Anda di halaman 1dari 17

Produksi dan Konsumsi dalam Ekonomi Islam

Untuk Memenuhi Tugas Materi Ekonomi Islam


Dosen Pengampu : Dr. Dra. Nurul Adfiah., M.M

Ekonomi Islam 4E

Oleh:
Miftah Firdaus (201810160311258)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Produksi, distribusi, dan konsumsi merupakan satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan dalam rangkaian sistem ekonomi. ketiganya akan saling

mempengaruhi dan ketergantungan, akan tetapi kegiatan atau proses dari

produksi sendiri adalah titik pangkal dari rangkaian tersebut. tidak akan ada

distribusi dan konsumsi bila proses produksi tidak terjadi.1

Produksi dalam ekonomi Islam merupakan segala bentuk aktivitas

mengubah input menjadi output dari sumber-sumber ekonomi yang disediakan

oleh Allah SWT guna memberikan mashlahah bagi konsumen. Pengertian

produk tidak dapat dilepaskan dengan kebutuhan. Untuk dapat mempertahankan

hidupnya, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian dan perlindungan

(Zaki Fuad Chalil, 2009).

Dalam ilmu ekonomi konsumsi adalah setiap perilaku seseorang untuk

menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. 2
dalam ekonomi Islam konsumsi adalah upaya dalam memenuhi

kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan

fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah serta sebagai sumber tenaga untuk

mendekatkan diri kepada -Nya

1
Mustafa Edwin Nasution Dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007)
2
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), 178
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Produksi

Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam adalah terkait dengan

manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi, produksi merupakan

kegiatan menciptakan kekayaan dengan pemanfaatan sumber alam oleh

manusia. Berproduksi lazim diartikan menciptakan nilai barang atau menambah

nilai terhadap sesuatu produk, barang dan jasa yang diproduksi itu haruslah

hanya yang dibolehkan dan menguntungkan (yakni halal dan baik) menurut

Islam (Mohamed Aslam Haneef, 2010).

Produksi adalah mengolah alam sehingga tercipta bentuk terbaik yang

mampu memenuhi kemaslahatan manusia (muhammad Baqir Asshadr,

Iqtishaduna), dari teori tersebut sangat diharamkan memproduksi sesuatu yang

merusak akidah yang sahih dan akhlak yang utama, segala sesuatu yang

melucuti identitas umat, menggoncangkan nilai-nilai agama dan akhlak,

menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkannya dari keseriusan,

mendekatkan pada kebathilan, menjauhkan dari kebenaran, mendekatkan dunia

dan menjauhkan akhirat, menginginkan kekayaan, uang dan keuntungan semata

(Yusuf Qardhawi dalam didin Hafidhuddin 1997)

Sebagaimana Hadist shahih Aljami’ah Asshagir “barang siapa yang

menciptakan kemudharatan/kejahatan, dan orang lain mengikuti kemudharatan

tersebut maka ia akan mendapat dosa dari perbuatan itu dan akan mendapat

dosa dari setiap orang yang mengikutinya sampai hari kiamat” (H.R.Ahmad,

Muslim,Tirmudzi, Nasai, dan Ibnu Majah dari Jahir). Perintah produksi akan
barang dan jasa terdapat pada Ayat Al-Quran surah Yasin ayat 33-35 yang

artinya : “Dan suatu tanda kekuasaan Allah adalah bumi yang mati, kemudian

kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya biji-bijian maka dari

padanya mereka makan, Dan kami jadikan dari padanya kebun kurma dan

anggur dan kami pancarkan dari padanya beberapa mata air, Supaya mereka

dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka,

maka mengapakah mereka tidak bersyukur”. (Q.S. 36:33-35).

2.2. Konsumsi

Teori Konsumsi menurut pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi

Islam (P3EUII, 2011) adalah pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang

memberikan maslahah/kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri.

Secara umum pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik,

spiritual, intelektual, ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan

menambah kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya. Jika suatu

kebutuhan diinginkan oleh seseorang maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan

melahirkan maslahah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan

tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata,

artinya jika yang diinginkan bukan kebutuahan maka pemenuhan keinginan

tersebut hanya akan memberikan kepuasan saja.

2.3. Urgensi Konsumsi

Urgensi konsumsi dalam ekonomi Islam memiliki perbedaan dengan

ekonomi konvensional, jika dalam ilmu ekonomi yang dapat dilihat tujuan

konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan atau diasumsikan dengan tingkat

kepuasan tertinggi karena kepuasan yang tidak terbatas, sedangkan dalam


ekonomi Islam tujuan konsumsi untuk beribadah kepada Allah tuhan yang

maha esa, selain untuk meningkatkan stamina seperti makan, minum dan tidur,

juga dalam memenuhi kebutuhan lainnya didasari dengan kemaslahatan orang

banyak di atas kemaslahatan diri sendiri, seorang muslim akan

mempertimbangkan maslahah daripada utilitas (ekonomi islam P3EUII). Fungsi

Utilitas atau kepuasan merupakan penentu apakah barang dan jasa lebih disukai

atau tidak dibandingkan dengan barang lain, dengan demikian teori konsumsi

sangatlah dipengaruhi oleh fungsi utilitas.

Menurut Abdurrahmn Ibn Khaldun atau Abu Zayd dalam Adiwarman karim

2007, kekayaan suatunegara ditentukan oleh dua hal yakni tingkat produksi

domestik dan neraca pembayaran positif dari negara tersebut. Dapat saja suatu

negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila itu bukan merupakan

refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang atau jasa), maka

uang yang melimpah tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor

pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan

menimbulakn permintaan atas faktor produksi lainnya

2.4. Tujuan Konsumsi

Tujuan konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan atau diasumsikan

dengan tingkat kepuasan tertinggi karena kepuasan yang tidak terbatas,

sedangkan dalam ekonomi islam tujuan konsumsi untuk beribadah kepada Allah

tuhan yang maha esa, selain untuk meningkatkan stamina seperti makan, minum

dan tidur, juga dalam memenuhi kebutuhan lainnya didasari dengan

kemaslahatan orang banyak diatas kemaslahatan diri sendiri, seorang muslim

akan mempertimbangkan maslahah daripada utilitas (ekonomi islam P3EUII).


Fungsi Utilitas atau kepuasan merupakan penentu apakah barang dan jasa lebih

disukai atau tidak dibandingkan dengan barang lain, dengan demikian teori

konsumsi sangatlah dipengaruhi oleh fungsi utilitas

2.5. Sifat atau Norma Etika Konsumsi

Dalam Islam perilaku manusia telah diatur dalam agama Islam. Demikian

pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia bisa

melakukan kegiatankegiatan konsumsi yang akan membawa manusia yang

berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Dalam al-Qur‟an dan al-Hadits juga

mengatur tentang jalan hidup manusia, agar manusia dijauhkan dari sifat hina

karena perilaku konsumsi manusia.3

Jadi, perilaku konsumen muslim merupakan suatu aktivitas manusia yang

berkaitan dengan aktivitas membeli dan menggunakan produk barang dan jasa,

dengan memperhatikan kaidah ajaran Islam, dan berguna bagi kemaslahatan

umat. Yang demikian itu, dalam mengkonsumsi, menyimapan, mengelola, dan

memeili barang atau jasa dengan cara yang halal lagi baik, merupakan hal-hal

yang sangat diagungkan pembalasannya, dan dikabulkan do‟anya.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim yang artinya: “Hai

manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima (sesuatu) kecuali

yang baik (pula), dan sesungguhnya Allah itu memerintahkan orang-orang

beriman sebagaimana Dia memerintahkannya kepada para rasul (dahulu). (HR.

Muslim).4

3
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonosia, 2002, h.167.
4
Abdul Mun‟im Ahmad Tu‟ailab, Fath al- Rahman fi Tafsir AlQur’an, jil. 1 h. 202-203.
Etika seorang muslim di antaranya : 1. Tidak boleh hidup bermewah-

mewahan (Tarf), 2. Menjauhi (Israf, Tabdhir,dan Safih), 3. Melakukan

konsumsi yang seimbang, 4. Menjauhi mengkonsumsi atas barang dan jasa

yang membahayakan.

2.6. Konsep Penting dalam Konsumsi

Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan

kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan

pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya

sekaligus mendapatkan manfaat darinya. karakteristik dari kebutuhan dan

manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.

a. Kebutuhan (Hajat)

Manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik

ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan

antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan,

pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun,

selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan

juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan

hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan

hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh.

b. Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)

Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak

bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya

sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika

mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah


kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya

pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.

2.7. Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami

Dalam ekonomi islam, kepuasan konsumsi dikenal dengan maslahah dengan

pengertian terpenuhi keputuhan baik bersifat fisik maupun spritual. Islam

sangat mementingkan keseimbangan fisik dan dan non fisik yang didasarkan

atas nilai-nilai syariah. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal,

baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersifat israf (royal) dan

tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan

banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar

nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya. (Rozalinda, 2014: 97)

Teori nilai guna (utility) apabila dianalisis dari teori mashlahah, kepuasan

bukan didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi didasarkan

atas baik atau buruknya seseuatu itu terhadap diri dan lingkungannya. Jika

mengonsumsi sesuatu mendatangkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan

maka tindakan itu harus ditinggalkan sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang

artinya Menolak segala bentuk kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik

manfaat (Rozalinda, 2014: 99).

2.8. Prinsip Konsumsi

Salah satu pakar ekonomi muslim Muhammad Abdul Mannan menawarkan

lima prinsip konsumsi dalam Islam di antaranya:

1. Prinsip keadilan, mengandung pengertian bahwa dalam berkonsumsi tidak

boleh menimbulkan kedzaliman baik bagi individu yang bersangkutan


maupun bagi orang lain. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang

adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging

binatang, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain

nama Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk memuja

berhala atau tuhan-tuhan lain, dan persembahan bagi orang-orang yang

dianggap suci atau siapa pun selain Allah

2. Prinsip kebersihan, mengandung makna yang sempit dan luas. Makna yang

sempit berarti barang dikonsumsi harus bersih dan sehat (bebas dari

penyakit) yang bisa diindra secara nyata. Makna yang luas berarti harus

bersih dari larangan syariah.

3. Prinsip kesederhanaan mengandung maksud sesuai dengan kebutuhan dan

tidak berlebih-lebihan karena hal ini merupakan pangkal dari kerusakan dan

kehancuran baik bagi individu maupun masyarakat. Seperti firman Allah

dalam Al-Qur’an suratal-A’raf: 31 yang artinya: “..Makan dan minumlah,

dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berlebih-lebihan”

4. Prinsip kemurahan hati mengandung maksud tindakan konsumsi seseorang

harus bersifat ikhlas dan bukan dipaksakan serta mempertimbangkan aspek

sosial seperti pemberian sedekah

5. Aspek moralitas  mengandung arti bahwa perilaku konsumen muslim harus

tetap tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam Islam yang tercermin

baik sebelum, sewaktu dan sesudah konsumsi. Dengan demikian, ia akan

merasa kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya.


Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai

kebahagiaan hidup material dan spiritual.

2.9. Kaidah Konsumsi

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:

a. Kaidah syariah yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam

melakukan konsumsi di mana terdiri dari: kaidah aqidah yaitu mengetahui

hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai

perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban

khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban

oleh penciptaan. Jika sorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan

allah kepadanya, maka demikian itu ber titik tolak dari akidahnya ketika

allah meberikan nikmat kepada hamba-hambanya , maka dia senang bila

tanda nikmatnya terlihat pada hamba-hambanya.

b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengonsumsi harus tahu ilmu

tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan

dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halah atau haram baik di tinjau

dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-

Sunnah.

c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang

sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai

konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islam

tersebut, seseorang ketika sudah berkaidah yang lurus dan berilmu, maka

dia akan mengonsumsi hanya yang halah serta menjauhi yang haram serta

syubhat.
d. Kaidah kuantitas, yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi hala, tapi

dalam sisi kuantitas (jumlah)-nya harus juga dalam batas-batas syariah,

yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor

ekonomis, sebagai berikut: yang pertama adalah sederhana, yaitu

mengonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta

(boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros

dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya

dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak nash Al-Qur'an dan

As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing

keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang

buruk.

2.10. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Konvensional

Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam

memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual

(materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim

ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau

tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus

dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup

untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah

(fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus

mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan

manusia (hablu mina an-nas).

Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen

konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi
dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran

penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran

konsumsi sosial. Al-Quran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan

sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan

bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan

bagi umat Islam lainnya

2.11. Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Beberapa faktor yang bisa berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi

masyarakat antara lain:5

a. Distribusi penghasilan

Tambahan penghasilan mempunyai arti yang berbeda bagi

beberapa orang berdasarkan status sosialnya. Bagi orang yang

berpendapatan tinggi, tambahan penghasilan lebih banyak digunakan

untuk menembah tabungannya, sedangkan beberapa orang dengan

penghasilan rendah maka tambahan penghasilan tersebut akan

digunakan untuk menambah konsumsi.

b. Jumlah penduduk

Banyaknya jumlah penduduk akan berpengaruh pada konsumsi

masyarakat. Suatu perekonomian yang penduduknya relatif banyak,

pengeluarannya untuk konsumsi akan lebih besar, sebaliknya

perekonomian yang memiliki penduduk yang relatif sedikit maka

pengeluaran untuk konsumsi lebih sedikit

5
Muhammad Abdu Azis, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Masyarakat, diakses
dari https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web& rct=j& url=https://eprints.usn.ac, Diakses tanggal
20 juli 2017
c. Banyaknya kekayaan masyarakat yang berwujud (Asset Liquid)

Banyaknya alat liquid yang tersedia juga merupakan faktor lain

yang mempengaruhi konsumsi. Misalnya: tabungan, uang tunai, obligasi

dan lain lain. Semua alat liquid tersebut dapat diuangkan untuk

menambah konsumsi.

d. Banyak barang-barang yang tahan lama dalam masyarakat

Barang-barang konsumsi yang tahan lama seperti: rumah, mobil,

televisi dan lain-lain yang dimiliki oleh masyarakat dapat menambah

pengeluaran konsumsi, karena semakin banyak pendapatan yang

dikeluarkan untuk barang kebutuhan konsumsi namun juga dapat

mengurangi pengeluaran konsumsi karena di masa yang akan datang

dapat menambah penghasilan.

e. Sikap masyarakat terhadap kehematan

Prilaku dan kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi pengeluaran

konsumsi misalnya kebiasaan brhemat. Sikap masyarakat terhadap

penghematan akan mengurangi pengeluaran konsumsi, seseorang lebih

memilih untuk menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan asuransi

daripada membelanjakannya
BAB III

Laporan Hasil Obeservasi

Profil Usaha

 Jenis usaha : Tailor / Konveksi

 Nama usaha : Caton Sae Production

 Alamat usaha : Jalan Panderman Nomor 54 Sisir Kecamatan Batu Kota Batu

Jawa Timur (65314) Indonesia

 Kegiatan : Memproduksi kaos, kemeja, celana training, jaket, dan sablon

Produksi

1. Tahap pemilihan bahan

Tahap paling awal pada konveksi Caton Sae adalah memilih bahan yang

akan digunakan serta menyesuaikan dengan permintaan pelanggan berdasarkan

kebutuhan dan anggaran yang mereka miliki. Biasanya konveksi ini sudah

menyiapkan berbagai jenis kain yang bisa dipilih. Contoh bahan kaos : katun

combed, carded, contoh bahan kemeja : american drill

2. Tahap pembuatan desain

Setelah ditentukan bahannya, tahap selanjutnya adalah pembuatan

desain. Pemilihan desain ini biasanya sesuai dengan permintaan pelanggan atau

custom, jika bukan sesuai permintaan maka akan dibuatkan mengikuti desain

pada umumnya.

3. Tahap pemilihan ukuran


Penentuan ukuran kaos berpengaruh pada banyaknya kain yang

dibutuhkan. Biasanya produsen sudah memiliki hitunga pasti untuk ukuran

S,M,L,XL,XXL, dll. bisa juga memesan dengan ukuran all size.

4. Tahap pemotongan

Tahap pemotongan adalah langkan pertama dalam pembuatan pakaian

atau biasa dikenal dengan istilah Cutting, pemotongan dilakukan dengan gunting

khusus kain, sehingga mempermudah dalam melakukan pemotongan.

5. Tahap penyablonan / pembordiran

Setelah dilakukan pemotongan sesuai dengan bagian-bagian, lalu

langkah selanjutnya adalah penyablonan / pembordiran, pada tahap ini menjadi

tolak ukur kualitas dari suatu konveksi, bagaimana tingkat warna dan

kerapihannya.

6. Tahap penjahitan

Proses penjahitan merupakan saat bentuk kemeja / kaos secara

keseluruhan akan dibuat, pada tahap ini membutuhkan banyak mesin jahit

7. Tahap finishing/packaging

Tahap akhir dari produksi kaos atau kemeja, pada tahap ini dilakukan

pemotongan benang yang kurang rapi, sehingga siap untuk dikemas, serta

dilakukan cek kualitas ulang apakah layak dan sesuai standar.


BAB IV

Kesimpulan

Dalam konsep Islam sangat penting adanya pembagian jenis barang atau jasa

antara yang haram dan halal. Islam melarang konsumsi yang berlebih-lebihan dan

mubazir, dalam hal ini etika konsumsi manusia sangat tinggi. Manusia harus mampu

membedakan mana yang menjadi kebutuahn dan keinginan, manusia juga harus

mengedepankan kemaslahatan diri, keluarga dan soaial, manusia dilarang untuk

menghalalkan apa yang ditetapkan haram dan mengharamkan apa-apa yang sudah halal.

Dalam konsep produksi Islami, produsen harus mempu mengolah sumber daya

alam yang diciptakan Allah dengan baik, etika dan norma produksi harus diprioritaskan,

kemaslahatan umat lebih tinggi dibandingkan kemaslahan diri sendiri, alat produksi

dimanfaatkan dengan amanah memakmurkan bumi, karena manusia merupakan

Khalifatul fil Ardhi, dimana manusia akan mempertanggungjawabkan segala yang ia

lakukan dimuka bumi di hari akhir nanti.

Teori Konsumsi menurut pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam

(P3EUII, 2011) adalah pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang memberikan

maslahah/kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri. Secara umum

pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual, intelektual,

ataupun material.
Daftar Pustaka

1. Al-qur’an dan Hadist

2. Abdul Mun’im Ahmad Tu’ailab, Fath al- Rahman fi Tafsir AlQur’an, jil. 1.

3. Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam, Raja Grafindo Persada, 2010

4. Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonosia, 2002.

5. Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2001)

6. Mohammad Aslam Haneef oleh Suherman Rosyidi, Pemikiran ekonomi Islam,

Rajawali Pers 2010

7. Muhammad Abdu Azis, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Masyarakat, diakses dari https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web& rct=j&

url=https://eprints.usn.ac, Diakses tanggal 20 juli 2017

8. Mustafa Edwin Nasution Dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2007)

9. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta

kerjasama dengan Bank Indonesia. 2012. Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

10. Rozalinda, (2014). Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada AktivitasEkonomi,

Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai