Anda di halaman 1dari 10

Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

IMPLEMENTASI AKAD WAKALAH PADA PRODUK MURABAHAH


DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM

Indiy Nufusus Zahro (08040422118), Irzal Febriansyah (08040422119), Laily Fauziyah


(08040422123)

Prodi S1 Ekonomi Syariah, UIN Sunan Ampel Surabaya


Jl. Ahmad Yani No. 117, Jemur Wonosari, Kec. Wonocolo ,
Kota Surabaya, Jawa Timur 60237
Email @Uinsby.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi akad wakalah dalam produk
pembiayaan murabahah di Baitul Maal wat Tamwil dan mengukur sejauh mana kesesuaiannya
dengan prinsip-prinsip syariat Islam serta Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000
mengenai Murabahah. Tujuan penelitian ini mencakup dua aspek utama: pertama, untuk
memahami konsep akad menurut literatur fikih Muamalah; kedua, untuk mengidentifikasi jenis-
jenis akad yang dapat diterapkan pada koperasi Syariah berbasis masjid. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif dengan pendekatan Deskriptif Analitis melalui
Studi Literatur.Hasil penelitian pertama mengungkapkan bahwa konsep akad dalam literatur
fikih muamalah berasal dari bahasa Arab, yang artinya ikatan atau kewajiban, sering diartikan
sebagai kontak atau perjanjian. Istilah ini mencerminkan adanya ikatan untuk mencapai
persetujuan. Selanjutnya, koperasi syariah dijelaskan sebagai badan usaha yang terdiri dari
individu atau badan hukum koperasi, yang didirikan, dikelola, dan menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Selanjutnya, penelitian kedua menyoroti
penerapan akad-akad Syariah yang relevan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat
oleh koperasi Syariah. Jenis akad tersebut mencakup Akad Syirkah, Akad Mudharabah, Akad
Murabah, dan Akad Ijarah. Dengan demikian, penelitian ini memberikan gambaran mendalam
tentang konsep akad dalam literatur fikih Muamalah, menguraikan prinsip-prinsip koperasi
Syariah, dan menunjukkan beragam akad Syariah yang dapat diterapkan untuk memajukan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pendekatan kualitatif dan analitis melalui studi literatur
digunakan untuk merinci temuan-temuan tersebut secara komprehensif.
Keywords : akad, Wakalah, baitul mal wa tamwil,murabahah,konsep akad wakalah

1. PENDAHULUAN
Menurut fiqh, akad adalah suatu perjanjian antara dua pihak berdasarkan kerelaan masing-
masing pihak, yang ditunjukkan oleh syara’, yaitu ijab kabul (penawaran) dan qobul
(penerimaan). Ada pendapat umum, menurut sejumlah ahli hukum, yang berpendapat bahwa
kontrak adalah hubungan persetujuan dan qabul, yang penafsirannya didasarkan pada hukum
Islam dan mungkin mempunyai konsekuensi hukum terhadap objeknya.
Ada berbagai jenis akad fiqh dalam kajian fiqh, antara lain akad al-Rahn, Wakalah, Kafalah,
dan Hiwalah yang merupakan akad jasa perbankan. Akad pelengkap diperlukan untuk transaksi
yang melibatkan layanan perbankan syariah. Agar suatu produk perbankan syariah khususnya
produk jasa dapat dianggap sah, maka harus ada perjanjian pelengkap tersebut. Perjanjian
pelengkap ini dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dibandingkan
mengejar keuntungan finansial. Oleh karena itu, diperbolehkan untuk meminta pembayaran atas
biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kontrak tambahan ini. Jumlah penggantian ini terbatas
pada biaya aktual yang dikeluarkan.

1
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

Salah satu akad yang diciptakan untuk transaksi keuangan modern adalah akad wakalah,
yang dapat digunakan sendiri atau digabungkan dengan akad lain (seperti akad murabahah).
Perjanjian wakalah mandiri, dalam praktek hukum, adalah pemberian kuasa kepada pihak yang
berperkara kepada seorang advokat atau penasihat hukum sehingga yang terakhir akan mewakili
pihak yang berperkara dalam suatu persidangan di pengadilan.
Menurut Hadits Nabi Muhammad SAW meriwayatkan Imam Bukhari dan Abu Hurairah,
para sahabat Nabi SAW berencana “menangani” laki-laki yang mendekati mereka secara agresif
untuk menagih hutang darinya. Biarkan dia sendiri; pemilik sah berhak berbicara, katanya.
“Kalau begitu berikan (bayar) kepada orang tersebut seekor unta berumur satu tahun seperti
untanya (yang terutang)” tambahnya. “Kami tidak menerima mereka kecuali yang lebih tua,”
jawab mereka. Lalu Nabi bersabda, “Berikanlah kepadanya.” Sesungguhnya orang yang paling
baik membayar di antara kamu adalah orang yang paling baik pula.” Hadits Malik dalam kitab
al-Muwaththa menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Abu Rafi’ dan seorang Ansar
untuk dinikahkan.
Jumhur ulama memutuskan menerima akad wakalah pekerjaan/muamalah yang berkaitan
dengan harta berdasarkan dalil-dalil yang telah ada, baik untuk menerima (al-qabdh termasuk
menerima hadiah) maupun untuk menyerahkannya (al-ikhraf). Akad wakalah diperbolehkan
untuk hal-hal sebagai berikut: zakat, kifarat, nadzar, sedekah, haji/umrah (jika lemah atau
meninggal), dan penyembelihan hewan kurban dan/atau dam (denda selama haji).
Kesejahteraan menjadi tujuan layanan SKBDN Bank Syariah yang menggunakan akad
wakalah bil ujrah. Terlepas dari apakah kesejahteraan tersebut merupakan akibat dari maqashid
syariah atau pendapatan. Kemampuan suatu perusahaan untuk membiayai seluruh
pengeluarannya berkorelasi langsung dengan pendapatannya; semakin banyak pendapatan yang
dimiliki suatu bisnis, semakin besar kemungkinannya untuk bertahan. Indikator tercapainya
maqashid syariah juga menunjukkan kesejahteraan. Hifz ad-din (menjaga agama), hifz an-nafs
(menjaga jiwa), hifz al-aql (menjaga akal), hifz al-mal (menjaga harta), dan hifz al-irdl
(menjaga kehormatan) adalah lima hal yang hakiki. komponen pemenuhan kebutuhan dasar
menurut Imam Al Ghazali.
BMT (Baitul Maal wat Tamwil) merupakan lembaga keuangan mikro berbasis sistem
koperasi dan LSM (Organisasi Masyarakat Non Pemerintah) yang berbasis syariah. BMT
merupakan organisasi bisnis yang menggunakan model bagi hasil untuk mendorong investasi
dan kerja sama dalam rangka menumbuhkan usaha mikro dan mengentaskan kemiskinan. BMT
menjalankan dua peran dalam operasionalnya: Baitul Tamwil dan Baitul Maal. Baitul Maal
bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengalokasikan sumbangan amal seperti zakat,
infaq, dan sedekah. Untuk menghasilkan keuntungan, Baitul Tamwil mengumpulkan dan
menyalurkan uang untuk hal-hal seperti pembiayaan anggota dan usaha bermanfaat lainnya.
BMT melakukan berbagai kegiatan usaha keuangan melalui operasionalnya, antara lain
mobilisasi modal simpanan BMT melalui berbagai simpanan sukarela berdasarkan akad
mudharabah dari anggota dalam bentuk simpanan (yang dapat berupa simpanan rutin,
pendidikan, perumahan, pariwisata, haji). , umrah, qurban, Idul Fitri, walimah, aqikah, dan
pendidikan). Kegiatan kredit dan pembiayaan usaha mikro dan kecil, seperti pembiayaan qard
al-hasan (pinjaman tanpa tambahan pengembalian kecuali sebagai administrasi), pembiayaan
ba’i bi sanan ajil (pembiayaan jual beli dengan mekanisme pembayaran angsuran), pembiayaan
murabahah (penjualan dan pembiayaan pembelian yang dibayar pada saat jatuh tempo), dan
pembiayaan mudharabah (pembiayaan modal yang menggunakan sistem bagi hasil). 1

2. METODE PENELITIAN
Kajian semacam ini dikenal dengan kajian teori dasar. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menambah dan menyempurnakan pengetahuan teoritis dengan membaca berbagai buku
dan jurnal ilmiah. Metode kualitatif digunakan dalam proses menganalisis berbagai sumber
1
Pebruary, dkk, 2020: 16

2
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

yang berkaitan dengan penelitian ini. Menulis atau melakukan penelitian dengan pendekatan
kualitatif, disebut juga penelitian kualitatif, bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
aktivitas sosial, peristiwa, fenomena, serta sikap, keyakinan, persepsi, dan pemikiran
masyarakat—baik secara individu maupun kolektif. Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan
utama: pertama mendeskripsikan dan mengeksplorasi, dan kedua mendeskripsikan dan
menjelaskan. Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini lebih cenderung
mengungkap banyak informasi secara objektif sehingga menghasilkan temuan penelitian yang
lebih menyeluruh.

3. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Akad dalam Islam
Dari sudut pandang Islam, kontrak merupakan salah satu aspek hukum yang diatur
dengan baik. Hukum ini mencakup bidang hukum privat yang lebih luas, seperti perkawinan,
dan bidang hukum muamalah yang lebih spesifik, seperti kerja sama antar pihak dalam urusan
bisnis. Oleh karena itu, kedudukan kontrak dalam aturan hukum Islam sangatlah penting. Untuk
memahami pengertian kontrak dalam Islam, penting untuk terlebih dahulu menjelaskan definisi
etimologis dan terminologis dari istilah tersebut. Kata Arab “kontrak” berasal dari bentuk
serapan “‫َاْلَع ْقد‬,” yang merupakan bentuk maṣdar dari kata “‫ ”َع َقد‬dan bentuk jamaknya, “‫ُع ُقْو د‬.”
Istilahnya tie (ikat), contract (perjanjian), dan join (ikuti).1 Adapun secara Bahasa, Akad adalah
perjanjian.2 Dalam makna lain akad berarti hubungan kuat dan keras, tanggungan mengokohkan
atau mengikat.3 Menurut Al-Zarqā, akad secara etimologis dapat diartikan sebagai ‫ َالَّرْبُط‬yang
berarti mengikat atau mengikat. Sedangkan Al-Aṣfahānī memahami akad sebagai suatu
hubungan afiliasi antara dua pihak atas suatu benda (‫)الجم[ع ٌبن أط[راف الش[يء‬.4 Perjanjian yang
mengikat secara hukum dipahami sebagai apa yang dimaksud dengan kontrak, menurut definisi
ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurdin yang menyatakan bahwa kontrak merupakan
ekspresi niat seseorang atau kelompok untuk melakukan kegiatan transaksi yang melibatkan
pertukaran aset.5

Oleh karena itu, kata “kontrak” mengacu pada aliansi atau pemahaman yang solid. Ada
banyak definisi kontrak yang tersedia, baik dalam konteks luas maupun rinci. Al-Zuḥailī
berpendapat bahwa makna umum suatu akad sama dengan makna kebahasaannya, yaitu apa saja
yang dikehendaki (ditentukan) oleh seseorang atas perbuatannya, baik itu wakaf, perceraian,
sumpah, atau sesuatu yang memerlukan usaha untuk mewujudkannya. , seperti jual beli atau
sewa sewa. Hubungan antara penerimaan dan persetujuan memberi arti unik pada kontrak. Al-
Jurjānī mengartikan akad sebagai suatu hubungan atau ikatan yang dibentuk oleh penerimaan
dan kesepakatan sah antara banyak pihak dalam suatu transaksi. Syakir Sula mengutip perkataan
Ibnu ŀbidin, Dari definisi ini pula, dapat disajikan pola pembentukan akad antaraantara orang
yang mengikat diri dalam suatu kontrak seperti berikut ini:

serah terima

2
Achmad Warson Munawwir & Muhammad Fairuz, Kamus Al- Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007), hlm. 953.
3
Wizārah al-Awqāf, Mawsū’ah al-Fiqhiyyah, (Kuwait: Wizārah al-Auqāf, 1995), hlm. 198.
4
Muṣṭafā Aḥmad al-Zarqā, Madkhal al-Fiqhī al-‘Āmm, Juz’ 1, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2004), hlm.
381: Lihat juga di dalam beberapa ulasan lain seperti, Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt al-Fāẓ Alquran
(Taḥqīq: Ṣafwān Adnān Dāwūdī) (Damaskus: Dār al-Qalam, 2009), hlm. 576: Bandingkan pula

3
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

Pembeli Akad Penjual

Ijab qabul

keinginan

Uraian tersebut memperjelas bahwa akad adalah suatu perjanjian antara para pihak yang
dilakukan atas dasar kemauan masing-masing, baik itu untuk tujuan jual beli, maupun untuk
transaksi-transaksi lain yang melibatkan persetujuan yang dicapai melalui persetujuan atau
serah terima. Definisi “kontrak” ini mencakup semua bentuk kontrak.
Komponen-komponen suatu akad atau perjanjian disebut rakun. Pilar akad secara garis besar
dapat digolongkan menjadi empat kategori: aqid, ma’qud ‘alaih, maudhu’ al-’aqd, dan shighat
al-aqd. Hal tersebut dapat dibahas lebih lanjut pada ulasan berikut ini: 5
1. Aqid adalah seseorang yang melakukan perbuatan hukum sebagai pihak dalam suatu
akad, yang dapat berbentuk persekutuan atau badan usaha lainnya. Oleh karena itu,
yang tidak mampu melakukan perbuatan dan perbuatan hukum tidak termasuk orang
amak kecil dan orang gila.
2. Ma'qud 'alaih adalah obyek akad yang dapat berupa produk atau jasa. Amwal, atau jasa
yang diwajibkan oleh masing-masing pihak dan diperbolehkan oleh Islam, adalah
tujuan dari perjanjian ini. Oleh karena itu, tidak pantas dan tidak dibenarkan jika objek
suatu kontrak adalah sesuatu yang dilarang oleh Islam jika demikian. 6
3. Maudhu' al-'aqd, atau tujuan utama dilaksanakannya perjanjian. Tujuan dari kontrak
harus jelas dan diterima oleh Sharak (Islam), dan harus terkait erat dengan berbagai cara
penerapannya. Perjanjian jual beli, misalnya, mengalihkan hak penjual kepada pembeli
sebagai imbalannya.
4. Perbuatan Sighat al-'aqd, yaitu wujud terjadinya suatu akad dan dinyatakan sebagai
suatu perjanjian. Dalam akad jual beli, ucapan persetujuan dan penerimaan pembeli
disebut kabul dan ucapan penjual disebut ijab.7

