Anda di halaman 1dari 12

ETIKA DAKWAH

( Dalam Perspektif Qs. Al-Fushilat Ayat 33-36)


MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tafsir Dakwah

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Yuyun Affandi, Lc., M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Syamsul Ma’arif (1801036077)


2. Nurbaiti Izmayuri Hannysa ( 1801036078)
3. Siti Mutya Ahdiyah (1801036082)
4. Ahmad Yasir Amin (1801036154)
5. Adhi Baikhaqi (1801036164)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Dakwah merupakan usaha untuk merealisasikan ajaran islam di dalam kenyataan
hidup sehari-hari baik bagi kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan
umat manusia untuk memperoleh keridhaan Allah. Dakwah juga diartikan sebagai
upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
C. Dalam berdakwah lazimnya merujuk kepada aturan-aturan dan prinsip-prinsip
yang merumuskan perlakuan benar dan salah atau biasa disebut etika yang berarti
rambu-rambu etis juru dakwah agar dakwah yang dilakukannya benar-benar
efektif dan menimbulkan pencitraan yang positif dari khalayak mad’u yang
didakwahinya. Ketika mlakukan pross berdakwah, para da’i harus bisa melakukan
ajakan tanpa adanya paksaan,ancaman maupun kkerasan, sebaliknya, harus
memiliki etika etika yang dilakukan oleh para da’i seperti Al-Shidiq atau
benar,Al-Shabr atau bersabar, Ar-Rahmah,Tawadu’Amanah.
D. Dalam etika dakwah tidak hanya paa da’i yang mengetahui etika mlainkan juga
para Mad’u harus menegetahui tika yang baik agar bisa menghormati da’i sebagai
gurunya. Bersabar dalam berproses mendapatkan ilmu melalui kegiatan dakwah
yang diikuti, menjaga etika atau sopan santun dalam majelis.
E. Rumusan Masalah

1. Apa ayat Al-Qur’an yang akan dikaji dalam makalah etika dakwah?
2. Apa saja mufrodat yang ada dalam ayat tersebut?
3. Bagaimana asbabun nuzul ayat tersebut?
4. Bagaimana munasabah dari ayat tersebut?
5. Bagaimana tafsir ayat tersebut?
6. Apa hikmah dari ayat tersebut?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teks Al-Qur’an dan Terjemahannya

Etika aplikasi dakwah dalam Quran Surat Al-Fushilat ayat 33-36


Firman allah:

{‫) َوال تَ ْست َِوي‬33( َ‫ال إِنَّنِي ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬ َ َ‫صالِحًا َوق‬ َ ‫َو َم ْن أَحْ َسنُ قَوْ ال ِم َّم ْن َدعَا إِلَى هَّللا ِ َو َع ِم َل‬
‫) َو َما‬34( ‫َاوةٌ َكأَنَّهُ َولِ ٌّي َح ِمي ٌم‬
َ ‫ْال َح َسنَةُ َوال ال َّسيِّئَةُ ا ْدفَ ْع بِالَّتِي ِهي أَحْ َسنُ فَإِ َذا الَّ ِذي بَ ْينَكَ َوبَ ْينَهُ َعد‬
)35( ‫َظ ٍيم‬
ِ ‫ظع‬ َ َ‫يُلَقَّاهَا إِال الَّ ِذين‬
ٍّ ‫صبَرُوا{ َو َما يُلَقَّاهَا إِال ُذو َح‬
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri"? Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah  (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak 'dianugerahkan melainkan kepada orang-
orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar”. (Qs. Fusilat 41/ Ayat: 33-35).1
B. Mufradhat kata yang sulit
‫ِهي أَح َسن‬ :Yang lebih baik
ٌ‫َعدَا َوة‬ : Permusuhan
ُ‫َكأًنَّه‬ : Seolah olah
‫َولِ ٌي َح ِم ْي ٌم‬ : Teman yang setia
َ َ‫الل ِد ْين‬
‫صبَرُوا‬ : Orang- orang yang sabar
‫َو َما يُلَقَّاَها‬ : Dan tidak dianugrahkan
ٍّ ‫دُو َح‬
‫ظ‬ : Orang-orang yang mempunyai keberuntungan
‫َظي ٍْم‬
ِ ‫ع‬ : Yang besar2

