Anda di halaman 1dari 24

1

Daftar Isi
Definisi ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................... 2
Kaidah dan Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil -
Dalil
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................... 3
Makna Ahlussunnah Wal Jama’ah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................... 6
Makna Salaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................... 9
Obyek Kajian Ilmu ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................. 11
Penjelasan Kaidah – Kaidah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil – Dalil..................14
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................. 14
Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.................................................................................. 23
2

Definisi ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Jumat, 8 Oktober 2004 05:46:14 WIB

‘Aqidah menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqdu yang berarti ikatan, at-Tautsiqu yang
berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-Ihkamu artinya mengokohkan / menetapkan,
dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyah adalah: Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid [2] dan ta’at kepada-
Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir,
taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-
Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang
shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po
Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_______
Foote Note
(1)Lisaanul ‘Arab (IX/311:) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah dan Mu’jamul Wasiith
(II/614:)
(2)Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ dan Shifat Allah.
(3)Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdil Kariem
al-‘Aqil, cet. II, Daarul ‘Ashimah-1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr.
Nashir bin ‘Abdil Kariem al-‘Aqil.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1074&bagian=0
3

Kaidah dan Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Mengambil dan


Menggunakan Dalil - Dalil
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rabu, 12 Januari 2005 22:48:44 WIB

1.Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu


'alaihi wa sallam yang shahih dan ijma’ Salafush Shalih.
2.Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wajib diterima, walaupun sifatnya Ahad.[2] Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. [Al-
Hasyr: 7]
3.Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah adalah nash-
nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush
Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari
bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi
dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
4.Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu
yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal
tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah
terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:
4

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging


hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. [Al-Maaidah : 3].
RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Barangsiapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian
darinya, maka amalan-nya tertolak” [3]
5.Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara
lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Quran dan as-Sunnah yang shahih,
(baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau
penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun
pendapat imam-imam dan lainnya.
6.Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.
Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan
selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli
(ayat ataupun hadits) harus didahulukan.
7.Rasulullah 'Alaihi shallatu wa sallam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari
kesalahan) dan para Shahabat Radhiyallahu ajmain secara keseluruhan dijauhkan
Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang
pun dari mereka yang ma’shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang
selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia
adalah orang yang berijtihad.
8.Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan)
dengan cara yang baik itu masyru‘ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada
dalil dan keterangannya dalam al-Quran dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut
dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan
5

menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam


pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya
(misalnya tentang Sifat Allah, qadha’ dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang
ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah
selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah Azza wa Jalla. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Artinya : Tidaklah sesat suatu kaum setelah
Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan
kemudian membacakan ayat:

Artinya : Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau
dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan
dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar’” [Az-Zukhruf : 58]. [4]
9.Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Quran dan as-
Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu
masalah. Oleh karena itu, suatu bid‘ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi,
kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[5]
10.Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid‘ah.
Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di Neraka." [6]

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
________
Foote Note
(1)Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal
Jamaa‘ah fil ‘Aqiidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
(2)Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
(3)HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
(4)HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), disha-hihkan oleh al-Hakim (II/447-
448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan.” Dari Shahabat Abu Umamah al-
Bahily Radhiyallahu 'anhu
(5)Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid’ahnya Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah,
dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti
bid’ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang
tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak
mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang
bid’ah yang dilawan dengan bid’ah. Wallaahu a’lam.
(6)HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-
Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1299&bagian=0
6

Makna Ahlussunnah Wal Jama’ah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Minggu, 17 Oktober 2004 08:25:52 WIB

Ahlusunnah wal jama'ah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu
Ajma'in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’
(mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu
Ajma'in.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti,
orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H):
“As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa
yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin
dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang
sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali
kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan
al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh
(wafat th. 187 H).” [3]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah
dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang
kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan
Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat,
karena berkumpul di atas kebenaran.[5]
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk
berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya.
Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena
kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-
orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu[6]: “ Artinya : Al-
Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru
dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga
disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan
sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-
Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’ (orang asing).
Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan
perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang
7

yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian
itu.” [8]
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Artinya :
Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka
beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]
Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu
hari menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-
orang yang jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.”
[10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:
“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah
rusaknya manusia.” [11]
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku
(Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” [12]
Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga
Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah
dengan Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena
penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal
ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak,
‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya,
Rahimahullah[13].
Imam asy-Syafi’i [14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat
seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka
telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha
mereka.” [15]
Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah,
“Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah
Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu
Ajma'in dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih,
kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi
sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur
maupun di barat.” [16]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po
Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_________
Foote Note
(1)Lisanul ‘Arab (VI/399).
(2)Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
(3)Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin
Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H.
(4)Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
(5)Syarah Khalil Hirras, hal. 61.
(6)Seorang Shahabat Nabi j, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu
‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika
Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah bintu Khaththab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah,
mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang
yang paling ‘alim tentang al-Qur-an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi.
Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin
dan diutus oleh ‘Utsman ke Madinah. Beliau Radhiyallahu 'anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368
no. 4954).
8

(7)Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman,
Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160.
(8)HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Shahabat Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu.
(9)HR. Muslim no. 145 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
(10)HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah
Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
(11)HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-Laalika-iy dalam Syarh
Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini
shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan
Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273.
(12)HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shabahat ‘Amr bin ‘Auf
Radhiyallahu 'anhu.
(13)Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya Imam
Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-
Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly.
(14)Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi asy-Syafi’i
Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak
paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau
dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud,
wara’, ‘alim, faqih dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab
karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan lainnya. Lihat Siyar
A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah
‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin
‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
(15)Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
(16)Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1105&bagian=0
9

Makna Salaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rabu, 13 Oktober 2004 07:21:02 WIB

Menurut bahasa, Salaf artinya ‘nenek moyang’ yang lebih tua dan lebih utama[1]. Salaf
berarti para pendahulu. Jika dikatakan "salafu ar-rojuli" = salaf seseorang, maksudnya kedua
orang tua yang telah mendahuluinya.[2]
Menurut istilah, kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini,
yang terdiri dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk
pada tiga kurun (generasi/ masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:“Artinya : Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya
(masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” [3]
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih ialah generasi pertama dari ummat ini yang
pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, menjaga sunnahnya, Allah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan untuk menegakkan agama-Nya...” [4]
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Islamiyyah
baina Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dibatasi waktu, bahkan
harus sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang
aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-
Qur-an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf,
maka ia disebut Salafy meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya,
barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafy
meskipun ia hidup pada zaman Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. [5]
Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi
penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama
dari ummat ini, yaitu para Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mereka mengikuti
manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti
jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka di sepanjang masa, mereka ini disebut
Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti
yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam
ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap
muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah
dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (wafat th. 728 H) [7] berkata : “Bukanlah
merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada
Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali
kebenaran.” [8]

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M

_________
Foote Note
(1)Lisanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah
10

(2)Lihat al-Mufassiruun baina Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin
‘Abdirrahman al-Maghraawi. Mu-assasah ar-Risalah 1420 H.
(3)Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhary (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (211)) dari Shahabat Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu 'anhu
(4)Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
(5)Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush
Shaalih hal 34.
(6)Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin
‘Amir ar-Ruhaily, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim
bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
(7)Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdil Halim bin ‘Abdissalam bin ‘Abdillah bin Khidhr bin Muhammad bin ‘Ali
bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran
(daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati
dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk
Mujaddid abad ke-7 H dan hafal al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t mempunyai murid-murid yang ‘alim
dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdil Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat
th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H), Syam-suddin Ibnu Muflih (wafat th. 763
H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir(wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibni Katsiir.
‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau t seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan
kebenaran, berjuang untuk menegakkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat g
tetapi Ahlul Bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau
menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada
penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728
H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan
beliau t ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
(8)Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/149).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1092&bagian=0
11

Obyek Kajian Ilmu ‘Aqidah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Jumat, 8 Oktober 2004 06:07:53 WIB

‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu sesuai konsep Ahlus Sunnah wal
Jama’ah meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyat (hal-hal ghaib),
kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-
dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula
sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi
menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-
nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan)
lainnya.
Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1.‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa-id). Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut
istilah ‘Aqidah Salaf, ‘Aqidah Ahlul Atsar di dalam kitab-kitab mereka.[2]
2.Tauhid. Karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau peng-esaan
kepada Allah di dalam Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi,
Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan
utamanya. Maka, dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid secara umum menurut
Ulama Salaf [3]
3.As-Sunnah. As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut as-Sunnah karena
para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para
Shahabat di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.[4]
4.Ushuluddin dan Ushuluddiyanah. Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-
rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi
kesepakatan para ulama.[5]
5.Al-Fiqh al-Akbar. Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqh
al-Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[6]
6.Asy-Syari’ah. Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan
yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[7]
Itulah beberapa nama lain dari Ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya
kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai
oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyah), terutama para ahli hadits
dari kalangan mereka.
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah/sekte selain Ahlus Sunnah sebagai
nama dari ilmu ‘Aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:
1.Ilmu Kalam. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis
mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[9] dan kelompok yang
sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu
sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip
taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.
12

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai juga karena bertentangan
dengan metodologi ulama Salaf di dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.
2.Filsafat. Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan
mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar
filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan
khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3.Tashawwuf. Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis
serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh
dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-
adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan
pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam
‘aqidah. Kata Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal
(ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan
selain Islam. Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-
Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf memiliki
pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani, mereka suka memakai pakaian
dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam
memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid.
Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata
cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [10] Syaikh Dr. Ihsan
Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) Rahimahullah berkata di dalam bukunya at-
Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan
teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-
pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik
yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan
yang jauh antara Shufi dengan ajaran al-Qur-an dan as-Sunnah. Begitu juga kita
tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sllam dan para Shahabat beliau Radhiyallahu 'anhum, yang
mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-
Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran
tasawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta
kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di
periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme,
yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [11]. Syaikh ‘Abdurrahman
al-Wakil Rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut Tashawwuf:
“Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela.
Syaitan telah membuat hamba Allah tertipu atasnya dan memerangi Allah Azza
wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf
adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah,
bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam,
akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme,
Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme dan Paganisme.”
[12]
4.Ilahiyyat (Teologi). Ini adalah nama yang dipakai oleh Mutakallimin, para
filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang
salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah
filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum Mutakallimin tentang
Allah Subhanahu wa Ta'ala menurut persepsi mereka.
13

5.Kekuatan di Balik Alam Metafisika. Sebutan ini dipakai oleh para filosof
dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini
tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan
bertentangan dengan al-Qur-an dan as-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau
pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak
mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli.
Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M

_________
Foote Note
(1)Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 12-14).
(2)Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarh Ushul I’tiqaad
Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Laalika-iy (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-
Baihaqy (wafat th. 458 H). Rahimahullah
(3)Seperti Kitabut Tauhid di dalam Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitabut
Tauhid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitab I’tiqaad at-Tauhid oleh Abu
‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitabut Tauhid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan
Kitabut Tauhid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H). Rahimahullah
(4)Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah
karya Imam al-Barbahary Rahimahullah
(5)Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an
Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 378 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah
karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H).
(6)Seperti kitab al-Fiq-hul Akbar karya Imam Abu Hanifah t (wafat th. 150).
(7)Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah
karya Ibnu Baththah.
(8)Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah
karya Ibnu Baththah.
(9)Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
(10)Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al Fauzan (hal. 18-19).
(11)Hal. 50, cet. I, Idaarah Turjuman as-Sunnah, Lahore-Pakistan, 1406 H.
(12)Hal. 10, cet. Riyaasah Idaarah al-Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1075&bagian=0
14

Penjelasan Kaidah – Kaidah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil –


Dalil

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sabtu, 29 Januari 2005 07:39:08 WIB

Penjelasan Kaidah Kedua : “Setiap Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad.”
Hadits Ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak
memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir [1].
Para ulama dari ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits
ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan
zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad. Tidak ada yang
berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti
Mu’tazilah dan Rafidhah [2].
Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi Rahimahullah mengatakan. “Ketahuilah,
bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya adalah bahwa hadits Ahad
yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil
dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib
diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-
Mahasempurnaan dan ke-Mahaagungan-Nya sebagaimana firman-Nya:

Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-
Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [Asy-Syuura’: 11]
Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya
bahwa hadits-hadits Ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah
aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits Ahad itu tidak menunjukkan
kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus
mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai
bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih
yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3].
Rasulullah 'Alaihi wa sholatu wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan
terfasih, beliau telah dikaruniai jawami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas
dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya.
Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan baik secara syar’i maupun ‘aqli bahwa beliau
akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah
merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau
menje-laskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).
15

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah)


dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya, karena itu seorang muslim wajib menerima apa
yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun derajat haditsnya adalah
ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad Rahimhullah berkata: “Barangsiapa yang
menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.”

Penjelasan Kaidah Kelima : “Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya
Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari
Al-Qur'an Dan A-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas
(Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang
Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”
Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata: “Allah
yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah
menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [5]
Kewajiban seorang muslim, untuk tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk
kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau 'Alaihi sholatu wa sallam
dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang
syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun
dari manusia.
Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-
Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada
Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah 'Alaihi sholatu wa sallam berarti
taat kepada Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa’: 80]
Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala bila ia mentauhidkan
Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemutus
hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan tidak boleh
ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia
berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallm, dan menyerahkan ilmu
yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah
diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan
yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.
Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, tiba-tiba di antara
mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar
sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar
dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:
“Artinya : Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah
membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta
mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain.
Ingat! Sesungguhnya al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian
yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya.
Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak
ketahui serahkanlah kepada yang paling alim.” [6].
16

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Artinya : Bertengkar dalam


masalah al-Qur-an adalah kufur.” [7]
Imam ath-Thahawi Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencoba mempelajari
ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada al-Qur-an dan as-
Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian
tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan keimanan yang benar.” [8]
Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.
Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:

Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya. [Al-Israa’: 36]

Artinya : ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak
memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim [Al-Qashash: 50].

Artinya : Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan
mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa
barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan membawanya ke
dalam adzab Neraka. [Al-Haaj: 3-4]
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Artinya : Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurun-kan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa saja yang tidak kamu ketahui. [Al-A’raaf: 33]
17

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm ditanya tentang anak-anak kaum


Musyrikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Allah-lah
Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [9]
Dari Abu Umamah al-Baahili Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda: “Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat
hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.” Lalu beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah

Artinya : Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?"
Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud
membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar [Az-Zukhruf: 58]
[10]
Dari Aisyah [11] Radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm
bersabda: "Artinya : Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras hati lagi suka
membantah.” [12]
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Dan orang yang berkata dengan ra’yunya
(logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti
hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar keluarnya
dia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan
Sesungguhnya dia telah menjadikan sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berda-sarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kannya sesat). Maka, mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran? [Al-Jaatsiyah: 23] [13]
18

Penjelasan Kaidah Keenam. “Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil
naqli / nash yang shahih.”
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti [14], di antaranya: Ad-diyah
(denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara
terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
1.Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada
setiap manusia.
2.Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa
ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
salah satu sabdanya: "Artinya : ...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[15]
Akal adalah insting yang diciptakan Allah Subahnahu wa Ta'ala kemudian diberi
muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla.
Firman-Nya:

Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan [Al-Israa’: 70]
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia.
Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:
I.Pertama [16]: Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang
berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya: Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)


keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula
sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran. [Shaad: 43]
II.Kedua [17] : Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-
hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di
antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan
akalnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : Pena
(catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang
yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal)."[18]
III.Ketiga [19]. Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan
akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan
akalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
19

Artinya : Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau


memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-
penghuni Neraka yang menyala-nyala." [Al-Mulk: 10]
IV.Keempat [20]. Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam
al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti
“la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa
ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur'ana”
(apakah mereka tidak mentadabburi / merenungi isi kandungan al-Qur'an) dan
lainnya.
V.Kelima. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan
kerja akal. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah
mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? "[Al-Baqarah: 170].
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah sese-orang mengikuti apa-apa yang
datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [21] Ibnu ‘Abdil Barr
(wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi [22]
menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak
pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan
riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan
yang ber-dasarkan pemikiran logika semata. Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad
al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th.
390 H) : “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang
tidak ada hujjah/dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’
yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/dalil yang tetap. Ittiba’
diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.” [23] Jadi definisi taqlid
adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[24]
VI.Keenam [25]. Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam
memahami dan mengikuti kebenaran. Allah Azza wa Jalla berfirman:
20

Artinya : ..Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-


hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-
Zumar: 17-18]
VII.Ketujuh. Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla.

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu


adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit."
[Al-Israa’: 85]
Firman Allah Azza wa Jalla :

Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di
belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya."
[Thaahaa: 110]
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql
(akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-
Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang
dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang
menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i. Mendahulukan dalil naqli atas
dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi
maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara
seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk
memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal
dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka
atau rasio mereka.
Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani Rahimahullah (wafat th. 489 H) [26]
berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal
tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya,
serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu,
sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau
buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi
seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya
pahala dan dosa.”
Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai
berikut :[27]
21

1.Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak
ma’shum.
2.Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global,
tidak bersifat detail.
3.Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan
syari’at.
4.Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan
syari’at.
5.Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan
seterusnya) adalah hak prerogatif syariat.
6.Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya
wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan
buruk.
7.Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Artinya : Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka


sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul
" [Al-Israa’: 15]
8.Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.
9.Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang ditentukan
oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang diri-Nya:

Artinya :Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. [Al-Buruuj: 16]


Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam
masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-
Qur'an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan
dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan
keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal
tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah men-jadi dalil yang bathil.[28]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_________
Foote Note
22

(1)Lihat an-Nukat ‘alaa Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 70) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-
Atsary.
(2)Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab
al-‘Aqiil.
(3)Ibid (I/113-114).
(4)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 28) oleh
Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II-Daarus Sunnah, 1414 H.
(5)Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/503).
(6)HR. Ahmad (II/195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), Bukhari fii
Af’alil ‘Ibad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan. Dari Shahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya,
dari kakeknya Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam
Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 6702).
(7)HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud no. 4603, dengan sanad yang hasan.
Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
(8)Lihat Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil
Muhsin at-Turki (hal. 233).
(9)HR. Al-Bukhari no. 1384 dan Muslim no. 2659, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
(10)HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul
Kabir dan Hakim (II/447, 448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Menurut
Syaikh al-Albani hadits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiih at-Targhiib wat
Tarhiib no. 141.
(11)Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri
Rasulullah j yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi j hidup bersamanya di Madinah
ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya.
Dia adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam meninggal saat ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anha
meninggal pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyah. Lihat al-
Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah karya Ibnu Hajar al-Asqalani (IV/359 no. 704, cet. Daarul Fikr).
(12)HR. Al-Bukhari (no. 2457), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad
(VI/55, 62, 205).
(13)Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-
Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 228-235)
(14)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
(15)HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
(16)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
(17)Ibid, hal. 40.
(18)HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
(19)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
(20)Ibid, hal. 41.
(21) Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta’yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil Hadits oleh Syaikh
Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.
(22)Ibid, hal. 116.
(23)Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
(24)Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab
al-‘Aqiil.
(25)Lihat al-Madkhal (hal. 41).
(26)Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar as-Sam’ani at-Taimi seorang
ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat
al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi
‘Amir al-Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H
(27)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
(28)Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah. hal. 46.
23

Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sabtu, 11 Desember 2004 11:27:56 WIB

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun
yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu [1] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala :

Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):
‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan
kekafiranmu itu.[Ali Imran: 106]
“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun
orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” [2]
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di
antaranya:
1)Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang
salah satu anggota tubuhku.”
2)Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan
kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka
adalah al-ghuraba’(orang yang terasing). Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.” [3]
3)Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata
Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”
4)Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata
dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan [5] : “...Maka sesungguhnya apabila
engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang
kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau
menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang
iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
5)Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah [6] (hidup th. 164-241 H), beliau
berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi,
Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut
Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat
Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”
6)Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata:
“...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum mukminin
akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami
beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah
24

berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang
shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [7]
7)Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy Rahimahullah (hidup
th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang
masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah
dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus
Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus
Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah
yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah
dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang
lainnya.
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus
Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul pada abad
ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[8]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po
Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M

_________
Foote Note
(1)Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama
lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penafsir al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir.
Dia diberi gelar ‘pena’ dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab.
Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai
perkara. Beliau Radhiyallahu 'anhuma pernah menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu tahun
35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah,
kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat
al-Ishaabah (II/330 no. 4781).
(2)Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Daarus Salaam), Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah
(I/79 no. 74).
(3)Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71 no. 49 dan 50).
(4)Beliau Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimy t, adalah seorang yang terkenal zuhud, berasal dari
Khuraasaan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15 no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264 no. 540).
(5)Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albany Rahimahullah
(6)Beliau Rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman,
kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa
al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan
dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan al-Qur-an adalah Kalamullah,
bukan makhluk. Beliau meninggal di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal
adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
(7)Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary Rahimahullah'
(8)Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa
‘Abdullah (hal. 41-44)

Anda mungkin juga menyukai