Anda di halaman 1dari 6

3 KETELADANAN NABI DALAM MENJAGA KURUKUNAN UMAT

Oleh : Dr. Darul Abror, M.Pd.


(Ketua LP Maarif NU OKI & Wakil Ketua III STAI Ash-Shiddiqiyah)

Memasuki bulan Rabi’ul Awal di tahun ini, marilah kita mengingat peristiwa penting kelahiran manusia sempurna pilihan Allah swt sebagai rahmat
bagi seluruh alam, yakni Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Mengingat dalam arti mempelajari sejarah perjuangannya dalam mendakwahkan agama Islam, meneladani
kebaikan-kebaikan akhlaknya, dan mengikuti sunnah-sunnah serta memperbanyak bacaan shalawat atasnya. Agar kita semua termasuk orang-orang yang
selalu mencintai dan dicintai oleh Rasulillah ‫ ﷺ‬dan akan mendapatkan syafaatnya di dunia sampai di akhirat kelak. Beliau bukan hanya diutus untuk
kalangan bangsa Arab saja, namun seluruh manusia bahkan alam semesta. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat as-Saba’ ayat 28 :

ِ َّ‫اس بَ ِشيرًا َونَ ِذيرًا َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس ال يَ ْعلَ ُمون‬ ِ َّ‫َو َما َأرْ َس ْلنَاكَ ِإال َكافَّةً لِلن‬
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira, dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. As-Saba’[34]: 28).
Prof.Dr.KH. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, memandang ayat ini memiliki empat hal pokok yang harus dimengerti, yaitu adanya utusan
Allah dalam hal ini Rasulullah Muhammad ‫ﷺ‬, ada yang mengutus yakni Allah ‫ﷻ‬., yang diutus kepada mereka seluruhnya yakni alam, dan risalah, yaitu
rahmat yang bersifat luas. Menurutya bahwa Rasulullah Muhammad ‫ ﷺ‬bukan sekadar membawa rahmat bagi seluruh alam namun justru kepribadian
beliau lah yang menjadi rahmat. Begitu mulianya sifat Rasulullah Muhammad saw, sehingga Allah menyebutkan dengan pujian yang sangat agung. Karena
Keluhuran akhlak Nabi itu ditegaskan bahwa; “kaana khuluquhul qur’an, seluruh berperilaku Nabi adalah cerminan dari nilai-nilai luhur yang ada dalam Al
Quran. Kecintaan terhadap Rasulullah dapat dibuktikan dengan beberapa hal, di antaranya dengan memperbanyak membaca shalawat. Sebagaimana
diperintahkan dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 56,
َ ‫صلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‬ َ ُ‫ِإ َّن هَّللا َ َو َمالِئ َكتَهُ ي‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab[33]: 56).
Akhir-akhir ini, terdapat fenomena sosial terkait intoleransi sosial yang marak di Indonesia. Hal ini sesuai dengan h asil Penelitian dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, menunjukan angka intoleransi beragama di Indonesia masih cukup tinggi, Untuk mahasiswa mencapai 23,3 persen. Sementara pelajar
SMA mencapai 23,4 persen. Demikian juga, berdasarkan riset SETARA Institute for Democracy and Peace, Kasus Intoleransi pada musim pandemi di
Indonesia juga meningkat. Salah satu contoh kecil tentang isu diskriminasi agama di sekolah, tentang dugaan tata tertib berjilbab bagi non muslim di SMKN
2 Padang Sumatera Barat. Tentu, problematika sosial ini perlu mendapat solusi alternatif yang relevan di era kekinian dan kedisinian. Padahal Semakin
tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya. Demikian Kalimat bijak yang sering kita dengar.