C. Azbabun Nuzul
1
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-fushshilat-ayat-33-36.html
2
Yuyun Afandi, Tafsir kontemporer Ayat-ayat Dakwah, hlm 157
Pada ayat-ayat berikutnya secara umum menjelaskan tentang perilaku kaum
musyrikin terhadap Al-Qur‟an serta dakwah Rasulullah saw. Dari hal tersebut pada
ayat 34 Allah menjelaskan kepada Rasulullah saw tentang bagaimana cara
menghadapi sikap kaum musyrikin yang menghalangi dakwahnya. Mengenai asbabun
nuzulnya surat fushshilat ayat 34, Zulaihi menerangkan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb yang merupakan musuh Nabi Muhammad
saw yang sangat membahayakan serta menyakitinya. Akan tetapi dengan kesabaran
Rasulullah saw serta kemuliaan akhlaqnya kemudian Abu Sufyan menjadi sahabat
karib Nabi Muhammad saw yang sangat setia.3
Dan didalam riwayat lain berkenaan dengan ayat ini bahwa ayat ini diturunkan
berkaitan dengan Abu Jahal yang menyakiti Nabi Muhammad saw kemudian Allah
swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memaafkannya dan setelah peristiwa
itu turunlah ayat 34 yang artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia”. (Q.S. Fushshilat ayat 34).
Pendapat lain tentang asbabun nuzul ayat ini dari Muqatil yang pada dasarnya
sama dengan pendapat diatas yaitu ayat ini turun mengenai Abu Sufyan. Dia adalah
seorang Nabi yang sangat besar akan tetapi ketenangan dan kesa
baran Nabi telah membuat Abu Sufyan berhubungan erat dengan Nabi bahkan
menjadi mertuanya.4
D. Munasabah dengan ayat sebelumnya
Setelah ayat yang lalu memuji kaum beriman yg konsisten dan menyampaikan
janji Allah tentang dukungan malaikat kepada mereka, ayat diatas melanjutkan pujian,
tetapi kali ini bagi mereka yang beriman lagi berupaya membimbing pihak lain agar
menjadi manusia-manusia muslim yg taat dan patuh kepada Allah. Ia juga melukiskan
sikap kaum beriman yang benar-benar bertolak belakang dengan para pendurhaka
yang melakukan aneka kegiatan untuk menghalangi orang lain mendengar tuntunan
Al-qur'an (ayat 26). dengan demikian ayat diatas bukanlah lanjutan dari ucapan
malaikat5. pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan perbuatan orang-orang yang

3
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Beirut: Darul Fikr al-Mu;ashir, 1991, juz 24
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiq, Op. Cit., hlm.36.
5
M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah(Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.
12). Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm, 412
paling baik di sisi-Nya, dan menyuruh agar orang-orang mukmin menghadapi sikap
orang-orang musyrik itu dengan sikap yang baik yang dapat melunakkan hati.6

E. Tafsiran Ayat
1. Surat Fushilat ayat 33
Ayat ini mencela orang-orang yang mengatakan yang bukan-bukan tentang Al-
Qur’an. Al-Qur’an mempertanyakan: perkataan manakah yang lebih baik daripada
Al-Qur’an, siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru
manusia agar taat kepada Allah.
Ibnu sirin, as-Suddi, Ibnu Zaid dan al-Hasan berpendapat bahwa orang yang
paling baik perkataannya itu ialah Rasulullah SAW. Al-Hasan apabila membaca
ayat ini maka ia berkata: Inilah Rasulullah; inilah habibullah; inilah waliyullah;
inilah sawfatullah; inilah khairotullah; inilah, demi Allah penduduk bumi yang
paling di cintai Allah. Dia memenuhi seruan Allah dan menyeru manusia agar
memenuhi seruan Allah. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ayat ini
maksudnya umum, yang semua orang yang menyeru untuk menaati Allah.
Rasulullah, termasuk orang yang paling baik perkataannya, karena beliau menyeru
manusia kepada agama Allah. Sedangkan, dalam tafsir Ibnu Katsier berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah para juru azan.7
Dan dalam tafsir Al-Misbah, lafadz  ِ‫ َد عَ{{{آ إِ لَى أ اَل هلل‬ / yang menyeru kepada
Allah mengandung banyak macam dan peringkat. Peringkat pertama dan utama
tentunya diduduki oleh Rasul SAW, yang memang digelar oleh Allah
sebagai da’iyan ila Allah, disusul oleh para ulama dan cendikiawan yang tulus dan
mengamalkan ilmunya dan yang terjun ke masyarakat membimbing mereka.
Semakin luas lapangan bimbingan semakin tinggi pula peringkat da’I, demikian
juga sebaliknya, sampai sementara ulama menyebut pengumandang adzan pun
termasuk dalam pengertian kata ini walau yang diajaknya hanya seorang.8
Dalam Tafsir Maraghi dijelaskan bahwa, tidak ada seorang pun yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang memiliki tiga sifat berikut ini:
a. Menyeru manusia agar mengesakan dan mematuhi Allah Ibnu Sirin as-suddi,
ibnu zaid, dan Al-hasan berkata: orang yang menyeru ialah Rasulullah SAW.
6
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid 8). Jakarta: Widya Cahaya,
hlm: 620
7
Ibid.
8
M.Quraish Shihab, Op. Cit, Hlm, 413
b. Amal saleh, yaitu dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan dan menghindari
hal-hal yang diharamkan.
c. Mengambil Islam sebagai agamanya dan ikhlas kepada Tuhannya, yakni,
seperti kata orang; ini adalah Qaul si fulan, yang artinya madzhab dan
keyakinan dia.

Dengan menerangkan perkataan yang paling baik itu, seakan-akan Allah


menegaskan kepada Rasulullah bahwa tugas yang diberikan kepada beliau itu
adalah tugas yang paling mulia. Oleh karena itu, beliau diminta untuk tetap
melaksanakan dakwah, dan sabar dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dan
rintangan-rintangan yang dilakukan orang-orang kafir.

Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan oleh seorang
muslim ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada,
menaati segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Setelah
diri diperbaiki, serulah orang lain mengikuti agama Allah. Orang yang bersih
jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal yang saleh, ajakannya lebih
diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan yang kuat dan
dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.