B. Akad Wakālah
1. Terminologi Akad Wakālah
Secara Bahasa kata Wakalah artinya melindungi atau menjaga (al-ḥāfiẓ), atau
dikuasakan (al-tafwīḍ).8 Menurut Mardani, istilah "memiliki" setidaknya empat arti etimologis
yang berbeda: al-ḥifẓ, al-kifāyah, al-ḍaman, dan al-tafwīḍ. Makna-makna tersebut semuanya
mengacu pada pendelegasian dan penyerahan, serta pemberian perintah. Kata “mewakili” atau
“perwakilan” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “wakālah” yang terdiri dari karakter wa,
kaf, dan lam. Setelah itu, istilah tersebut dimasukkan ke dalam kata representatif dan
membentuk beberapa turunan kata yang berbeda-beda yang diberi imbuhan (dengan

5
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Sidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016), hlm. 51-52.
6
Muhamad, Bisnis..., hlm. 123.
7
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2016), hlm. 72.
8
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī..., hlm. 590: Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Ḥanbalī al-Muyassar
bi Adillatih wa Taṭbīqātih al-Mu’āṣirah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1997), hlm. 392

4
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

menambahkan akhiran, awalan, konfiks, atau sisipan), seperti mewakili (me-kan) dan
representatif (per-an).
Dalam mazhab Ḥanafī, wakālah mengacu pada perbuatan seseorang yang menunjuk
orang lain untuk melakukan atau melaksanakan suatu perbuatan hukum yang diakui tetapi tidak
mengikat, atau mengalihkan perbuatan hukum dan melindungi sesuatu kepada wakil lain.
Mazhab Syāfi'ī mendefinisikan wakālah sebagai pendelegasian wewenang atas suatu tugas yang
dapat diselesaikan sendiri atau oleh orang lain, dengan wakil yang melaksanakannya selama
pemegang wewenang aslinya masih hidup. Sesuai dengan kedua penafsiran tersebut, maka akad
wakālah berlaku untuk semua akad, termasuk akad nikah yang mana wali yang satu mewakili
perkawinan yang lain.
Mazhab Mālikiyah mengartikannya sebagai penggambaran seseorang yang mempunyai hak
—selain hak penguasa dan di luar urusan ibadah—kepada orang lain dalam keadaan tidak perlu
kematiannya. Menurut mazhab Ḥanabilah, meminta kepada orang-orang yang mampu
melakukan hal serupa untuk bertindak sebagai wakil dalam melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat diwakilkan, seperti yang berkaitan dengan hak Adami dan hak Allah SWT. Mengacu
pada definisi yang diberikan di atas, maka dapat diungkapkan dalam bentuk pola akad wakālah
sebagai berikut:

Akad jual beli

Wakalah

Dokumen
Bank Nasabah

Kirim

Beli barang
Dealer

Akad wakālah dapat diartikan sebagai perjanjian perwakilan, atau mewakili suatu perkara
yang secara sah dapat dilimpahkan kepada orang lain karena adanya hambatan tertentu. Hal ini
dapat diterapkan pada keterwakilan wali nikah dalam hal terdapat kendala seperti domisili.
Dapat juga diterapkan pada jual beli, dimana seorang perwakilan membeli barang atas nama
orang lain karena berbagai alasan.
Dalam perbankan syariah, akad wakalah adalah akad yang digunakan untuk menghasilkan
uang dengan cara mendanai nasabah untuk melakukan transaksi tertentu. Berikut rincian yang
dapat dilihat pada sumber jurnal terkait akad wakalah di perbankan syariah.
Bank syariah telah menerapkan akad bil ujrah wakalah dan instrumen pembiayaan
murabahah bil wakalah sesuai dengan hukum dan sila syariah. Pemahaman fiqh muamalah dan
prinsip syariah diperlukan untuk melaksanakan akad wakalah dalam perbankan syariah. Salah
satu jenis akad wakalah yang digunakan dalam perbankan syariah adalah akad murabahah bil
wakalah.

