Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DOSEN : ASEP AONUDIN S.H.I M.Pd

AS-SUNNAH SEBAGAI PENGUAT PENGEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH KELPMPOK 3 :

 KINTAN YASRIL ARAFAH


 FATHIR ARRAHMI
 DIO PRAJA N

PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.karena atas segala limpahan taufik dan hidayah-
Nya, sehingga kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “As-Sunnah Sebagai Penguat
Pembanhunan Budaya Islam Di Indonesia” dalam bentuk sederhana. Salawat dan salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyusun meyadari segala kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang penyusun miliki dalam
peyelesaian makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini sehinggah dapat bermanfaat bagi kita semua.

Dengan segalah kerendahan hati penyusun haturkan ucapan terimah kasih yang setulus-tulusnya
kepada:

1. Bapak Asep Aonudin, S.H.I M. Pd., selaku dosen pengajar mata kuliah Pendidikan Agama Islam
yang dengan ikhlas membagi pengetahuan dan bimbingannya kepada kami

Akhirnya kepada Allah Swt. Kami serahkan segalanya, semogah sumbangsinya di berikan pahala di
sisi-Nya. Amin
ii

DAFTAR ISI

Sampul ................................................................................................. i

Kata Pengantar .................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................. iii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Sunnah .................................................................... 3

B. Kedudukan Sunnah Sebagai Dasar Hukum Islam ..................... 4

C. Keterkaitan As-Sunnah dengan budaya ................................... 5

BAB III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................. 7

B. Saran Saran ............................................................................ 7

Daftar Pustaka ................................................................................ 11


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sesungguhnya, sumber-sumber ajaran Islam berasal dari Al Quran dan Al Hadits. Kedua sumber
inilah yang diistilahkan dengan " ‫( "المصدران األساسيان‬dua sumber pokok ajaran Islam). Karena itu, maka
hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, syariah dan muamalah bahkan akhlak selalu merujuk kepada
kedua sumber tersebut.

Akan halnya Al Quran, ia tidak pernah mengalamai perubahan apalagi dipalsukan sebagaimana
kitab-kitab suci agama lain. Keaslian Al Quran akan terjaga sepanjang masa karena Allah SWT sendiri
yang menjaganya, sebagaimana yang ditegaskan olehNya dalam firmanNya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9:

َ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر وَِإنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬

innaa nahnu nazzalnaa aldzdzikra wa-innaa lahu lahaafizhuuna

________________________________________

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar


memeliharanya.

Dan karena manusia mau tidak mau tetap membutuhkan petunjuk sepanjang hayatnya, oleh
karenanya Al Qur'an datang memenuhi kebutuhan hidup manusia ini. Allah SWT berfirman dalam
surah al-Baqarah ayat 185:

  ۗ ُ‫ص ْمه‬ ُ َ‫ان فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي‬


ِ ۚ َ‫ت ِّمنَ ْاله ُٰدى َو ْالفُرْ ق‬
ٍ ‫اس َوبَيِّ ٰن‬ِ َّ‫ضانَ الَّ ِذيْٓ اُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُرْ ٰانُ هُدًى لِّلن‬
َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
ْ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُ ‫هّٰللا‬ ُ َ ٌ ٰ َ
َ‫َو َم ْن َكانَ َم ِر ْيضًا اوْ عَلى َسفَ ٍر فَ ِع َّدة ِّم ْن اي ٍَّام ا َخ َر ۗ ي ُِر ْي ُد ُ بِك ُم اليُ ْس َر َواَل ي ُِر ْي ُد بِك ُم ال ُع ْس َر ۖ َولِتك ِملوا ال ِع َّدة‬
َ‫ َولِتُ َكبِّرُوا هّٰللا َ ع َٰلى َما ه َٰدى ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬. 
Terjemahnya:

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil)…".[2]

