Memasuki bulan Rabi’ul Awal di tahun ini, marilah kita mengingat peristiwa penting kelahiran manusia sempurna pilihan Allah swt sebagai rahmat
bagi seluruh alam, yakni Nabi Muhammad ﷺ. Mengingat dalam arti mempelajari sejarah perjuangannya dalam mendakwahkan agama Islam, meneladani
kebaikan-kebaikan akhlaknya, dan mengikuti sunnah-sunnah serta memperbanyak bacaan shalawat atasnya. Agar kita semua termasuk orang-orang yang
selalu mencintai dan dicintai oleh Rasulillah ﷺdan akan mendapatkan syafaatnya di dunia sampai di akhirat kelak. Beliau bukan hanya diutus untuk
kalangan bangsa Arab saja, namun seluruh manusia bahkan alam semesta. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat as-Saba’ ayat 28 :
Dalam tinjauan ilmiah, Prof. Mahfud MD selaku ahli dalam bidang hukum sekaligus Menkopolhukam RI membagi 3 wujud tindakan Radikalisme.
Radikalisme tingkat pertama, Takfiri, yaitu menganggap orang lain yang berkeyakinan berbeda adalah kafir yang harus dimusuhi, selalu membenarkan
dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Radikalisme tingkat kedua adalah Jihadis, artinya seorang yang membunuh orang lain dengan anggapan yang
dilakukannya sebagai jihad suci. Dan tentunya anggota ISIS adalah bentuk nyata dari radikalisme jihadis. Adapaun radikalisme tingkatan ketiga adalah
Ideologis, sifatnya lebih lunak namun lebih berbahaya dengan contoh mewacanakan penggantian ideologi pancasila yang sudah tepat di Indonesia diganti
dengan ideologi baru. Padahal, Kemuliaan sifat Rasulullah tercermin dalam cara beliau berdakwah. Sehingga Islam dikenal sebagai agama yang
mengajarkan kepada kemaslahatan dunia dan akhirat. Memahami pengertian rahmat pada diri Rasul adalah ajaran tentang persamaan, persatuan dan
kemuliaan umat manusia, hubungan sesama manusia, hubungan sesama pemeluk agama, dan hubungan antar agama. Rasulullah mengajarkan untuk saling
menghargai, saling menolong, menjaga persaudaraan, perdamaian, dan sebagaianya. Lebih dari itu, Rasulullah juga mengajarkan etika terhadap binatang.
Sehingga dalam melakukan sembelihan binatang pun diajarkan cara-cara yang maslahat dan tidak menyakiti binatang. Maka setidaknya ada 3 sikap yang
dapat kita teladani dari Nabi Muhammad SAW untuk membangun kerukunan umat beragama.
“Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Bukhari) .
Hadis di atas ini juga sangat relevan dengan temuan ilmuwan Muslim Indonesia, Prof. Dr. H. Azyu Mardi Azra, MA tentang karakteristik Islam Asia
tenggara, khususnya di Indonesia dan malaysia, yang menyebutkan bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara adalah karena ada dua faktor, pertama
adanya budaya ramah sosial dan tingginya sikap toleransi antara sesama.
Salah satu fakta sejarah keteladanan toleransi Nabi dalam berdakwah adalah pada momen kemenangan besar Fathul Makkah (pembebasan kota
Makkah) diraih. Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan “Perjanjian
Hudaibiyah”, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan Muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah. Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan,
terutama pemimpin tertingi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan Muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar betul kekalahan bagi
kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh. Lantas apa tindakan Rasulullah SAW?
Rasulullah SAW bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Disaat demikian, Nabi justru berpidato “Barang siapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan
dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindung”.
Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, dedengkot pasukan musuh itu.
Mendengar pengumuman itu, hati Abu Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meski dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan
terlindungi. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi
inilah Abu Sufyan tak lagi canggung segera memeluk Islam. Akhlak Nabi ini sesuai dengan ayat alqur’an :
فبما رحمة من هللا لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب النفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفرلهم
Artinya: “Dikarenakan rahmat dari Allah–lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka (Quraisy). Seandainya kamu bersikap keras dan kasar tentulah
mereka akan menjauh dari sisimu, karena itu maafkan dan mohonkan ampun mereka.” (QS. Ali Imran: 159)
Tentu hal di atas, sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadlus Shalhin:
َأ ْك َم ُل ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِإي َمانًا َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya” .
Tawazun adalah seimbang, atau adanya spirit imbang antara praksis menggunakan logika dengan wahyu (Al-qur’an) serta sunnah dan ijma’ nya, serta
imbang antara urusan dunia dengan akhirat, bukan hanya lebih pada urusan agama saja, apalagi melebih-lebihkan dalam hal agama. Tentu, dalam tinjauan
agama, hal di atas adalah sikap yang berlebihan dan dilarang.
Rasulullah SAW juga sudah mewanti-wanti agar umatnya menjauh dari sikap berlebih-lebihan dalam hal agama.
فَِإنَّهُ َأ ْهلَكَ َمنْ َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم ا ْل ُغلُ ُّو فِي ال ِّد ْي ِن
karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.
Sesuai dengan Hadist di atas, Seorang ilmuan tanah air, Prof. Nurcholis Madjid, MA juga menjelaskan bahwa salah satu alasan mendasar
perpecahan umat Islam adalah Tingginya fanatisme atau sikap fanatik berlebihan dalam hal agama.
Dalam Surat al-Qashash ayat 77, Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)
Dengan demikian, menjadi menjadi penting praksis sosial yang lebih mengedepankan nilai ukhuswah Islamiyah dan persatuan antar umat islam atau
antar umat beragama, maka tiga rumusan itu bisa menjadi bagian formulasi yang dapat dikedepankan sebagai penguatan nilai luhur Pancasila dan budaya
di Indonesia.
Wallahu’alam bissyo’ab.