2. Dasar Hukum Akad Wakālah

5
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

Alquran, Sunnah, dan ijmak ulama semuanya mengakui adanya akad wakālah sebagai
semacam perjanjian. Secara teori, akad wakālah sering kali bukan merupakan praktik ilegal. Hal
ini timbul dari kemungkinan bahwa seseorang yang mempunyai kepentingan dan cita-cita akan
menghadapi tantangan tertentu, mungkin karena suatu bencana, keadaan lain, atau faktor lain,
sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk bertindak sendiri dan memaksa mereka untuk
bertindak atas nama orang lain. rakyat. Alasan ini menjadi syarat minimum pengakuan akad
wakālah ini. Untuk menjelaskan ketiga landasan hukum (postulat) akad wakālah, maka akan
dibahas secara terpisah sebagai berikut: Setidaknya ada lima ayat Al-Qur'an yang dikutip oleh
Muhammad al-Zuḥailī sebagai landasan hukum kontrak.
3. Rukun dan Syarat Akad Wakālah
Pelaksanaan akad wakālah merupakan peristiwa penting hukum yang dapat
dilaksanakan apabila memenuhi syarat dan rukun. Secara umum, suatu perjanjian akad wakālah
hanya dapat berlaku apabila memenuhi tiga syarat berikut:9
a) Transaksi diselesaikan oleh dua orang: perwakilan dan orang yang bertindak sebagai
perwakilan.
b) Sighat, atau ijab kabul
c) Muwakal fih, yaitu sesuatu yang diwakilkan. Keempat rukun akad wakālah juga
disebutkan dalam nash lain, meskipun pada hakikatnya sama. Sebagian orang menetapkan dua
orang yang memenuhi akad masing-masing sebagai landasan akad wakālah, menjadikan mereka
muwakkil (orang yang mewakili suatu persoalan), muwakkal (orang yang mendapat amanah
atau wakil), muwakkil fih (orang yang diwakili), biasanya melalui tindakan yang mempunyai
konsekuensi hukum), dan Sighat wakālah (penyerahan perwakilan).10

C. Konsep Murābaḥah
Dalam jual beli melalui perantara perbankan syariah atau perusahaan pembiayaan lain
yang bergerak di bidang pembiayaan, digunakan istilah murābaḥah yang cukup terkenal. Ketika
membahas gagasan jual beli dalam perspektif muamalah Islam, pertama kali muncul istilah
murābaḥah. Menurut etimologinya, kata murābaḥah berasal dari kata rabaha yang berarti
memberi manfaat dan terdiri dari karakter ra, na, dan ḥa. Murābaḥah, yang awalnya berarti
"pertumbuhan dan perkembangan", paling sering digunakan untuk merujuk pada perdagangan. 11
Dalam transaksi murābaḥah disebutkan adanya manfaat seketika dan nyata dari barang
tersebut setelah dibandingkan dengan harga aslinya; inilah sebabnya disebut al-ribh, atau
keuntungan. Dalam DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000, Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia mendefinisikan murābaḥah sebagai penjualan suatu benda kepada pembeli
yang menegaskan harga pembeliannya dan membayar kelebihan harga tersebut sebagai
keuntungan. Akad murābaḥah, menurut definisi yang diberikan di atas, adalah akad jual beli
yang mana pembeli membayar keuntungan yang dinegosiasikan ditambah harga barang setelah
penjual memberitahukan harga pembeliannya. Dalam akad murabahah, pembayarannya bisa
melalui cicilan.12
Dalam akad jual beli yang mengikuti pola murābaḥah, bank membiayai perolehan aset
atau barang yang dibutuhkan nasabahnya. Pertama, bank membeli barang dari pemasok; setelah
kepemilikan secara sah dialihkan ke bank, bank menjual barang tersebut kepada pelanggan dan
menambahkan markup margin keuntungan. Nasabah harus diberitahu oleh bank tentang harga
pembelian bank dari pemasok dan menyepakati besarnya markup margin keuntungan yang

9
Mardani, Fiqh Ekonomi..., hlm. 298.
10
Abdurraḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, (Terj: Arif Munandar), (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2015), hlm. 261.
11
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 2001), hlm. 136
12
53Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 79.

6
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

ditambahkan pada harga pembelian bank.13 Pola seperti ini menunjukkan bahwa akad
murābaḥah sebagaimana disebutkan para ulama klasik tidak sama dengan pembiayaan
murābaḥah yang dikembangkan dalam perbankan syariah. Hal ini menunjukkan bahwa
prosedurnya cukup mudah untuk diikuti.

