Anda di halaman 1dari 6

UAS Prodi S2 Tadris Bahasa Inggris Tahun 2022

Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an dan Hadis

Dosen Pengampu : Zaenal Muttaqin

Siswa : Mochammad Jauhari Achmad

Buatlah essay terkait pemahaman ayat dan hadis berikut! Jelaskan juga
langkah-langkah yang dilakukan untuk memahami ayat dan hadis tersebut!

1. Q.S. at-Taubah (9): 29

ُ ‫)ر َوالَ يُ َح ِّر ُم))ونَ َم))ا َح) َّر َم هّللا‬ ْ )ِ‫وا الَّ ِذينَ الَ يُْؤ ِمنُ))ونَ بِاهّلل ِ َوالَ ب‬
ِ )‫)اليَوْ ِم اآل ِخ‬ ْ ُ‫قَ))اتِل‬
َ‫)وا ْال ِج ْزيَ)ة‬ ْ )ُ‫َاب َحتَّى يُ ْعط‬ ْ ُ‫ق ِمنَ الَّ ِذينَ ُأوت‬
َ ‫وا ْال ِكت‬ ِّ ‫َو َرسُولُهُ َوالَ يَ ِدينُونَ ِدينَ ْال َح‬
٢٩- َ‫اغرُون‬
ِ ‫ص‬َ ‫عَن يَ ٍد َوهُ ْم‬-
Artinya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah Diharamkan
Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab,
hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk.

Tafsir:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
pula pada hari akhirat, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan
agama yang benar (yaitu) orang-orang yang diberi al-Kitab, hingga mereka
membayar jizyah dengan patuh; dan mereka adalah orang-orang yang
terhina.
Qātilul ladzīna lā yu’minūna billāhi wa lā bil yaumil ākhiri (perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari
akhirat), yakni pada kenikmatan surga.
Wa lā yuharrimūna (dan mereka tidak mengharamkan) sesuai dengan yang
tertulis dalam Taurat.
Mā harramallāhu wa rasūluhū wa lā yadīnūna dīnal haqqi (apa yang telah
Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan
agama yang benar), yakni tidak tunduk kepada Allah Ta‘ala dengan
bertauhid. Allah Ta‘ala kemudian Menjelaskan perihal mereka ….
Minal ladzīna ūtul kitāba ([yaitu] orang-orang yang diberi al-Kitab), yaitu
orang Yahudi dan Nasrani.
Hattā yu‘thul jizyata ‘ay yadin (hingga mereka membayar jizyah dengan
patuh), yakni membayar jizyah secara langsung (tidak melalui perantara).
Wa hum shāghirūn (dan mereka adalah orang-orang yang terhina), yakni
orang-orang rendahan.

Macam – macam menafsirkan ayat alqur’an yaitu dengan 4 metode:


1. Ijmaliy (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-
ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-
Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

2. Tahliliy (Analistis)
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut

3. Muqaran (Perbandingan)
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai
berikut :
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang
pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an.

4. Maudhu’I (tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-
ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya
seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal
dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional

Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama ini


dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu : al-Tafsir bi al-Ma’tsur
(Riwayat), dan al-Tafsir bi al-Ra’y (Pemikiran) akan tetapi Yang
paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut Dr. Quraish
Shihab adalah : metode tahliliy (analistis), dan metode mawdhu’iy
(tematik) namun disamping populer menurut para ulama tafsir, metode
ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki kelebihan dan
kekurangan.
Jadi kita harus memahami dulu asbabun nuzul dari ayat
tersebut, kemudian membandingkan dengan pendapat para ulama’
terlebih dahulu. Apabila sudah sesuai dengan metode – metode
tersebut baru kita bisa menafsirkan ayat alqur’an tersebut dengan
syarat kita menguasai bidang ilmu alat untuk menafsirkan ayat
tersebut.

2. Nabi Saw bersabda: “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku


melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak. Para
perempuan bertanya: “Mengapa wahai Rasul?”, Nabi Saw menjawab:
“Kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikatan orang, aku sekali-
kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama,
tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu”.
“Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama wahai Rasul?”,
Nabi Saw menjawab: “Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah
dari kesaksian laki-laki?, “Ya”, jawab mereka. “Itulah yang dimaksud
sempit akal, bukankah ketika sedang haid wanita tidak shalat dan tidak
puasa?”, “Ya”. jawab mereka. “Itulah yang dimaksud kurang agama”.
(H.R. Bukhari dalam Bab Haid nomor hadis 304, juz I, halaman 483)

Penjelasan:

