Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK 2

“ Konsep tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Itjihad dalam


membangun Kebudayaan Islam di Indonesia “

Disusun Oleh :
1. Nadila Afisa Rani (09011182227003)
2. Tiara Putri Amanda (09011182227015)
3. Tsaniatu Zahrah Azizah (09011282227033)
4. M. Alzidan Pratama (09011282227075)
5. Syafaat Muhammad Bahril Huda (09011282227075)
6. Raihan Putra Ersananda (09011282227117)

Kelas : SK1C INDRALAYA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : ENDANG SWITRI, M.PD.I.

JURUSAN SISTEM KOMPUTER


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nilai budaya meerupakan prinsip-prinsip yang su dah tertanam pada diri


seseorang ataupun kelompok yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Nilai budaya
menjadi pegangan yang bersifat ideologis di dalam menjalani kehidupan di muka
bumi ini. Al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan juga pembentuk kebudayaan
mendapat tempatnya di sini. Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam.
Hasilnya, semua kebudayaan di dunia memiliki corak Islami yang khas,salah
satunya ialah Indonesia. Banyak sekali kebudayaan Indonesia yang melebur dengan
kebudayaan-kebudayaan Islam, contohnya seperti wayang, sarung, masjid, dan lain-
lain.

Selain Al-Qur’an, As-Sunnah juga menjadi penguat dalam pengembangan


budaya Islam di negara Indonesia. Berbagai perilaku, adat istiadat, dan kebiasaan
masayarakat di Indonesia terbentuk melalui ajaran yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW dalam bentuk Sunnah dan juga Hadits. Seiiring dengan
berjalannya waktu,implementasi Sunnah mengalami penrkembangan dari abad ke
abad.

Kadang, kebudayaan juga terbentuk melalui Ijtihad para ulama. Ijtihad


menjadi sangat penting seiiring dengan kemajuan ilmu, kemudian perubahan
kebudayaan akibat globalisasi juga semakin marak terjadi. Ijtihad dikeluarkan ketika
budaya tersebut tidak bisa dikulturkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh
sebab itu, makalah ini kami susun dengan judul “Konsep Al- Qur’an,Sunnah, dan
Ijtihad dalam Membangun Kebudayaan Islam di Indonesia”.
B. RUMUSAN MASALAH
Makalah ini membahas beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Mengapa Al-Qur’an bisa menjadi inspirasi dalam perkembangan kebudayaan
Islam di Indonesia ?
2. Mengapa as-Sunnah menjadi penguat pengembangan budaya Islam setelah Al-
Qur’an di Indonesia ?
3. Mengapa Ijtihad dapat membentuk mekanisme kontekstualisasi Al-Qur’an dan
As-Sunnah ?

C. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui mengapa Al-Qur’an dijadikan sebagai inspirasi kebudayaan Islam
diIndonesia.
2. Mengetahui mengapa As-Sunnah menjadi sebagai penguat pengembangan budaya
Islam di Indonesia.
3. Mengetahui mengapa ijtihad dapat membentuk mekanisme kontekstualisasi Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. AL-QUR’AN

Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Umat islam percayabahwa Al-Qur’an
merupakan puncak dan penutup Wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan
bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui
perantara Malaikat Jibril dan sebagai Wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW,
sebagaimana terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi :

Al-Qur’an adalah suatu kitab yang memiliki sejarah panjang yang dimiliki oleh umat
Islam dan hingga saat ini tetap terjaga keasliannya. Ada beberapa pendapat mengenai
pengertian Al-Qur’an. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Al-Qur’an ialah kitab suci
agama Islam.
Manna’al-Qathan , ia mengartikan Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW dan beribadah dalam membacanya. Menurut Ali Ashabuni,
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang didalamnya mengandung mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Rasul melalui perantara malikat jibril.
Mukjizat adalah sesuatu yang membuat orang lemah atau membujuk agar orang untuk
beriman.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah tuntunan hidup manusia yang mana manusia harus
berpegang teguh pada keduanya agar dapat selamat dunia dan akhirat. Al-Qur’an sebagai
tuntunan manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di
muka bumi ini. Manusia yang dibimbing adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur
jasmani dan akal juga jiwa. Pembimbingan akal menghasilkan ilmu, pembimbingan jiwa
mengahasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembimbingan jasmani menghasilkan
keterampilan. Dengan pembimbingan tersebut akan tercipta makhluk yang seimbang dalam
hal dunia maupun akhirat, ilmu dan iman.
Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ajaran mengenai pendidikan yaitu seperti yang
terdapat dalam surat Luqman ayat ke-12 sampai dengan ayat ke-19 yang mana di dalamnya
menerangkan tentang nasehat Luqman kepada anaknya yang intinya ialah masalah iman,
akhlak ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan yang merupakan tujuan hidup dan pendidikan
sudah seharusnya mendukung dari tujuan hidup tersebut dengan Al-Qur’an sebagai
pedomannya.

AL-QUR’AN SEBAGAI INSPIRASI KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

Al-quran dianggap oleh umat Islam sebagai keajaiban ucapan. Karakter, idiom, dan
persepsi yang tiada bandingannya, dan juga dipandang sebagai bukti asal-usul ketuhanan
bagi umat Islam.  
Tafsir Al-quran, telah memenuhi beberapa pemikiran dari komunitas-komunitas
Muslim. Studi tentang tata bahasa dan cara penulisan, lalu kefasihan, perumpamaan dan
juga metafora, pengibaratan dan cerita, telah berubah menjadi ilmu yang dimuliakan.  
Juga untuk pembacaannya, baik dalam nyanyian yang sederhana (tartil) atau
membawakan musik artistik yang sangat maju (tajwid), telah menarik suara dan juga
talenta terbaik masyarakat Muslim sepanjang sejarah Muslim. 
Al-quran dinilai sudah menetapkan standar kesempurnaan untuk sastra Arab.
kemudian, ia telah merasuki literatur semua bahasa Muslim lainnya. Setiap Muslim saling
menyapa satu dengan yang lain mwnggunakan kata-kata dari Alquran dan dengan kata-kata
serta ide-idenya, mereka dapat mengekspresikan perasaan dan ide mereka. 
Kemauan untuk memahami Al-quran, memotivasi banyak dari cendekiawan Muslim
yang tidak berbahasa Arab untuk unggul dalam mempelajari bahasa Al-quran. Selama
berabad-abad lamanya, bahasa Arab merupakan bahasa internasional bagi sastra, filsafat,
dan sains Muslim. Al-quran menjadi simbol, sumber, dan kerangka persatuan Muslim. 
Al-quran menjadi dasar dari keragaman yang besar ini dan memberi kesatuan
mendasar dalam praktik ibadah, ekspresi sastra dan juga budaya populer. Persatuan dan
keragaman paradoks Islam serta landasannya dalam Al-quran merupakan kekuatan yang
dirasakan oleh umat Muslim. 

KEANEKARAGAMAN PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Berikut ini beberapa corak penafssiran Al-Qur’an, sebagai berikut :


1. Tafsir Fiqih, Penafsiran fiqih ini berorientasi pada hukum-hukum fikih yang berada di
dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Contoh: Al imam abu abdillah Muhammad ibn ahmad al
qurthubi, al jami’ li ahkam al quran.
2. Corak Tasawuf, Corak ini ditimbulkan karena gerakan-gerakan sufi dan akibat dari
berkembangnya era penerjemahan karya filsafat. Contoh: Abu Muhammad ruzbahan
ibn abi an nash asy syirazi, ar raish al bayan fi haqaiq al quran
3. Corak al-Dabi wa al-Ijtima’I, Corak tafsir ini merupakan perpaduan antara filologi dan
sastra (tafsir adabi) dan corak tafsir kemasyarakatan. Contoh : Tafsir Al-Manar

AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN BUDAYA


Q.S. An-Nur (24) : 31

‫ظهَ َر ِم ْنهَا َو ْليَضْ ِر ْبنَ بِ ُخ ُم ِر ِه َّن ع َٰلى‬ َ ‫ْن ِز ْينَتَه َُّن اِاَّل َما‬dَ ‫ظنَ فُرُوْ َجه َُّن َواَل يُ ْب ِدي‬ ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن اَ ْب‬ ِ ‫َوقُلْ لِّ ْل ُمْؤ ِم ٰن‬
ْ‫ْن ِز ْينَتَه َُّن اِ لِبُعُوْ لَتِ ِه َّن اَوْ ابَا ِٕى ِه َّن اَوْ ابَا ِء بُعُوْ لَتِ ِه َّن اَوْ اَ ْبنَا ِٕى ِه َّن اَوْ اَ ْبنَا ِء بُعُوْ لَتِ ِه َّن اَوْ اِخ َوانِ ِه َّن اَوْ بَنِ ْٓي اِخ َوانِ ِه َّن اَو‬dَ ‫جُ يُوْ بِ ِه ۖ َّن َواَل يُ ْب ِدي‬
ْ ْ ۤ ۤ ۤ ٰ ۤ ٰ ‫اَّل‬
ِ ‫ظهَرُوْ ا ع َٰلى عَوْ ٰر‬
‫ت‬ ْ َ‫ت اَ ْي َمانُه َُّن اَ ِو ال ٰتّبِ ِع ْينَ َغي ِْر اُولِى ااْل ِ رْ بَ ِة ِمنَ الرِّ َجا ِل اَ ِو الطِّ ْف ِل الَّ ِذ ْينَ لَ ْم ي‬ ْ ‫بَنِ ْٓي اَخَ ٰوتِ ِه َّن اَوْ نِ َس ۤا ِٕى ِه َّن اَوْ َما َملَ َك‬
‫هّٰللا‬
َ‫ َّن َوتُوْ ب ُْٓوا اِلَى ِ َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬dۗ ‫النِّ َس ۤا ِء ۖ َواَل يَضْ ِر ْبنَ بِاَرْ ُجلِ ِه َّن لِيُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِ ْينَ ِم ْن ِز ْينَتِ ِه‬

Terjemahan
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba
sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan
janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman,
agar kamu beruntung”.

2. AS-SUNNAH

PENGERTIAN AS-SUNNAH

As-Sunnah menurut para fuqaha' adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi SAW
namun tidak bersifat wajib. Sunnah merupakan satu dari hukum takfili yang lima, yaitu
meliputi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Menurut Fazlur Rahman, sunnah merupakan sebuah konsep prilaku, baik yang
diterapkan secara fisik maupun mental. Sunnah tidak hanya tertuju kepada sebuah aksi
sebagaimana adanya, tetapi aksi ini secara aktual berulang atau mungkin sekali dapat
dilakukan kembali. Dengan kata lain, sebuah sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku,
baik yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berkali-kali.
Sunnah tidak hanya merupakan suatu hukum prilaku tetapi juga merupakan sebuah
hukum moral yang sifatnya normatif. Keharusan moral ialah sebuah unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari pengertian konsep sunnah. Menurut pendapat yang terkenal
dikalangan sarjana Barat di masa-masa sekarang ini, sunnah merupakan praktik aktual
karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, ia memperoleh
status normatif sehingga menjadi sunnah.

Sunnah bisa berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah), kebiasaan atau ketentuan. Sunnah
dalam pengertian ini dapat mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah) atau juga dapat
mencakut sunnah yang buruk (sunnah qabihah). Dalam pengertian ini al-Qur'an
menyebutnya dengan Sunnah al-Awwaliin, yaitu sunnah yang telah diturunkan oleh Allah
SWT kepada orang-orang terdahulu (Al-Anfal:38). Istilah sunnah juga terdapat dalam teks
hadits, yang mencakup pengertian sunnah yang baik dan sunnah yang buruk, sebagaimana
hadits riwayat Muslim yang mengatakan:

“Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau kebiasaan baik (sunnah


hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku tersebut dan pahala orang-orang yang
ikut melakukannya di kemudian hari. Sebaliknya siapa yang memperkenalkan perbuatan
yang buruk (sunnah sayyi'ah), maka dia akan memperoleh dosa dari perbuatan tersebut
dan dosa orang- orang yang melakukannya di kemudian hari tanpa ada sesuatu yang
mengurangi dosa mereka”

Fazrur Rahman berpendapat, bahwa perilaku generasi setelah Nabi merupakan


personifikasi dari perilaku Rasulullah SAW yang dihidupkan secara turun temurun. As-
sunnah yang berperan sebagai tradisi yang hidup, yang bermula dari perilaku
Muhammad SAW, diikuti para sahabatnya, diikuti oleh pengikut sahabat, dan begitu
seterusnya hingga perilaku itu menjadi melembaga dan mendarah daging. Apabila proses
internalisasi telah terjadi, institusionalisasi perilaku akan membuahkan kesepakatan sosio-
kultural. Secara sosiologis, dengan adanya kesesuaian antara sistem nilai, sistem sosial
dan sistem budaya hingga terbentuk kolektifitas tingkah laku.

Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shidieqie, sunnah merupakan pengejawantahan


perilaku menurut contoh Rasulullah SAW yang merujuk pada hadits. (perbuatan yang
terus menerus dilakukan sehingga menjadi semacam tradisi ).

Masyarakat Arab pra Islam menggunakan sunnah untuk menyebut praktik kuno dan
berlaku secara berkesinambungan dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Oleh sebab itu, konon suku-suku Arab pra-Islam mempunyai sunnah masing-
masing yang mereka anggap sebagai dasar dari identitas dan kebanggaan mereka.

Perbuatan Rasulullah SAW, merupakan perbuatan yang dibina oleh wahyu sehingga
merupakan keteladanan, bahkan disebut juga sebagai uswah hasanah. Jika perbuatan
tersebut ditiru oleh para sahabat, kemudian para sahabat ditiru oleh para tabi'in, lalu para
tabi'in ditiru oleh para pengikutnya, dan begitu juga seterusnya sampai umat Muhammad
SAW sekarang ini, keteladanan tersebut menjadi tradisi normatif yang membentuk
menjadi sistem sosial, maka hal itulah yang paling fundamental dalam memaknakan
sunnah sebagai keteladanan yang berawal dari perilaku Rasulullah SAW.

Sedangkan hadits secara harfiah memiliki baru, cerita, kisah, perkataan atau peristiwa.
Istilah ini memiliki pengertian yang baku. Menurut para ahli hadits, kata ini merujuk pada
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa ucapan,
perbuatan, taqrir (sesuatu yang dibiarkan, dipersilakan dan disetujui secara diam-diam),
sifat-sifat dan perilaku yang terjadi sebelum ia menjadi Nabi atau sesudahnya. Sementara
menurut para ahli ushul fiqh, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
SAW, berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang dapat menjadi hukum syara'.

Istilah lain yang diangap sinonim dan biasa dipakai adalah khabar, atsar dan sunnah.
Dalam perkembangannya, para ulama ahli hadits menganggap sunnah sinonim dengan
hadits. Oleh karena itu semua buku yang mencantumkan kata “sunnah” dalam judulnya,
maka dapat dipastikan selalu yang dimaksudkan adalah hadits.

Sebagian ulama membedakan antara sunnah dan hadits. Sunnah merujuk pada praktik
(amaliyah) dan takrir Nabi SAW, sedangkan hadits hanya mencakup ucapan. Atau dalam
pandangan yang lain dapat dikatakan bahwa, pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu
Allah itu merupakan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk “tradisi” atau
“sunnah” kenabian (al-sunnah al-Nabawiyah). Sedangkan hadits adalah bentuk reportase
atau penuturan tentang apa yang disebabkan oleh Nabi atau yang dijalankan dalam praktik
tindakan orang lain yang “didiamkan” beliau (yang memiliki arti sebagai “pembenaran”).
Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang ini definisinya makin luas batasannya dan
komprehensif.

Syahrur, setelah menganalisa beberapa ayat al-Qur'an kaitannya dengan sunnah,


kemudian menawarkan pemahaman bahwa sunnah Nabi pada dasarnya adalah kehidupan
Nabi sebagai Nabi dan sosok manusia yang hidup pada masa tertentu dalam suatu realitas
kehidupan yang benar-benar beliau hadapi. Terlepas bahwa beliau menerima wahyu dari
Allah yang menjadikan beliau manusia mulia, perlu kita ketahui bahwa kemuliaan sosok
beliau, bahwa Muhammad merupakan sosok yang hidup pada abad ketujuh Masehi di
semenanjung Arab dengan segala kondisi geografis, sejarah kebudayaan dan politik yang
mengelilinginya.

Syahrur juga menambahkan jika hadits merupakan interaksi Nabi dengan realitas
tertentu dalam kondisi tertentu, kemudian beliau merespon kondisi tersebut dengan
keterbatasan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, apa yang telah dilakukan Nabi di
semananjung Arab pada abad ketujuh Masehi merupakan model pertama berinteraksi
dengan Islam pada penggal ruang dan waktu tertentu, bukan satu-satunya dan bukan yang
terakhir. Jadi, definisi sunah atau hadits selama ini adalah keliru. Tidak benar jika sunnah
merupakan segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan,
perintah, larangan dan ketetapan, dan sebagainya.

Minhaji mengatakan jika pengertian dasar dari sunnah adalah suatu yang telah
diterima dan mentradisi di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, sunnah merupakan
pandangan hidup dan sesuatu yang telah dan sedang diikuti oleh masyarakat tertentu.
Karena pada dasarnya masyarakat selalu bergerak dari satu situasi ke situasi yang lain,
maka wajar saja kalau umat Islam diharapkan selalu mengevaluasi sunnah dalam rangka
menyusun suatu sunnah baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Di sinilah sebenarnya inti ajaran Islam, yakni mengikis habis dan / atau memodifikasi
berbagai sunnah lama yang dipandang menghambat kemajuan masyarakat.

KEDUDUKAN AS SUNNAH DALAM MEMBANGUN KEBUDAYAAN ISLAM


As Sunnah adalah penafsiran terhadap ajaran al-Qur'an, ia merupakan implementasi
realistis serta ideal dalam Islam. Kepribadian Nabi Muhammad SAW merupakan
pengejawantahan al-Qur'an dalam sebuah ajaran Islam. Sebagaimana hal ini pernah
dikemukakan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, tatkala ditanya tentang budi pekerti
Rasulullah saw, beliau menjawab; “Budi pekertinya adalah al- Qur'an”HR.Muslim.
As Sunnah, disamping sebagai penafsir terhadap ajaran al-Qur'an juga berfungsi
sebagai referensi dan sumber petunjuk kedua setelah al-Qur'an. Petunjuk itu akan selalu
terus mengalir ke dalam lapagan syari'ah, hukum dan fikih serta melandasi seluruh sektor
kehidupan manusia.
Ummat Islam telah sepakat menjadikan sunnah sebagai salah satu dasar hukum untuk
beramal (ibadah), karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat
Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yag
terkandung di dalam sunnah sudah dilakukan sejak Rasulullah saw masih hidup.
FUNGSI AS-SUNNAH SEBAGAI PENGUAT PENGMBANGAN KEBUDAYAAN
ISLAM DI INDONESIA

Berikut ini merupakan beberapa fungsi dari As-Sunnah dalam Pengembangan


Budaya di Indonesia :
- As-Sunnah sebagai penguat hukum dalam Al-Qur’an
- As-Sunnah Sebagai Penjelas dalam Al-Qur’an
- As-Sunnah Sebagai Pembuat Hukum

MODEL PENERAPAN AS-SUNNAH DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DI