Dalam tinjauan ilmiah, Prof. Mahfud MD selaku ahli dalam bidang hukum sekaligus Menkopolhukam RI membagi 3 wujud tindakan Radikalisme.
Radikalisme tingkat pertama, Takfiri, yaitu menganggap orang lain yang berkeyakinan berbeda adalah kafir yang harus dimusuhi, selalu membenarkan
dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Radikalisme tingkat kedua adalah Jihadis, artinya seorang yang membunuh orang lain dengan anggapan yang
dilakukannya sebagai jihad suci. Dan tentunya anggota ISIS adalah bentuk nyata dari radikalisme jihadis. Adapaun radikalisme tingkatan ketiga adalah
Ideologis, sifatnya lebih lunak namun lebih berbahaya dengan contoh mewacanakan penggantian ideologi pancasila yang sudah tepat di Indonesia diganti
dengan ideologi baru. Padahal, Kemuliaan sifat Rasulullah tercermin dalam cara beliau berdakwah. Sehingga Islam dikenal sebagai agama yang
mengajarkan kepada kemaslahatan dunia dan akhirat. Memahami pengertian rahmat pada diri Rasul adalah ajaran tentang persamaan, persatuan dan
kemuliaan umat manusia, hubungan sesama manusia, hubungan sesama pemeluk agama, dan hubungan antar agama. Rasulullah mengajarkan untuk saling
menghargai, saling menolong, menjaga persaudaraan, perdamaian, dan sebagaianya. Lebih dari itu, Rasulullah juga mengajarkan etika terhadap binatang.
Sehingga dalam melakukan sembelihan binatang pun diajarkan cara-cara yang maslahat dan tidak menyakiti binatang. Maka setidaknya ada 3 sikap yang
dapat kita teladani dari Nabi Muhammad SAW untuk membangun kerukunan umat beragama.

Pertama Sikap Tasammuh,


Apa itu sikap tasammuh? Tasammuh Merupakan sikap yang toleran atau menghargai atas segala perbedaan suku, budaya, Bahasa bahkan agama.
Sehingga menempatkan “Praksis Nilai Ukhuwah” sebagai kuncinya. Hal ini dicontohkan, Ketika pembangunan Masyarakat dimulai di Madinah, mengingat
kondisi Yatsrib (Madinah) sebagai daerah sistem kemasyarakatan bersifat majemuk, plural. Karena itu dalam berbagai kesempatan kami tanpa keraguan
sedikitpun mengatakan bahwa; Nabi tidak mendirikan negara Islam tetapi mendirikan negara Madinah. Pada masa itu penduduk Madinah sangat heterogen
terdiri dari kaum Muslimin yang berasal dari suku Quraisy (Muhajirin) dan kelompok Ansor (Suku Aus dan Khazraj), kaum itu Yahudi terdiri dari Bani
Quraidlah, Bani Qoinuqa’ dan Bani Nadzir, dan kelompok Nasrani dari Najran. Dengan mereka itu Nabi membuat Piagam Madinah mengikat masyarakat
majemuk tadi menjadi ummat wahidatan (satu Ummat) yang menjunjung persamaan mengesampingkan perbedaan dan berjuang bersama dalam
membela negara.
Dari sejarah di atas, kita belajar bahwa Nabi Muhammad SAW tak hanya pandai bertutur tentang pentingnya berbuat bijak kepada sesama, tetapi
beliau juga konsisten dengan memberikan teladan langsung dalam wujud tindakan. Penghormatan Nabi di sini tak sebatas kepada orang atau kelompok
yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya dengan agama yang berbeda. Maka
benarlah ungkapan sebuah hadits shahih:

َّ ‫َأ َح ُّب ال ِّد ْي ِن ِإلَى هللاِ ا ْل َحنِ ْيــــــفِيَّةُ ال‬


ُ‫ســـ ْم َحة‬

“Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Bukhari) .
Hadis di atas ini juga sangat relevan dengan temuan ilmuwan Muslim Indonesia, Prof. Dr. H. Azyu Mardi Azra, MA tentang karakteristik Islam Asia
tenggara, khususnya di Indonesia dan malaysia, yang menyebutkan bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara adalah karena ada dua faktor, pertama
adanya budaya ramah sosial dan tingginya sikap toleransi antara sesama.
Salah satu fakta sejarah keteladanan toleransi Nabi dalam berdakwah adalah pada momen kemenangan besar Fathul Makkah (pembebasan kota
Makkah) diraih. Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan “Perjanjian
Hudaibiyah”, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan Muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah. Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan,
terutama pemimpin tertingi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan Muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar betul kekalahan bagi
kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh. Lantas apa tindakan Rasulullah SAW?
Rasulullah SAW bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Disaat demikian, Nabi justru berpidato “Barang siapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan
dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindung”.
Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, dedengkot pasukan musuh itu.
Mendengar pengumuman itu, hati Abu Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meski dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan
terlindungi. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi
inilah Abu Sufyan tak lagi canggung segera memeluk Islam. Akhlak Nabi ini sesuai dengan ayat alqur’an :

‫فبما رحمة من هللا لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب النفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفرلهم‬