D.Wakalah Dalam Perbankan Syariah


Salah satu akad yang sering digunakan dalam perbankan syariah adalah wakalah.
Memberikan pihak lain hak untuk bertindak atas nama mereka dalam melaksanakan tanggung
jawab tertentu adalah bagian dari kontrak ini. Wakalah memiliki beberapa kegunaan dalam
industri perbankan, antara lain untuk penerbitan Letters of Credit (L/C), permintaan ekspor L/C
untuk komoditas dalam negeri, dan transfer uang nasabah ke pihak lain.
Sebenarnya wakalah dapat digunakan untuk berbagai pengaturan pendanaan, misalnya
pembiayaan murabahah. Dalam perbankan syariah, salah satu cara untuk mengamalkan akad
wakalah adalah melalui pembiayaan murabahah bil Wakalah. Bank syariah membeli komoditas
dari pihak ketiga dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga yang telah ditentukan
melalui penggunaan akad wakalah dengan metode pembiayaan ini.
Salah satu contoh penerapan pembiayaan Murabahah bil Wakalah dapat ditemukan di
PT. Bank Syariah Indonesia KCP Bukittinggi. Namun dalam praktiknya terdapat
ketidaksesuaian dengan Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 pada penetapan
pertama poin 9. Fatwa ini menyebutkan jika bank ingin mewakili nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga. pihak, maka perjanjian jual beli harus dilaksanakan terpisah.
Bank Syariah Indonesia KCP Bukittinggi harus mengevaluasi Peraturan DSN-MUI
Nomor 07/PBI/2005 dan Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 guna mengatasi
disparitas tersebut. Studi lapangan dengan pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian
yang dilakukan pada penelitian di Bank Syariah Indonesia KCP Bukittinggi. Hasil survei dan
wawancara dengan Jadid Ardiansyah, manajer cabang, dan staf memberikan data primer.
Selain itu, wakalah dapat digunakan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) ekspor dan
Letter of Credit (L/C) untuk komoditas dalam negeri. Dalam hal ini, nasabah diwakili dalam
transaksi perdagangan luar negeri oleh bank syariah yang bertindak sebagai proxy. Selain itu,
pembayaran dari pelanggan dapat ditransfer ke pihak ketiga menggunakan Wakalah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rima Melati, mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Program Studi Manajemen Perbankan Syariah Jakarta, wakalah juga dapat
digunakan untuk memperoleh hibah, sedekah, dan barang-barang bermanfaat lainnya bagi
nasabah. Sebenarnya wakalah harus memenuhi kriteria dan pilar yang telah ditetapkan.
Beberapa elemen dasar wakalah mencakup izin dan qabul yang dinyatakan oleh para pihak,
yang menunjukkan niat mereka untuk mengadakan kontrak wakalah. Selain itu, wakalah harus
dilaksanakan dengan imbalan yang sah dan tidak dapat dicabut secara sendiri-sendiri.
Salah satu jenis akad yang digunakan dalam sistem keuangan syariah untuk investasi
dan pembiayaan adalah akad Wakalah. Kelebihan dan Kekurangan Wakalah adalah sebagai
berikut:

Kelebihan akad wakalah;


1. Memfasilitasi implementasi pembiayaan yang efektif: Akad Wakalah memberi umat Islam
kemampuan untuk menerapkan syariah Islam secara tepat dan berhasil serta memungkinkan
lembaga keuangan syariah untuk melakukan pembiayaan.

13
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan..., hlm. 191.

7
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

2. Pemberian kuasa kepada klien: Akad Wakalah memberikan wewenang kepada klien untuk
melakukan pembelian produk yang telah diputuskan bersama oleh klien dan lembaga keuangan
syariah.
3. Fleksibilitas dalam implementasi: Lembaga keuangan syariah dapat menawarkan pembiayaan
yang lebih fleksibel ketika akad wakalah digunakan bersama dengan akad lain, seperti akad
murabahah.

Kekurangan akad wakalah;