2. Surat Fushilat ayat 34


Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan yang diridhai Allah dan diberi pahala itu
tidak sama dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang melakukannya
pasti diazab. Di dalam tafsir Al-Qur’an dan tafsirnya ayat ini dapat ditafsirkan
dengan pernyataan bahwa tidak sama dakwah orang yang menyeru kepada Allah
dan mengikuti islam, dengan perbuatan mencela orang-orang yang melaksanakan
dakwah itu.
Dengan ayat ini seakan-akan Allah menyatakan kepada Rasulullah SAW bahwa
jika ia mengerjakan kebaikan, maka akan memperoleh ganjaran kebaikan berupa
penghargaan selama hidup di dunia dan pahala yang besar di akhirat nanti. Sedang
orang-orang kafir yang mengerjakan kejahatan dengan kejahatan tentu mereka
akan memperoleh kerugian yang berlipat ganda. Oleh karena itu, Rasulullah
diperintahkan untuk membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Kemudian
Allah menerangkan cara membalas kejahatan orang-orang kafir itu dengan
kebaikan dengan memerintahkan Rasulullah agar membalas kebodohan dan
kejahatan orang-orang kafir dengan cara yang paling baik, membalas perbuatan
buruk mereka dengan perbuatan baik, memaafkan kesalahan mereka, dan
menghadapi kemarahan mereka dengan kesabaran.9
Pendapat ini, hampir sama dengan Tafsir Ibnu Katsier, firman Allah “Dan tidaklah
sama kebaikan & kejahatan” yaitu terdapat perbedaan yang amat besar antara
kebaikan dan kejahatan. “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik”
yaitu jika ada orang yang berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara
yang lebih baik. Maksudnya, hadapilah tindakan mereka yang buruk dengan
berbuat baik kepada mereka, hadapilah dosa dengan member maaf, marah dengan
bersabar dan mendiamkan kekeliruan-kekeliruan serta menanggung hal-hal yang
tidak disukai. Firman Allah”Maka tiba-tiba yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang baik.” yakni, jika engkau
berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, niscaya kebaikan itu
akan mengarahkannya untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan
merindukanmu, sehingga seakan-akan dia menjadi teman setia dalam arti
mendekatinya dengan rasa kasih saying dan berbuat baik.10
Muqatil berkata: Ayat ini turun mengenai Abu Sufyan bin Harm. Dulunya, ia
memusuhi Nabi SAW, namun kemudian menjadi pendukungnya dalam islam dan
sahabatnya yang setia dengan cara berbesan, karena sikap nabi yang tidak
berdendam, tidak melepaskan sakit hati.
Inilah suatu contoh yang ditinggalkan Rasulullah SAW bahwasannya orang kerap
kali memusuhi islam, membenci dan menghalanginya, sebagaimana dilakukan
oleh Abu Sufyan tersebut. Tetapi karena cara Nabi SAW menghadapinya bukan
dengan kebencian, bukan memperbanyak musuh, melainkan memperbanyak
kawan, akhirnya Abu Sufyan takluk.11
Prinsip ini terbukti kebenarannya dalam realita. Kobaran nafsu berubah menjadi
kelembutan, kemarahan menjadi kentemtraman, dan kekerasan menjadi rasa malu.
Hal itu karena da’i yang berpegang kepada kalimat yang baik, cara yang tenang,
dan karakter yang lembut dalam menghadapi kobaran kemarahan dan kebinalan.
Kalaulah perbuatan mereka dibalas dengan pekerjaan yang sama, niscaya

9
Kementrian Agama RI, Op. Cit, Hlm. 621.
10
Ahmad, Mustofa. Tafsir Al-Maraghi juz xxiv. Semarang: Cv. Toha Putra. 1992, hlm:243
11
Hamka. Tafsir Al-Azhar (Juzu 24-27). Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982, Hlm, 241
kemarahannya semakin berkobar, semakin kereas, binal, menolak dan akhirnya
hilang rasa malu dari dirinya, lepas kendali, dan merasa bangga berbuat dosa.
Namun, toleransi tersebut memerlukan jiwa besar, terutama tatkala dia mampu
berbuat buruk dan membalasnya. Kemampuan ini sangat penting bagi adanya
dampak toleransi sehingga kebaikan terhadap pelaku keburukan tidak dianggap
sebagai kelemahan. Jika dia meresa lemah, maka toleransinya tidak bernilai dan
tidak memiliki dampak kebaikan sedikitpun.
Toleransi ini pun terbatas pada kondisi keburukan pribadi, bukan permusuhan
terhadap akidah dan fitnah di antara kaum mukminin. Jika yang terjadi
permusuhan dan fitnah, dia perlu melawannya dengan segala cara atau dia
bersabar hingga Allah memutuskan perkaranya. Inilah suatu peringkat, yaitu
peringkat pembalasan keburukan dan kebaikan. Toleransi terhadap dorongan
kemarahan dan kedengkian serta sikap proporsional dalam menetapkan kapan dia
harus toleran dan kapan membalas dengan kebaikan. Merupakan derajat agung
yang tidak dapat dilakukan oleh semua manusia. Peringkat ini memerlukan
kesabaran. Perangkat itupun merupakan perolehan yang dianugerahkan Allah
kepada hamba-Nya yang berusaha, sehingga mereka berhak menerimanya.12
3. Tafsir Ayat 35
Pada ayat ini, Allah menerangkan cara yang paling baik menghadapi orang-orang
kafir, yaitu orang yang sabar ketika menderita kesulitan dan kesengsaraan, dapat
menahan marah, tidak pendendam, dan suka memaafkan. Anas r.a dalam
menafsirkan ayat ini ialah apabila seseorang dimaki oleh orang lain, ia berkata,
“Jika engkau memaki dengan alasan yang benar, mudah-mudahan Allah akan
mengampuni dosamu. Jika engkau memakiku dengan alasan yang tidak benar,
mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku.”
Ayat ini merupakan nasihat agar berlaku sabar, menahan amarah, dan suka
memaafkan kesalahan orang lain itu adalah suatu nasihat yang paling utama dan
tinggi nilainya. Yang dapat menerima nasihat itu hanyalah orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat nanti.13
Dalam Tafsir Ibnu katsir, di jelaskan bahwa “sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar” tidak ada uang dapat
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilailil Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) Jilid 10. Jakarta:
12

