Anda di halaman 1dari 36

HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU

DELINQUENCY PADA SANTRI PONDOK


PESANTREN MIFTAAHUSH SHUDUUR

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH :

NAMA : RAFLY PRASETYO R


NPM : 16700007
PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MNEMPUH


UJIAN AKHIR SARJANA STRATA SATU (S1)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS TAMA
JAGAKARSA JAKARTA
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik atau

malah membawa kehancuran suatu generasi jika tidak dapat membawa diri

secara hati-hati. Di era globalisasi ini banyak sekali pengeksplorasian terhadap

segala sesuatu mulai dari ilmu pengetahuan sampai hal-hal yang bersifat

kenakalan remaja yang bisa membahayakan mental generasi muda Indonesia.

Masalah Perilaku Delinquency merupakan masalah yang cukup pelik, hal

ini dapat dilihat dari semakin banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan di

Indonesia. Hampir setiap media masa baik cetak maupun elektronik menyajikan

hal-hal yang berhubungan dengan kenakalan remaja. Hampir setiap orang yang

termasuk dalam komunitas suatu masyarakat diterpa oleh media masa, termasuk

didalamnya adalah para remaja, hal ini tentunya sangat mengganggu

perkembangan jiwa para generasi muda. Menurut Santrock (2007), perilaku

delinquency itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor dari

remaja itu sendiri, Salah satunya adalah kendali diri atau kontrol diri yang lemah,

karena kenakalan remaja dapat digambarkan sebagai bentuk kegagalan

mengembangkan kontrol diri dalam tingkah laku remaja. Beberapa anak gagal

dalam mengembangkan kontrol diri yang seharusnya telah diterima ketika

mengalami proses pertumbuhan.

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Hurlock menyatakan bahwa “secara mengontrol dirinya

1
2

kearah yang positif, bahkan pergaulannya lebih parah ketimbang remaja-remaja

umumnya, bisa psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintregrasi

dengan masyarakat dewasa” (Hurlock 2011).

Ediati (2017) berpendapat mengenai perilaku delinkuensi yang menyatakan

sebagai perilaku yang melanggar norma sosial, hukum, dan agama yang dilakukan

oleh orang yang belum dewasa (dibawah usia 18 tahun) dan Mulyono (2017) juga

memberikan pendapatnya bahwa perilaku delinkuensi merupakan kenakalan

remaja yang terbatas pada usia sekitar 13-15 tahun sampai usia 21 tahun

Remaja melakukan perilaku pengeroyokan, tawuran, merokok, berciuman

dengan pacar, dan terlibat penyalahgunaan narkoba. Hal itu terjadi sebagaimana

emosi-emosi remaja kuat dan tidak stabil, apabila mereka merasa tertekan maka

mereka menjadi murung. Emosi yang meningkat pada masa ini disebabkan oleh

perubahan- perubahan kelenjer, terutama kelenjer-kelenjer seks dan

kekangankekangan orang tua secara berlebihan. Sementara itu, remaja berusaha

membuang cara-cara lama dari masa anak-anak dan membentuk cara-cara baru.

Masa remaja merupakan masa yang benar-benar sulit tidak hanya bagi

perkembangan emosi, tetapi juga bagi penyesuaian diri dalam masyarakat.

(Semiun, 2019).

Kartono (2019), dalam mengartikan Delinquency lebih mengacu pada suatu

bentuk perilaku menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta

emosi yang sangat labil dan defektif, sedangkan Sudarsono (2019), merumuskan

bahwa perilaku Delinquency memiliki arti yang luas, yaitu perbuatan yang

menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak


3

tergolong pidana umum maupun khusus. Antara lain, perbuatan yang bersifat anti

susila, yaitu durhaka kepada orang tua membantah, melawan, tidak patuh, tidak

sopan, berbohong, memusuhi orang tua, saudarasaudaranya, masyarakat dan lain-

lain. Serta dikatakan delinkuensi, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan

norma-norma agama yang dianut.

Dalam pondok pesantren sendiri, terdapat banyak peraturan yang berguna

untuk menertibkan para santri, seperti santri hanya boleh keluar pada jam-jam

tertentu, tidak diperbolehkan membawa hp ataupun alat elektronik lainnya

sehingga tidak boleh mengakses sosial media. Pondok pesantren manapun sangat

rigid (kaku) terhadap aturan pemakaian smartphone dan gadget, saking kakunya

hukuman bagi siapapun yang melanggar ketentuan penggunaan gadget bisa sangat

keras (Khozin, 2018)

Pesantren sebagai salah satu lembaga yang berfungsi mencetak generasi

muslim yang berilmu dan bisa membimbing masyarakat sangat dipercaya

masyarakat, sampai saat ini image masyarakat kepada pesantren adalah salah

satu lembaga terbaik yang bisa mendidik anak-anak mereka dengan akhlak yang

baik dan ketika sudah tamat belajar dipesantren maka mereka berharap anak-

anak mereka mempunyai jaminan akhlak mulia serta kemampuan yang tidak

sembarang orang bisa terutama ilmu agama.“Pesantren adalah lembaga

pendidikan Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan

ajaran islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman

perilaku sehari-hari.” Mastuhu (2017)


4

Ketidakbebasan dalam pesantren sendiri ternyata tidak membuat para santri

banyak yang menaati peraturan yang telah ada. Hal tersebut tentunya dilakukan

karena para santri yang baru masuk dalam pesantren biasanya tidak biasa

dikekang atau mereka sudah biasa hidup dengan kebebasan. Aturan-aturan yang

begitu ketat di pondok pesantren ini membuat para santri remaja yang baru mulai

menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren membuat mereka terkadang

melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan melanggar peraturan yang

ada di pondok pesantren seperti halnya melakukan kekerasan fisik, pencurian,

bolos diwaktu jam sekolah formal, pergi ke warnet untuk megakses internet,

tidak mengikuti kegiatan yang ada dan cara berpenampilan santri yang terkadang

mengikuti gaya yang sedang tren dikalangan selebriti, seperti halnya model

pakaian yang gaul dan rambut yang berwarna (Sholeh, 2007).

Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai

kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan

di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan

kemasyarakatan, dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada

pesantren disebut santri yang umumnya menetap dan tempat bagi santri yang

menetap di lingkungan pesantren disebut dengan pondok (Depag RI, 2016).

Pada saat ini dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik atau

malah membawa kehancuran suatu generasi jika tidak dapat membawa diri

secara hati-hati. Di era globalisasi ini banyak sekali pengeksplorasian terhadap

segala sesuatu mulai dari ilmu pengetahuan sampai hal-hal yang bersifat

kenakalan remaja yang bisa membahayakan mental generasi muda Indonesia.


5

Berbagai upaya dilakukan untuk mengoptimalkan peran serta fungsi

pesantren, termasuk menciptakan kebijakan tertentu yang dituangkan dalam

bentuk aturan yang harus dilaksanakan oleh setiap santri, diharapkan santri dapat

melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan teratur dan sesuai dengan

tatatertib yang berlaku di lingkungan. Namun pada kenyataannya masih banyak

pelanggaran yang dilakukan oleh santri.

Ali dan Asrori (2016) menyatakan bahwa pada periode perkembangannya,

remaja mengalami tahapan masa menantang (trozalter) yang ditandai dengan

adanya perubahan mencolok pada dirinya, baik aspek fisik maupun psikis

sehingga menimbulkan reaksi emosional dan perilaku radikal. Selain itu, remaja

memiliki kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas. Tidak

terkecuali remaja yang berlatarbelakang sebagai santri pondok pesantren.

Pondok Pesantren Miftaahush Shuduur dengan sistem Boarding School

atau berasrama sehingga santrinya tidak diperbolehkan untuk pulang kerumah

sebelum jadwal yang telah ditentukan. pola pengajaran yang dilakukan yaitu

selain mengajarkan ilmu pendidikan agama, juga memberikan pelajaran umum

sebagai pendidikan formal pada tingkat MTs dan SMK. Santri yang terdapat di

Pondok Pesantren berasal dari berbagai daerah. Santri akan di ajarkan pendidikan

diniyah yang tidak diajarkan di sekolah pada umumnya seperti Tahfidz

(menghafal Al-Qur’an), Tahsin (membaca Al-Qur’an), Doa, Hadits, Tafsir

Qur’an, Kemandirian, Ekstrakurikuler, dan lain-lain.

Tata tertib yang diterapkan di pondok pesantren meliputi peraturan terkait

kegiatan akademik maupun peraturan yang mengatur kegiatan harian santri,


6

seperti kewajiban datang tepat waktu ke sekolah, mengenakan seragam yang

sesuai, kewajiban berkomunikasi dalam bahasa Arab dan Inggris dalam kegiatan

harian, larangan membawa dan menggunakan barang elektronik, kewajiban

melaksanakan sholat berjama’ah di masjid, larangan keluar asrama tanpa

perizinan dan lain sebagainya. Upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan

peran serta fungsi pesantren yaitu dengan menciptakan kebijakan tertentu yang

dituangkan dalam bentuk peraturan yang wajib dipatuhi oleh santri, akan tetapi

pada kenyataannya masih terdapat santri yang melakukan pelanggaran disiplin.

Berdasarkan hasil wawancara pertama yang dilakukan peneliti dengan Koor.

Kesantrian di Pondok Pesantren Miftaahush Shuduur pada hari Selasa, 1 Februari

2020 menjelaskan bahwa pelanggaran yang terjadi di asrama mempunyai

kecendrungan kenakalan remaja seperti bolos mengikuti kegiatan diniyah,

membawa handphone, merokok, pacaran, mencuri, dan meninggalkan pesantren

tanpa izin. Koor. Kesantrian tersebutpun menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan

yang sangat jauh antara kenakalan remaja yang ada pada santri maupun dengan

siswa yang ada diluar pesantren.

Kontrol diri adalah suatu jihad melawan ego atau nafsu pribadi. Perjuangan

ini dilakukan karena nafsu diri memiliki cenderung untuk mencari berbagai

kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang harus ditunaikan, serta

mengabaikan terhadap kewajiban-kewajiban. Siapapun yang gemar menuruti apa

saja diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia tertawan dan

diperbudak oleh nafsunya itu. “Hal inilah yang menjadi salah satu alasan

mengapa Nabi SAW menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih dahsyat
7

daripada jihad melawan musuh Terutama nafsu diri sendiri.” (Sutransa, 2013).

Jika remaja mengikuti nafsu keingingannya seperti dorongan seksual dan

dorongan agresif, jika seorang remaja tidak mempunyai kontrol diri yang baik,

maka dia akan di kuasai oleh dorongan- dorongan nafsu yang akan menguasai

dirinya, sehingga akibatnya timbullah beraneka ragam macam bentuk kenakalan

remaja, misalnya berkelahi, menonton video porno dan sebagainya.

Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur

dan mengarahkan perilaku yaitu kontrol diri. Sebagai salah satu sifat kontrol diri

pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada yang memiliki

kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri rendah.

Kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku,

pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-

pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak.

Semakin intens, pengendalian tingkah laku, semakin pula kontrol diri seseorang.

Kontrol diri adalah merupakan salah satu aspek psikologi yang selalu

berkembang sejak anak-anak hingga dewasa. Seorang anak pada umunya masih

belum mempunyai kontrol diri yang baik, sehingga apa saja yang di inginkan,

apa saja yang dipikirkan, dan apa saja yang di dalam hati, semua bisa

diekpresikan keluar secara spontan, ketika menginjak masa remaja, kemampuan

mengontrol diri ini sangat diperlukan, karena dorongan-dorongan dan nafsu-

nafsu keingingan semakin menggejolak.

Mengontrol diri berarti individu berusaha dengan sekuat-kuatnya

mengarahkan pengaruh terhadap sesuatu yang bermanfaat dan dapat diterima


8

secara sosial. Kontrol diri memungkinkan remaja untuk berfikir atau berperilaku

yang lebih terarah, dapat menyalurkan dorongan-dorongan perasaan dalam

dirinya secara benar dan tidak menyimpang dari norma-norma dan aturan-aturan

yang berlaku di lingkungan sekitarnya (Hurlock, 2016).

Dari uraian diatas, maka kemampuan mengontrol diri berpotensi seseorang

dalam berperilaku yang terarah dan dapat menyalurkan dorongan dari dirinya

sendiri secara benar dan tidak menyimpang dari perilaku Delinquency di Pondok

Pesantren. Dalam kaitan dengan santri mengontrol diri dan mengatur Perilaku

Deliquency sehingga mencegah dan mereka dari perbuatan menyimpang.

Berdasarkan uraian latar belakang, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian secara mendalam dan sekaligus dijadikan pembahasan yang akan

dilanjutkan ke pembahasan skripsi dengan judul “HUBUNGAN ANTARA

KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU DELINQUENCY PADA SANTRI

PONDOK PESANTREN MIFTAAHUSH SHUDUUR”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan Rumusan Masalah diatas, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

 Apakah ada hubungannya antara kontrol diri dengan Perilaku Delinquency

pada santri Pondok Pesantren Miftaahush Shuduur?


9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan

diadakan penelitian ini ialah: Untuk mengetahui apakah ada hubungan

kontrol diri dengan Perilaku Delinquency santri di Pondok Pesantren

Miftaahush Shuduur

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang penulis harapkan dari judul penelitian ini ialah:

a. Manfaat Secara Teoritis

Dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang

hubungan kontrol diri dengan Perilaku Delinquency dan

membandingkan kenyataan yang ada di lapangan dengan teori

yang ada sehingga dapat menjadi referensi bagi penelitian

selanjutnya yang akan mengambil tema yang sama.

b. Manfaat Secara Praktis

Hasil penelitian dapat menjadi masukan, informasi dan saran bagi

pihak pesantren baik itu Ustadz, Wali Asuh, maupun orang tua

dalam mendidik siswa untuk mencegah Perilaku Delinquency

yang di akibatkan oleh kontrol diri.


10

D. Sistematis Penulisan

Untuk memudahkan serta teraturnya penulisan skripsi ini dan memberikan

gambaran yang jelas serta lebih terarah mengenai pokok permasalahan yang ada

dalam skripsi ini, maka penelitian mengelompokan lima bab pembahasan, yaitu

sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan merupakan gambaran umum secara global

yaitu: membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan

masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB 2 : Landasan Teori meliputi pengertian kontrol diri, aspek

kontrol diri, dan fungsi kontrol diri, pengertian Perilaku

Delinquency, aspek Perilaku Delinquency, faktor-faktor

Perilaku Delinquency dan definisi santri.

BAB 3 : Metodologi Penelitian meliputi pendekatan penelitian dan

desaign penelitian, ruang lingkup, definisi konsep penelitian,

definisi operasional variabel, subjek penelitian, metode

pengumpulan data, metode analisis data analisa data

penelitian.

BAB 4 : Hasil penelitian hubungan tentang Kontrol Diri dengan

Perilaku Deliquency.

BAB 5 : Penutup meliputi kesimpulan dan saran


BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam bab ini di uraikan tentang teori-teori yang digunakan dalam

penelitian yaitu definisi pengertian kontrol diri, jenis dan aspek kontrol diri, faktor

kontrol diri, pengertian Perilaku Delinquency, aspek Perilaku Delinquency, faktor

mempengaruhi Perilaku Delinquency dan definisi santri.

A. Kontrol Diri

1. Pengertian Kontrol Diri

Kontrol diri merupakan suatu kecapakan membaca situasi diri dan

lingkungannya. Selain itu juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola

faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri

dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku,

kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai

untuk orang lain, dan menutupi perasaannya.

Hurlock (2017) mengatakan bahwa kontrol diri merupakan perbedaan dalam

mengelola emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya motivasi, dan

kemampuan mengelola potensi dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri

sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta

dorongan- dorongan dalam dirinya (Hurlock, 2017).

Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menentukan

perilakunya berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai dan aturan

dimasyarakat agar mengarah pada perilaku positif. Dapat diartikan bahwa

seseorang secara mandiri mampu memunculkan perilaku positif. Kemampuan

10
12

kontrol diri yang terdapat pada seseorang memerlukan peranan penting interaksi

dengan orang lain dan lingkungannya agar membentuk kontrol diri yang matang,

hal tersebut dibutuhkan karena ketika seseorang diharuskan untuk memunculkan

perilaku baru dan mempelajari perilaku tersebut dengan baik. (Tangney, 2004)

Menurut Tangney (2004) kontrol diri didefinisikan sebagai kemampuan

individu untuk mengesampingkan atau mengubah respon batin seseorang serta

mengendalikan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri

untuk melakukannya sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang positif bagi

dirinya dan lingkungannya.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrol

diri adalah kemampuan individu dalam proses-proses fisik, psikologis seseorang

dalam mengendalikan emosi dan mengubah respon dalam dirinya untuk

mengendalikan dorongan-dorongan (impuls-impuls) yang ada untuk menekan

perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri dari melakukan perilaku tersebut

agar mengarah pada perilaku yang lebih baik.

Kontrol diri berpengaruh terhadap kesuksesan studi kepribadian. Namun,

mencermati fakta dan realita dilapangan pada saat sekarang ini, masih banyaknya

remaja (santri) yang sulit mengelola emosi dan mengontrol dirinya, apalagi santri

sedang berada pada kondisi yang sedang labil (Thalib, 2010). Oleh sebab itu

kontrol pada diri sangat perlu dimiliki oleh peserta didik. Pengembangan

kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan Perilaku Delinquency

akan membuat peserta didik merasa bahagia, dapat menerima kelebihan dan

kekurangan diri sendiri.


13

Bila seseorang sedang marah, maka paling mudah mengingat kejadian yang

mempertegas dendam itu sendiri, dimana pikiran menjadi sibuk dengan obyek

kemarahan dan sikap mudah tersinggung akan menjungkirbalikkan wawasan

sehingga yang biasanya tampak baik kini menjadi pemicu kebencian.

Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing,

mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah

konsekuensi positif. Kontrol diri memungkinkan remaja untuk berpikir atau

berperilaku yang lebih terarah, dapat menyalurkan dorongan-dorongan perasaan

dalam dirinya secara benar serta tidak melanggar dari aturan-aturan yang berlaku

di lingkungan sekitarnya (Hurlock, 2015).

Kontrol diri merupakan kecakapan individu dalam kepekaan membaca

situasi dan lingkungannya. Selain itu, juga kemampuan untuk mengontrol dan

mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk

menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan

perilaku, kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar

sesuai untuk orang lain, menyenagkan orang lain, selalu konform dengan orang

lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron, 2010)

Cara yang biasanya dilakukan seseorang untuk bereaksi sebagian besar

tergantung pada faktor yang memberikan kepuasan terbesar padanya, perilaku

yang dapat diterima secara sosial, dan pada perilaku yang tidak menimbulkan

penolakan dari orang-orang sekitar.

Kontrol diri berdasarkan beberapa definisi dari para tokoh adalah

keterampilan untuk mengelola diri dan mengendalikan diri baik terhadap emosi,
14

mengendalikan suasana hati, kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya

sampai pengelolaan perilaku yang akan ditimbulkan oleh emosi itu sendiri dan

kontrol diri adalah suatu kemampuan menyusun, membimbing, mengatur,

mengarahkan perilaku, kecakapan membaca situasi, dan kemampuan membentuk

diri sendiri. Sedangkan kontrol diri yang rendah yaitu, tidak bisa mengontrol

perilaku dengan baik, tidak bisa mengontrol kognitif atau cara berfikir yang baik,

tidak bisa mengambil keputusan dan tindakan untuk penyelesaian suatu masalah

yang terjadi.

Sebaliknya jika kontrol diri yang tinggi seorang individu akan mampu

mengontrol kognitifnya dengan baik, sehingga dapat mengambil keputusan yang

sesuai dengan permasalahan yang dihadapi remaja.

2. Aspek Dalam Kontrol diri

Menurut Tangney et al., (2004) menjelaskan bahwa terdapat lima aspek

pada kontrol diri, yaitu:

a. Self-discipline

Kemampuan individu dalam melakukan pendisiplinan diri, artinya

individu mampu mengendalikan diri untuk fokus terhadap apa yang

dikerjakannya. Individu dengan self-discipline memiliki konsentrasi untuk

tetap mengerjakan tugasnya dengan baik serta menghindari hal- hal yang

dapat mengganggu pekerjaanya.


15

b. Deliberate/Nonimpulsive

Kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dengan

pertimbangan tertentu, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa. Ketika

individu sedang bekerja, ia cenderung tidak mudah teralihkan. Individu

yagn tergolong nonimpulsive mampu bersifat tenang dalam mengambil

keputusan dan bertindak.

c. Healthy Habits

Kemampuan individu untuk mengatur pola perilaku menjadi

kebiasaan yag menyehatkan bagi individu. Oleh karena itu, individu

dengan healthy habits akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan

dampak buruk bagi dirinya meskipun hal tersebut menyenangkan. Individu

dengan healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang memberikan

dampak positif bagi dirinya meski dampat tersebut tidak diterima secara

langsung.

d. Work Ethic

Berkaitan dengan penilaian individu terhadap regulasi diri mereka

didalam layanan etika kerja. Individu mampu menyelesaikan pekerjaan

dengan baik tanpa dipengaruhi oleh hal-hal diluar tugasnya meskipun hal

tersebut bersifat menyenangkan. Individu dengan work ethic mampu

memberikan perhatiannya pada pekerjaan yang sedang dilakukan.


16

e. Reliability

Aspek yang terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan

dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian

tertentu. Individu ini secara konsisten akan mengatur perilakunya untuk

mewujudkan setiap perencanaannya.

Berdasarkan konsep kontrol diri yang dijelaskan diatas maka aspek kontrol

diri dapat dijelaskan melalui self-discipline sebagai kemampuan individu untuk

mengendalikan diri agar tetap fokus, artinya Individu dengan self-discipline

memiliki konsentrasi untuk tetap mengerjakan tugasnya dengan baik serta

menghindari hal-hal yang dapat mengganggu pekerjaanya, deliberate/nonimpulsif

sebagai kemampuan individu untuk mempertimbangkan sesuatu dengan hati- hati

dan tidak tergesa-gesa, healthy habits sebagai kemampuan individu untuk

berperilaku secara sehat, work ethic sebagai kemampuan individu dalam menilai

regulasi dirinya dan reliability sebagai kemampuan individu dalam melaksanakan

rancangan jangka panjang untuk mencapai tujuannya.

3. Faktor-Faktor Kontrol Diri

Menurut Ghufron, (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri

terbagi menajdi 2 faktor terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal yaitu:
17

a. Faktor Internal

Faktor internal yang ikut berperan terhadap kontrol diri adalah

usia,semakin bertambah usia seseorang maka semakin baik kemampuan

mengontrol dirinya.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang ikut beperan terhadap kontrol diri diantaranya

adalah Lingkungan Keluarga terutama Orang tua menentukan bagaimana

kemampuan mengontrol diri seseorang.

B. Santri

1. Definisi Santri

Kata santri sendiri, menurut C. C Berg berasal dari bahasa India, shastri,

yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli

kitab suci agama Hindu. Sementara itu, A. H. John menyebutkan bahwa istilah

santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji (Suharto, 2011).

Menurut Indra (2016) santri adalah sekelompok orang baik-baik yang taat

terhadap aturan agama (orang saleh), dan selalu memperdalam pengetahuannya

tentang Agama Islam serta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ulama. Karena

berbicara tentang kehidupan ulama, senantiasa menyangkut pula kehidupan para

santri yang menjadi murid dan sekaligus menjadi pengikut serta pelanjut

perjuangan ulama yang setia. Santri adalah siswa atau mahasiswa yang dididik di

dalam lingkungan pondok pesantren.


18

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Geerts (2005) kebanyakan santri

berumur antara dua belas sampai dua puluh lima tahun, namun ia juga pernah

menjumpai beberapa yang berumur enam tahun dan tiga puluh lima tahun. Karena

menjadi santri bukan merupakan penghidupan, maka kecuali kiai, jarang sekali

terdapat orang berumur setengah baya atau orang tua di pondok.

C. Perilaku Delinquency

1. Pengertian Perilaku Delinquency

Stein (2017) menyatakan bahwa perilaku Delinquency dapat didefinisikan

sebagai semua tingkah laku remaja yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku

dalam masyarakat – yakni norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan

lain-lain yang berkaitan dengan norma-norma hukum pidana (Sarwono, 2017).

Gold dan Petronio (dalam Sarwono, 2017) mendefinisikan perilaku Delinquency

sebagai tindakan remaja yang sengaja melanggar hukum dan bila diketahui oleh

pihak yang berwajib maka pelanggarnya dapat dikenai hukuman. Berdasarkan

kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku Delinquency dapat

didefinisikan sebagai perilaku kenakalan remaja yang melanggar hukum.

Sarwono (2019) mengungkapkan Delinquency pada remaja sebagai tingkah

laku yang menyimpang dari norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (2019)

menyebutkan bahwa Delinquency pada remaja adalah suatu tindakan anak muda

yang dapat merusak dan mengganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang

lain. Santrock (2019) juga menambahkan Delinquency delinkuen pada remaja


19

sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima

secara sosial sampai tindakan kriminal.

2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Delinquency

Graham (dalam Sarwono, 2017) membagi faktor-faktor penyebab

perilaku delinkuensi remaja menjadi 2 golongan besar, yaitu :

a. faktor lingkungan,

Faktor lingkungan merupakan faktor penyebab delinkuensi remaja

yang berasal dari luar diri remaja, seperti kemiskinan, gangguan

lingkungan, migrasi, faktor sekolah, keluarga, atau gangguan dalam

pengasuhan orang tua (Sarwono, 2017).

b. faktor pribadi.

Faktor pribadi merupakan faktor penyebab delinkuensi remaja

yang berasal dari dalam diri remaja, yaitu faktor temperamen, cacat

tubuh, atau ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri (Sarwono,

2017).

3. Jenis Jenis Perilaku Delinquency

Jensen (dalam Sarwono, 2017) membagi Perilaku Delinquency

remaja menjadi empat jenis, yaitu

a. kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain

Perilaku Delinquency yang pertama, yaitu kenakalan yang

menimbulkan korban fisik pada orang lain, contohnya adalah


20

perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain

(Sarwono, 2017).

b. kenakalan yang menimbulkan korban materi

Perilaku Delinquency remaja yang kedua adalah kenakalan

yang menimbulkan korban materi; contohnya adalah perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lainlain (Sarwono, 2017)

c. kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain

Perilaku Delinquency yang ketiga adalah kenakalan sosial

yang tidak menimbulkan korban di pihak lain; contohnya adalah

pelacuran, zat, dan lainlain (Sarwono, 2017).

d. kenakalan yang melawan status

Perilaku Delinquency yang keempat, kenakalan yang melawan

status, contohnya adalah membolos, minggat dari rumah, membantah

perintah orang tua, dan sebagainya (Sarwono, 2017). Meskipun tidak

melanggar hukum pidana, namun pelaku sudah melanggar status-

status dalam lingkungan mereka. Jika dibiarkan, hal ini dapat

berdampak remaja dapat melakukan hal ini kepada atasannya kelak

atau kepada petugas hukum (Sarwono, 2017).

4. Bentuk Bentuk Perilaku Delinquency

Bentuk perilaku delinkuensi selaras dengan yang dikemukakan

oleh Hurlock (2019) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja

terbagi dalam empat bentuk, yaitu :

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.


21

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti

merampas, mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi

orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran

dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti

mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan

menggunakan senjata tajam

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh dapat disimpulkan bahwa bentuk-

bentuk Perilaku Delinquency diantaranya adalah penyalahgunaan obat,

penyalahgunaan seks, kekerasan, perkelahian, membolos, berbohong, kabur,

menyimpan benda berbahaya, berkata kotor, membantah perintah orang tua,

memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi

kesalahan, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.


22

D. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Delinquency Santri

Pondok Pesantren Miftaahush Shuduur

Fenomena-fenomena akibat dari kontrol diri rendah banyak terjadi dalam

kehidupan masyarakat. Hilangnya kendali diri dapat menimbulkan berbagai akibat

misalnya kenakalan remaja. Pada sebuah penelitian, ditemukan adanya dukungan

yang diberikan bagi pendapat bahwa kontrol diri memainkan peran penting dalam

kenakalan remaja Feldman (dalam Nurmala, 2017)

Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing,

mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah

konsekuensi positif. Kontrol diri memungkinkan remaja untuk berpikir atau

berperilaku yang lebih terarah, dapat menyalurkan dorongan-dorongan perasaan

dalam dirinya secara benar serta tidak melanggar dari aturan-aturan yang berlaku

di lingkungan sekitarnya (Hurlock 2015).

Penelitian yang dilakuakan oleh Azhar (2015) mengenai Perilaku

Delinquency dengan judul penelitian “Perilaku Sosial Santri Drop Out Studi

Kasus Pada Madrasah Mualimin Yogyakarta” penelitian tersebut mengulas

tentang perilaku sosial santri menyimpang yang dijatuhi sanksi drop out. Serta

mengetahui mengapa masih terdapat prilaku menyimpang dalam pondok

pesantren tersebut dengan hukuman yang setara baik pelanggaran keras dan

ringan.
23

Penelitian yang di lakukan Sulaiman (2014) mengenai Perilaku Delinquency

tentang hubungan kontrol diri dengan kenakalan pada remaja santri di

pondok Daruttaubah, menunjukkan bahwa secara umum gambaran kontrol diri

berada pada kategori tinggi. Sedangkan gambaran umum kenakalan remaja pada

kategori rendah jadi hubungan kontrol diri dengan kenakalan remaja di pondok

pesantren Daruttaubah Harapan Jaya Bekasi Utara memiliki korelasi yang lemah

(Sehingga dianggap tidak ada hubungan).

Penelitian Hidayati (2016) mengenai Perilaku Delinquency yang berjudul

Hubungan harga diri dan konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja,

menunjukkan hasil hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kenakalan

remaja sangat signifikan dengan tingkat signifikan (0,000) (p < 0,01). Artinya

bahwa variable konformitas teman sebaya berpengaruh sangat signifikan terhadap

variabel kenakalan remaja, dengan koefisien regresi konformitas teman sebaya

sebesar 0,714. Hal ini menujukkan bahwa semakin tingi konfomitas teman

sebaya, maka tingkat kenakalan remaja juga akan semakin tinggi.

Penelitian Saputro dan Triana (2012) mengenai Perilaku Delinquency yang

berjudul hubungan antara konformitas terhadap teman sebaya dengan

kecenderungan kenakalan pada remaja, menunjukkan hasil analisis dengan

korelasi product moment sebesar 0,666 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa

adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara konformitas terhadap

teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan pada remaja. Konformitas teman

sebaya dalam hal ini memberikan sumbangan sebesar 44,4% terhadap

kecenderungan kenakalan remaja. Disaat remaja gagal dalam menjalin hubungan


24

dengan teman dan lingkungan sosialnya inilah, remaja memandang dirinya

negatif. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan remaja melakukan kenakalan.

Remaja cenderung berpikir bahwa teman dan lingkungannya tidak menerima

keberadaan dia, sehingga menjadikan remaja tersebut berperilaku agresif.

E. Kerangka Berpikir

Kontrol Diri Perilaku Delinquency

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah kesimpulan sementara yang masih harus diuji

kebenarannya. Berdasarkan penjabaran landasan teoritis yang telah diuraikan

sebagai berikut:

1. Hipotesis alternatif (Ha) ialah terdapat Hubungan Antara Kontrol Diri

Dengan Perilaku Delinquency Pada Santri Pondok Pesantren

Miftaahush Shuduur; dan

2. Hipotesis Nul ialah tidak terdapat Hubungan Antara Kontrol Diri

Dengan Perilaku Delinquency Pada Santri Pondok Pesantren

Miftaahush Shuduur.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Istilah variabel dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi

objek pengamatan penelitian. Sering pula dinyatakan variabel penelitian itu

sebagai faktor-faktor yang berperanan dalam peristiwa atau gejala yang akan

diteliti (Suryabrta, 2011).

Adapaun variabel yang dinyatakan sebagai faktor-faktor yang berperan

dalam penelitian ini ada dua yaitu:

a. Variabel independen (X) : Kontrol Diri

b. Variabel dependen (Y) : Perilaku Delinquency

B. Definisi Oprasional

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat

diamati. Peneliti harus memilih dan menentukan definisi operasional yang paling

relevan bagi variabel yang ditelitinya (Azwar, 2011). Adapun definisi

operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kontrol Diri

Menurut Tangney et al., (2004) kontrol diri didefinisikan sebagai

kemampuan individu untuk mengesampingkan atau mengubah respon batin

seseorang serta mengendalikan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan

27
26

menahan diri untuk melakukannya sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang

positif bagi dirinya dan lingkungannya.

2. Perilaku Delinquency

Sarwono (2011) mendefinisikan salah satu bentuk penyimpangan sebagai

kenakalan remaja. Kenakalan remaja ini merupakan tindakan oleh seseorang yang

belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu

sendiri bahwa jika perbuatannya tidak sempat diketahui oleh petugas hukum maka

dirinya dapat dikenai hukuman. Perilaku menyimpang remaja merupakan tingkah

laku yang menyimpang dari norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga,

namun jika penyimpangan tersebut terjadi terhadap norma-norma hukum pidana

maka dapat disebut tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai

generalisasi hasil penelitian. Kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau

karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek

yang lain (Azwar, 2011). Adapun populasi yang diambil adalah seluruh santri

Pondok Pesantren Miftaahush Shuduur dengan jumlah 190 santri.

2. Sampel

Sampel menurut Arikunto (2010) merupakan bagian dari populasi yang


27

akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimilki oleh populasi.

Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh

sampel yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh atau dapat

menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

3. Metode Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan

peluang yang sama bagi setiap umur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi

anggota sampel. Dengan cara simple random sampling, yaitu teknik penentuan

sampel anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada

(Sugiyono,2012). Adapun penentuan jumlah sampel dalam Sugiyono (2015)

adalah ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai

dengan 500. Sedangkan menurut Frankel dan Wallen dalam Amiyani (2016)

menyarankan besar sampel minimum untuk penelitian deskriptif sebanyak 100.

Maka, berdasarkan teori tersebut sampel yang menjadi acuan oleh peneliti

sebanyak 100 responden.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik

yaitu Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan

untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga

alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data
28

kuantitatif (Sugiono, 2017). Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan 2 skala yaitu: skala kontrol diri dan skala Perilaku Delinquency.

Adapun jenis skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala likert, yaitu

skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseroang atau

sekelompok orang tentang fenomena sosial. (Sugiono, 2017) Adapun skala likert

terdiri dari:

a. Sangat Setuju (SS) c. Tidak Setuju (TS)

b. Setuju (S) d. Sangat Tidak Setuju (STS)

E. Instumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan

data. Sangat erat kaitannya able ment penelitian dengan able

pengumpulan data. Setiap able pengumpulan data akan memiliki bentuk

able ment yang berbeda pula. (Arikunto).

Pada penelitian ini penulis meneliti tentang “Hubungan Kontrol Diri

Dengan Perilaku Deliquency Pada Santri Pondok Pesantren Miftaahush

Shuduur” dalam hal ini ada dua skala yang digunakan yaitu skala Kontrol

Diri dan skala Perilaku Deliquency.

Aspek aspek yang dijadikan dasar dalam pembuatan item adalah

sebagai berikut :

1. Skala Kontrol Diri

Menurut Tangney (2004) Kontrol diri mempunyai 5 aspek Self-

discipline, Deliberate/nonimpulsif, Healthy Habits, Work Ethic dan

Reliability. Berikut ini adalah Table blueprint skala Perilaku Deliquency


29

yang telah disusun oleh peneliti:

No Aspek Indikator Instrumen Jumlah


F UF
1 Self-Discipline Mampu menghilangkan 6,33,3 9
kebiasaan buruk 5
Mampu mengontrol diri 32 4,23
Disiplin 1,15,21
2 Deliberate/Non Berfikir sebelum bertindak 5,12,2 8
-impulsif 4,25,2
6,28
Tidak terbawa perasaan 13 18
3 Healthy Habits Konsumsi sesuatu yang 10,22,3 2 6
sehat 1
Berolahraga 11 36
4 Work Ethic Bekerja dengan baik 14 17 6
Giat dalam menyelesaikan 9,34
tugas/pekerjaan
Memiliki konsentrasi yang 8,29
baik
5 Reliability Merasa handal 19,30 3,16 7
Konsisten 7,20 27
36

2. Skala Perilaku Deliquency

Menurut jensen Aspek-aspek Perilaku Deliquency yaitu Kenakalan

yang menimbulkan korban fisik, Kenakalan yang menimbulkan korban

materi, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban, dan kenakalan

yang melawan status. Berikut ini adalah tabel blueprint skala Perilaku

Deliquency yang telah disusun oleh peneliti:

Aitem
No Aspek Indikator Jumlah
F UF
1 Kenakalan yang Perkelahian, 1, 2, 3 4, 5, 6,
menimbulkan korban penganiayaan, 7, 8, 9 9
fisik pembunuhan
30

Aitem
No Aspek Indikator Jumlah
F UF
2 Kenakalan yang Perusak barang, 10, 11, 14, 15,
menimbulkan korban pencurian, 12, 13 16, 17, 1
Materi Pemerasan 18, 19 0

3 Kenakalan sosial Pacaran, 20, 21, 27, 28


yang tidak menonton film 22, 23,
menimbukan korban porno, 24, 25,
penyalahgunaan 26 9
obat, berpacaran,
Berbohong

4 Kenakalan yang Membolos, kabur 29, 30, 34, 35,


melawan status Dari presantren, 31, 32, 36, 37,
Membantah 33 38 1
0
Perintah
TOTAL 19 19 3
8

Teknik Penentuan skor pada skala Kontrol diri dan skala Perilaku

Deliquency menggunakan skala likert yang telah diadaptasi dengan rentang

skala 1-4. Skoring pada kedua skala tersebut dilakukan dengan cara

mengkonversikan setiap pilihan jawaban subjek ke dalam nilai/skor dengan

gambaran sebagai berikut:

Skor Skala Likert

Jawaban Nilai
Favorable Unfavorable
Sangat Sering 4 1
Sering (S) 3 2
Pernah (P) 2 3
Tidak Pernah(TP) 1 4
31

F. Metode Analisis Instrumen

Instrumen penelitian harus memiliki minimal dua syarat yaitu

validitas dan reliabilitas. Sebuah instrumen bisa dikatakan baik jika

mampu mengukur apa yang digunakan dan dapat mengungkap data

variabel yang diteliti secara tepat.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Untuk megetahui validitas

suatu instrumen dapat digunakan koefisien kolerasi dengan menggunakan

korelasi product moment. (Arikunto)

2. Reliabilitas

Realibilitas adalah sejauh mana suatu instrumen cukup dapat

dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument

tersebut sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius

mengarahkan responden untuk memilih jawaban- jawaban tertentu.

Instrument yang dapat dipercaya, yang reliable akan meghasilkan data

yang dapat dipercaya juga. Adapun metode uji reliabilitas dalam penelitian

ini adalah rumus Cronbach Alpha (Arikunto, 2010).

G. Teknik Analisis Data dan Interpretasi

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas
32

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data

berdistribusi normal atau tidak. Uji ini biasanya digunakan untuk

mengukur data berskala ordinal, interval maupun rasio. Jika analisis

data menggunakan metode parametrik, maka persyaratan normalitas

harus terpenuhi, yaitu data berasal dari distribusi yang normal. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan uji Kolmogorov – smirnov dengan

menggunakan taraf signifikansi 0.05. Data dinyatakan berdistribusi

normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0.05. (Hasby Assidiqi,

2015).

b. Uji Linearitas

Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel

mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara signifikan. Uji ini

biasanya digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau

regresi linier. Pengujian pada software Statictical Packages for Social

Sciense (SPSS) 21.0 for Windows dengan menggunakan Test for

Linearity dengan taraf signifikansi 0.05. Dua variabel dikatakan

mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi (Linearity) kurang

dari 0.05. (Hasby Assidiqi, 2015).

2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Teknik pengolahan Data

Untuk Teknik pengolahan data dalam penelitian ini memiliki tahapan

sebagai berikut: (Kuntjojo, 2009)


33

 Editing ialah kegiatan mengedit data yang dilakukan dengan

tujuan untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi, dan

kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk

menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan penelitian.

 Coding ialah memberi kode pada data dilakukan dengan

tujuan merubah data kualitatif menjadi data kuantitatif

(kuantifikasi data) atau membedakan aneka karakter.

Pemberian kode sangat diperlukan terutama dalam rangka

pengolahan data, baik secara manual, menggunakan

kalkulator atau komputer.

 Skoring data yang telah diklasifikasikan akan diberi skor

pada setiap jawaban. Item pada skala memiliki alternatif

jawaban dengan memberikan skor sesuai dengan ketentuan

dari skala yang digunakan.

 Tabulasi data ialah memasukkan data ke dalam tabel-tabel

yang telah disediakan, baik tabel untuk data mentah maupun

tabel kerja untuk menghitung data tertentu secara statistik.

 Interpretasi data ialah data yang telah disusun secara

sistematis di dalam table yang diberikan makna (Syofian

Siregar,2017) dengan ketentuan sebagai berikut:

o 0,00 – 0,199 = sangat rendah

o 0,20 – 0,399 = rendah

o 0,40 – 0,599 = sedang


34

o 0,60 – 0,799 = kuat

o 0,80 – 1,000 = sangat kuat

H. Teknik Analisis Data dan Hipoteis

1. Teknik Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini adalah analisis statistik. Analisis

statistik digunakan untuk menganalisis data berupa angka- angka tersebut

terlebih dahulu ditabulasi, kemudian untuk mengetahui presentasinya,

maka dianalisa dengan rumus Mean dan Standar Deviasi (SD) (Sugiono,

2012)

a. Teknik Uji Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis

hubungan (korelasi), yaitu korelasi product moment. Korelasi adalah

istilah statistik yang menyatakan derajat hubungan linier (searah

bukan timbal balik) antara dua variabel atau lebih. Teknik korelasi dua

variabel yang akan diteliti hubungannya masing-masing disebut

variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y), koefisien korelasi dengan

simbol rho (𝜌) dan untuk sampel dengan simbol r. (Usman, H dan R.

Purnomo Setiady Akbar, 2012).


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, W. (1995). Pesantren Sebagai Subkultur Dalam M Dawam

Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.

Azwar, S. (1999). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasibuan, J.J, Dip. Ed, dan Moedjiono. (1997). Proses Belajar Mengajar.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Niamul, Huda. (___). “Pengertian Santri.” Artikel ini diakses dari

http://pengertianpengertian.blogspot.com/2012/01/pengertian-santri.html

Poerwadarminata. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Pujawati Zulva. (2016). “Hubungan Kontrol Diri Dan Dukungan Orang Tua Dan

Perilaku Disiplin Pada Santri Di Pondok Pesantren Darussa’adah

Samarinda, Vol. 4, No 2, 227-236”.

Sulaiman Islam, Muhamad. (2014). “Hubungan Kontrol Diri Dengan Kenakalan

Pada Remaja Santri Di Pondok Pesantren Daruttaubah Harapan Jaya Bekasi

Utara”.

Tu’u, Tulus. (2004). Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta:

Grasindo.

36

Anda mungkin juga menyukai