Kandungan makna yang tersirat dalam hadis di atas yakni tentang


kurang akal dan agama. Maksud disebutkan kekurangan perempuan bukan
untuk mencela mereka atas hal itu, sebab yang demikian itu sudah
merupakan sifat dasar penciptaan. Akan tetapi, maksud disebutkannya
sifat tersebut adalah untuk memberi peringatan agar seseorang tidak
terfitnah oleh mereka (Asqalani, 2002: 510-511). Walaupun secara
tekstual hadis itu mengandung misogini, tetapi tujuan hadis menyebutkan
kekurangan itu bukan untuk mendiskreditkan perempuan. Kekurangan
agama pada perempuan dalam hadis al-Bukhari, hal itu terjadi karena
memang hanya perempuan yang menjalani menstruasi. Maka kekurangan
agama yang dihubungkan dengan larangan perempuan untuk melakukan
sejumlah ibadah adalah dalam hal kuantitas, sekali lagi bukan dalam aspek
kualitasnya. Karena halangan tersebut bukan kehendak perempuan,
melainkan kodrat Allah, tentu tidak rasional jika sesuatu yang ditentukan
Tuhan bertentangan dengan perintah Tuhan yang lain (Affandi, 2002:
147).

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, sebagaimana dikutip Yuyun


Affandi, keikhlasan seseorang ditandai dengan mengakui kekurangan diri,
menyembunyikan amal kebajikan, sabar terhadap segala cobaan. Jadi,
seorang perempuan yang menstruasi secara kuantitas ibadahnya
berkurang, tetapi secara kualitas belum tentu pahalanya berkurang. Jika
perempuan tersebut memiliki tanda-tanda keikhlasan tadi, seperti selalu
merasa kurang dalam beribadah karena rendah hati (tawad{u’), tidak riya
dalam amal, sabar atas segala rasa sakit yang dideritanya waktu haid
(menstruasi), ada kemungkinan pahalanya akan melebihi laki-laki
(Affandi, 2002: 146-147).

Oleh karena itu, azab yang dijanjikan dikaitkan berupa


pengingkaran dan lainnya, bukan dikaitkan dengan kekurangan itu sendiri.
Kekurangan di bidang agama tidak terbatas pada melakukan perbuatan
yang menimbulkan dosa, bahkan cakupannya lebih luas sebagaimana
dikatakan oleh Imam an-Nawawi, sebab ia merupakan perkara yang relatif.
Sesuatu yang lebih sempurna misalnya, akan dikatakan memiliki
kekurangan bila dibandingkan dengan sesuatu yang lebih sempurna lagi
(Asqalani, 2002: 511). Dapat dikatakan, perempuan yang memiliki siklus
menstruasi tiap bulan, yang jumlah harinya beragam setiap perempuan,
secara kuantitas tentu kurang dibandingkan dengan laki-laki yang setiap
waktu mengerjakan shalat. Apabila ditinjau dari aspek kualitas tentu hal
itu bukan menjadi sebuah kekurangan bagi perempuan.

Kedua, masalah kekurangn akal perempuan. Hal yang sama juga


berdasarkan hadis Nabi saw bahwa kesaksian perempuan sebagian dari
laki-laki. Ini juga bukan suatu kekurangan yang bersifat kodrat dan fitrah
perempuan. Husein Muhammad, justru lebih condong pada kekurangan
sosiologis. Karena al-Qur’an dan hadis merespons kondisi perempuan
dalam tradisi Arab yang memposisikannya sebagai “makhluk domestik”.
Kondisi demikian menjadikan perempuan Arab tidak terbiasa untuk
bergumul dengan urusan-urusan publik (Muhammad, 2004: xv). Haid itu
tidak menjadi halangan untuk melaksanakan ibadah, kecuali ibadah yang
memang sudah jelas dilarang untuk melaksanakannya. Begitu juga dengan
“kekurangan akal dan agama” yang tersirat dalam hadis, hal itu bukan
menunjukkan kepada perempuan secara fisik kurang akal dan secara
teologis kurang agama.

Langkah – langkah memahami hadits:

1. Memahami hadits sesuai dengan petunjuk al – qur’an


2. Memahami asbabul wurut hadits tersebut
3. Mengumpulkan hadits – hadits dengan tema yang sama.
4. Memilih dan memilah antara hadits yang berkaitan dan bertentangan.
5. Memahami hadits sesauai dengan situasi, kondisi, dan tujuan hadits
tersebut.
6. Membedakan ungkapan hakikat atau majaz dalam hadits.
7. Membedakan antara alam ghoib dan nyata.
8. Memastikan makna dan konotasi kata- kata dalam hadits.

Anda mungkin juga menyukai