Widya Cahaya, hlm: 163-164.


13
Ahmad, Mustofa, Op. Cit, hlm, 246.
menerima dan mengamalkan wasiat ini kecuali orang-orang yang sabar atas hal
itu, karena ini amat berat bagi jiwa. “Dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” Yaitu, orang yang
mendapatkan bagian terbesar berupa kebahagiaan di dunia dan dan akhirat. Ali bin
abi thalhah berkata, dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk sabar ketika marah, lapang dada
ketika diperlakukan tidak baik, dan memaafkan ketika disalahkan. Jika mereka
melakukan itu, niscaya Allah memelihara mereka dengan syaitan serta
menundukkan musuh-musuh mereka seakan-akan menjadi teman setia.
Dalam tafsir Al-Azhar, orang yang mempunyai jiwa besar ialah orang yang insaf
bahwa dia berjuang bukan untuk dirinya, melainkan untuk kepentingan agama
Tuhannya. Perangai dan akhlak Nabi yang demikian tinggi diteladani jiga oleh
sahabatnya Ali bin Abu Thalib. Pada suatu hari dia berkelahi dengan orang
Yahudi, berperang dan berhadap-hadapan satu sama satu. Karena hebatnya
perkelahian, kuat sama kuat, akhirnya terbentanglah Yahudi itu jatuh dan dengan
secepatnya Sayyidina Ali telah duduk di atas perut lawannya dan mengunci kedua
belah tangannya sehingga tidak dapat bergerak lagi hendak mempertahankan
dirinya. Tiba-tiba karena akal lain tidak ada lagi, dan sangat murka dan gemasnya,
orang yahudi telah meludahi wajah Sayyidina Ali.
Setelah mukanya diludahi dan basah karena air ludah, sayyidina Ali terdiam, lalu
tidak berapa lama kemudian, dia pun tegak. Diambilnya serbannya, dihapusnya
mukanya dan musuhnya dibiarkan berdiri. Dengan keheranan musuhnya, si
Yahudi bertanya “Mengapa tidak engkau bunuh aku? Padahal kesempatan yang
sebaik-baiknya? Dan aku meludah engkau karena tidak berdaya lagi”.
Sayyidina Ali menjawab “Saya berkelahi dengan engkau tadi, karena
mempertahankan Agama Allah. Saya akan bunuh engkau selama engkau
menentang Tuhan. Tetapi setelah engkau meludahi mukaku, soalnya bukan lagi
mempertahankan agama Allah. Dia telah berganti dengan soal pribadi. Aku sangat
murka kepada engkau karena meludahiku. Maka kalau aku bunuh engkau karena
kemungkaran berkenaan dengan urusan diri sendiri, tidaklah berarti lagi
perjuanganku. Karena tidak lagi karena mempertahankan Agama Allah,
melainkan karena mempertahankan harga diri.”
Sikap yang seperti ini pun adalah sikap seorang yang berjiwa besar. Seakan-akan
beliau berkata “Aku sendiri boleh engkau maki-maki, aku tidak akan marah.
Tetapi kalau Agama Allah yang engkau singgung, engkau akan mendapat
bagianmu yang setimpal”. Ini merupakan yang tinggi hingga mencapai batas
seperti tampak pada diri Rasulullah di mana beliau tidak pernah marah untuk
membela dirinya sendiri. Apabila beliau marah karena Allah, tiada seorangpun
yang dapat meredakannya.14
F. Hikmah dari Surat Fushilat Ayat 33-35
1. Menerangkan bahwa seorang dikatakan paling baik apabila perkataanya
mengandung tiga perkara :
a. Seruan pada orang lain untuk mengikuti agama tauhid, mengesakan Allah dan
taat kepada-Nya.
b. Ajakan untuk beramal Sholeh, taat melaksanakan perintah-perintah Allah dan
mengehentikan larangan-Nya.
c. Menjadikan Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya kepada
Allah saja.
2. Menerangkan bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan oleh seorang muslim
ialah memperbaiki diri terlebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati
segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya, barulah menyeru
kepada orang lain untuk mengikuti Agama Allah.
3. Pentingnya sifat sabar dalam berdakwah, perbuatan buruk orang lain hendaklah
diladeni dengan cara yang baik dan bijaksana15

PENUTUP

Kesimpulan

Etika dakwah memiliki peran yang besar dalam menentukan sikap bagi
pendakwah. Hal ini dikarenakan etika dapat membantu manusia dalam berperilaku secara
bebas dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu, etika mampu membantu
14
Munzier, Suparta. Metode Dakwah. Jakarta: Rahmah Semesta, 2003. Hlm:114-117
15
https://risalahmuslim.id/quran/fushshilat/41-33
seorang pendakwah mengambil keputusan yang tepat terhadap jalannya dakwah. Jika etika
ini diaplikasikan dalam dakwah, maka akan menciptakan pendakwah yang profesional.
Secara umum etika berdakwah dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama etika umum
yaitu etika yang membahas kondisi dasar manusia bertindak etis dalam menghadapi
keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan dalam bertindak serta tolak ukur dan pedoman untuk menilai baik dan buruknya
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang.
Kedua, etika khusus yang terbagi menjadi dua bagian. 1) Etika individual
menyangkut kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya sendiri untuk mencapai
kesucian kehidupan pribadi, kebersihan hati nurani, dan yang berbudi luhur (akhlakul
karimah). 2) Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai anggota
masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata krama, dan saling
menghormati. Dalam bentuk sosial terdapat dua macam etika yaitu etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap
dan perilaku manusia serta apa yang dikejar setiap orang dalam hidupnya sebagai suatu yang
bernilai. Sedangkan etika normatif yaitu, etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku
yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia dan tindakan yang bernilai dalam hidup ini
seperti etika yang ada dalam Al-Qur’an.
Dapat diketahui bahwa etika berdakwah dalam Alquran adalah etika Islam itu
sendiri, di mana secara umum seorang dai harus melakukan tindakan-tindakan terpuji dan
menjauhkan diri dari perilaku-perilaku tercela. Sumber dari etika berdakwah adalah Al-
Qur’an, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang tercantum
dalam QS. Fushilat ayat 33-35 dan ayat-ayat lain yang mendukung, serta beberapa hadist.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi. Yuyun. Tafsir kontemporer Ayat-ayat Dakwah


Az-Zuhaili. Wahbah. Tafsir Al-Munir, Beirut: Darul Fikr al-Mu;ashir, 1991, juz 24
Hamka. Tafsir Al-Azhar (Juzu 24-27). 1982. Jakarta: Pustaka Panjimas.
https://risalahmuslim.id/quran/fushshilat/41-33

http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-fushshilat-ayat-33-36.html

Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid 8). Jakarta: Widya Cahaya.

Munzier, Suparta. Metode Dakwah. 2003. Jakarta: Rahmah Semesta.

Mustofa. Ahmad. Tafsir Al-Maraghi juz xxiv.1992. Semarang: Cv. Toha Putra.

Shihab.Quraish. M.  Tafsir Al-Misbah(Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.


12). 2002. Jakarta: Lentera Hati.

Quthb. Sayyid. Tafsir Fi Zhilailil Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) Jilid 10. Jakarta: Widya
Cahaya.

Anda mungkin juga menyukai