Lain halnya dengan hadits atau sunnah Rasulullah SAW yang diriwayatkan kepada generasi sesudah
Beliau SAW hingga ke generasi sekarang ini, tidaklah terlepas dari kecacatan, baik cacat pada
matannya maupun sanadnya. Di samping itu, orang-orang yang sentimen dan tidak senang akan
Islam serta kaum zindiq[3] tidak pula sedikit jumlahnya, yang senantiasa berusaha mengaburkan
bahkan menumbangkan bangunan pondasi sumber kedua ajaran Islam ini sesudah Al Qur'an.
Dikenallah kemudian adanya hadits shahih, hasan, dha'if (lemah) maupun maudhu' (palsu). Dan
karenanya, perhatian para ulama terhadap hadits atau sunnah Rasulullah SAW ini sangatlah besar,
khususnya dalam memilah dan memilih hadits yang bisa diyakini kebenarannya berasal dari Beliau
SAW untuk kemudian diamalkan ataupun sebaliknya.apatah lagi, salah satu fungsi hadits adalah
bayan (penjelas) terhadap Al Qur'an. Sekalipun pada yang saat yang sama, terdapat perbedaan di
kalangan para ulama tentang pengertian hadits dan atau sunnah. Mereka tidaklah sepakat dalam
mendefinisikan hadits atau sunnah, sehingga muncullah perbedaan pengertian antara istilah hadits
dan istilah sunnah.

Di kalangan ummat Islam ada yang menolak bahkan mengingkari keberadaan hadits sebagai sumber
ajaran Islam dengan berbagai argumentasi (sebagai buntut atau manifestasi dari usaha pengaburan
di atas). Kenyataan ini 'memaksa' para ulama untuk berpikir filosofis guna menjawab atau
membantah argumentasi-argumentasi para pengingkar tersebut. Berpikir filosofis untuk kemudian
menemukan pijakan ontologis yang meyakinkan. Pijakan ontologis akan bermakna bila didukung
oleh pijakan epistemologis dan aksiologis yang menggambarkan bagaimana pemahaman dan
penerimaan hadits yang handal dan bernilai adanya, yang selanjutnya bisa diekspresikan, diapresiasi
dan diamalkan sepanjang zaman.

Memang, tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga pengetahuan
yang disusun dan dibangun. Ketiga komponen itu adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup obyek penelaahan dan penafsiran
tentang hakikat realitas dari obyek ontologis tersebut. Epistemologi merupakan asas cara bagaimana
materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Sedang aksiologinya
merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan.[4]

. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan membahas tentang “Sunnah
Sebagai Sumber Hukum Islam” dengan sub pembahasan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Sunnah.?

2. Apa Kedudukan as-Sunnah dalam Islam..?

3. Apa hubungan As-Sunnah dengan budaya


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SUNNAH

Disetiap diskusi keagamaan sering kita dengarkan kata “sunnah” dibahas sebagai suatu pegangan
bagi umat Islam untuk mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak, kata
Sunnah biasayanya diinterpretasikan dengan kata hadis.

Sebelum penulis lebih lanjut membahas tentang sunnah terlebih dahulu penulis akan membahas
defenisi dari as-Sunna tersebut. Pengertian Etimologi

Sunnah menurut bahasa ialah jalan atau cara yang ditempuh baik ataupun buruk Dalam hal ini,
Rasulullah SAW bersabda:

‫" و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلي يوم القيامة‬.

Artinya:

Barang siapa yang menempuh jalan (atau cara) yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang
yang mengamalkannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang menempuh cara yang jelek, maka
atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat".[6]

Hadits di atas ini menunjukkan kata "sunnah" digunakan untuk sesuatu yang baik dan terpuji, juga
digunakan untuk sesuatu yang jelek dan tercela.

Sedang menurut istilah, sunnah berarti segala sesuatu yang didapatkan dari Rasulullah SAW berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat atau akhlak Beliau SAW (yang patut dicontoh).[7]

Defenisi lain menyebutkan, sunnah adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW serta
yang dilarangnya, begitu pula yang dianjurkannya, dari perkataan dan perbuatan Beliau SAW yang
belum atau tidak disinggung oleh Al Qur'an.[8]

Kedua defenisi di atas membatasi pengertian sunnah hanya pada perkataan, perbuatan, taqrir, dan
gambaran akhlak. Bahkan pada defenisi kedua, dibatasi hanya pada perkataan perbuatan saja. Hal
ini dapat dipahami oleh karena sunnah terkesan direduksi menjadi sesuatu yang harus diamalkan
oleh umat Islam yang nota bene pengikut Nabi SAW. Ia kemudian harus dilembagakan lalu
dilaksanakan oleh kaum muslimin. Karenanya, T. M. Hasbi Ash-Shiddiqi dalam hal ini memberikan
definisi bahwa sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan Nabi SAW secara terus
menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya
beserta para sahabat, lalu oleh para tabi'in dan generasi berikutnya sampai pada masa-masa
berikutnya sehingga menjadi pranata sosial dalam kehidupan umat Islam.[9]

Lebih jauh, Bravman memperlihatkan makna konkrit dari kata "sanna" (akar kata "sunnah") yang
berarti menyerahkan sejumlah uang atau barang kepada seseorang, dimana kata ini telah diperluas
dalam penggunaan khusus untuk menunjuk kepada tindakan, yang lewat tindakan ini menentukan
sesuatu.[10] Akibatnya, sunnah tentu saja menunjuk kepada suatu praktek yang ditentukan atau
dilembagakan oleh orang tertentu atau sekelompok orang tertentu.[11]
Yang jelas, kedua defenisi di atas identik dengan pengertian sunnah yang pernah dikemukakan oleh
para ulama ushul fiqhi serta para fuqaha tentang sunnah, dimana mereka membatasi sunnah hanya
pada perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW sebagai sumber dalil syariat yang menelorkan
hukum-hukum syariat. Sementara ulama fiqhi (fuqaha) membahasnya dari sisi dimana seorang
Rasulullah SAW tindak tanduknya tidaklah keluar dari hukum syariat yang tentunya berkaitan
dengan umatnya, baik itu wajib, haram, mubah, makruh dan seterusnya.[12]

B Kedudukan Sunnah sebagai Dasar Hukum Islam

Al Qur'an yang merupakan sumber utama dan pokok syariat Islam- sebagian besar kandungannya
bersifat global, absolut, umum dan universal sehingga memerlukan rincian, batasan dan penjelasan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Al Qur'an membutuhkan al bayan (keterangan atau penjelasan
lebih lanjut).

Ketika Al Qur'an memerintahkan shalat misalnya, atau puasa, zakat, haji, berbuat adil, taqwa,
beramal saleh dan seterusnya atau melarang sesuatu, Al Qur'an pun tidak menjelaskan bagaimana
cara melaksanakan perintah-perintah tersebut atau meninggalkan larangan yang ada. Begitu pula
syarat-syaratnya, hukum-hukumnya dan lain-lain sebagainya tidak diuraikan oleh Al Qur'an. Dari sini,
hadits dan sunnah berperan penting. Ia kemudian datang untuk menjelaskan, menafsirkan,
mengulas, merinci dan melaksanakan perintah-perintah Al Qur'an tersebut dalam berbagai bentuk al
bayan yang ada. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 44: (ayat dan terjemah)

Dengan demikian, hadits dan sunnah memberikan gambaran yang sangat jelas bagaimana
melaksanakan Al Qur'an dalam kehidupan. Dan karenanya, hadits dan sunnah sangatlah penting
kedudukannya dalam Islam. Ia kemudian menjadi sumber hukum atau pokok syariat kedua setelah
Al Qur'an.

Hadits dan sunnah dalam posisinya sebagai al bayan terhadap Al Qur'an, maka tentunya tidaklah
sembarangan adanya. Ia bersumber dari seorang hamba Allah SWT, hamba yang dipilih olehNya
untuk mengemban risalah agung yang bernama Islam. Ia dilantik menjadi nabi sekaligus rasul, yang
menjadi benang merah pemisah antara dirinya dan manusia biasa yang lainnya. Allah SWT berfirman
dalam Q.S. al-Kahfi ayat 110 (ayat terjemah)

Dari sini kita bisa memastikan bahwa Rasulullah SAW tidaklah sembarangan dalam bertutur dan
bertindak. Beliau mendapat tuntunan langsung dari Sang Khaliq. Kalaupun dalam peristiwa tertentu
sisi-sisi kemanusian Beliau lebih tampak dan menonjol, maka itu tak lain merupakan pula tuntunan
bagi umatnya, bagaimana seharusnya mereka bertindak dan bersikap ketika mengalami hal yang
sama atau relatif sama dengan yang dialami oleh Rasulullah SAW; panutan mereka. Jadi. Terdapat
hiukmah besar dibalik itu semua. Karenanya, Allah swt menegaskan hal ini dalam firman-firmanNya,
antara lain dalam surah an-Najm ayat 3-4: (ayat ter)

Hanya saja memang, untuk mendapatkan kejelasan dan keyakinan akan riwayat-riwayat hadits dan
sunnah bahwa ia benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW bukanlah perkara mudah. Dari sini,
peran para ulama salaf maupun khalaf –khususnya ulama-ulama hadits- sangatlah penting. Dan
sungguh merupakan suatu anugerah besar bagi umat ini, ketika para ulama tersebut (telah) berhasil
dengan sangat gemilang merumuskan kaidah-kaidah keshahihan hadits dan sunnah, sehingga
sekarang ini kita bisa dengan leluasa memilih dan memilah mana hadits dan sunnah yang patut
diamalkan dan mana yang hanya merupakan 'kesalahan' atau kealpaan orang-orang yang berhati
mulia dan berniat baik, ataukah ia hanyalah bualan orang-orang jahil atau konspirasi orang-orang
jahat.
C. Keterikatan As-Sunnah dengan budaya

Budaya atau kearifan lokal selalu berkaitan dengan kehidupan manusia di setiap daerah. Hal itu
merupakan kekayaan dari masyarakat itu sendiri, baik berasal dari nenek moyang atau budaya baru
yang ternyata dilanjutkan oleh anak cucu mereka. Maka tak salah jika pada zaman dahulu, beberapa
wali memperkenalkan agama Islam atau berdakwah melalui budaya yang hidup di antara mereka.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga, beliau memperkenalkan agama Islam melalui
kearifan lokal, berupa pertunjukan wayang. Namun jika dilihat dari berbagai macam budaya yang
hidup di setiap daerah, tentu memiliki adat yang beragam yang kemudian akan menimbulkan banyak
perbedaan antara satu dengan yang lain. Maka muncullah berbagai pertanyaan tentang “adat atau
budaya yang seperti apa sehingga bisa dijadikan ajaran atau adat yang bisa disandingkan dengan
agama”.

As Sunnah adalah penafsiran terhadap ajaran al-Qur'an, ia merupakan implementasi realistis serta
ideal dalam Islam. Kepribadian Nabi Muhammad SAW adalah merupakan pengejawantahan al-
Qur'an dalam sebuah ajaran Islam.

Secara bahasa, hadis berarti berbicara, perkataan, percakapan. Hadis disebut juga 'Sunnah', yang
secara istilah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat Islam.

Macam-macam sunnah merupakan bagian dari teladan terbaik umat Islam, yaitu Nabi Muhammad
SAW. Berdasarkan bentuk penyampaiannya oleh Rasulullah, sunnah dibagi menjadi tiga macam,
qauliyyah, fiiliyyah, dan taqriyyah.

Semantara fungsi sunnah terhadap al Qur'an adalah pertama, sunnah berfungsi sebagai penguat
(ta'qid) atas apa yang dibawa al Qur'an. Kedua, fungsi sunnah sebagai penjelas (tabyin) atas apa yang
terdapat dalam al Qur'an. selain itu fungsi sunnah lainnya adalah al Qur'an yang membawa syari'at
secara ijmal dan sunnah yang menjelaskan sekalian juz'iinya.

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah
“karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama
bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak
berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan
erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah
Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah,
manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia.
Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang
dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.
Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang
bagi sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari
agama atau budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan
umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban
agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus
berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika
ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan
oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani,
menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat
simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara
tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang
mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di
rumah duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu
dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan
umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu secara
proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama


qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah
perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi
di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor
dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap
urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi
sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras
dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga
dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah
nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan
diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau
musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah
diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan
yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai
bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang
kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori bid’ah. Puisi-
puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab) adalah produk
budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia


sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk
budaya termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi
Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang
dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran
Islam.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Menurut bahasa sunnah adalah suatu jalan atau cara yang dilakukan baik ataupun buruk dalam
hal ini perbuatan terpuji yang telah diucapkan atau dilakukan oleh Rasulullah SAW sedangkan
menurut istilah Sunnah adalah segala perbuatan, perkataan, taqrir Rasulullah SAW

2. Sunnah merupakan penjelas dari dasar hukum Islam yang pertama yakni al-Qur’an, al-Qur’an
yang diturunkan oleh Allah SWT masih bersifat global yang perlu penjelasan yang rinci baik itu
perintah maupun larangan sehingga kedudukan sunnah sebagai dasar hukum kedua dalam Islam
adalah penjelas dari ayat-ayat yang difirman oleh Allah SWT.

SARAN-SARAN

Dari pembahasan di atas tentunya kita sedikit telah mengetahui kedudukan sunnah sebagai dasar
hukum Islam setelah al-Qur’an, olehnya itu melalui tulisan yang sangat sederhana ini penulis
menyarankan dan mengajak kepada kita semua untuk sesantiasa memegang dan berlandaskan
kepada sunnah Rasulullah dalam kehidupan kita untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah kelak di
akhiran. Selain itu dengan berpegang teguh kepada dasar hukum ini insya Allah kita akan selamat
baik di dunia maupun di akhirat kelak insya Allah. Amiiin
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, 1989, al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang.

Zahw Muhammad Abu, tth, al-Hadits wa al-Muhadditsun, Dar al-Fikr al-Arabi, Bairut.

Sumantri Jujun Surya, 2003, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.

Abdul Baqi Tahqiq Muhammad Fuad, tth, Shahih Muslim, , juz 3.

M. Bravmann M., 1972, The Spiritual Background of Early Islam, Studies in Ancient Arab Concepts,
t.p, Laiden.

[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Toha Putra;Semarang;1989), h. 391.

[2] Ibid, h. 45

[3] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi,
[tth]), hal. 264-265 serta hal. 338-339.

[4] Jujun Surya Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (cet. XVI; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, , 2003), hal. 126.

[5] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr al---Arabi,
[tth]), hal. 264-265 serta hal. 8-9.

[6] Hadits riwayat Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah Al Bajali. Lihat: Shahih Muslim, tahqiq
Muhammad Fuad Abdul Baqi, juz 3, hal. 1303, no. hadits 1677.

[7] Khaldun Ibrahim Salamat, op.cit. hal. 24

[8] Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit. hal. 8

[9] T. M. Hasbi Ash-Shiddiqi, op.cit. hal. 21

[10] M. M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam, Studies in Ancient Arab Concepts,
(Leiden, t.p, 1972), hal. 152

[11] Ibid. hal. 155.

[12] Lihat: Izzuddin Baliq, op.cit. hal. 15. Juga: Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit. hal. 9.

[13] Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 408

[14] Ibid, h. 460

[15] Departemen Agama RI, Ibid, h. 871

Anda mungkin juga menyukai