Artinya: “Dikarenakan rahmat dari Allah–lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka (Quraisy). Seandainya kamu bersikap keras dan kasar tentulah
mereka akan menjauh dari sisimu, karena itu maafkan dan mohonkan ampun mereka.” (QS. Ali Imran: 159)

Kedua, Sikap Tawassuth


Ap itu Tawassuth, merupakan sikap moderat atau jalan tengah atas segala permasalahan yang dihadapi guna mendapat perdamaian semua umat.
Syekh Abu Nu’aim al-Asfahani dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’ menerangkan kisah Rasulullah yang mendamaikan suatu perselisihan
yang melibatkan sahabat Anshar dan Muhajirin.
Pada suatu hari, ada tiga golongan yang sedang duduk di depan rumah Rasulullah Saw. Kedatangan mereka itu karena ada mereka berselisih
tentang siapa di antara mereka yang paling berhak atas Nabi Muhammad Saw, dan yang paling beliau cintai.
Golongan pertama, mereka yang berasal dari sahabat Anshar pun berkata: “Kami para sahabat Anshar beriman kepada beliau, mengikuti beliau,
dan berperang bersama beliau. Kamilah pasukan beliau yang menohok leher musuh beliau, sehingga kami lebih berhak atas Rasulullah dan paling beliau
cintai.”
Tidak mau kalah dengan jawaban para sahabat Anshar, golongan kedua yakni para sahabat yang berasal dari kalangan Muhajirin pun berkata:
“Kamilah yang hijrah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, meninggalkan kerabat, keluarga dan harta benda, tetapi kami juga hadir di tempat dan kejadian
yang kalian hadiri, dan menyaksikan apa yang kalian saksikan. Dengan demikian, kami adalah yang paling berhak atas Rasulullah Saw, dan yang paling
beliau cintai.”
Setelah pernyataan dua golongan itu, lalu golongan ketiga yang merupakan para sahabat dari kalangan Bani Hasyim ikut berkata: “Kami adalah keluarga
Rasulullah Saw. Kami juga hadir di tempat, dan kejadian yang kalian hadiri, dan menyaksikan apa yang kalian saksikan. Dengan demikian, kami adalah
yang paling berhak atas Rasulullah Saw, dan yang paling beliau cintai.”

Tentu hal di atas, sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadlus Shalhin:
‫َأ ْك َم ُل ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِإي َمانًا َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا‬
“Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya” .

Ketiga, Sikap Tawazzun

Tawazun adalah seimbang, atau adanya spirit imbang antara praksis menggunakan logika dengan wahyu (Al-qur’an) serta sunnah dan ijma’ nya, serta
imbang antara urusan dunia dengan akhirat, bukan hanya lebih pada urusan agama saja, apalagi melebih-lebihkan dalam hal agama. Tentu, dalam tinjauan
agama, hal di atas adalah sikap yang berlebihan dan dilarang.
Rasulullah SAW juga sudah mewanti-wanti agar umatnya menjauh dari sikap berlebih-lebihan dalam hal agama.

ُ َّ‫يَا َأيُّ َها الن‬


‫اس ِإيَا ُك ْم َوا ْل ُغلُ َّو فِي ال ِّد ْي ِن‬

Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama

‫فَِإنَّهُ َأ ْهلَكَ َمنْ َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم ا ْل ُغلُ ُّو فِي ال ِّد ْي ِن‬

karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.

Sesuai dengan Hadist di atas, Seorang ilmuan tanah air, Prof. Nurcholis Madjid, MA juga menjelaskan bahwa salah satu alasan mendasar
perpecahan umat Islam adalah Tingginya fanatisme atau sikap fanatik berlebihan dalam hal agama.
Dalam Surat al-Qashash ayat 77, Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:

َ‫ض ِإ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين‬


ِ ْ‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َوَأحْ ِسن َك َما َأحْ َسنَ هَّللا ُ ِإلَ ْيكَ َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اَأْلر‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَاكَ هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ َواَل ت‬
ِ َ‫َنس ن‬
َ َ‫صيب‬

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)

Dengan demikian, menjadi menjadi penting praksis sosial yang lebih mengedepankan nilai ukhuswah Islamiyah dan persatuan antar umat islam atau
antar umat beragama, maka tiga rumusan itu bisa menjadi bagian formulasi yang dapat dikedepankan sebagai penguatan nilai luhur Pancasila dan budaya
di Indonesia.

Wallahu’alam bissyo’ab.

Anda mungkin juga menyukai