Kata aqidah atau i’tiqod secara bahasa berasal dari kata al ‘aqdu yang artinya
berputar sekitar makna kokoh, kuat, dan erat. (Lihat kata “ ”عقدdalam Mu’jam
Maqoyisil Lughoh, Ibn Faris (4/86-87), Madkhol Lidiroosatil Akidah Al Islamiyah, Dr. Utsman
Jum’ah Ad Dhomairiyah 9 (Maktabah As Sawaadi At Tauzi’, Cet 1; 1425 H, Jeddah) Hal. 87)
Adapun secara istilah umum, kata aqidah bermakna keyakinan yang kokoh
akan sesuatu, tanpa ada keraguan. (Al Mu’jam Al Washith 2/614)
Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka aqidah
tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka aqidah tersebut bathil. (Lihat:
Ibnu Utsaimin Syarhul Akidah Wasathiyah, Hal.37 (Dar Tsuroyya Linnasyr, cet.
2 1426 H) dan Muhammad Kholil Harros, Syarhul Akidah Al Wasathiyah. Hal.
15 (Dar Imam Ahmad, cet 1, 1429 H)
Sehingga aqidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa
disertai keraguan di dalam hati seseorang (lihat At Tauhid lis Shaffil Awwal Al
‘Aali hal. 9, Mujmal Ushul hal. 5)
َف َم ْن َك اَن َي ْر ُجو ِلَقاَء َر ِّبِه َف ْلَي ْع َم ْل َعَم ال َص اِلًح ا َو ال ُيْش ِر ْك ِبِعَب اَد ِة َر ِّبِه َأَح ًد ا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih
dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al
Kahfi: 110)
Allah ta’ala juga berfirman,
َو َلَقْد ُأوِحَي ِإَلْي َك َو ِإَلى اَّلِذيَن ِمْن َق ْب ِلَك َلِئْن َأْش َر ْك َت َلَي ْح َب َط َّن َعَم ُلَك َو َلَت ُك وَن َّن ِمَن اْلَخ اِس ِر يَن
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu
berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima
apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat
memperhatikan perbaikan aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka.
Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka;
menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada
selain-Nya.
َو َلَقْد َبَع ْث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٍة َر ُسوال َأِن اْع ُبُد وا َهَّللا َو اْج َت ِنُبوا الَّط اُغ وَت
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah Allah
dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)'” (QS. An Nahl: 36)
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa
yaitu, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain
Dia.” (lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh
Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus
sebagai Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid
(mengesakan Allah dalam beribadah) dan demi memperbaiki aqidah. Hal itu
dikarenakan aqidah adalah fondasi tegaknya bangunan agama. Para dai
penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana jalannya para nabi dan
Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan ajaran
tauhid dan perbaikan aqidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan
berbagai permasalahan agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali,
hal. 9-10).
Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil
pendapat-pendapat orang dalam permasalahan aqidah tanpa mengetahui
landasan dalil dan kebenarannya.