaya membantu pengembangan usaha mikro dan
usaha kecil, terutama bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha membantu
permodalan tersebut, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, terutama berasal dari
masyarakat lokal di sekitarnya.5
LSM Gempyta salah satu lembaga yang berfokus pada pembiayaan produktif
UMKM khususnya pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Dalam memberikan
pembiayaan mudharabah dan musyarakah LSM Gempyta cukup selektif karena nasabah
harus memenuhi beberapa persyaratan. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah dari
LSM Gempyta banyak dipilih nasabah untuk mengatasi masalah permodalan usaha,

4
Wahyudi, Analisis Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM, (2013).
5
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (2009), hlm. 82.
akadnya sesuai dengan syariah dan angsurannya tidak memberatkan. Pembiayaan
mudharabah dan musyarakah pada LSM Gempyta diharapkan dapat membantu masalah
permodalan sehingga UMKM dapat berkembang. Dalam Perkembangannya peran
lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM ini tentu ada yang berhasil maupun
tidak, maka dilakukan analisis peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM
tersebut. Berpijak pada konteks di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang
akan diangkat dalam analisis ini, Bagaimana peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM dan Kebijakan apa yang dapat mendukung pengembangan
UMKM.
BAB II
KERANGKA DASAR TOERI
A. Hukum Mudhorobah dalam Islam
1. Pengertian Mudhorobah

Istilah mudharabah dipakai oleh orang Irak, sementara orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh. Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah sebab. (‫كل من‬
‫(العقدين يضرب بسهم الربح‬Setiap yang mengerjakan akad bakal mempunyai bagian dari laba),
atau pengusaha mestinya menyedibakal perjalanan dalam mengusahbakal harta modal
tersebut. Perjalanan ‫ ضربا ىف السفر‬dinambakal tersebutDengan demikian istilah
mudharabah dan qiradh ialah dua istilah untuk maksud yang sama. Berdasarkan pendapat
bahasa mudharabah atau qiradh diambil dari kata(‫) القراض‬yang berarti ‫ )القطع‬potongan),
sebab yang mempunyai memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada
penguasa agar mengusahbakal harta tersebut, dan pengusaha bakal memberikan potongan
dari laba yang diperoleh.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mudharabah ialah suatu akad atau
perjanjian antara dua orang atau lebih, di mana pihak pertama memberikan modal usaha,
sementara pihak menyedibakal tenaga dan keahlian, dengan ketentuan dibagi diantara
mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.

Secara umum mudharabah dibagi menjadi du jenis:

a. mudharabah secara mutlak atau bebas. Yakni ialah format kerja sama antara
yang mempunyai modal dengan pengelola modal yang cakupannya sangant
luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, masa-masa dan wilayah atau
lokasi bisnis.
b. mudharabah terikat. Jenis ini ialah kebalikan dari mudharabah muthlaqah.
Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, Masa atau Lokasi
usaha.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami mudharabah terdapat unsur syirkah
atau kerja sama yakni kerja sama antara harta dengan tenaga. Selain itu juga
terdapat unsur syirkah (keyang mempunyaian bersama) dalam urusan
keuntungan. Namun bilamana terjadi kerugian tersebut ditanggung oleh yang
mempunyai modal, sementara pengelola tidak dibebani kerugian, karena ia
sudah rugi tenaga tanpa keuntungan.
2. Syarat-syarat Mudhorobah
Syarat-syarat Mudharabah diantaranya, Ialah:
a. Syarat yang berhubungan ‘aqid
1) Bahwa ‘aqid baik yang mempunyai modal maupun pengelola (mudharib)
mestinya orang yang mempunyai kemampuan untuk menyerahkan kuasa dan
melaksankan wakalah. Urusan ini diakibatkan mudharib mengerjakan tasarruf
atas perintah yang mempunyai modal, dan ini mengandung makna pemberian
kuasa.
2) ‘Aqidain tidak disyaratkan mestinya muslim. Dengan itu, mudharabah bisa
dilaksanakan antara muslim dengan dzimmi atau musta’man yang terdapat di
negeri islam.
3) ‘Aqidain disyaratkan mestinya cakap mengerjakan tasurruf. Oleh sebab itu,
mudharabah tidak sah dilaksanakan oleh anak yang masih dibawah umur, orang
gila atau orang yang dipaksa
b. Syarat yang berhubungan dengan modal
1) Modal mestinya berupa uang tunai. Bilamana modal berbentuk barang, baik
yang mobilitas maupun tidak, berdasarkan pendapat jumhur ulama
mudharabah tidak sah. Alasan jumhur ulama ialah bilamana modal
mudharabah berupa barang maka bakal ada unsur penipuan, karena dengan
demikian keuntungan menjadi tidak jelas ketika bakal dibagi, dan ini bakal
menjadi perdebatan diantara kedua belah pihak. tetapi, bilamana barang
tersebut dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk modal
mudharabah, berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad
hukumnya dibolehkan. Sementara berdasarkan pendapat madzahab Syafi’i
urusan tersebut tetap dibolehkan.
2) Modal mestinya jelas dan diketahui ukurannya. Bilamana modal tidak jelas
maka mudharabah tidak sah.
3) Modal mestinya ada dan tidak boleh berupa utang, tetapi tidak berarti mestinya
ada di majelis akad.
4) Modal mestinya diserahkan kepada pengelola, agar dapat dipakai untuk
kegiatan usaha. Urusan ini dikarenbakal modal tersebut ialah amanah yang
berada ditangan pengelola.
c. Syarat yang berhubungan dengan keuntungan
1) Keuntungan mestinya diketahui kadarnya: Destinasi diadakannya akad
mudharabah ialah untuk memperoleh keuntungan. Bilamana keuntungannya
tidak jelas bakal akibatnya akad mudharabah menjadi fasid. Bilamana
seseorang menyerahkan modal kepada pengelola sebesar 50.000.000 dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan, maka akad semacam ini
hukumnya sah, dan keuntungan dibagi rata sesuai dengan kesepakatan.
2) Keuntungan mestinya dimiliki bersama dengan pembagian secara persentase
seperti: 30% : 70%, 50% : 60% dan sebagainya. Bilamana keuntungan dibagi
dengan ketentuan yang pasti, seperti yang mempunyai medapat Rp.50.000.000
dan sisanya untuk pengelola, maka syarat tersebut tidak sah dalam
Mudharabah.
3. Rukun-rukun Mudhorobah
Para ulama bertolak belakang mengenai Rukun-Rukun mudharabah, diantaranya:
a) semua Ulama berasumsi bahwa rukun mudharabah terdapat tiga yakni:
1) ‘Aqidani, yakni yang mempunyai modal dan pengelola (mudharib)
2) Ma’qud ‘alaih, yakni modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
3) Shighat, yakni ijab dan qabul
b) Berdasarkan pendapat Ulama Hanafiyah bahwa rukun mudharabahialah ijab,
qabul, yakni lafadz yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunbakal
lafadz mudharabah, muqaradhah, muamalah serta lafadz- lafadz lain yang
artinya sama dengan lafadz- lafadz tersebut. Misalnya: yang mempunyai modal
berkata “saya investasi ke padamu dengan mudharabah, dengan peraturan
keuntungan yang diperoleh dibagi berdua dengan nisbah setengah, seperempat
atau sepertiga.
Adapun lafadz qabul yang digunakan oleh mudharib atau pengelola ialah
lafadz: saya ambil (‫) اخذت‬atau saya setuju (‫) رضيت‬atau saya terima (‫(قبلت‬dan
semacamnya. Bilamana ijab dan qabul sudah tepenuhi maka akad mudharabah
sudah sah.
c. Berdasarkan pendapat Ulama Syafi’iyah bahwa rukun mudharabah ada lima,
yakni:
a) Modal
b) Shighat
c) Aqidain (kedua orang yang akad).
d) Tenaga (pekerjaan)
e) Keuntungan ‘
4. Hukum Mudhorobah
Hukum mudharabah terbagi menjadi dua yakni:
a. Hukum Mudharabah Fasid
Beberapa urusan dalam mudharabah fasid yang yang mempunyai modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
1) Yang mempunyai modal menyerahkan syarat kepada pengusaha dalam
membeli, memasarkan atau mengambil barang.
2) Yang mempunyai modal menghruskan pengusaha untuk
bermusyawarah sampai-sampai pengusaha tidak bekerja kecuali atas
izin darinya
3) Yang mempunyai modal memberikan isyarat kepada pengusaha agar
mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau
barang lain miliknya.
b. Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah yang tergolong sahih

Tanggung jawab pengusaha : Bilamana pengusaha berhutang ia mempunyai


hak atas laba secara bersama-sama dengan yang mempunyai modal. Jika
mudharabah rusak karena beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha
menjadi pedagang sehingga ia pun mempunyai hak untuk mendapat ongkos, jika
harta rusak tanpa disengaja ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal
tersebut, dan andai mengalami kerugian hanya ditanggung oleh pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai