Anda di halaman 1dari 12

Optimalisasi Wakaf Produktif Untuk Meningkatkan Kesejahteraan

Masyarakat

Arya Adhyasta
Dr. Muammar Khadafi, S.E., M.Si., Ak
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Malikussaleh
E-Mail: arya.200420185@mhs.unimal.ac.id

ABSTRAK

Di Indonesia pengelolaan wakafnya banyak yang dilakukan secara konsumtif. pengelolaan


wakaf secara konsumtif dipandang cukup efektif untuk membantu kebutuhan masyarakat
terhadap sarana ibadah, tetapi mereka tidak akan mandiri dari sisi ekonomi. Oleh karena itu,
wakaf produktif sangat dibutuhkan agar terjadi keseimbangan antara pengelolaan wakaf
konsumtif dengan wakaf produktif. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode kualitatif yang bersifat studi literatur dengan jenis data sekunder yang
bersumber dari jurnal-jurnal hasil pencarian di internet, artikel dan buku yang membahas
tentang wakaf. Ada macam cara yang bisa dilakukan dalam mengelola dan mengembangkan
wakaf produktif, antara lain investasi, perdagangan, kemitraan, agrobisnis, penanaman
modal, pembangunan gedung, perindustrian, pertambangan, apartemen, pengembangan
teknologi, pertokoan, rumah susun, swalayan, perkantoran, dan usaha-usaha lain yang sesuai
dengan syariat islam.

Kata Kunci: Wakaf Produktif, Wakaf Konsumtif, Pengelolaan dan Pengembangan.


