Sebagaimana manusia lainnya, Rasulullah merasakan apa yang dirasakan makhluk fisik
pada umumnya: lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, kedinginan, dan
lain sebagainya. Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar
biasa tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, keberanian, kejujuran,
kedermawanan, dan sifat-sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata.
Rasulullah tampil dalam wujud yang manusiawi, tapi sekaligus sarat nilai-nilai
kemanusiaan.
َ ﺣﺔ
“Aku (Muhammad SAW) diutus untuk membawa agama yang lurus dan toleran.”
Dengan bahasa lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang
menyulitkan umatnya, bahkan untuk urusan ibadah sekalipun. Sebagai contoh,
tentang shalat tahajud yang Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid.
Begitu tahu sahabat-sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya,
Rasulullah beberapa hari kemudian tak pergi ke masjid. Alasan beliau, tak ingin
memberi kesan bahwa shalat tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di
kemudian hari.
Rasulullah juga pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu
panjang saat memimpin shalat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam harus
mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang
yang mempunyai keperluan.
Ketiga, Nabi juga merupakan sosok yang sangat menginginkan keselamatan dan
kebahagiaan bagi umatnya. Ibnu Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum
menghubungkannya dengan hidayah dan kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia
maupun di akhirat. Beliau mendorong adanya proses kesadaran ilahiyah dalam setiap
embusan nafas manusia, juga tersingkirnya mudarat atau kerugian bukan hanya secara
duniawi tapi juga ukhrawi.
Keempat, ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi rahîm
(penyayang) kepada umatnya. Kita tahu bahwa dua sifat itu adalah bagian dari 99
asmaul husna. Ini sekaligus menunjukkan keistimewaan derajat Nabi Muhammad. Dua
nama indah Allah dilekatkan pada diri beliau.
Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud dalam karakter kepemimpinan Rasulullah
yang tidak kasar menghadapi masyarakat. Beliau juga gemar memaafkan dan
memohonkan ampun ketika umatnya yang berlaku salah, bersedia bermusyawarah, dan
bertawakal kala tekad sudah bulat. Seperti yang dituturkan Al-Qur’an:
Demikianlah karakter Nabi Muhammad SAW yang kita yakini sebagai teladan paling
ideal bagi umat manusia. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh ayat suci bahwa di dalam
diri Rasulullah ada contoh yang baik (al-Ahzab: 22).
Namun yang menjadi pertanyaan, seberapa besar kesadaran tentang hal itu tertanam
kuat dalam masing-masing diri kita lalu mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari?
Semoga kita semua mampu menyerap pelajaran dari watak pemimpin agung kita
tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Beliaulah sosok yang paling
pantas menjadi panutan ideal umat manusia di seluruh dunia.