INDONESIA

Contoh model dari penerarapan sunnan dalam budaya Indonesia salah saunya
adalah sunnah dalam bepakaian, misalnya :
 Berpakaian warna putih
Rasulullah SAW bersabda, “Pakailah pakaian putih, karena itu pakaian yang
terbaik, dan kafanilah orang yang meninggal diantara kalian dengan kain
tersebut,” (Sahih al - jami’)
 Berpakaian gamis
“Baju yang disenangi Rasulullah SAW adalah gamis,” (Sahih al-jami’)

2. IJTIHAD

PENJELASAN TENTANG ITJIHAD


Ijtihad merupakan pengerahan segenap daya upaya untuk menemukan hukum sesuatu
secara rinci. Hal ini diutarakan oleh ulama untuk menjawab semua persoalan yang
muncul ketika dalam sumber utama agama Islam tidak ditemukan dalil atau ketentuan
hokum yang jelas.
Muhammad Ibn Husayn Ibn asan al-Jizani mengatakan bahwa ijtihad adalah
mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk menentukan
beberapa hukum syari’at.

Berdasarkan pengertian tersebut mengandung beberapa ketentuan, yaitu sebagai


berikut :
1. Sesungguhnya ijtihad ialah mengerahkan pemikiran dalam mengkaji dallil-dalil, dan
hal ini lebih dikenal dari qiyas. Jika qiyas menyamakan far’ dengan asl, sedangkan
ijtihad mengandung qiyas dsb..
2. Ijtihad dilakukan oleh faqih, artinya orang yang mengetahui dalil-dalil dan cara
istinbaal-hukm.
3. Ijtihad dilakukan terhadap sesuatu yang belum ada hukumnya atau bersifat zanni dan
juga menghasilkan hukum yang sifatnya zanni.
4. Dengan adanya batasan “istinbat”, oleh karena itu ijtihad adalah pemikiran mujtahid
dan ijtihadnya.

Manusia secara umum terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani memiliki fungsi untuk
memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran yang juga
berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dalam jagat raya ini. Walaupun tidak
terdapat petunjuk dari agama, manusia dapat menggunakan akalnya untuk memperoleh
kebahagiaan hidupnya.
Dari sifat kodrati manusia itu sendiri dalam perjuangan kehidupan untuk
kebahagiaan lahir batin dari dunia sampai ke akhirat, ijtihad dianggap sebagai kebutuhan
pokok yang sudah melekat didalam diri setiap insan, sedangkan kebahagiaan lahir batin
dan ketentraman hidup yang dituntut itu adalah berdasarkan hukum syara’.
Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum syara’, itu ijtihad merupakan
kebutuhan utama. Kita mengetahui akal manusia berbeda denganmakhluk lain dan
perbedaan yang paling menonjol antara manusia dengan makhluk lain adalah akal.
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dengan insting, pancaindra, akal, dan
agama. Dengan insting, manusia dapat menghindari bahaya yang dapat mengancamnya.
Dengan instingnya manusia berusaha untuk hidup lebih baik daripada yang diperolehnya
sekarang. Dengan pancaindranya manusia memperoleh petunjuk sehingga terhindar dari
kerugian-kerugian dan mendapat keuntungan.
Namun demikian, baik insting maupun panca indra mempunyai keterbatasan.
Apabila manusia sakit, insting dan juga pancaindra tidak dapat berfungsi dengan baik,
contohnyo ketika seseorang sakit makanan yang enak itu berubah rasanya menjadi
rasanya pahit.
Berikut ini adalah beberapa peranan Ijtihad adalah sebagai berikut :
- Ijtihad merupakan sumber norma dan hukum islam nomer tiga sesudah Alquran
dan Sunnah nabi
- Dengan ijtihadlah islam mampu membuktikan dirinya sebagai agama universal
yang cocok untuk tiap ruang dan waktu
- Dengan ijtihad,islam dapat dikawal kemurnian dan keasliannya dari
kemungkinan masuknya paham-paham non islam yang tidak dapat dibenarkan
- Dengan ijtihad,berbagai perkara baru yang timbul di zaman modern dapat
ditentukan hukumnya menurut islam
- Ijtihad termasuk manifestasi kemerdekaan berpikir yang dijunjung tinggi dalam
islam

Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadist. Di antara
ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar ijtihad oleh ahli usul fiqih ialah firman
Allah swt. didalam surat al-Nisa’ ayat 105, yaitu:

‫ق لتَحْ ُكم ب ْينَ النَّاس بمٓا اَ ٰرى َ هّٰللا‬


ِ َ‫ك ُ َۗواَل تَ ُك ْن لِّ ْل َخ ۤا ِٕىنِ ْينَ خ‬
‫ص ْي ًما‬ َِ ِ َ َ ِ ِّ ‫ب بِ ْال َح‬
َ ‫ك ْال ِك ٰت‬
َ ‫اِنَّٓا اَ ْنز َْلنَٓا اِلَ ْي‬
Artinya :
Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.

BENTUK-BENTUK IJTIHAD

Berikut ini merupakan bentuk-betuk dari Ijtihad, adalah sebagai berikut :


● Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan oleh para ulama yang dilakukan untuk menentukan
hukum islamyang berlandaskan pada Al- Quran dan hadist tentang suatu subjek
● Qiyas
Qiyas merupakan proses menentukan hukum dari masalah baru yang sebelumnya
belum pernah ada, tetapi yang mempunyai kesamaan ( manfaat, penyebab, bahaya)
dengan masalah lain sehingga dibuat hukum memiliki kesamaan.
● Istishab
Istishab merupakan ketentuan hukum atau aturan sampai adanya alasan yang
mencukupi untuk mengubah ketentuan tersebut
● Urf
Merupakan penetapan bolehnya adat dan juga kebebasan masyarakat selama itu tidak
bertentangan dengan hukum – hukum yang ada dalam Al-Quran dan hadist
● Maslahah Mursalah
Merupan suatu cara yang dilakukan untuk menentukan hukum berdasarkan
pertimbangan manfaat dan kegunaan
● Sududz Dzariah
Keputusan hukum tentang hal- hal yang diizinkan, makruh, atau haram untuk
kepentingan bersama umat islam.
● Istihsan
Tindakan meninggalkan satu hukum ke hukum lain karena bukti Syariah yang
mensyaratkannya

Kebutuhan dari Ijtihad ini akan terus berkembang. Hal ini dikarenakan:

o Setelah Rasul wafat, beliau meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan
Sunnah tersebuttentu tidak akan bertambah, sementara persoalan dan masalah
yang dihadapi oleh setiapumat muslimin dari zaman ke zaman terus berkembang,
oleh karena itu kebutuhan akan ijtihad menjadi sebuah yang niscaya.
o Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke Persia, Syam, Mesir, Afrika
Utara bahkan sampai ke spanyol, Turkian India, permasalahan yang dihadapi
ulama semakin kompeks, maka ijtihad semakin berperan dalam mengistinbat
hukum.

Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:

- Fardu ‘ain, melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri maka dari itu ia harus
mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
- Fardu ‘ain juga menjawab permasalahan yang belum terdapat hukumnya. Dan bila
tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
- Fardu kifayah, hukum ini berlaku jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan mengalami kehabisan waktu, atau ada mujtahid lain yang
sudah memenuhi syarat.
- sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
- Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qat’i karena
bertentangan dengan syara’.
FAKTOR YANG MENJADI LATAR BELAKANG KEANEKARAGAMAN IJTIHAD

Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan,
kelembagaan, keseharian yang sudah sering dilakukan, dan semua produk lain dari karya
dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang
sudah diresmisikan secara bersama. Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang
menuntut keahlian dari semua anggotanya. Artinya, tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan
itu.

Keragaman Ijtihad Ulama terkait Pengembangan Budaya Islam di Indonesia adalah


sebagai berikut :
1. Tidak mengikari orang lain yang menyelisihi Ijtihad ulama
2. Jika ia mengikari, maka harus disertai dengan penjelasan hujjah atau dalil-dalil
yang ada
3. Mengikuti salah satu dari dua pendapat yang lebih diyakini kebenarannya itu
diperbolehkan
4. Perselisihan antara dua orang dalam masalah ijtihadiyah tidak akan menyebabkan
orang tersebut dikeluarkan dari area iman
5. Harus menyadari keutamaan ulama yang sedang melakukan ijtihad

Ijtihad memiliki banyak bentuk keaneragamannya, hal tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa hal, seperti perbedaan beberapa pendapat dari ulama sebagai fitrah dan kehendak
Allah Swt. Seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat ke-48. Selain karena adanya
perbedaan pendapat keanekaragaman tersebutt juga dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dari kultur budaya para mujtahid hidup.

Penggunaan ijtihad dapat dilakukan dalam seluruh aspek ajaran Islam, salah satunya
aspek budaya dan profesi, keterkaitan antara ijtihad dengan budaya tentu saja merupakan
hal yang penting, dikarenakan dalam berbudaya serta beragama lebih sering terlihat hal-
hal yang berbeda atau bertolak belakang. Pemahaman agama yang menyeluruh dipahamai
terangkum dalam konsep Iman, Islam dan Iksan. Dalam perspektif Al-Qur’an iman
adalah pengesaan Allah SWT, yang jernih, murni dan menolak semua bentuk dari
kemusyrikan dan mitologi, berarti di dalam Islam dalam sudut keimanan ini dangat
dilarang mempercayai kekuatan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Konsep dalam membangun kebudayaan Islam di Indonesia ada dua macam, yaitu,
pertama, sumber Ilahi, yang meliputi al-Qur’an, As-Sunnah, dan alam semesta sebagai ayat
kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniah, yaitu lewat proses ijtihad.
Al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kehidupan di dunia ini, maka asas-asas
dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam.
Tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-
Qur’an sebagai satu-satunya rujukan. Al-Hadîts merupakan sumber ketentuan Islam yang
kedua setelah al-Qur’an. Ia merupakan penguat dan penjelas dari berbagai persoalan baik
yang ada di dalam al-Qur’an maupun yang dihadapi dalam persoalan kehidupan kaum
muslim yang disampaikan dan dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. yang dapat dijadikan
landasan pendidikan Islam.
Ijtihâd sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan al- Hadîts
merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan, guna mengantarkan manusia dalam
menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin menggelobal dan mondial. Eksistensi
ijtihâd harus senantiasa bersifat dinamis dan senantiasa diperbaharui, seirama dengan
runtutan perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip pokok al-Qur’an
dan al-Hadîts.
DAFTAR PUSTAKA

Anas, Malik ibn, al-Muwaththa, Kairo: Daar al-Tsaqafah, 1991

al-Bukari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Bukhari, Beirut-


Libanon:Daar el-Kutub, 1981
Bin Hajjaj, Muslim, Shahih Muslim, Daar at-Thaibah, Libanon, 2006

Ghazali, Muhammad, Studi Kritik atas Hadits Nabi antara tekstual


danKotekstual,
Bandung: Mizan, 1998

Hanbal, Abu Abdillah Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz I, Beirut: al-
Maktabah al-Islamy, tt.

Kamali, M. Hasyim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta:


PustakaPelajar, 1996

al-Khin, Musthofa Said, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014
Muhammad, Abul Harits, Memahami Kaidah Dasar Ilmu Hadits, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006


Mujiburrahman ”Membedah makna as-Sunnah dalam konsep kekinian”

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997


Nurcholis, Madjid Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits Implikasinya Dalam
Pengembangan Syari'ah, Jakarta: Paramadina, 2006
al-Qarafi, Syihab al-Din, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam,
Beirut:Libanon, 1983

Radianti, Jaziar dan Entin Sariani Muslim, Menyoal Relevansi Sunnah


DalamIslam Modern, Bandung: Mizan, 2000

Rafiq, Ahmad, Studi Analisis atas al-Qur'an dan as-Sunnah Antara


Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta: UIN Yogyakarta, 2011

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin,


Bandung:Pustaka, 1995

Anda mungkin juga menyukai