PENDAHULUAN

Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memajukan


kesejahteraan umum. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan ini tentunya memerlukan kontribusi dari
berbagai pihak dan juga menggali potensi yang mempunyai nilai ekonomis. Data dari Badan
Pusat Statistik (2015: 167) menunjukan bahwa jumlah pemeluk agama islam di Indonesia
sebanyak 207.176.162 jiwa atau sekitar 87,21% dari total populasi yang ada. Hal ini
membuat Indonesia berada di posisi pertama dengan jumlah penduduk muslim paling
banyak. Dengan jumlah sebanyak itu, wakaf sebagai salah satu instrumen keuangan syariah
tentunya memiliki potensi yang besar untuk meraih tujuan tersebut.
Pengelolaan wakaf dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konsumtif atau
yang biasa disebut dengan wakaf konsumtif, dan secara produktif atau yang biasa disebut
dengan wakaf produktif. Di Indonesia pengelolaan wakafnya banyak yang dilakukan secara
konsumtif, yaitu jenis wakaf yang memberi fasilitas secara langsung kepada masyarakat,
misalnya wakaf masjid sebagai tempat beribadah, sekolah untuk tempat belajar dan lain
sebagainya, yang mana hal ini tidak memberikan keuntungan dari segi ekonomi, tetapi justru
membutuhkan biaya untuk perawatannya (Khusaeri, 2015: 78). Data dari Kementrian Agama
(2016: 57) menunjukan bahwa Indonesia memiliki tanah wakaf yang berada di 435.768
tempat dengan total keseluruhan luas mencapai 4.347.023.170 m2. pengelolaan wakaf yang
masih bersifat konsumtif membuat tanah wakaf tersebut hanya dimanfaatkan untuk
membangun sarana ibadah seperti masjid dan mushola dengan presentase sebanyak 73,8%,
sedangkan yang digunakan untuk kegiatan sosial hanya 8,40% (Hasim dkk, 2016: 127).
Adapun sisanya digunakan untuk pembangunan sekolah, pesantren dan makam. Hal ini
menunjukan bahwa pengelolaan wakaf untuk pemberdayaan umat dan sarana sosial masih
belum optimal. Menurut Anas dan Ryandono (2017: 253) pengelolaan wakaf secara
konsumtif dipandang cukup efektif untuk membantu kebutuhan masyarakat terhadap sarana
ibadah, tetapi mereka tidak akan mandiri dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, wakaf produktif
sangat dibutuhkan agar terjadi keseimbangan antara pengelolaan wakaf konsumtif dengan
wakaf produktif.
Menurut Kasdi (2016: 2) pemanfatan tanah wakaf untuk pembangunan masjid tidak
lepas dari fungsi masjid sebagai tempat pengembangan dakwah. Karena agama islam yang
saat ini memiliki jumlah pemeluk mayoritas berkembang dari masjid. Namun, setelah islam
menyebar luas di tengah masyarakat, Lembaga Pengelola Wakaf tidak lepas dari fungsi dan
orientasi keagamaannya, sehingga hal ini meminimalkan fungsi wakaf sebagai pendorong
kesejahteraan, karena wakaf dari masyarakat cenderung dimanfaatkan untuk membangun
fasilitas ibadah dan fasilitas lainnya yang dapat menunjang berbagai kegiatan keagamaan
lainnya.
Beberapa negara yang telah berhasil menerapkan wakaf produktif adalah Mesir dan
Amerika. Mesir merupakan contoh negara yang mengelola wakaf dengan begitu baik, salah
satu contohnya adalah pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan al-
Azhar. Lembaga ini berhasil mengelola hampir sebagian tanah yang ada di mesir sebagai aset
wakaf (Suwaidi, 2011: 26). Terdapat empat rumah sakit di Universitas Al-Azhar yang
dikelola secara produktif. Pengelolaannya dilakukan dengan cara menunjuk direktur
dan staf pengelola lainnya, memilih dokter spesialis dan menetapkan standar tarif, yang mana
hasilnya digunakan untuk subsidi silang. Rumah sakit tersebut antara lain Rumah Sakit
Zahra’ al- Jami’i di Abbasiyah Rumah Sakit as-Sayyid Jalal al-Jami’i, Rumah Sakit Dimyath
al- Jadidah, dan Rumah Sakit Husein al-Jami’i. Al-Azhar mengelola Rumah Sakit ini secara
produktif, yaitu dengan menetapkan pengelola yang terdiri dari direktur dan staf pengelola
lainnya, dokter spesialis serta standar tarif, yang mana hasil dari pengelolaan tersebut
digunakan untuk subsidi silang (Kasdi, 2014: 109). Selain itu, wakaf di Mesir juga dikelola
dalam berbagai bidang lainnya, seperti bidang ekonomi, pertanian, properti, dan reklamasi
tanah (Fuadi, 2018: 153).
Berbeda dengan Mesir, Wakaf di Amerika Serikat dikelola oleh sebuah Lembaga
yang bernama Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) yang memiliki kantor di New
York, berkat kinerjanya kini telah dibangun apartemen yang bernilai US$ 85 juta yang
dibangun di atas tanah milik Islamic Cultural Center of New York (ICCNY) (Hasim dkk,
2016: 128).
Keberhasilan Mesir dan Amerika Serikat dalam mengelola wakaf secara produktif
membuktikan bahwa apabila wakaf dikelola secara tepat, mampu mengurangi masalah
ekonomi di suatu negara sehingga memiliki potensi yang bagus untuk dikembangkan. Selain
itu pengelolaan wakaf secara tepat juga mampu memberikan kontribusi terhadap
kemandirian ekonomi rakyatnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Optimalisasi
Optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti tertinggi, terbaik, menjadikan
paling baik, menjadikan paling tinggi, paling menguntungkan, cara, pengoptimalan proses,
tindakan menoptimalkan, sehingga optimalisasi bisa diartikan sebagai suatu tindakan untuk
membentuk sesuatu sebagai sebuah sistem, atau keputusan menjadi lebih sempurna, efektif
dan fungsional (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994: 800).
Winardi (1999: 363) mendefinisikan optimalisasi sebagai tolak ukur atau standar
yang menyebabkan tercapainya tujuan. Siringoringo (2005: 4) mendefinisikan optimalisasi
sebagai cara pencarian solusi yang paling baik, jika tujuan pengoptimalan adalah
memaksimumkan keuntungan, maka tidak selalu keuntungan yang paling tinggi yang bisa
diraih, begitupun sebaliknya, apabila tujuan pengoptimalan untuk meminimumkan biaya,
maka tidak selalu biaya yang paling kecil yang harus ditekan. Sedangkan Yuniar (2017: 19)
mengartikan
optimalisasi sebagai sebuah proses, upaya atau cara untuk memanfaatkan sumber-
sumber yang dimiliki dengan tujuan mencapai kondisi paling baik, dianggap menguntungkan
serta paling dibutuhkan dengan kriteria dan batas-batas tertentu.