1. Keterbatasan informasi: Karena perusahaan keuangan mikro syariah hanya menerima
informasi dari nasabah berdasarkan masukan yang diberikan kepada lembaga keuangan, maka
mereka mungkin tidak mengetahui secara pasti harga komoditas yang akan dibeli.
2. Kompleksitas dalam penyelesaian administratif: Akad Wakalah seringkali dilaksanakan
bersamaan dengan akad murabahah, yang dapat menyebabkan masalah penyelesaian
administratif.
3. Ketergantungan pada kepatuhan aturan: Tanpa adanya peraturan yang harus dipatuhi oleh
kedua belah pihak dalam kontrak, kontrak Wakalah tidak diperbolehkan. Peraturan ini dibuat
oleh para ulama, dan siapa pun yang akan melaksanakannya termasuk lembaga keuangan
Syariah harus mematuhinya.
Dengan mempertimbangkan saran-saran berikut ini, implementasi kontrak Wakalah
dapat ditingkatkan. Pemahaman menyeluruh tentang akad wakalah Bank syariah harus memiliki
pemahaman menyeluruh tentang ide dan prinsip akad wakalah. Ada dua cara untuk melihat
kontrak ini: secara linguistik dan teknis. Wakalah maksudnya adalah melindungi dan
menyerahkan secara bahasa, serta memberikan sesuatu kepada pihak lain agar dapat melakukan
perbuatan hukum yang diakui dan disetujui oleh hukum syariah. Bank syariah mampu
melaksanakan akad wakalah dengan benar dan sesuai prinsip syariah jika memiliki pemahaman
yang kuat terhadapnya.
Penggunaan Akad Wakalah bi al-ujrah: Salah satu jenis akad Wakalah yang berlaku
untuk barang jasa adalah akad Wakalah bi al-ujrah. Pengaturan ini konsisten dengan peran bank
syariah sebagai penyedia jasa keuangan yang berorientasi pada keuntungan.
Memanfaatkan akad Wakalah bi al-ujrah sebagai akad tambahan: Akad Wakalah bi al-
ujrah mempunyai kegunaan lain selain sebagai akad pokok. Akad Wakalah bi al-ujrah dapat
berfungsi sebagai teknik peningkatkan akad mu'awadhat dalam mekanisme distribusi produk.
Saat menciptakan produknya, bank syariah mungkin ingin mempertimbangkan akad Wakalah bi
al-ujrah sebagai perjanjian pelengkap.
Penerapan akad Wakalah pada pendanaan murabahah: Pembiayaan murabahah adalah
bidang lain di mana akad Wakalah dapat digunakan. Dua skema yaitu akad Wakalah dan akad
Murabahah digunakan dalam pelaksanaan akad Wakalah untuk pembiayaan Murabahah,
berdasarkan penelitian yang membandingkan Bank Aceh Syariah dan Bank Syariah Mandiri.
Untuk memenuhi kebutuhan nasabah, bank syariah dapat mempertimbangkan penggunaan akad
Wakalah dalam pembiayaan murabahah.
Penerapan prinsip syariah dalam pemenuhan akad wakalah: Bank BTN Syariah di
Makassar telah memenuhi prinsip syariah dalam akad wakalah, berdasarkan kajian penerapan
hukum ekonomi syariah dalam pembelian rumah akad wakalah. Selain itu, bank syariah lain
juga harus menjamin hal tersebut.

E. Impelementasi Akad Wakālah pada Pembiayaan Murābaḥah


di Perbankan Syariah

8
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

Selain menjadi salah satu syarat hukum akad murābaḥah, ketentuan umum yang berkaitan
dengannya menyatakan bebas dari riba sebagai kaidah atau hukum umum, yang berusaha
menghindari dan menghindari praktik riba dalam industri perbankan. Selain syarat-syarat
tersebut, akad murābaḥah juga harus jelas, khususnya yang berkaitan dengan rincian margin
keuntungan dan investasi awal yang dilakukan saat membeli suatu objek. Hal ini menjadi
premis dalam akad murābaḥah karena dalam tata cara jual beli murābaḥah, penjual wajib
menjelaskan harga jual beserta keuntungan yang diperolehnya.14
Ketika suatu bisnis keuangan terlibat dalam jual beli atau pembiayaan murābaḥah, bank
wajib menginformasikan kepada konsumen tentang prosesnya, biaya produk yang diperoleh,
dan keuntungannya. Untuk menghindari penjualan produk yang belum dimilikinya, bank
membeli barang kemudian menjualnya kepada konsumen yang melakukan pemesanan. Akad
murābaḥah dianggap sebagai akad amanah menurut yurisprudensi Islam karena mengharuskan
penjual kedua untuk mengungkapkan harga pembelian awal yang sebenarnya kepada pembeli
kedua tanpa adanya saksi. Oleh karena itu, hukum akad murābaḥah menjadi batal jika penjual
kedua tidak mengungkapkan harga sebenarnya barang tersebut pada saat pembelian pertama.
Dalam praktek murābaḥah kredit, bank berperan sebagai penjual barang untuk kepentingan
nasabah dengan cara membeli barang yang dibutuhkan nasabah kemudian menjualnya kepada
nasabah dengan harga jual yang sama dengan harga beli ditambah keuntungan. Hal ini
ditunjukkan dengan keharusan pelanggan (pedagang) membayar harga barang yang disepakati
dalam jangka waktu tertentu.15
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Perjanjian Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
mengatur syarat-syarat perjanjian jual beli ini dengan menggunakan pola murābaḥah dan
wakālah. Menurut Pasal 9 ayat (1), syarat-syarat berikut harus dipenuhi agar uang dapat
disalurkan sebagai pembiayaan berdasarkan murābaḥah. Prasyarat tersebut antara lain sebagai
berikut:

a) Perjanjian jual beli barang menjadi dasar penyediaan uang pembiayaan bank.
b) Syarat-syarat perjanjian antara Bank dan nasabah menentukan kapan nasabah harus
membayar kepada Bank harga barang tersebut.
c) Bank mampu membiayai seluruh atau sebagian biaya pembelian produk yang memenuhi
kriteria yang telah ditentukan.
d) Jika Bank membeli barang atas nama nasabah (wakalah), akad murābaḥah harus dipenuhi
setelah produk tersebut secara teoritis menjadi milik Bank.
e) Pada saat konsumen menandatangani perjanjian awal pemesanan barang, maka bank dapat
meminta uang muka atau uang muka kepada nasabah.
f) Bank berhak meminta jaminan tambahan dari nasabah selain barang yang dibiayainya.
g) Perjanjian margin harus diputuskan pada awal kontrak dan tidak dapat diubah pada saat
kontrak tersebut berlaku.
h) Sepanjang jangka waktu akad, angsuran pembiayaan harus dilakukan secara proporsional.

Persyaratan tersebut di atas memperjelas bahwa dalam hal bank terlibat dalam prosedur
pelaksanaan akad murābaḥah, maka produk yang diperdagangkan harus terlebih dahulu menjadi
milik bank sebelum bank menjualnya kepada nasabah yang membutuhkan. Sebaliknya, bank

14
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Edisi Revisi, Cet. 7, (Tangerang: Azkia
Publisher, 2009), hlm. 28: Pada prosesnya, pelaksanaan akad murābaḥah sama dengan praktik lainnya,
seperti tidak boleh membuat syarat yang bertentangan dengan Islam. Ada keharusan memenuhi syarat-
syarat seperti syarat dalam jual beli biasa. Lihat, Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan..., hlm. 202.
15
M. Cholil Nafis, Teori Hukum..., hlm. 167-169.

9
Templete Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam

jarang, atau bahkan pernah, melakukan pembelian komoditas secara mandiri dari vendor di
dunia nyata. Bank menugaskan konsumen tugas untuk membeli produk dari pemasok.
Dalam keadaan demikian, Fatwa DSM-MUI Pasal 9 ayat (1) huruf di dan i wajib
dipatuhi. Khususnya, jika bank mewakili nasabah (wakālah) dalam pembelian barang, akad
murābaḥah harus diselesaikan setelah barang tersebut secara teori menjadi milik bank. Pada
dasarnya, nasabah mengunjungi bank untuk mendapatkan pinjaman, bukan untuk melakukan
pembelian. Oleh karena itu, lebih tepat mendefinisikan keuangan murābaḥah dalam perbankan
syariah sebagai penyediaan uang dengan margin keuntungan yang telah ditentukan kepada
konsumen untuk memperoleh barang yang mereka butuhkan.16
Proses pembiayaan murābaḥah akad wakālah sebenarnya dilakukan melalui mekanisme
tertentu dimana bank menugaskan perwakilan nasabahnya untuk melakukan pengadaan barang
dari pemasok. Di sini konsumen harus dipandang sebagai representasi dan bank sebagai
muwakkil.17 Dalam keadaan seperti ini, tidak salahnya konsumen berperilaku sebagai agen
bank; Bahkan, ia berwenang meminta izin kepada bank untuk melakukan pembelian. Meskipun
nasabah pada akhirnya adalah pemilik barang tersebut, pada kenyataannya perlu
dipertimbangkan bahwa barang tersebut harus didaftarkan atas nama bank dan bukan atas nama
nasabah. Untuk sementara, pelanggan menggunakan barang yang dipercayakan penyedia
kepadanya. Selain itu, akad wakālah dan akad murābaḥah perlu dilaksanakan secara mandiri
karena adanya konsep hukum yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hukum sebaiknya
mempunyai satu akad, dan perlu diperjelas akad mana yang menggantikan akad lainnya. 18

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. KESIMPULAN
5. UCAPAN TERIMA KASIH
6. REFERENSI
7. Lampiran (Jika ada)

16
Rozalinda, Fikih Ekonomi..., hlm. 92.
17
Abdul Aziz, M. Bukhori Muslim, & Nur Hidayah, Transaksi Murābaḥah Perbankan Syariah
Terbelenggu Isu Batal Demi Hukum, (Jakarta: IF & Rekan IFR 2020), hlm. 166.
18
Abdul Aziz, M. Bukhori Muslim, & Nur Hidayah, Transaksi..., hlm. 166.

10

Anda mungkin juga menyukai