Wakaf Produktif
Kata wakaf diserap dari bahasa Arab yang merupakan bentuk Masdar dari kata
“Waqf” yang berarti “al-Habs”, yang pada dasarnya memiliki makna menahan, diam atau
berhenti, apabila kata tersebut disambung dengan harta seperti tanah, binatang atau yang
lain, akan bermkna pembekuan hak milik untuk sebuah manfaat (Soemitra, 2009: 433).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa, “Wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagain harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”
Secara umum wakaf dapat diartikan sebagai pemberian yang prosedurnya dilakukan
dengan cara menahan pemilikan asal yaitu wujud hartanya, lalu manfaatnya diberlakukan
secara umum (Fuadi, 2018: 156-157).
Wakaf adalah memberikan hak milik kepada nazhir, yaitu orang yang mengelola
wakaf, atau kepada badan pengelola berupa harta yang zatnya dapat bertahan lama dengan
ketentuan hasil dan manfaatnya digunakan sesuai ketentuan syariat dan harta yang telah
diwakafkan bukan lagi menjadi milik wakif atau orang yang mewakafkan, melainkan
menjadi milik Allah SWT (Halim, 2005: 7). Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa wakaf
adalah pengalihan hak atas suatu harta atau benda dari wakif kepada nazhir sebagai pengelola
wakaf, yang mana wujud harta tersebut tetap ada karena yang didistribusikan ke masyarakat
adalah manfaatnya.
Adapun wakaf produktif adalah jenis wakaf yang pemanfataannya digunakan untuk
kepentingan produksi, misalnya untuk perdagangan, industri, pertanian, jasa, dan lain-lain,
yang mana manfaatnya tidak dirasakan langsung dari benda tersebut, melainkan dari
keuntungan bersih hasil pemanfaatan benda wakaf dan diberikan kepada masyarakat yang
berhak menerimanya. Dalam hal ini wakaf produktif dikelola untuk dapat memproduksi
barang atau jasa yang nantinya dijual dan hasilnya digunakan untuk tujuan wakaf itu sendiri
(Asy’ari, 2016: 29).
Menurut Qahaf (Khusaeri, 2015: 90) wakaf produktif adalah wakaf yang pokok
hartanya tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi dikelola untuk diambil hasilnya
yang kemudian akan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sedangkan
menurut Mubarak (Khusaeri, 2015: 90) wakaf produktif adalah perubahan dari wakaf yang
dikelola secara alami menjadi wakaf yang dikelola secara profesional dengan tujuan
memperbanyak manfaat wakaf.
Kesejahteraan
Kesejahteraan menurut Widyastuti (2012: 3) adalah, “Kondisi manusia dimana
orang- orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, sehingga untuk
mencapai kondisi itu orang tersebut membutuhkan suatu usaha yang sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.
Kesejahteraan adalah suatu keadaan ketika seseorang mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta memiliki kesempatan
untuk meneruskan pendidikan dan mendapat pekerjaan yang layak untuk meningkatkan
kualitas hidupnya sehingga bebas dari segala bentuk kemiskinan, kekhawatiran, kebodohan,
dan ketakutan (Rosni, 2017: 57).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kesejahteraan berasal dari
kata sejahtera yang berarti aman, makmur, selamat dan sentosa, bisa juga dimaknai sebagai
kata yang merujuk pada keadaan yang baik, atau keadaan dimana masyarakat dalam kondisi
sehat, makmur dan damai (Sodiq, 2015: 383).

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif yang
bersifat studi literatur, yaitu aktivitas menghimpun informasi yang sesuai dengan objek
penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari jurnal-jurnal
hasil pencarian di internet, artikel dan buku yang membahas tentang wakaf.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemerintah telah memberikan perhatian penuh terhadap pengelolaan wakaf
di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf (Munir, 2015: 95). Namun, adanya peraturan
tersebut belum menjamin pengelolaan wakaf yang maksimal, karena masih banyak tanah
wakaf yang belum digarap secara optimal, bahkan banyak yang hanya dibiarkan begitu saja
tanpa dimanfaatkan. Padahal potensinya sangat besar dan bisa menjadi solusi dari masalah
kemiskinan yang ada.
Pemerintah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 43 ayat
2 menginginkan agar pengelolaan dan pengembangan wakaf dilakukan dengan cara
produktif. Namun faktanya masih banyak masyarakat yang belum paham terhadap makna
wakaf produktif, yang dipahami oleh masyarakat adalah bahwa aset wakaf hanya
dimanfaatkan untuk tujuan ibadah seperti pembangunan masjid dan musholla. Padahal nilai
ibadah tidak hanya sekedar menyangkut hal-hal tersebut. Di atas tanah wakaf bisa dibangun
sebuah pusat perbelanjaan yang keuntungannya bisa dialokasikan untuk layanan kesehatan
gratis, beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu dan lain sebagainya, ini juga termasuk
bagian dari ibadah karena lebih bermanfaat untuk masyarakat yang membutuhkan (Kasdi,
2016: 10). Seharusnya wakaf tidak hanya dimaknai secara spiritual saja, lebih dari itu, wakaf
mempunyai fungsi sosial yang sangat besar. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan fungsi
sosial tersebut, perlu dilakukan optimalisasi tehadap potensi wakaf yang ada dengan
melakukan pengelolaan secara produktif.
Ada lima strategi pemberdayaan aset wakaf agar menjadi produktif, yaitu (Said dan
Lim, 2005: 6-7): Pertama, mengetahui potensi aliran harta wakaf dengan meninjau sejarah
atau model wakaf dan memodifikasi sistem wakaf yang telah digunakan. Kedua, memberikan
layanan bagi pengembangan model wakaf modern dengan mengaplikasikan teknik
manajemen modern pada wakaf, dengan syarat harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.
Ketiga, memasarkan filantropi islam melalui wakaf, karena wakaf berpotensi dan
memiliki peran penting dalam melayani masyarakat. Selain itu wakaf produktif dapat
menjadi alternatif ketika negara sedang dalam keadaan krisis seperti sekarang. Keempat,
melakukan pembaruan terhadap administrasi wakaf, sehingga menjadi lebih efisien,
responsif, dan transparan, serta membangun relasi dengan berbagai pihak seperti lembaga
pedidikan, organisasi internasional, dan negara lain agar investasi wakaf bisa dikembangkan.
Kelima, memproduktifkan aset wakaf yang sebelumnya tidak produktif dengan
menumbuhkan komitmen dari nadzir, wakif, investor, dan masyarakat yang memiliki
pengetahuan terhadap manfaat wakaf.
Nadzhir memiliki peran yang penting dalam pengelolaan wakaf secara produktif.
Selain menguasai konsep fikih tentang wakaf, nadzhir harus mampu mengelola harta wakaf
secara profesional, terlebih jika harta yang diwakafkan adalah uang. Saat ini Indonesia telah
memiliki badan khusus yang menangani wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia. Badan ini
diperlukan untuk pengembangan dan pengelolaan wakaf dalam skala nasional dan
internasional.

Dilansir dari website resmi milik Badan Wakaf Indonesia (www.bwi.go.id)


pemanfaatan tanah wakaf secara produktif bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan
masjid untuk disewakan kepada para pedagang, yang mana keuntungan dari sewa tersebut
nantinya digunakan untuk biaya pembangunan dan perawatan masjid. Selain itu di atas tanah
wakaf juga bisa dibangun gedung yang nantinya akan disewakan kepada para pengusaha,
keuntungan dari sewa tersebut bisa digunakan untuk biaya pemeliharaan bagi tanah wakaf
lainnya.
Ada berbagai macam cara yang bisa dilakukan dalam mengelola dan
mengembangkan wakaf produktif, antara lain investasi, perdagangan, kemitraan, agrobisnis,
penanaman modal, pembangunan gedung, perindustrian, pertambangan, apartemen,
pengembangan teknologi, pertokoan, rumah susun, swalayan, perkantoran, dan usaha-usaha
lain yang sesuai dengan syariat islam (Munir, 2015: 105).
Menurut Kasdi (2014: 109) ada dua pola pengembangan wakaf produktif, yaitu
pengembangan wakaf yang ditujukan untuk kegiatan sosial dan pengembangan wakaf yang
memiliki nilai ekonomi. Pengembangan wakaf dengan tujuan sosial meliputi pengembangan
pendidikan, bantuan hukum, sarana kesehatan, perlindungan anak, kesejahteraan umat,
pengembangan seni dan budaya, pemberdayaan perempuan, pelestarian lingkungan, dan
berbagai kegiatan sosial lainnya. Sedangkan pengembangan yang memiliki nilai ekonomi
meliputi pengembangan aset industri, perdagangan, investasi keuangan, pembelian properti,
dan lain-lain.
Selain itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar wakaf produktif bisa dikelola
dan dikembangkan secara optimal, diantaranya (Kasdi, 2014: 109-121):
1. Pemberdayaan wakaf rumah sakit
Hal ini bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan aset wakaf untuk
mengembangkan pelayanan kesehatan melalui pengadaan fasilitas kesehatan
seperti pembangunan rumah sakit, industri obat-obatan kimia, pengembangan
ilmu-ilmu medis dan sekolah kesehatan. Bisa juga dilakukan dengan memberikan
dana hasil wakaf produktif kepada rumah sakit, yang nantinya digunakan untuk
memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat miskin, keringanan
biaya rumah sakit, obat-obatan, dan biaya peraw atan.
2. Wakaf bisnis center
Tanah wakaf di perkotaan yang tidak bisa ditanami dengan berbagai
macam tumbuh- tumbuhan bisa dimanfaatkan dengan cara mendirikan gedung
yang nantinya akan disewakan kepada para pemilik toko atau bisa juga dijadikan
sebagai apartemen, dan berbagai fasilitas umum lainnya. Selain itu, lahan wakaf
yang kosong juga bisa diproduktifkan dengan membangun gedung wakaf dan
bisnis center (pusat bisnis). Pembangunan gedung wakaf dimaksudkan agar
pengelolaan wakaf bisa dilakukan secara profesional dengan tanggung jawab
penuh, dan menunjang kegiatan wakaf di berbagai tempat. Sedangkan untuk
bisnis center bisa dilakukan dengan membangun kompleks perdagangan yang
didalamnya terdapat berbagai macam usaha, sepeti kantor notaris, travel,
showroom, fotokopi, kantor pelayanan haji dan umrah, dan lain-lain.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam membangun bisnis center
yang menguntungkan dan akuntabel, diantaranya: Pertama, berada di tempat yang
strategis dan memiliki sarana bisnis yang memadai. Kedua, nadzhir wakaf
haruslah orang yang memiliki jiwa enterpreuner tinggi, memiliki sertifikasi
nadzhir dan menjunjung tinggi profesionalitas. Ketiga, memiliki berbagai macam
akad transaksi yang tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini dilakukan agar
kebutuhan masyarakat terhadap berbagai transaksi bisa terpenuhi akadnya.
Keempat, sistem pencatatan yang transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat. Kelima, adanya badan pengawas dan penjamin.
Pembangunan bisnis center juga dapat dilakukan dengan merenovasi sarana
ibadah yang berada di tempat strategis menjadi sebuah gedung yang dapat
dimanfaatkan dari segi ekonomi, dengan catatan tidak menghilangkan sarana
ibadahnya. Artinya, Gedung tersebut dibangun menjadi beberapa lantai, yang
salah satu lantainya digunakan sebagai masjid. Hal ini tidak hanya
menguntungkan dari sisi ekonomi, tetapi juga kebutuhan akan sarana ibadah tetap
terpenuhi.
3. investasi aset wakaf
Investasi aset wakaf bisa dilakukan terutama pada wakaf uang. Wakaf uang
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena jangkauannya lebih
merata jika dibandingkan wakaf yang selama ini berkembang di tengah
masyarakat, yaitu berupa harta tidak bergerak seperti tanah dan lain-lain. Wakaf
uang bisa diaplikasikan pada berbagai sektor, antara lain sektor investasi
langsung, sector portofolio keuangan syariah, dan sektor kredit mikro. Ketiga
sektor ini sangat berpotensi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat, dengan syarat semua kegiatan pada tiga sektor tersebut
dikelola secara professional dan bertanggung jawab, serta mendapat dukungan
kebijakan politik dari pemerintah.
Wakaf uang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf. Undang-Undang ini memberi peluang kepada masyarakat yang
tidak memiliki tanah atau bangunan untuk diwakafkan. Masyarakat bisa
menyisihkan uangnya untuk berwakaf
4. Wakaf untuk Pendidikan
Upaya strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
adalah dengan memfasilitasi segala kebutuhan pendidikan, baik sarana maupun
prasarana yang dapat menunjang kegiatan pembelajaran di sekolah maupun
perguruan tinggi, misalnya menyediakan lembaga riset. Adanya wakaf produktif
dapat menjadi solusi dari hal tersebut. Aset wakaf berupa uang bisa diinvestasikan
pada usaha atau perusahaan yang memiliki prospek bagus, yang nantinya hasil
dari investasi tersebut digunakan untuk membiayai anak- anak yang kurang
mampu agar bisa melanjutkan pendidikannya.
Adapun lembaga pendidikan yang dibiayai oleh wakaf produktif adalah
madrasah, perguruan tinggi, perpustakaan yang dapat menunjang kegiatan belajar
siswa dan mahasiswa, asrama pelajar dan mahasiswa yang diperuntukan bagi
pelajar atau mahasiswa baru yang datang dari luar kota sehingga mereka tidak
kesulitan dalam mencari tempat tinggal. Wakaf untuk pendidikan digunakan
dengan tujuan menopang operasional pendidikan, menjamin kesejahteraan dosen
maupun guru, membiayai pembangunan sarana dan prasarana pendidikan,
memfasilitasi segala kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru
maupun dosen, serta membangun masjid sebagai sarana ibadah dan pendidikan
moral siswa.

KESIMPULAN
Adanya potensi wakaf yang begitu besar memerlukan pengelolaan yang tepat agar
potensi tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal. Saat ini, Indonesia telah memiliki
lembaga pengelola wakaf yaitu Badan Wakaf Indonesia yang menangani segala
permasalahan wakaf di Indonesia. Wakaf di Indonesia banyak yang dikelola secara
konsumtif. Padahal pemerintah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
pasal 43 ayat 2 menginginkan agar pengelolaan dan pengembangan wakaf dilakukan
dengan cara produktif. Oleh karena itu ada beberapa cara pengelolaan wakaf produktif,
diantaranya dengan memanfaatkan lahan masjid untuk disewakan kepada para
pedagang yang mana keuntungan dari sewa tersebut nantinya digunakan untuk biaya
pembangunan dan perawatan masjid. Selain itu di atas tanah wakaf juga bisa dibangun
gedung yang nantinya akan disewakan kepada para pengusaha, keuntungan dari sewa
tersebut bisa digunakan untuk biaya pemeliharaan bagi tanah wakaf lainnya. Selain itu,
pengembangan dan pengelolaan wakaf juga bisa dilakukan dalam hal investasi,
perdagangan, kemitraan, agrobisnis, penanaman modal, pembangunan gedung,
perindustrian, pertambangan, apartemen, pengembangan teknologi, pertokoan, rumah
susun, swalayan, perkantoran, dan usaha-usaha lain yang sesuai dengan syariat islam.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Azwar. Dan Muhammad Nafik Hadi Ryandono. (2017). “Wakaf Produktif Dalam
Pemberantasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Ekonomi di Yayasan Nurul Hayat
Surabaya” Volume 4, No. 3

Asy’ari, Hasan. (2016). Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif di Yayasan


Pondok Pesantren Miftahul Ulum Al-Yasini.

Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Politik 2015. Diakses dari www.bps.go.id

Badan Wakaf Indonesia. (2020). Optimalisasi Wakaf Produktif. Diakses dari


www.bwi.go.id

Fuadi, Nasrul Fahmi Zaki. (2018). “Wakaf Sebagai Instrumen Ekonomi Pembangunan
Islam” Vol 9, No. 1

Halim, Abdul. (2005). Hukum Perwakafan di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1994). Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai